Ilustrasi: Illustruth
DINOSAURUS telah punah akibat asteroid Chicxulub yang meledak dan menyebarkan belerang berbahaya di Yucatan, Meksiko, puluhan juta tahun yang lalu. Sebanyak 75% hewan di bumi pun musnah. Namun, beberapa jenis tumbuhan seperti pakis bisa bertahan hingga belasan tahun setelah kejadian tersebut. Pola perilaku tertentu dari tumbuhan membuat mereka sanggup bertahan dari hantaman asteroid. Kata Anthony Trewavas,[1] tumbuhan merupakan salah satu makhluk hidup yang kuat serta mampu mendominasi bumi dengan semua perilaku yang mereka miliki.
Kebertahanan inilah yang dapat diadaptasi oleh gerakan buruh.
Persentase pekerja di Indonesia yang bergabung dengan serikat terus menurun, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Pada tahun 2021, persentasenya hanya 12,04%, sementara pada 2019 mencapai 12,46%. Setahun sebelumnya angkanya mencapai 13,2 persen, dan 2017 sebesar 14,54 persen. Turunnya gerakan buruh bukan hanya disebabkan oleh kondisi finansialisasi, demokrasi kapitalis, serta mobilitas kapital,[2] melainkan juga kurangnya model desain serikat yang mampu bertahan dan menjawab tantangan yang ada.
Penulis beranggapan, penggunaan desain alam, khususnya tumbuhan, akan membantu pengelolaan gerakan buruh agar tidak semakin ditinggalkan dan bahkan kian kuat.
Perilaku Tumbuhan, Perilaku Buruh dan Serikat
Mempelajari karakter alam lalu menjadikannya sebagai inspirasi bukanlah hal yang baru. Kita mengenalnya dengan sebutan biomimikri. Biomimikri lengkapnya adalah metode mempelajari dan mengemulasi bentuk, proses dan ekosistem dalam menghasilkan desain berkelanjutan.[3]
Imane, Vale dan Donn telah memetakan kajian-kajian yang menggunakan biomimikri.[4] Mereka menemukan berbagai macam artikel yang menggunakan makhluk hidup sebagai sumber desain efisiensi energi, mulai dari distribusi pencahayaan yang bersumber dari mata binatang (Park & Dave, 2014), smart wall dengan sistem termoregulasi yang terinspirasi dari reptil (Zare & Falahat, 2013) dan masih banyak lagi.
Meskipun identik dengan sains, arsitektur bangunan dan mesin, kita juga dapat mengadaptasi biomimikri untuk mengembangkan gerakan sosial. Lagi-lagi hal tersebut bukan hal baru. Ini telah dilakukan oleh Gilles Deleuze dan Félix Guattari (1987)[5] yang mengadopsi konsep rimpang (rizoma) dalam studi gerakan sosial.
Mereka beranggapan bahwa sebuah gerakan semestinya tidak seperti pohon dan akar. Pohon beserta akarnya hanya seperti garis yang mencerminkan hierarki, dengan ranting sebagai percabangan massa.
Menurut mereka gerakan semestinya berbentuk rimpang. Akar rimpang bersifat heterogen dan saling terhubung melalui rantai semiotika, yakni gumpalan umbi yang merefleksikan berbagai macam tindakan dari sebuah gerakan baik dari segi linguistik, perseptif, mimetik, dan gestural. Umbi-umbi tersebut akan terlipatgandakan namun masih terikat dan tidak terpisahkan. Ikatan tersebut bersifat decalcomania–dapat dipetakan dan dipindahkan ke dalam wadah lain.
Namun Woods dkk[6] berargumen aksi protes tidak bersifat dikotomis–antara pohon atau akar rimpang–karena keduanya juga bisa saling mempengaruhi.
Salah satu kasus yang mencerminkan hal tersebut adalah gerakan politik perdesaan di Inggris. Pada tahun 1940-an–1990-an, gerakan yang paling berpengaruh di sana dimotori oleh National Farmers Union (NFU) beserta beberapa serikat lain. Gerakan mereka bersifat terpusat tapi juga hierarkis. Lalu, pada 1997–2005, gerakan lebih condong bersifat rizomatik. Aksi protes mereka kemudian kembali berbentuk seperti pohon, tapi sebagai kelanjutan dari aksi rizomatik sebelumnya.
Baik model rimpang maupun pepohonan dapat dijadikan acuan dalam menentukan strategi gerakan, tergantung dari masalah dan sumber daya yang dihadapi, bukan hanya menjadi analogi yang memudahkan kita untuk memahami apa yang terjadi. Namun, kita masih perlu memahami karakteristik dan perilaku tumbuhan lain sehingga dapat menemukan model yang paling relevan.
Anthony Trewavas[7] mengartikan “perilaku tumbuhan” sebagai apa yang dilakukan oleh tumbuhan beserta kapasitas inteligensinya dalam memecahkan permasalahan atau mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan sel penggerak. Paling tidak ada tiga karakteristik utama tumbuhan yang bisa kita pelajari dalam tulisan ini.
Pertama, teleonomi. Teleonomi diartikan sebagai hidup dengan kemampuan beradaptasi dan berevolusi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dalam hal ini, serikat harus memiliki tujuan yang jelas dan dapat menyelesaikan permasalahan baik anggota serikat atau publik. Tujuan tersebut perlu dicapai dengan cara-cara yang adaptif dan tepat sesuai dengan konteks yang ada.
Serikat memang memiliki visi, misi dan tujuan–biasanya tercantum dalam AD/ART. Namun, dalam praktiknya, hal tersebut kerap kabur. Serikat hanya bersifat reaktif terhadap keputusan-keputusan pemerintah dan bisnis, seperti dalam kasus omnibus law, Reformasi Dikorupsi, serta aturan tentang jaminan hari tua. Perwujudan tujuannya hanya berupa tanggapan, bukan tawaran yang disusun secara strategis.
Selain kejelasan visi, misi dan tujuan yang dicapai secara konsisten, gerakan buruh juga perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi terkini. Mulai dari pemerataan akses terhadap teknologi komunikasi hingga kemampuan literasi digital yang dapat digunakan untuk melakukan sekaligus mengamankan setiap gerakan.
Kedua adalah fotosintesis. Fotosintesis merupakan pengolahan cahaya matahari dan karbondioksida sebagai bahan pertumbuhan serta menghasilkan oksigen dan gula. Proses fotosintesis ini tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan itu sendiri, melainkan juga organisme lain yang ada di sekitarnya. Kebergantungan organisme lain terhadap tumbuhan inilah yang membuat mereka bertahan dan dipertahankan.
Maka, jika serikat hendak bertahan dan dipertahankan oleh lingkungannya, mereka juga harus mampu berkontribusi terhadap ekosistem.
Proses “berfotosintesis” dalam gerakan buruh sebenarnya sudah dapat kita temui sejak masa kolonial. Kemerdekaan yang dinikmati oleh semua orang saat ini adalah juga buah dari usaha kelompok buruh. Mereka pun mengorganisir diri dengan kelompok-kelompok proletariat lain di luar serikat, bahkan di level internasional. “Oesaha membikin merdikanja kelas boeroeh itoe menoentoet perhoebooengannja kekoeatan jang teratcer dari kaoem proletariaat. Kita perloe mempoenjai semoea pertjampoeran, oentoek melawan kapitaal dengan berhasil.”[8]
Gerakan buruh masa lalu juga peduli pada isu pengangguran yang menimpa bumiputra pada masa Depresi Besar meskipun mereka bukan anggota serikat.[9] Terlebih lagi, serikat-serikat tersebut bersatu bersama partai untuk melakukan reformasi politik, yaitu melalui Gabungan Politik Indonesia (GAPI)–yang membuat Kongres Rakyat Indonesia. Meskipun kekuatannya masih lemah, mereka bersama-sama melawan pemerintah kolonial (Ingleson, 2015)[10]
Salah satu cara berfotosintesis yang dapat dilakukan oleh serikat pekerja adalah dengan mengajak warga berpartisipasi untuk menyusun dan mencapai tujuan bersama. Hasil kajian saya terdahulu[11] menunjukkan bahwa buruh yang mengalami kesenjangan spasial di wilayah perkotaan–melalui segregasi dan gentrifikasi–perlu melakukan peningkatan sumber daya bersama komunitas lokal.
Kelompok buruh selama ini kurang mengintegrasikan diri dengan komunitas dalam memperjuangkan hak atas ruang. Jika serikat buruh bisa bersama-sama dengan komunitas lokal memperjuangkan hak atas ruang, mereka akan memiliki kekuatan yang lebih besar. Serikat pun dapat dirasakan manfaatnya oleh semua.
Model kebermanfaatan dan aktivitas serikat bersama komunitas lokal pernah dikaji oleh Bruce Nissen dan Rick Smith.[12] Mereka menggunakan studi kasus The People’s Budget Review, yaitu koalisi antara Florida Public Service Union (FPSU) dengan komunitas warga di St. Petersburg, Florida, yang memperjuangkan isu bersama yakni pengaturan anggaran perkotaan dan program prioritas.
Ketiga, kemampuan swa-organisasi. Anthony Trewavas menjelaskan bahwa pengorganisasian diri tumbuhan terdiri dari mencari makan, menghindari hama dan predator, serta menemukan pasangan. Mengambil inspirasi dari aspek ini, serikat perlu memikirkan dan menemukan jawaban terhadap hal mendasar, mulai dari mencari “makan” yakni sumber daya, menghindari bahkan melawan hama dan predator yang merusak, serta menemukan pasangan untuk berkoalisi.
Penutup
Artikel ini hanya membahas sebagian karakter tumbuhan yang dapat diadaptasi oleh gerakan. Masih banyak karakteristik lebih spesifik yang bisa diadaptasi. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui dan menggunakan biomimikri lebih dalam lagi untuk mengembangkan gerakan buruh.
Jika desain Shinkansen dan pesawat terbang yang berakar dari organisme binatang mampu bertahan dan memberikan perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat, maka tidak ada salahnya jika kita belajar dari tumbuhan dalam mengorganisir buruh. Kita bisa mengadopsi teleonomi, fotosintesis, pengorganisasisan diri, maupun karakteristik lainnya untuk membangun gerakan buruh yang kuat dan independen serta mampu bertahan di berbagai zaman.
[1] Anthony Trewavas merupakan Profesor Emeritus di bidang biologi di University of Edinburgh. Profil Google Scholarnya dapat dicek pada tautan berikut: https://scholar.google.co.uk/citations?user=UBXrBPoAAAAJ&hl=en
[2] Vachon, T. E., Wallace, M., & Hyde, A. (2016). Union Decline in a Neoliberal Age. Socius: Sociological Research for a Dynamic World, 2, 237802311665684. https://doi.org/10.1177/2378023116656847
[3] The Biomimicry Institute & the Biomimicry Guild (2011). The Biomimicry Resource Handbook: a seed bank of knowledge and best practices.
[4] Imani, Negin, Brenda Vale, dan Michael Donn. (2017). Biomimicry as Innovation: A Systematic Review. dalam M. A. Schnabel (ed.), Back to the Future: The Next 50 Years, (51st International Conference of the Architectural Science Association (ANZAScA)), ©2017, Architectural Science Association (ANZAScA), pp. 635–644
[5] Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia. University of Minnesota Press.
[6] Woods, M., Anderson, J., Guilbert, S., & Watkin, S. (2013). Rhizomic radicalism and arborescent advocacy: A Deleuzo-Guattarian reading of rural protest. Environment and Planning D: Society and Space, 31(3), 434–450. https://doi.org/10.1068/d14909
[7] Trewavas, Anthony. (2014). Plant Behaviour and Intelligence. Oxford: Oxford University Press.
[8] Kutipan ini terbit di dalam Soeara Kaoem Boeroeh pada 1 Oktober 1921
[9] Fokus terhadap isu pengangguran terlihat dari beberapa edisi Soeara Boeroeh Indonesia di tahun 1931. Salah satunya yang terbit pada Rabu, 15 April 1931.
[10] Ingleson, John. (2015). Buruh, Serikat, dan Politik: Indonesia pada 1920an-1930an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri
[11] Wilujeng, E. P. (2020). Urban Labour Inequality: Segregation and Gentrification in the Jakarta Industrial Area. Proceedings of the 12th Next Generation Global Workshop, KUASU, 34–54.
[12] Nissen, B., & Smith, R. (2015). A novel way to represent and reframe the interests of workers: The People’s Budget Review in St. Petersburg, Florida. Labor Studies Journal, 40(1), 84–102. https://doi.org/10.1177/0160449X14568051
Estu Putri Wilujeng, dosen Departemen Ilmu Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia