Ilustrasi: Illustruth
KATA-KATA tertentu dalam puisi-puisi Chairil Anwar menarik perhatian saya. Kata-kata itu memperlihatkan posisi biner dalam hubungan antara aku-lirik dan realitas, membentuk tatapan asing terhadap realitas itu sendiri. Mereka menyeret aku-lirik ke dalam pusaran perubahan sejarah di tengah Revolusi Kemerdekaan.
Dalam salah satu suratnya kepada HB. Jassin, Chairil menulis: “yang kunamakan sajak-sajak! — itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa tingkat percobaan”.[1] Sebutan “beberapa tingkat percobaan” yang digunakan Chairil, adalah metode. Pesannya: puisi yang ditulisnya bukan pekerjaaan langsung jadi. Tahapan percobaan ini memperlihatkan tegangan antara puisi dan realitas sebagai rujukan. Realitas di sini bisa dipahami sebagai rujukan literasi antara Pujangga Baru dan sastra modern yang membentuk wawasan Chairil Anwar: Ketegangan perubahan era kolonial ke era kemerdekaan.
Dalam buku yang memuat seluruh puisi Chairil Anwar, termasuk puisi terjemahan maupun saduran, (Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi Sajak 1942-1949, disunting oleh Pamusuk Eneste, 2011) index puisi Chairil memperlihatkan jumlah penggunaan kosa kata seperti ini:
Asing: 5 kali penggunaan
Iseng: 2 kali penggunaan
Luka: 7 kali penggunaan
Malam: 33 kali penggunaan
Mampus: 1 kali penggunaan
Mati: 27 kali penggunaan
Patah: 4 kali penggunaan
Putus: 5 kali penggunaan
Sepi: 18 kali penggunaan
Terbuang: 1 kali penggunaan
Terasing: 1 kali penggunaan
Tanda seru (!): 90 kali digunakan
Tanda tanya (?): 52 kali digunakan
Indeks kosakata itu memperlihatkan kata malam paling banyak digunakan (33 kali), setelah itu kata mati (27 Kali), selain sepi (18 kali). Kata terbuang hanya sekali digunakan, tapi membangun puisi yang dianggap paling mengejutkan, yaitu puisi “aku” (“Semangat”). Kata mampus hanya sekali digunakan dalam puisi “Sia-sia”, tapi membangun imajinasi di sekitar penggunaan enerji bahasa yang membuat gema khas pada puisi-puisi Chairil. Di dalam kata mampus, mengandung muatan sumpah serapah yang bertenaga: mampus = mampus. Enerji bahasa ini ditambah dengan 90 kali penggunaan tanda seru (!) pada puisinya. Kadang hanya satu tanda seru, tetapi pada puisi yang lain bisa menjadi !! atau !!!, seolah-olah puisinya bergetar oleh tanda seru bersama unsur-unsur teror yang dikandungnya. Ada 52 tanda tanya (?). Kadang Chairil juga menggunakan dua tanda tanya (??). Banyaknya Chairil menggunakan tanda seru dan tanda tanya dalam puisinya sekali lagi memperlihatkan tegangan dalam pembentukan orientasi puitikanya.
Kesebelas diksi tersebut (Asing, Iseng, Luka, Malam, Mampus, Mati, Patah, Putus, Sepi, Terbuang, Terasing), selain tanda seru dan tanda tanya, membentuk lingkaran koding dalam tatapan bagaimana penyair menyerap dan merespons realitas yang dihadapinya. Lingkaran koding ini terkesan kompleks, karena puisi-puisi Chairil terhubung dengan cukup banyak tema di sekitar petualangan, heroisme, cinta, keputusasaan, individualisme dan puisi-puisi lanskap dimana keindahan alam juga digunakan baik sebagai metafor kengerian maupun penderitaan. Kompleksitas ini memperlihatkan bagaimana Chairil melakukan kurasi atas nilai-nilai, kepercayaan, maupun ideologi yang berkelindan dalam lingkungan kolonial. Secara khusus, Chairil berhutang budi pada wawasan sastra Gothik yang ikut membentuk kanal-kanal puisinya, seperti “Cintaku Jauh di Pulau”.
Dalam karya-karya Chairil, umumnya, koding tersebut diposisikan sebagai individu yang terperangkap dalam romantisme dan melakukan eksperimentasi yang disebut oleh Chairil sendiri sebagai “tiap kata akan kugali korek sedalamnya.”[2] Individu yang sama terperangkap dalam kemodernan yang menghadapi guncangan budaya karena perang dunia yang mengerikan.[3] Dalam konteks Chairil, ini berarti melibatkan masa “Bersiap” dan “Agresi Militer Belanda” dalam Revolusi Kemerdekaan, antara jatuhnya Jepang dan usaha Belanda untuk masuk kembali ke Indonesia. Ayah Chairil sendiri sebagai Bupati Rengat ditembak mati tentara Belanda dalam Aksi Militer Belanda II pada 5 Januari 1949—tiga bulan menjelang Chairil meninggal, 28 April 1949.[4]
Hari ini, 27 Juli 2022, kita memperingati 100 tahun Chairil. Waktu yang menggoda untuk kita berputar-putar antara waktu dan puisi, untuk menemukan titik-titik yang sebelumnya mungkin tidak terlalu diperhatikan dalam bisingnya pemahaman sejarah kita.
Pembacaan terhadap karya-karya Chairil umumnya terperangkap dalam mitos sastra (modern) Indonesia. Mitos ini telah terbekukan sebagai “Angkatan 45”, kemudian sebagai “binatang jalang” dalam gosip besar sastra Indonesia. Konsep individualisme inilah yang menyempitkan spektrum sejarah pembentuk literasi Chairil dan kemudian memantulkan pertanyaan: “kenapa mitos itu begitu kuat mengekspresikan soal keterasingan, terbuang, sepi, luka dan kematian?”
Ada beberapa pendekatan untuk melacak konsep individualisme ini sebagai spektrum wawasan literasi di sekitar Chairil. Saya akan membatasinya mulai dari Politik Etis yang dicetuskan pemerintah Hindia Belanda pada 1901. Program ini terkait dengan pendidikan, infrastruktur pertanian melalui irigasi dan pemerataan populasi penduduk Hindia Belanda melalui transmigrasi. Robert van Niel memandang dibukanya akses ke dunia pendidikan telah melahirkan elit-elit modern pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda.[5]
Era Politik Etis menyuburkan organisasi pergerakan melalui pendidikan, penerbitan, serta organisasi-organisasi budaya dan politik. Lalu lahirlah imajinasi baru tentang dunia yang akan berubah, menggerakkan kota-kota, manusia, modal, barang, gagasan dan mimpi-mimpi tentang dunia modern. Kian banyak seniman, intelektual, aktivis, peneliti hingga arsitek dari Eropa dan Amerika yang berdatangan ke Hindia Belanda dengan impian menemukan mooi indie, Hindia yang molek, “Ratu di Timur” (The Queen of The East). Di antara mereka terdapat Max Dauthendey (penyair Jerman), Henk Sneevliet (aktivis Komunis Belanda), Walter Spies (perupa Jerman), Hermann Hesse (novelis Swiss), Arthur Rimbaud (penyair Prancis), Willem Frederik Stutterheim (arkeolog Belanda), Claire Holt (peneliti Amerika), G. C. Citroen (arsitek Belanda), Pablo Neruda (penyair Cile), Henry Louis Joseph Marie Estourgie (arsitek Belanda) hingga aktor Charlie Chaplin.
Di antara mereka membawa pandangan kritis tentang kolonialisme di Hindia Belanda. Salah satunya Max Dauthendey yang mati di Malang pada 1918. Empat tahun sebelumnya ia menulis dari Garut (18 Agustus) tentang “surga di Jawa, Eropa yang membosankan, suara gamelan yang memabukkan seperti alat musik para malaikat di luar indera; tentang semua penguasa kolonial adalah perampok dan tiran, mereka akan runtuh bersama koloninya sebagaimana Roma dan Athena.”[6]
Lalu, bagaimana masa depan Hindia Belanda?
Chairil Anwar belum lahir pada era ini, tapi kelak ia mengalami literasi Hindia Belanda melalui kedudukan ayahnya (Toeloes) sebagai Pamong Praja di Medan. Ia dididik di Hollandsch lnlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Setelah meninggalkan Medan dan merantau ke Jakarta). Chairil juga masuk ke lingkaran pergaulan pamannya, Sutan Sjahrir.[7] Pergaulan baru di Jawa ini berlatar masa pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan.
1. Zaman bergerak dan pemulihan kesadaran akan sebuah bangsa
Dalam pengantar buku Zaman Bergerak, Takashi Shiraishi menulis: “Gerakan rakyat yang tampil dalam bentuk surat kabar dan jurnal, rapat dan pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian, teater, dan pemberontakan, merupakan fenomena paling mencolok bagi orang Belanda untuk melihat kebangkitan ‘bumiputra’ pada awal abad XX. Fenomena tersebut sampai saat ini masih menyandang sebutan ‘pergerakan’, di mana ‘bumiputra’ bergerak mencari bentuk untuk menampilkan kesadaran politik mereka yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan, dan menghadapi kenyataan di Hindia dalam dunia dan zaman yang mereka rasakan bergerak.”[8]
Fenomena yang mengawali akhir masa Cultuurstelsel itu diwarnai oleh berdirinya serikat-serikat buruh baik yang dibentuk orang-orang Eropa di Hindia Belanda maupun bentukan ‘bumiputra’, dan dari kalangan peranakan Tionghoa. Serikat-serikat buruh ini—mulai dari perkebunan tebu, pabrik gula, tembakau, guru, pegawai pegadaian, hingga komunikasi dan buruh kereta api—kelak menghimpun aksi-aksi mogok untuk kenaikan upah.[9] Menjamurnya gerakan buruh tidak lepas dari tumbuhnya kapitalisme awal di Hindia Belanda dalam lingkungan kolonial setelah berakhirnya Cultuurstelsel. Pada periode ini pula meletus Revolusi Nasional di Tiongkok (1911) dan Revolusi Rusia (1917).
Dalam kanon akademik sejarah pembentukan sejarah Indonesia, termasuk yang ditulis Shiraishi, fenomena itu secara umum dibekukan dalam gerakan nasionalisme, Islam dan Komunisme: “Kartini, Boedi Oetomo, dan lndische Partij sebagai pendahulu gerakan nasionalis; Sarekat Islam dan Muhammadijah sebagai pendahulu gerakan Islam; lndische Sociaal-Democratische Vereeniging dan Perserikatan Kommunist di India yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia sebagai pendahulu gerakan komunis.”[10] Kelak kemudian Soekarno berusaha menyatukan ketiganya dalam konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunis) dan gagal. Pembekuan ini juga terjadi pada penggunaan istilah “bumiputra” dan kemudian “pribumi” atau “putra daerah” yang kemudian memunculkan isu rasisme dalam konteks kewargaan.
Boejoeng Saleh mencatat kapitalisme awal lahir ketika pemerintah kolonial memberlakukan Undang-Undang Agraria dan Gula tahun 1870 dan Undang-Undang pertambangan (minyak, timah, batu bara, emas) tahun 1899. Sewa tanah menjadi murah dan upah buruh ditekan serendah mungkin untuk mendatangkan investasi dari luar.[11]
Cultuurstelsel, sebuah sistem produksi terpusat pada kontrol pemerintah Belanda, berakhir setelah 40 tahun, tepatnya pada 1870. Berakhirnya masa ini nyatanya merupakan langkah untuk mendorong era baru, yaitu liberalisasi ekonomi yang membawa Hindia memasuki kapitalisme multinasional. Perubahan ini membutuhkan tenaga kerja yang terdidik dan infrastruktur industri yang bisa menopangnya. Dari sudut pandang ini, program Politik Etis yang dijalankan pemerintah kolonial, menemukan konteksnya pada pembayangan Hindia di masa depan dalam perubahan dunia yang sedang berlangsung.
Politik Etis yang berdiri di atas pandangan Pieter Brooshooft dan C.Th. van Deventer merupakan panggung baru sejarah kolonialisme di Hindia Belanda. Ia juga menjadi latar baru permainan intel-intel yang mengabdi pada kalangan pejabat pemerintahan Hindia Belanda yang konservatif dan menolak program Politik Etis yang reformis. Sebuah peristiwa dalam novel Emilie Jawa 1904, karya Catherine van Moppes, merupakan kisah yang memperlihatkan konflik di sekitar program ini. Robert Mueller, seorang pejabat penting dalam lembaga keamanan Hindia Belanda di Batavia, ditembak di tengah-tengah pertunjukan opera Cina. Sebuah peluru tepat mengenai jantungnya. Peristiwa dalam novel terjadi menjelang kedatangan wakil pemerintah Belanda dari Den Haag ke Batavia. Peristiwa tersebut dianggap sebagai permainan intel Belanda dengan tujuan mencitrakan bahwa Hindia Belanda belum siap menjalankan reformasi melalui Politik Etis. Bobot politis kejadian itu ditunjukkan lewat pembunuhan pejabat penting Hindia Belanda dan pengkambinghitaman gerakan nasionalis China ala peranakan Tionghoa di Batavia.[12]
Dalam komentarnya terhadap novel karya Catherine van Moppes di bagian epilog, Jean Couteau dan Warih Wisatsana melihat novel ini sebagai gambaran pembelahan Hindia Belanda ke dalam dua kubu yang berbeda sikap. Kubu pertama adalah kelompok reformis yang berkiblat ke depan; dan yang kedua adalah yang menolak perubahan, terutama mereka yang merasa kepentingannya terancam apabila Politik Etis dijalankan.[13]
Dampak program Politik Etis yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda mulai terlihat sebelum perang meletus, walau tidak mengubah watak kolonialnya. Salah satu dampaknya adalah pertumbuhan tumbuhnya media masa yang mulai dikelola sendiri oleh “rakyat yang diprentah” (istilah Tirto Adhi Soerjo), yakni Medan Prijaji. Koran ini terbit perdana pada 1 Januari 1907. Pada masa ini pemerintah Hindia Belanda mendirikan lembaga penerbitan Balai Pustaka (1908) untuk mengimbangi “bacaan liar” yang tengah menjamur.[14] Balai Pustaka menerbitkan beberapa majalah: Panji Pustaka yang berbahasa Melayu (1923), Kejawen yang berbahasa Jawa (1926), dan Parahiangan yang berbahasa Sunda (1929).
Medan Prijaji yang terbit dibawah pimpinan Tirto Adhi Soerjo mulai menjalankan jurnalisme politik yang kritis terhadap kebijakan maupun tindakan pemerintah Hindia Belanda. Tirto kemudian ditangkap dan dibuang ke Ambon, dan Medan Prijaji jatuh pada tahun 1912.[15]
2. Perang, wabah, dan generasi yang hilang
Pada 1914, Politis Etis menghadapi Perang Dunia I yang menjalar luas dan melibatkan banyak pemain termasuk negeri-negeri Eropa, Australia, dan kemudian Amerika. Perang ini sangat ganas. Persenjataan modern dan gas kimia mulai digunakan. Ketiika berakhir pada 1918, Perang Dunia I telah membunuh 10 juta serdadu dan 7 juta warga sipil.[16]
Pada saat bersamaan, Flu Spanyol menyeberang ke Hindia Belanda.[17] Beberapa karya di bawah ini memperlihatkan bagaimana perang dan wabah ikut berpengaruh pada munculnya gerakan sastra dan seni, terutama Dada.
August Stramm (1874-1915), salah seorang penyair dan penulis drama dalam tradisi ekspresionisme Jerman, terjun dalam beberapa medan pertempuran Perang Dunia I. Pada 1 September 1915, pasukan Stramm diserang di rawa Rokitno, dekat kota Gorodenka, Rusia. Stramm sendiri terbunuh dalam pertempuran ini. Kelak, karya-karyanya yang diterbitkan secara anumerta dianggap memiliki pengaruh pada gerakan Dada.[18] Saya mendapatkan nama August Stramm melalui email seorang penyair di Berlin, Brigitte Oleschinski. Ia berkabar sedang menulis tentang penyair ini. Salah satu puisi Stramm saya kutip dalam terjemahan Inggris, “Primal Death”:
Space
Time
Space
Travel
Raining
Aiming
Space
Time
Space
Expanding
Uniting
Increasing
Space
Time
Space
Sweeping
Restraining
Stretching
Space
Time
Space
Wrestling
Throwing
Throwing upSpace
Time
Space
Falling
Sinking
Overturning
Space
Time
Space
Whirling
SpaceTime
Space
Disturbing
Space
Time
Space
Whirring
Space
Time SpaceErring at
Nothing[19]
Tidak ada manusia. Tidak ada seorang aku dalam puisi Stramm di atas. Kata terus berlalu seperti lintasan cahaya di jalan, jatuh satu-persatu. Kata-kata melangkah sendiri, keluar dari bahasa. Space dan Time terus berulang dalam puisi untuk ditutup dengan nothing pada akhir puisi. Gelombang ini mendorong kata Restraining, Stretching, dan bergulirnya Falling, Sinking, Overturning. Kata yang seolah-olah berjalan sendirian di tengah medan perang. Harapan yang mati di dalam bahasa. Cukup banyak penyair dan seniman yang ikut wajib militer, terjun ke dalam medan perang dalam Perang Dunia I, dan mati. Beberapa di antaranya Wilfred Owen, Alan Seeger, dan Rupert Brooke. Guillaume Apollinaire mati karena Flu Spanyol.[20]
Absurditas perang sebagai kontradiksi membela negara di satu sisi dan menghadapi kengerian saling bunuh sesama manusia di sisi lainnya, telah mengoyak dasar-dasar cara kita memandang manusia dalam perspektif perang. Dua karya Otto Dix di bawah ini, yang dibuat menjelang berangkat perang dan setelah meninggalkan medan perang, memperlihatkan absurditas tersebut.
Lukisaan kiri (menjelang perang): Otto Dix, Selbstbild als schießscheibe, Bautzen, 1915, Kunst Museum Gera. Lukisan Kanan (setelah perang): Otto Dix, Sog wilder mann, Gouache1916‐17 privatbesitz. Sumber: Dietrich Schubert, “Künstler im Trommelfeuer des Krieges 1914-18”, Wunderhorn; 1st edition (2013)
Lukisan ini memperlihatkan keteguhan perajurit ketika berangkat perang, serta ekspresi yang porak poranda dengan horor dan gema traumatik yang dipancarkannya setelah meninggalkan medan perang. Otto Dix (1891-1969) termasuk salah seorang perupa Jerman yang pernah merasakah hidup di parit Perang Dunia I dan termasuk perupa yang banyak merekam kengerian perang dalam karya-karyanya. Dia menghabiskan lebih dari empat tahun di garis depan dan beberapa kali terluka dalam pertempuran. Ia menyaksikan kengerian yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Setelah perang, Dix terhubung dengan gerakan Dada dan kemudian menjadi bagian dari gerakan Neue Sachlichkeit (Objektivitas Baru).[21]
Jatuhnya korban bertambah jutaan orang ketika wabah Flu Spanyol merebak menjelang perang berakhir. Wabah yang menyebar ke seluruh dunia sejak Maret 1918 hingga Mei 1919—dan diperburuk oleh mobilisasi militer—membawa sejarah memasuki sebuah episode kolektif dimana manusia mengisolasi diri dalam kepanikan.[22]
Lukisan Gustav Klimt adalah salah satu saksi atas kebrutalan perang. Lukisan Death and Life selesai pada 1911, tapi direvisi empat tahun kemudian. Klimt menambahkan lebih banyak sosok manusia di lukisannya pada 1915.
Death and Life, (Gustav Klimt, 1910-1911). Museum Leopold, Wina. Foto: Afrizal Malna
Gustav Klimt (1862-1918), seniman kelahiran Wina, berafiliasi dengan gerakan Art Nouveau dan menjadi ketua gerakan Wina Secession. Karya-karyanya menggali wawasan seni rupa klasik dari Jepang, Mesir hingga Yunani. Sejumlah karyanya dijarah dan dibakar oleh Nazi, senasib dengan karya-karya Otto Dix yang juga disita Nazi.[23]
August Stramm, Otto Dix, dan Gustav Klimt merupakan representasi dari memori traumatik perang dan wabah—trauma masyarakat Eropa menghadapi dunia modern. Setelah perang berakhir, generasi ini, dalam pengertian yang luas, disebut sebagai “generasi yang hilang” (lost generation).
Generasi yang hilang mengacu pada orang-orang yang mencapai kedewasaan selama dan setelah Perang Dunia I. Akibat perang besar ini, banyak orang mengalami disorientasi. Lost generation ada di pusaran disorientasi tersebut. Mereka mengembara tanpa arah. Bagi generasi ini, nilai-nilai moral dan sosial orang tua mereka yang konservatif tidak relevan lagi di dunia pasca-perang.[24]
Gerakan Dada adalah representasi dari pemberontakan ini. Pertunjukan Hugo Ball, “Cabaret Voltaire” di Zurich (1916) yang menggunakan puisi Karawane dengan iringan piano adalah salah satu contohnya. Puisi ini hanya terdiri dari rangkaian bunyi. Isinya seperti kata-kata baru dan tidak ada artinya:
Hugo Ball, Karawane. Sumber: https://www.aklein.vsfd.hoodmuseum.dartmouth.edu/karawane
Perang besar dan wabah disusul oleh peristiwa lain yang tak kalah ganas, yaitu Perang Dunia II (1939-1945) yang ditutup dengan jatuhnya bom atom Amerika di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 1943 lahir Generasi Beat, sebuah gerakan yang kelak tersohor pada 1950an. Mereka adalah generasi pasca-Perang Dunia II yang kecewa dengan Perang Dingin dan mempertanyakan peran Amerika dalam konflik global. Gerakan ini dipelopori William S. Burroughs, Allen Ginsberg dan Jack Kerouac. Bagi Ginsberg, Generasi Beat memantulkan imajinasi bahwa “Semua orang tersesat dalam dunia mimpi yang mereka buat sendiri.”[25]
3. Bacaan Liar, AMS Solo dan Gerakan Pemuda
Di tengah krisis global pasca-perang dan bergolaknya Revolusi Rusia 1917, berlangsung sejumlah pemogokan buruh di Hindia Belanda yang digerakan PKI. Pemogokan buruh pabrik gula di Yogyakarta dipimpin Surjopranoto, sementara pemogokan buruh tram dan kereta api di Semarang dipimpin Semaun. Keduanya berlangsung pada 1920 pada bulan berbeda. Pemogokan buruh pegadaian terjadi pada 1922 dan pemogokan buruh kereta api setahun kemudian.[26]
Setelah pemberontakan itu pemerintah kolonial kian memperketat izin-izin rapat. Para pemimpin pemogokan ditangkapi. Sekolah-sekolah rakyat yang didirikan Sarekat Rakyat ditutup, mempertajam perbedaan antara Sarekat Islam, Muhamamdiyah dan PKI.[27] Pada Kongres IV 1924 di Batavia, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI yang bertugas menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan dan terjemahan di sekitar “literatuur socialisme“. Semaoen memperkenalkan pengertian literatuur socialistisch.[28] Langkah ini menjadi semacam salah satu cara menjawab kebutuhan membentuk wawasan sosialisme di kalangan anggota PKI dan rakyat Hindia Belanda secara umum.
Di tengah gelombang baru yang memunculkan kepercayaan bahwa kekuasaan kolonial bisa dilawan, muncul gerakan lain yang melawan melalui “kekuatan bahasa”. Gelombang ini masih merupakan bagian dari garis historis program Politik Etis Hindia Belanda melalui pendidikan. Pada 1926 sekolah Algemmene Middelbare School (AMS) didirikan di Solo. Sekolah yang mulai menggunakan konsep multikultural ini dipimpin Willem Frederik Stutterheim, seorang arkeolog yang memiliki minat luas pada dunia seni.[29] Stutterheim bersahabat dengan Mangkunegara VII, Claire Holt yang menulis Art in Indonesia: Continuities and Change (1967), dan Walter Spies yang membentuk komunitas seni rupa Pita Maha di Bali.
Dalam pandangan Dadang Supardan, konsep multikulturalisme dalam pendidikan mencakup pemahaman, apresiasi dan penilaian terhadap budaya seseorang, serta rasa hormat dan rasa ingin tahu tentang budaya orang lain.[30] Melalui sekolah ini, perspektif siswa diperluas dengan wacana-wacana lintas budaya dari sudut pandang Hindu, Buddha dan Islam, serta kesusasteraan Jawa dan Melayu. Murid-murid AMS Solo berasal dari berbagai daerah: Ambon, Batak, Padang, Aceh, Betawi, Priangan, Madura, Sumatra, Bali, dan Jawa bagian tengah, serta kelompok Tionghoa dan Belanda. Dalam sekolah ini, terdapat murid-murid seperti Achdiat Karta Mihardja, Amin Soedoro, Amir Hamzah, Armijn Pane, Muhammad Yamin, R. Katjasungkana, RL Soekardi, R. Prijono, Tjan Tjoe Siem, Utami Suryadarma.[31]
Sebagian besar murid kelak menjadi tokoh penting dalam pergerakan nasional melalui sastra. Muhammad Yamin, misalnya, salah satu tokoh yang oleh Heri Priyatmoko dianggap mewujudkan impian “pribumisasi” historiografi Indonesia bersama kaum cerdik pandai lainnya dalam forum Seminar Sejarah Nasional Indonesia I pada 1957 di Yogyakarta. Amir Hamzah dan Armijn Pane tercatat sebagai pengurus Indonesia Muda cabang Solo, yang menyelenggarakan kongres Indonesia Raya Muda di Societiet Habipraja pada 30 Desember 1930. Indonesia Muda dibentuk 31 Desember 1930, dan menerbitkan majalah Garuda Merapi.[32] Achdiat Karta Mihardja, Amir Hamzah, Armijn Pane dan kemudian Soetan Takdir Alisjahbana mendirikan majalah Poedjangga Baroe, 1933. Utami Suryadarma mendirikan majalah perempuan, Pahesan, dalam bahasa Belanda.[33] Mereka semua berhutang pada peran Willem Frederik Stutterheim, yang ditangkap pada masa pendudukan Jepang, dibebaskan kembali untuk melanjutkan penelitian tentang Borobudur, dan meninggal di Batavia pada 1942.
Sebagai generasi muda, mereka menghadapi situasi ketika sebagian besar gerakan nasional yang tumbuh masih menggunakan unsur-unsur kedaerahan sebagai identitas kelompok. Dalam Kongres Pemuda ke II yang digelar 27-28 Oktober 1928 di Gedung Katholike Jongelingen Bond, Batavia, identitas kedaerahan ini mulai cair. Kongres dihadiri 750 peserta berasal dari berbagai organisasi pemuda (Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Pemoeda Indonesia, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Sekar Rukun, Jong Ambon, dan Pemuda Kaum Betawi) dan menghasilkan “Soempah Pemoeda” sebagai keputusan.[34]
Kongres mendorong penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, yang juga dikembangkan pemerintah kolonial melalui pendidikan dan Balai Pustaka. Bahasa Melayu ini sangat jarang digunakan di desa-desa. Di sisi lain, tumbuh bahasa Melayu sehari-hari alias “Bahasa Melayu Pasar”. Bahasa ini awalnya berkembang dalam bacaan liar terbitan para peranakan Tionghoa di Hindia Belanda yang kelak menjadi bagian dari gerakan radikal melalui terbitan-terbitan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI.
Kongres Pemuda II ikut mengawali bergesernya orientasi “kawasan budaya” dari kedaerahan menjadi kesatuan Indonesia. Pergeseran ini kelak mentok dalam “Polemik Kebudayaan” yang melihat Timur dan Barat dalam batas-batas tatapan politik identitas; keduanya seolah-olah mewakili kumpulan nilai yang selamanya terpisah.
Polemik mulai bergerak dari pembicaraan Soetan Takdir Alisjahbana dalam kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia pertama di Solo (8-10 Juni 1935), Menoejoe Masjarakat dan Keboedajaan Baroe. Tulisan ini kemudian dimuat di majalah Poedjangga Baroe dan melahirkan tanggapan dari berbagai pihak: Dr.Sutomo, Sanusi Pane, Purbatjaraka, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara Sutomo. Polemik kemudian dihimpun oleh Achdiat K. Mihardja menjadi buku Polemik Kebudayaan (Balai Pustaka, 1948).
Dalam penelitian tentang Noto Soeroto (1888-1951), seorang tokoh kontroversial dalam gerakan nasional, Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis melihat perubahan orientasi ini melalui pandangan Heather Sutherland bahwa perdebatan tentang “kawasan budaya” saat itu sudah tertutup bagi kaum nasionalis Indonesia. Tradisionalisme atas dasar keragaman dianggap penghambat perubahan sosial. Persatuan adalah tujuan yang sedang dikejar. Sejauh menyangkut kaum nasionalis Indonesia, demikian Madelon, konsep wilayah budaya terlalu dekat dengan pemikiran kolonial konservatif Belanda yang menentang gerakan nasionalisme.[35]
Dua tahun sebelum Kongres Pemuda, PKI melancarkan pemberontakan massa yang melibatkan berbagai kalangan. Aksi ini awalnya meletus pada 12 November 1926 di Batavia, Banten, Priangan, Surakarta, Banyumas Pekalongan, Kediri dan di berbagai daerah lain di pulau Jawa. Pada 1 Januari 1927, pemberontakan pecah di Sumatra Barat.[36]
Pemerintah kolonial melancarkan “teror putih” terhadap orang-orang komunis melalui penangkapan, penggantungan, dan pembuangan. PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Hak berkumpul kembali ditarik. Buruh-buruh yang mogok dipecat. Para pentolan serikat buruh dan propagandis ditangkap. Pada akhir 1927, pemogokan-pemogokan berakhir dan sebagian besar serikat buruh yang dipimpin kaum komunis hancur.[37]
Saya ingin mengutip salah satu puisi Amarzan Ismail Hamid (1941-2019), yang kadang dipanggil Amarzan Loebis. Puisinya memberikan wawasan khas tentang puisi-puisi balada yang bertolak dari perjuangan buruh. Amarzan lahir pada 1941, ia tidak mengalami perlawanan dan pemberontakan kaum buruh di awal Abad ke-20. Namun, puisi di bawah ini memperlihatkan kepada kita gambaran gerakan buruh:
Samino, Buruh yang Dibunuh[38]
1.
Langit Nopember yang pucat
ditupang tangis dan dendam
ketika petimati itu diusung
dari pintu penjara
2.
Samino, – ya, Samino
anak jantan tunggal kami
lahir di hutan-hutan para
besar di hutan hutan para,
tidak tahu siapa ibunya
selain tanah,
dari rindang pohonan rambung.
disadap getah dari batangnya,
disadap darah dari tubuhnya,
Samino –
ia menatap kelam perkampungan
dan di hadapannya:
tuan-tuan Olanda, centeng-centeng sawomatang,
o, adakah ini tertahankan?
dipikulkan atas pundaknya
beban kehidupan tahun-tahun yang pahit?
tidak! tidak! ia, Samino
sianak jantan tunggal
membusa – merah, berlawan.
bangkit! kekuatan yang selama ini
diinjak-injak orang.
lalu datanglah tahun-tahun yang asing
penjara, dunia yang menambah dalam
ari kemerdekaan
dan di hutan-hutan rambung
perkampungan itu berlawan, bangkit!
menggenggam nyala di tangan.
3.
kemerdekaan pun datang
bersama kota dan desa
yang hangus dibakar.
padang dan rimba jadi pangkuan
tempat maut bermain,
dan ia Samino –
disaksikannya desa-desa dibakar
disaksikannya gerilya bercanda
dan disadangnya senapan di bahu
disurukinya hutan para.
kemudian terdengarlah kisah.
seorang anak jantan tunggal
membakar tangsi-tangsi,
membunuh sikulit putih
dengan dendam sapi jantan,
dan orang-orang berbisik:
dialah Samino, yang dibesarkan di hutan rambung.
ibu-ibu merindukannya,
karena dialah anak yang hilang
mengembara di perut malam
menyandang amarah yang tak kunjung padam
dan gadis-gadis perkampungan
mendambakan sungguh harapan
karena dialah pejuang
lelaki yang tak pernah ditaklukkan
4.
langit Nopember yang pucat
ditupang tangis dan dendam
ketika petimati itu diusung
dari pintu penjara.
5.
hari ini
dia pun pergi.
sudah diusirnya sikulitputih,
sudah disadapnya darah penjajah.
tapi di bawah langit kemerdekaan
dikepung penjara dan mulut senapan,
dia pun pergi, selembar nyawa –
yang mendambakan keadilan.
6.
warga desa masih melihatnya
menjulang bendera merah
menuntut upah
ke meja-meja para pembesar
tapi mereka menawannya –
Samino – dilemparkan ke penjara
dengan separoh hatinya
marak dibakar dendam.
7.
dan hari ini
langit Nopember yang pucat
ditupang tangis dan dendam
ketika petimati itu diusung
dari pintu penjara
Mereka membisikkan kisah
para warta desa rambung:
Samino telah pergi
dikurung kisi penjara
seorang kawan telah hilang
tumbang di ombak juang
lelaki kesayangan kampung
ditangkap karena menuntut
segenggam keadilan
di bawah langit tanah air
dan bumi kemerdekaan.
8.
tangkaplah! tangkap!
satu Samino rubuh
satu desa menyimpan dendam.
dan mereka mengusungnya
di bawah bendera warna nyala,
ditudungi langit senja
bumi dicinta.pucat langit Nopember
ditupang tangis dan dendam.
Samino –
seorang buruh sudah dibunuh
dan belati di hati bertambah tajam.Samino ditembak mati!
adakah mungkin
– kemerdekaan ditembak mati?1965
Dalam Tragedi 1965, Amarzan Loebis diciduk organ Orde Baru di usia 26 tahun, ditahan di penjara Salemba, lalu pindah ke Nusakambangan, sebelum final di pulau Buru. Ia hidup di sana selama delapan tahun, bersama penulis Pramoedya Ananta Toer dan sekitar 12.000 orang lainnya yang dianggap oleh pemerintahan Soeharto terafiliasi Partai Komunis Indonesia.[39]
4. Sebuah Dugaan di sekitar Kultur Jamming
Ketiga korpus wawasan sejarah di atas, sejak Politik Etis, Perang Dunia I, wabah Flu Spanyol dan Dada; bacaan liar, radikalisasi pemuda, Soempah Pemoeda dan Polemik Kebudayaan, merupakan asal-usul terdekat yang membentuk literasi sastra (modern) Indonesia—dengan Chairil Anwar sebagai salah satu antitesisnya.
Seperti yang sudah dikemukakan beberapa komentator, Chairil mungkin sombong dan angkuh. Ia menyerang Pujangga Baru yang dianggapnya tidak menghasilkan apa-apa. Ia bahkan menganggap Pujangga Baru sebagai epigon Angkatan 80 Belanda,[40] yang tampaknya membuat Sutan Takdir Alisjahbana sakit hati kepada Chairil.
Angkatan 1880 terdiri dari sastrawan-sastrawan romantis Belanda yang tumbuh menjelang akhir abad ke-19 yang dijuluki De Tachtigers. Dipelopori Willem Kloos, Lodewijk van Dyseel, Frederik van Eeden, dan Albert Verwey, mereka menerbitkan majalah De Nieuwe Gids pada 1885.
Mungkin Chairil tidak angkuh. Mungkin dia benar bahwa Pujangga Baru yang memiliki visi “menuju kebudayaan baru Indonesia” memang tidak menghasilkan apa yang disebut sebagai “kebudayaan baru”. Karya-karya Pujangga Baru berkesan membawa bahasa Indonesia ke dalam estetika budaya Melayu.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa Pujangga Baru yang bergerak tahun 1920-30an lebih dekat dengan De Tachtigers, yang berjarak 40 hingga 50 tahun, alih-alih dengan Dada, misalnya. Pertanyaan yang sama, kenapa Chairil Anwar lebih dekat dengan penyair-penyair Perang Dunia I, seperti Hendrik Marsman, Charles Edgar du Perron, Menno Ter Braak, Jan Jacob Slauerhoff, yang juga melakukan kritik terhadap Angkatan 80 Belanda? Mereka merupakan bayangan dari generasi yang hilang pasca-perang dan beberapa memiliki kehidupan yang tragis dan mati muda. Menno Ter Braak mati bunuh diri di Den Haag. Hendrik Marsman meninggal ketika kapal yang dia tumpangi ke Inggris ditorpedo kapal selam Jerman.
Keterlambatan yang sama berlaku pada gerakan nasional di Indonesia. Masih dalam perspektif historis Hindia Belanda, bagi Noto Soeroto:
“Apabila dibandingkan dengan India dan Filipina, pergerakan di Hindia Belanda dimulai sangat terlambat. Ada beberapa faktor yang menentukan hal tersebut. Pertama, pergeseran sistem merkantilisme ke kapitalisme, baru berlangsung setelah sistem tanam paksa dihapuskan tahun 1870. Sementara itu kepulauan-kepulauan di daerah luar Jawa, baru dapat dikuasai secara efektif setelah tahun 1900. Akibatnya, pengaruh pengetahuan Barat belum dapat berkembang. Pendidikan gaya Barat diperkenalkan oleh Belanda juga sangat lambat. Di India pendidikan gaya Barat telah diperkenalkan oleh Inggris pada akhir abad ke-17, sedang di Filipina malah telah dimulai oleh Spanyol pada abad ke-15. Sementara di India dan Filipina pada awal abad ke-20, jumlah pelajar sekolah menengah dan universitas telah mencapai ribuan orang, di Hindia hanya berkisar ratusan orang, dan itu hanya untuk ELS dan HIS atau HBS.”[41]
Chairil tidak hanya bergaul di lingkungan sastrawan. Dia juga cukup dekat dengan Affandi dan Soedjojono, dua seniman yang tumbuh pada masa pendudukan Jepang. Ketika Hindia Belanda jatuh dan diduduki Jepang, militer Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho), 1 April 1943. Ini merupakan masa ketika Jepang mendatangkan banyak senimannya ke Indonesia. Dalam waktu singkat, banyak seniman Indonesia belajar tentang radio, film, drama, grafis maupun lukisan. Mereka membuat banyak lomba dan pameran di beberapa kota.[42] Tidak pernah ada fenomena sejenis pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Lukisan Affandi, 1943. Foto lukisan dalam Pameran “Seni Propaganda Era Pendudukan Jepang”.[43]
Chairil (yang mungkin berada dalam pengaruh pamannya, Sutan Sjahrir, yang menolak menjadi kolaborator Jepang seperti dilakukan Sukarno dan Hatta), juga menolak menjadi alat propaganda Jepang untuk membebaskan Asia dari penjajahan asing.[44]
Chairil hidup dalam bentangan sejarah yang penuh gejolak. Perang Dunia II meletus. Jerman menduduki Belanda setelah membombardir Rotterdam dibombardir pada 1941. Pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Setahun kemudian Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang.
Berakhirnya Perang Dunia II, dengan jatuhnya bom nuklir Amerika di Hiroshima dan Nagasaki, mengantarkan Indonesia ke masa peralihan untuk Merdeka dan mempertahankan kemerdekaan. Pada masa ini, Chairil ikut mengalami perang. Ayahnya ditembak tentara Belanda di Rengat dalam Aksi Militer Belanda II pada 5 Januari 1949. Ida Nasution, esais dan kawan dekat Chairil, diculik dan diduga dibunuh intel Belanda pada 1948.[45] Pada tahun yang sama sahabat Chairil yang lain, Dien Tamaela, meninggal karena TBC—penyakit yang juga diderita Chairil.
Bayangan tentang “generasi yang hilang”, yang menjadi memori kolektif pasca-Perang Dunia I, dialami sendiri oleh Chairil dalam Perang Dunia II. Meski jauh dari pusat pertempuran, Perang Dunia II mengubah “Hindia Belanda” menjadi “Indonesia”. Makna dari transisi ini tampaknya menjadi perhitungan Chairil bahwa “Pujangga Baru” merupakan produk Hindia Belanda, sementara “Angkatan 45” adalah mereka yang dengan caranya masing-masing, termasuk Chairil, mencari cara untuk mengisi makna kemerdekaan.
Nampaknya bagi Chairil Anwar, Pujangga Baru yang menghasilkan Polemik Kebudayaan, macet dan gagal menemukan apa yang mereka maksud sebagai “kebudayaan baru Indonesia”. Melalui puisi-puisi dan beberapa esainya yang terkesan masih mentah, Charil berusaha menggeser bahasa Indonesia yang berorientasi ke kultur Melayu pada masa Pujangga Baru, menjadi bahasa Indonesia “yang baru”. Chairil melakukan apa yang hari ini disebut “kultur jamming”.
Kultur jamming sebagai kondisi yang dihadapi Chairil saat memasuki kehidupan yang lebih bebas, jamak dihadapi tokoh-tokoh lain di masa itu. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh rakyat biasa seperti Chairil, tetapi juga mereka yang datang dari kalangan keraton seperti Amir Hamzah dan Noto Soeroto. Noto Soeroto hidup lama di Belanda. Untuknya, Belanda sama dengan kebebasan. Ketika salah seorang sahabat dan keluarganya, Soeparto, meninggalkan Belanda untuk kembali ke Jawa, Soenarto menulis: “Anda mungkin putus asa antara kegembiraan pulang ke rumah dan kesedihan, karena harus mengorbankan kehidupan bebas yang luar biasa yang telah Anda jalani di sini.”[46]
Sebaliknya, ketika kembali ke lingkungan keraton di Yogyakarta, Noto menulis:
“Dilihat dari luar, kondisi dan mentalitas orang-orang di Kerajaan tampak begitu indah dan menarik. Ketika Anda berada di tengah-tengah itu semua, seperti saya, bagaimanapun, dan kurang lebih menjadi korban dari kondisi, sikap, dan mentalitas ini, Anda merasa ingin mengutuk saat pertama kali melangkah ke dalamnya. … Saya selalu hidup di dunia yang luas, dan tiba-tiba saya dikurung selama bertahun-tahun dalam sangkar kecil, sehingga saya mengambil risiko lupa cara terbang.”[47] Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, yang menulis biografi Noto Soeroto, melihat tragik yang dialami Noto “Sebagai mantan ekspatriat yang kembali ke Belanda dan gagal sebagai orang Belanda dan juga orang Jawa, semakin jelas bahwa tidak ada tempat baginya di dunia kolonial Batavia yang ambigu. Tapi tidak ada tempat baginya di dunia tradisional Jawa di Yogya.”
Konsep kultur jamming di sini saya gunakan baik sebagai kondisi maupun sebagai taktik dan aksi. Keduanya dilakukan Chairil. Pertama dengan meninggalkan lingkungan Melayu yang konservatif di Medan, kemudian melompat memasuki kehidupan lebih kosmopolit dan bebas di Jakarta. Ia mulai melakukan eksperimentasi yang lebih lintas budaya. Salah satu di antaranya adalah puisi “Cerita Buat Dien Tamaela” (”Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala. Beta api di pantai. Siapa mendekat, Tiga kali menyebut beta punya nama”). Chairil melakukan eksperimentasi berbasis mantra dan menemukan ungkapan non-Melayu, yaitu melalui karakter budaya Melaku yang melatari kehidupan Dien Tamaela. Kultur jamming yang kedua dilakukan Chairil dengan cara mengganggu status quo Pujangga Baru.
“Kultur Jamming adalah praktik mengganggu sifat duniawi kehidupan sehari-hari dan statusquo dengan tindakan atau karya seni yang mengejutkan, sering kali lucu atau menyindir … Praktik budaya jamming terinspirasi oleh teori kritis dari Frankfurt School, yang berfokus pada kekuatan media massa dan iklan untuk membentuk dan mengarahkan norma, nilai, harapan, dan perilaku kita melalui taktik bawah sadar.”[48]
Dalam sebuah wawancara dengan Moritz Fink dan Marilyn DeLaure, mereka mengatakan: “Kultur jamming adalah seni protes yang diilhami oleh berbagai tradisi seni seperti Dada, seni pop modernis, grafiti, punk rock; ada juga dimensi performatif dari kultur jamming, terlihat dalam bentuk-bentuk seperti pranking, hoaxing, teater jalanan, atau flash mob.[49] Tidak ada pembicaraan bahwa Chairil pada masanya bersinggungan juga dengan Dada. Bahkan pembicaraan tentang Generasi Beat yang sudah muncul pada era Chairil Anwar juga tidak terdengar.
“Gerakan kultur jamming ditandai dengan hadirnya pesan kesadaran subkultur berupa pengetahuan kelompok, solidaritas, serta pemulihan makna dan ironi dalam bentuk humor, satire, dan parodi.”[50] Melalui pemaparan Isti Purwi Tyas Utami ini, kritik Chairil atas Pujangga Baru adalah lompatan untuk merebut realitas yang dialaminya, untuk menyatakan bahwa lirisisme Melayu tidak cocok dengan perang. Dunia yang dihadapinya sepenuhnya sama dengan puisi yang pernah ditulis Chairil ini:
Aku Berkisar Antara Mereka
Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:
kenyataan-kenyataan yang didapatnya.
(bioskop Capitol putar film Amerika,
lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota
Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga
Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,
Sedang tahun gempita terus berkata.
Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.
Ah hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku pula.1949
Apa arti Kemerdekaan bagi Chairil (1948) dan bagi Amarzan Loebis (1965), setelah 20 tahun berlalu? Di akhir “Krawang Bekasi”, puisi yang heboh karena dianggap sebagai plagiat dari puisi “The Young Dead Soldier” karya Archibald MacLeish,[51] Chairil menulis:
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.1948
Dan Amarzan Loebis pada bagian akhir puisinya tentang buruh Samino, menulis:
Samino ditembak mati!
adakah mungkin
– kemerdekaan ditembak mati?1965
Kedua penyair ini merupakan bagian dari mereka yang berusaha “menciptakan” atau “merebut” bahasa Indonesia sebagai kenyataan yang dialami. Sebagai bahasa pascakolonial, bahasa Indonesia terus tumbuh. Bagi tiap subkultur di Indonesia (termasuk media sosial) dengan konteks sejarahnya masing-masing, bahasa Indonesia adalah bahasa yang terus diciptakan untuk mereka tubuhkan. Bahasa yang mungkin tidak akan pernah matang, dan karena itu selalu aktual dan modern.
5. Setelah itu dan Perangkap Sejarah
Saya ingin meminjam metafor yang ditulis Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis untuk menjelaskan perubahan sejarah di Indonesia dari masa kolonial ke kemerdekaan: “Penonton telah menjadi akrab dengan set dunia dongeng Oriental, tetapi panggung mulai goyah. Sebuah generasi baru yang lebih membumi sudah sibuk membangun satu set fondasi baru, tidak curiga bahwa mereka juga sedang membangun di atas pasir hisap.”[52]
Pada 1949, Chairil Anwar meninggal. Pada tahun yang sama, Belanda mengakui Kedaulatan Indonesia. Pada 17 Agustus 1950, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), berdiri. Surat Kepercayaan Gelanggang terbit di majalah Siasat, 22 Oktober 1950. Kemudian, diselenggarakan simposium “Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” diselenggarakan pada April 1952. Simposium ini menghasilkan istilah-istilah seperti “Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya. Pada 1953, di Amsterdam, diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia dengan pembicara Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Wertheim dan lain-lain. Di sinilah untuk pertama kalinya “Impasse (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” dibicarakan sebagai akibat gagalnya revolusi Indonesia.[53]
Isu tersebut mulai memunculkan polemik antara Soedjatmoko, Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, H.B. Jassin dan Boejong Saleh, setelah Soedjatmoko menulis esai di majalah Konfrontasi (1954) yang dipimpinnya. Soedjatmoko menulis bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis, karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang berlingkar sekitar psikologi perseorangan semata.[54] Pernyataan Soedjatmoko seperti sebuah gosip: tanpa penelitian memadai dan mudah dibantah. Boejoeng Saleh menyebut beberapa karya yang penting untuk sastra Indonesia pada era ini: Keluarga Gerilya (Pramoedya Ananta Toer), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), Antara Cinta dan Cita-Cita (Mohammad Sapija), untuk membantah pernyataan Soedjatmoko itu.[55]
Bagi Boejoeng Saleh, “krisis Indonesia” berakar pada sistem yang tidak cocok dengan realitas objektif yang dihadapi Indonesia sebagai akibat dari kolonialisme. Baginya, Indonesia menjadi kawasan untuk “1) Sumber-sumber bahan mentah. 2) Daerah pasaran barang-barang hasil industri Eropa Barat (karena industri Belanda sendiri lemah). 3) Sumber tenaga kerja murah. 4) Daerah penanaman modal.”[56]
Pendapat yang tidak berbeda jauh dengan yang ditulis Boejoeng di majalah Indonesia, 1954 (“Beberapa Pandangan Tentang Kebudayaan Indonesia”) bahwa Revolusi Indonesia gagal menentukan nasib sendiri. Boejoeng kemudian mempertanyakan posisi kaum terpelajar Indonesia dalam revolusi ini.
Krisis bergerak dalam dua lingkaran yang belum tentu bersumber dari titik tolak yang sama. Soedjatmoko beranjak dari pandangan bahwa masyarakat Indonesia tidak bergerak karena tidak ada pikiran dan gagasan baru yang lahir. Boejoeng Saleh berangkat dari pandangan bahwa sistem sosial yang ada tidak menjawab kenyataan objektif yang dihadapi rakyat Indonesia. Ketidakmampuan mengolah sumber-sumber daya alam berhadapan dengan tenaga kerja tak terdidik sebagai akibat dari pemiskinan multidimensi yang terbentuk melalui sejarah panjang kolonialisme serta membekunya sistem pengetahuan lokal—dalam pembacaan rasional masyarakat modern—di sekitar eksotisme, orientalisme, mistisme dan tahayul. Dalam bahasa Chairil Anwar, itu sama dengan “tidak berani memasuki rumah sendiri, di depan pintu penuh dengan tutup botol (kupak)”:
Kalau, ‘ku habis-habis kata, tidak lagi
berani memasuki rumah sendiri, terdiri
di ambang penuh kupak(Chairil Anwar, “Kepada Pelukis Affandi”)
Membaca posisi Indonesia dalam sejarah masyarakat modern melalui bandul “lingkaran krisis Indonesia” adalah perangkap sejarah. Antara kolonialisme dan kemodernan, ada sebuah perspektif rasis. Perspektif ini pernah diberi berbagai nama, salah satunya “The White Man’s Burden” (1899). Nama ini meminjam puisi dari seorang penyair Inggris, Rudyard Kipling, yang pernah digunakan Amerika dalam melihat kolonialisasi mereka atas Filipina setelah perang Spanyol-Amerika (1898). Bagian awal puisi berbunyi:
The White Man’s Burden[57]
Take up the White Man’s burden—
Send forth the best ye breed—
Go send your sons to exile
To serve your captives’ need
To wait in heavy harness
On fluttered folk and wild—
Your new-caught, sullen peoples,
Half devil and half child
Take up the White Man’s burden
Dalam puisi ini, orang kulit putih memanggul beban untuk ‘memberadabkan’ masyarakat yang dianggap tertinggal. Misi ini bisa ditafsirkan sebagai pembenaran atas kolonialisasi. Perbedaan cara hidup di Barat dan di Timur digarisbawahi tanpa mengenali bagaimana sistem pengetahuan lokal bergerak dan membentuk peradaban yang tidak ada di Eropa. Catherine van Moppes melalui novelnya (Emelie di Jawa 1904), cukup banyak melakukan pemetaan di sekitar perbedaan ini dalam kepekatan hubungan-hubungan yang terjalin di tengah masyarakat kolonial yang sensitif. Salah satunya adalah perbedaan cara melihat batik. Perempuan Eropa melihat batik sebagai sarana kecantikan. Perempuan Jawa dan Sunda memandang batik sebagai kehidupan itu sendiri, yang terhubung dengan tradisi ritual dari kelahiran hingga kematian.
Chairil Anwar—yang menggunakan aku-lirik sebagai tubuh sejarah dalam menyampaikan berbagai respons sosial politik di sekitarnya—menjadi lebih kompleks ketika karya-karyanya menjadi satu dari sekian rumah perangkap sejarah itu sendiri. Perangkap ini terutama dengan mudah dikontruksi melalui individualisme Chairil dengan puisi “Aku” sebagai representasinya. Walhasil, hampir seluruh tema dari puisi-puisinya, baik di sekitar keterasingan maupun kematian, dilihat berdasarkan biografi Chairil sekaligus dilepaskan dari dimensi kesejarahan generasi yang hilang—sebuah generasi yang merasakan panjangnya gema memori kolektif berisi trauma, keterasingan dan kematian.[58]
Salah satu puisi Chairil untuk Affandi, misalnya, tidak semata-mata bicara tentang dunia lelaki dan perempuan:
Betina, jika di barat nanti
menjadi gelap
turut tenggelam sama sekali
juga yang mengendap,
di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.(Chairil Anwar: “Betina”-nya Affandi)
Puisi itu bergerak dalam beberapa gagasan: barat, gelap, tenggelam, mengendap dan kemudian Hidup dan Mati (keduanya dengan huruf besar). Gagasan yang mengandaikan adanya kegentingan, perhitungan dan konsekuensi yang dihadapi dan dilawan. Dengan tertib, Chairil—sebagai bagian dari komunitas para penyair pemuja kematian—menyusun seluruh baris puisi disusun menggunakan akhiran kata vokal i dan konsonan p. Kata betina untuk perempuan digunakan untuk menunjukkan kultur non-domestik.
Sebaliknya Affandi, setelah kematian Chairil, membuat lukisan Chairil pada 1951, dua tahun setelah kematian sang penyair:
“Chairil Anwar” (Affandi,1951), oil on canvas 79 X 96 CM. Sumber foto: koleksi Museum Affandi
Affandi melakukan figurisasi atas sosok Chairil dalam ekspresi yang tidak umum. Lukisan itu penuh gelombang di antara gerak tangan yang menggapai, meraih; penggambaran tubuh dengan tipografi antara kuda yang berlari dan kuda yang ditunggangi, dan penggunaan warna-warna pekat dengan keseluruhan watak lukisan sebagai gelap yang menyala. Lukisan Chairil memperkaya pembacaan di sekitar korpus Chairil Anwar, menghubungkan konteks sejarah dan respons-respons personal. Tubuh sejarah dan tubuh Chairil dalam lukisan ini tampaknya cukup dalam dipahami Affandi. Sebelumnya, mereka berdua pernah berkolaborasi membuat poster perjuangan dengan font yang khas bertuliskan: “Bung Ayo Bung”.
Perangkap sejarah bukanlah kenyataan. Ia merupakan konstruksi, versi, hasil bentukan sejarah dari berbagai otoritas yang menempanya—sebuah kandang yang bisa dimasuki dan menjebak siapapun. Mungkin ada yang betah di dalamnya, merasa sudah berada dalam rumah kebenaran. Mungkin ada yang gelisah dan merasakannya lebih sebagai perangkap waktu, lalu lekas-lekas mencari pintu keluar.
Bagaimanakah generasi masa kini melihat perangkap seperti ini?
Pada 16 Agustus 2005, Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolf Bot (sebagai generasi baru) membuka babak sejarah baru. Dalam pidato kenegaraannya di Gedung Deplu, Jakarta, Bot mengakui Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ia juga hadir dalam upacara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta, sehari setelahnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-63 di KBRI Belanda, di Den Haag, bersama pejabat-pejabat penting lainnya.[59] Peristiwa itu dilihat sebagai cara Belanda meninggalkan tabu sejarah yang telah mereka rawat sendiri selama 60 tahun, dalam hubungan Indonesia-Belanda dengan garis sejarah yang saling berkelindan antara keduanya.
“Aku binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya” adalah bola liar dari puisi Chairil tentang bagaimana seorang penyair menghadapi konteks sejarah, lantas meresponnya ke dalam gagasan naturalisasi, membawa gerak ke lantai paling dasar antara manusia dan binatang; antara gerombolan sejarah dan mereka yang melepaskan diri, lalu melihat seluruh proses dialetika dari luar.
Apakah Chairil, dalam usia mudanya, eksperimen terhadap hidupnya sendiri, adalah sebuah balon yang meletus di ruang kosong, tempat ia berhadapan hanya dengan dirinya sendiri?***
Sidoarjo, 23-28 Juli 2022
Afrizal Malna bekerja dengan banyak bidang. Ia menjadi pengurus program Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (2016-2019), anggota Akademi Jakarta (2020-2025), dan tokoh seni pilihan majalah Tempo 2020. Belakangan ia Ia mengikuti Jan van Eyck Literature Festival, 2022. Buku-buku terbarunya yang terbit adalah Pertumbuhan di Atas Meja Makan(Kalabuku, Yogyakarta 2020), Prometheus Pinball (Reading Sidesways Press, Melbourne, 2020). Racun Tikus, Seni, Wabah, Bencana dan Perang (Diva Press, Yogyakarta 2020). Kandang Ayam, Korpus Dapur Teks (Diva Press, Yogyakarta 2020). Morning Slanting To The Right (Reading Sidesways Press, Melbourne, 2021), Tembakan dalam Masker (Indonesia Tera, Yogyakarta, 2021).
Catatan Akhir
[1] Surat Chairil Anwar untuk HB. Jassin, 10 April 1944. Dalam H.B. Jassin, “Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II” (Jakarta: Gramedia, 1985).
[2] Surat Chairil Anwar untuk HB. Jassin, 8 Maret 1944. Dalam H.B. Jassin, ibid.
[3] Lihat pengertian modernisme dalam “Modernism”: http://www.online-literature.com/periods/modernism.php
[4] Wawancara H.B. Jassin dengan ibu Chairil tanggal 23 Januari 1952, Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Dalam Dra. Sri Sutjianingsih: “chairil anwar Hasil Karya dan Pengabdiannya”, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Direktorat Nilai Sejarah, 2009
[5] Deffi Oktavianuri, “Politik Etis dan Pergerakan Nasional”, Pontianak: Derwati Press, 2018.
[6] Sumber: Rekaman suara program Radio Jerman Deutsche Welle (Orang Jerman di Indonesia, Kerja Sama Sejak 500 Tahun).
[7] Dra. Sri Sutjianingsih, ibid. (bersumber Wawancara H.B. Jassin dengan ibu Chairil).
[8] Takashi Shiraishi, “Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912 -1926”, PT Pustaka Utama Grafiti, 1997
[9] Edi Cahyono, Soegiri DS: ” Gerakan Serikat Buruh : Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru, Jakarta : Hasta Mitra, 2003
[10] Takashi Shiraishi, ibid.
[11] Boejoeng Saleh, “Beberapa Pandangan Tentang Kebudayaan Indonesia,” Indonesia, no. 8, th. V, Agustus 1954. Dalam Razif: “Bacaan Liar” Budaya Dan Politik Pada Zaman Pergerakan, 2005 Edi Cahyono’s Experience.
[12] Catherine van Moppes, “Emilie Jawa 1904”, terjemahan Jean Couteau, KPG, Jakarta, 2010.
[13] Jean Couteau dan Warih Wisatsana, “Epilog: Emelie di Pusaran Sejarah”, dalam Catherine van Moppes, ibid.
[14] “Bacaan liar” merupakan sejumlah penerbitan yang mulai dilakukan oleh kaum pergerakan, dan sebelumnya oleh penulis-penulis peranakan Tionghoa yang menggunakan bahasa “Melayu Pasar”. Razif: “Bacaan Liar” Budaya Dan Politik Pada Zaman Pergerakan, 2005 Edi Cahyono’s Experience.
[15] Hendaru Tri Hanggoro, “Medan Prijaji, Medan Laga Tirto Adhi Soerjo”, https://historia.id/politik/articles/medan-prijaji-medan-laga-tirto-adhi-soerjo-PNayR
[16] Amanda Union, “How World War I Changed Literature”, https://www.history.com/news/how-world-war-i-changed-literature
[17] M. Fazil Pamungkas, “Satgas Flu Spanyol di Hindia Belanda”, https://historia.id/sains/articles/satgas-flu-spanyol-di-hindia-belanda-PMKg1
[18] “August Stramm”: https://www.poetryfoundation.org/poets/august-stramm
[19] August Stramm, “Primal Death”, https://www.poemhunter.com/poem/primal-death/
[20] Evan Andrews, “8 Battlefield Poets of World War I”, https://www.history.com/news/8-battlefield-poets-of-world-war-i?li_source=LI&li_medium=m2m-rcw-history
[21] Stella Polyzoidou, ” Traumatized by World War I: 10 Facts & Works by Otto Dix”, https://www.thecollector.com/otto-dix-facts-and-works-german-war-artist/
[22] Jillion Becker, “Influenza during World War I: The Great Flu Pandemic, 1916–1919”. Dalam Rebecca M. Seaman (editor), “Epidemics and War The Impact of Disease on Major Conflicts in History”, ABC-CLIO, California, 2018.
[23] “Gustav Klimt Biography”, https://www.gustav-klimt.com/
[24] Robert Longley, “The Lost Generation and the Writers Who Described Their World”, https://www.thoughtco.com/the-lost-generation-4159302
[25] ” What is The Beat Generation?”, https://www.beatdom.com/the-beat-generation/what-is-beat/
[26] Budiawan, “Pemberontakan PKI 1926-27 dalam Dua Teks Sejarah”, https://indoprogress.com/2014/12/pemberontakan-pki-1926-27-dalam-dua-teks-sejarah/
[27] Takashi Shiraishi, ibid.
[28] Razif, ibid. Lihat juga Semaoen, “Klub Kominis,” Masa Baroe, 10 Mei 1921
[29] Heri Priyatmoko, “Algemene Middelbare School Solo 1925-1932: Portrait of The First Multicultural Education in Indonesia”, Paramita: Historical Studies Journal, 28(2), 2018
[30] Dadang Supardan: “Multikulturalisme and Pendidikan Multikultural in Indonesia: Peluang and Tantangan”, dalam Agus Mulyana and Dadang Supardan (eds.), Sejarah Sebuah Penilaian: Refleksi 70 Tahun Prof. Dr. H. Asmawi Zainul. Bandung. 2008. Jurusan Sejarah FPIPS.
[31] Heri Priyatmoko, ibid.
[32] Nh. Dini, “Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang, Jakarta”, Gaya Favorit Press, 1981.
[33] Utami Suryadarma: “Saya, Soeriadi & Tanah Air”, Jakarta, 2012, Yayasan Bung Karno and Media Pressindo.
[34] “Barisan Pemuda Solo Merapat”, Tempo, 14 Agustus 2017.
[35] Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite (Kuala Lumpur/Hong Kong: ASAA Southeast Asia Publications Series [HeinemannJ, 1979), dalam Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, “Noto Soeroto: His Ideas and the Late Colonial Intellectual Climate”, https://www.jstor.org/stable/3351086
[36] Budiawan, “Pemberontakan PKI 1926-27 dalam Dua Teks Sejarah”, https://indoprogress.com/2014/12/pemberontakan-pki-1926-27-dalam-dua-teks-sejarah/
[37] Takashi Shiraishi, ibid.
[38] Seingat saya, puisi ini saya dapatkan dari Amarzan Loebis, dalam sebuah makan malam bersama Tuti Indra Malaon, di tempat dan waktu yang saya sudah lupa.
[39] Bagja Hidayat, ” Lubang yang Ditinggalkan Amarzan”, http://www.catataniseng.com/2019/09/04/lubang-yang-ditinggalkan-amarzan/
[40] Surat Chairil Anwar kepada HB. Jassin, 11 Maret 1944. Dalam H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern
dalam Kritik dan Esei II (Jakarta: Gramedia, 1985). Lihat juga Dra. Sri Sutjianingsih, ibid.
[41] Noto Soeroto, “De eerste organisatie van Indonesieró in Nederlands,” Indische Gids, Januari 1929, hal. 238.
[42] Lihat Antariksa, “3 1/2 Tahun Bekerja”, Teater Arsip, Dewan Kesenian Jakarta, 2018
[43] Antariksa, ibid.
[44] Dra. Sri Sutjianingsih, ibid.
[45] Akhir Matua Harahap, ” Sejarah Kota Medan (71): Ida Nasution dan Chairil Anwar, Kritikus Sastrawan Terkenal; Ida Nasution Dibunuh Intel Belanda, 1948″, http://poestahadepok.blogspot.com/2018/05/sejarah-kota-medan-71-ida-nasution-dan.html
[46] Dalam Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, ibid.
[47] Surat untuk Metz, 18 Desember 1937. Arsip keluarga Noto Soeroto. Dalam Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, ibid.
[48] Nicki Lisa Cole, Ph.D., “Understanding Culture Jamming and How it Can Create Social Change”, https://www.thoughtco.com/culture-jamming-3026194
[49] Henry Jenkins, “What Do You Mean By “Culture Jamming”?”: An Interview with Moritz Fink and Marilyn DeLaure (Part One), http://henryjenkins.org/blog/2017/9/7/an-interview-with-moritz-fink-and-marilyn-delaurie-part-one
[50] Isti Purwi Tyas Utami, ” Culture Jamming di Era Digital”, https://www.kompress.upj.ac.id/post/culture-jamming-di-era-digital
[51] G.S Kumajas (= Asrul Sani), “Apakah ‘Krawang-Bekasi’ sebuah Plagiat?” Siasat, VIII/351, 25 Februari 1954.
[52] Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, ibid.
[53] Rosida Erowati, M.Hum, Ahmad Bahtiar, M. Hum: “Sejarah Sastra Indonesia”, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, jakarta, 2011
[54] Soedjatmoko dalam M. Nursam (editor), “Krisis Daya Cipta Indonesia. Polemik Soedjatmoko Versus Boeyoeng Saleh”, Ombak, 2004
[55] Boejoeng Saleh dalam M. Nursam (editor), ibid.
[56] Boejoeng Saleh dalam M. Nursam (editor), ibid.
[57] Rudyard Kipling, “The White Man’s Burden: The United States & The Philippine Islands, 1899.” Rudyard Kipling’s Verse: Definitive Edition. Garden City, New York: Doubleday, 1929. Pembicaraan tentang “The White Man’s Burden” dari Kipling, juga berlangsung dalam novel “Emelie di Jawa 1904”.
[58] Lihat juga kritik Arif Bagus Prasetyo terhadap pendekatan Subagio Sastrowardoyo yang mencampur-adukkan antara karya dan kehidupan penyair sebagai pendekatan dalam kritik-kritiknya. Arif Bagus Prasetyo: “Metakritik Untuk Subagio Sastrowardoyo”, Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013
[59] “Selama 60 Tahun Belanda tidak Akui Indonesia Merdeka Pada 17 Agustus 1945”: https://dunia.tempo.co/read/1494896/selama-60-tahun-belanda-tidak-akui-indonesia-merdeka-pada-17-agustus-1945. Lihat juga https://id.wikipedia.org/wiki/Pengakuan_tanggal_kemerdekaan_Indonesia_oleh_Belanda