Posisi Sosialis Terhadap Konflik Rusia-Ukraina

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


SAMPAI dengan artikel ini ditulis, Rusia telah melakukan invasi militer terhadap Ukraina. Invasi yang berakar dari konflik Rusia-Ukraina yang dimulai sejak Februari 2014 itu, telah menciptakan efek domino ketegangan kekuatan politik dunia. Keputusan invasi itu sendiri adalah hasil dari peristiwa pada 22 Februari 2022 lalu ketika Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengakui deklarasi kemerdekaan Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk di Donbas, Ukraina. Deklarasi dukungan ini kemudian segera diikuti dengan rencana mobilisasi kekuatan militer Rusia di wilayah Ukraina tersebut sebagai upaya perlindungan atas deklarasi kemerdekaan Donetsk dan Luhansk.

Amerika Serikat (AS), yang mengklaim diri sebagai penguasa yang sah atas tatanan dunia modern, melihat apa yang dilakukan Putin sebagai pelanggaran atas norma-norma hukum internasional, karena Donbas adalah bagian yang sah dari negara Ukraina. Segera setelah deklarasi itu, presiden AS Joseph Robinette Biden Jr (Joe Biden) menyatakan akan segera mengeluarkan sanksi ekonomi dan politik kepada Rusia. Jerman yang merupakan sekutu AS di Zona Eropa, langsung mengeluarkan sanksi terhadap Rusia melalui pembatalan proyek pembangunan pipa gas Nord Stream 2 yang menghubungkan distribusi gas Rusia ke Uni Eropa melalui Jerman.

Situasi konflik Rusia-Ukraina yang terus memanas tentu perlu dicermati. Di Indonesia sendiri mulai banyak media massa yang memberitakan dinamika konflik Rusia-Ukraina. Namun selayaknya kebiasaan media massa arus utama, pemberitaan yang disajikan seringkali bersifat deskriptif: penjelasan mengenai konflik hanya menyentuh fenomena permukaan yang tampak. Tanpa mengabaikan kegunaan dari praktik pemberitaan seperti ini, pemaparan yang deskriptif melupakan upaya memahami dinamika konflik secara lebih mendalam. Dari sini, saya menganggap pentingnya memberikan pemaparan yang mendalam tentang konflik Rusia-Ukraina sebagai panduan untuk menyikapi situasi yang sedang berkembang.


Provokasi Imperialisme Amerika Serikat (Melalui NATO)

Salah satu masalah penting yang diabaikan dalam penjelasan deskriptif media massa Indonesia adalah mengenai peranan The North Atlantic Treaty Organization (NATO) dalam konflik ini. Walau berkali-kali pihak Rusia menyatakan bahwa mereka khawatir dengan praktik ekspansi NATO, tidak ada penjelasan yang mencukupi mengapa Rusia perlu khawatir dengan NATO. Yang harus diperhatikan, secara historis NATO adalah aliansi pertahanan lintas atlantik yang dibentuk di bawah pimpinan AS untuk menghadang pengaruh geopolitik Uni Soviet yang mendirikan Pakta Warsawa pada 1949.

Adalah logis kemudian jika pasca runtuhnya Soviet, bersamaan dengan pembubaran Pakta Warsawa pada 1990an, keberadan NATO menjadi tidak lagi relevan. Namun, kenyataannya NATO tetap bertahan. Untuk mendapatkan dukungan pimpinan Soviet agar transisi perubahan rezim menuju demokrasi liberal berlangsung mulus, Menteri Luar Negeri AS kala itu, James Baker, bahkan berjanji terhadap pimpinan Soviet Mikhail Gorbachev pada 9 Februari 1990 untuk tidak “seinci pun” menggerakan NATO ke arah timur (baca: Eropa Timur).

Masalahnya kemudian janji tinggalah janji. Setelah Uni Soviet runtuh berkeping-keping dan Rusia berdiri sebagai salah satu negara baru, AS tetap mengupayakan perluasan NATO di wilayah timur Eropa. Di bawah kepemimpinan presiden Bill Clinton, AS berlaku agresif untuk mempertahankan pengaruhnya di Eropa Timur. Puncaknya adalah pengeboman NATO terhadap bekas negara Yugoslavia pada tahun 1999. Dengan dalih intervensi humanitarian terhadap agresi Serbia terhadap komunitas Albania di Kosovo, NATO melancarkan kampanye brutal ini tanpa mendapat persetujuan dari dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Agenda ekspansionis NATO ke wilayah Eropa Timur, dan Eropa secara keseluruhan, bukan sesuatu yang asing bagi kepentingan AS. Dalam visi figur anti-komunis keturunan Polandia yang juga sempat menjadi penasehat keamanan presiden Jimmy Carter, Zbigniew Brzezinski, ekspansi ke timur Eropa menjadi keharusan untuk mempertahankan imperialisme AS di abad 21. Dalam bukunya The Grand Chessboard (1997), Brzezinski melihat negara sekutu yang mendukung dominasi AS sebagai sebatas wilayah “bawahan, tributaris (wilayah yang harus membayar upeti), protektorat, koloni.” Ia juga menganggap aliansi dengan Uni Eropa sangat penting bagi AS karena dapat digunakan sebagai jembatan perluasan pengaruh AS di kawasan Eropa-Asia (Brzenski 1997, 74).

Dominasi AS di Eropa melalui NATO juga memiliki dampak ekonomi. Dengan kemitraan antara AS dan Uni Eropa, pendisiplinan pasar dapat dilakukan dalam relasi kapitalisme global. Agenda ekonomi di luar kapitalisme neoliberal menjadi agenda ekonomi yang mustahil dalam kerangka Uni Eropa. Masih segar dalam ingatan kita ketika Uni Eropa secara sistematis menghancurkan inisiatif pemerintahan kiri Syriza di Yunani yang hendak meluncurkan program ekonomi anti pengetatan ala neoliberal pada tahun 2015. Menteri Keuangan Yunani saat itu, Yanis Varoufakis, menyatakan betapa otoriternya kekuasaan moneter Uni Eropa ketika itu. Mengutip pernyataan Menteri Keuangan Jerman, Wolfgang Schauble, walau Syriza memenangkan pemilu, Syriza tidak memiliki hak untuk mengubah kebijakan ekonominya karena keanggotan Yunani di Uni Eropa (Varoufakis 2017, 236).

Hal inilah yang membuat Rusia memiliki kekhawatiran yang valid atas perluasan pengaruh AS di Eropa Timur. Perluasan pengaruh AS melalui NATO berpotensi untuk menundukkan wilayah-wilayah terdekatnya secara (geo)politik dan ekonomi. Dan ancaman ini nyata bagi Rusia. Terhitung sejak 1999 sampai dengan 2020, sudah ada 14 negara yang sebelummya adalah bagian dari Pakta Warsawa yang kemudian menjadi anggota NATO. Dengan kata lain, AS semakin mendekat dengan pelataran tanah Rusia. Adalah logis kemudian jika Rusia merasa perlu menyikapi perluasan pengaruh AS melalui NATO seperti sekarang.


Rusia, Sang Imperialis?

Hal lain yang juga perlu diklarifikasi adalah status politik Rusia itu sendiri. Banyak pihak yang melihat bahwa Rusia perlu juga dilihat sebagai negara imperialis layaknya AS. Praktik aneksasi Crimea pada 2014 yang kemudian dilanjutkan dengan dukungan terhadap deklarasi kemerdekaan di Donetsk dan Luhansk, merupakan bukti dorongan ekspansionisme ala kekuatan imperialisme. Belum lagi dalam pernyataan publik terakhirnya, Putin menegaskan Ukraina bukan sebagai negara yang berdaulat namun lebih sebagai entitas teritorial yang baru dikonstruksikan oleh Lenin pasca-revolusi Bolshevik. Dari fakta ini, sulit untuk tidak terbujuk oleh ide bahwa Rusia adalah kekuatan imperialis yang ekspansionis.

Namun di sini kita perlu lebih spesifik dalam mendefinisikan imperialisme. Sebagai Marxis tentu kita perlu merujuk kembali pada argumen Lenin tentang imperialism sebagai tahapan tertinggi kapitalisme. Argumentasi Lenin tentang imperialisme sering kali diarahkan pada preposisinya tentang lima karakter khusus imperialisme.[1] Namun, buat saya, argumentasi Lenin bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana relasi kelas dapat berimplikasi pada praktik imperialis suatu negara. Secara implisit, menurut Lenin, imperialisme adalah suatu kondisi dimana kekuatan kapitalis suatu negara sudah menjadi monopolistis dan menjadi kekuatan dominan di negara tersebut. Negara dapat dikatakan imperialis ketika dominasi kapitalis monopoli tersebut diterjemahkan dalam praktik kekuasaan negara dimana negara didorong untuk berekspansi atas dasar motif akumulasi kapital. Di bawah kendali kapitalis monopolis, negara imperialis harus mensubordinasi negara lain yang lebih lemah sebagai bagian untuk ekstraksi surplus ekonomi di negara lemah tersebut.

Dari argumentasi Lenin ini, Rusia di bawah Putin tidak dapat dikatakan sebagai negara yang didominasi oleh kekuatan kapitalis monopoli. Bahkan, bisa dikatakan, Putin bersikap konfrontatif terhadap posisi kapitalis monopoli di Rusia. Tercatat sejak mulai berkuasa pada tahun 2000 sampai 2020, Putin sangat agresif memenjarakan kalangan kapitalis monopoli—kalangan oligark super kaya Rusia—yang dianggapnya merugikan kekayaan negara.

Namun, bagaimana jika Putin itu sendiri adalah si kapitalis monopolis? Bukankah Putin adalah bagian dari orang terkaya di Rusia? Benar memang ia adalah bagian dari kelas kaya Rusia, namun pilihan politik Putin tidak selalu membawa aspirasi kelas kaya Rusia. Dalam situasi perang seperti sekarang, Putin justru memiliki kepentingan berbeda dengan kelas kapitalis Rusia yang menghendaki stabilitas. Untuk ini penting jika kita melihat bagaimana praktik politik luar negeri Rusia di bawah kepemimpinan Putin. Alih-alih berperilaku identik layaknya negara-negara imperialis seperti AS, Inggris, atau Prancis—yang memaksakan kepentingan ekonominya melalui politik luar negeri—Rusia cenderung negosiatif dalam memajukan kepentingan ekonominya dalam interaksi internasional. Karakter ini jelas dapat dilihat hal yang baik, khususnya bagi negara-negara kecil dan lemah ekonominya, ketika mereka tengah mengupayakan perlawanan terhadap imperialisme. Tidak heran jika negara-negara yang tengah membangun sosialisme seperti Kuba, Venezuela, Nikaragua bahkan Bolivia menganggap strategis hubungan mereka dengan Rusia.

Tentu mengatakan Rusia bukan negara imperialis tidak serta merta menjadikannya inspirasi pembangunan sosialisme. Putin bukanlah sosialis, apalagi komunis. Dia lebih sering muncul sebagai politisi nasionalis reaksioner yang sensitif terhadap segala hal yang dianggapnya ancaman. Artinya, dia tidak segan menjadikan kekuasaannya sebagai martil untuk membungkam kebebasan kelompok yang dianggapnya berbahaya. Maka tidak mengherankan jika kemudian represi terhadap kalangan LGBTQ dan kelompok oposisi sayap kiri-radikal lumrah di bawah kekuasaan Putin. Namun, masalah pemerintahan Putin yang otokratis ini tidak lantas membenarkan pandangan bahwa ada kesetaraan posisi antara Rusia dengan imperialisme AS. AS tetaplah kekuatan imperialis satu-satunya dalam konteks konflik Rusia-Ukraina.


Masalah Demokrasi di Ukraina

Jika Rusia bukan negara imperialis, lalu bagaimana menjelaskan invasi militer Rusia di Crimea, Donbas, dan Ukraina secara luas? Di sini kita perlu memeriksa secara seksama dinamika internal politik Ukraina. Alih-alih menempatkannya sebagai aktor yang sama sekali tidak bersalah, Ukraina, khususnya kelas berkuasa di Ukraina, memiliki andil dalam eskalasi konflik yang sedang berlangsung ini. Pasca “Revolusi Maidan” (disebut demikian karena terjadi di lapangan Maidan) pada 2014 yang menjatuhkan Presiden Ukraina pro-Rusia, Victor Yanukovich, politik Ukraina terbelah antara kelompok penolak dan pendukung Rusia. Ketika demokrasi multi-partai didirikan pasca revolusi, kelompok penolak Rusia menjadi kelompok politik dominan di Ukraina. Pada titik inilah demokrasi multipartai Ukraina berjalan beriringan dengan maraknya sentimen anti-Rusia di publik Ukraina. Setiap yang berbau Rusia dianggap bermasalah bagi otoritas kekuasaan Ukraina.

Masalahnya kemudian layaknya setiap negara-bangsa, Ukraina bukanlah entitas yang tunggal. Terdapat 17 persen dari keseluruhan populasi Ukraina yang mendaku diri sebagai Rusia. Praktik demokrasi yang bersifat anti-Rusia ini jelas mendiskriminasi setiap anggota masyarakat di Ukraina yang dianggap memiliki hubungan dengan Rusia. Politik diskriminasi ini kemudian ditegaskan lagi pada 2014, ketika parlemen Ukraina memproduksi undang-undang yang menjadikan bahasa Ukraina satu-satunya bahasa di sekolah dasar. Undang-undang ini secara sengaja menyingkirkan bahasa Rusia yang juga merupakan bahasa keseharian di Ukraina. Melalui UU ini, pemerintah Ukraina juga secara sengaja melanggar hak kelompok minoritas Hungaria, Yahudi, dan Tatar yang terbiasa untuk menggunakan bahasa Rusia. Terakhir, figur oposisi Ukraina yang merupakan pimpinan partai oposisi terbesar di parlemen Ukraina, Viktor Medvedchuk, digelandang ke hotel prodeo dengan tuduhan pengkhinatan karena memiliki hubungan dekat dengan Putin.

Masalah demokrasi anti-Rusia ini juga memberikan ruang yang lapang bagi maraknya pertumbuhan gerakan fasis di Ukraina. Dengan anggapan bahwa Rusia merupakan kelanjutan dari Uni Soviet, kelas berkuasa Ukraina membiarkan keberadaan kelompok fasis yang mempropagandakan anti komunisme, anti semitisme dan ultarnasionalisme. Kelompok-kelompok ini dibiarkan begitu saja menyerang komunitas LGBTQ, Romani (yang secara peyoratif sering disebut kaum gipsi), dan tentu saja kelompok kiri-sosialis. Sebanyak 39 anggota serikat buruh dibakar hidup-hidup oleh kelompok fasis dalam suatu kasus pembunuhan di Odessa. Belum lagi dominasi kelompok fasis ini memaksa Partai Komunis Ukraina untuk beroperasi di bawah tanah.

Perkembangan sentimen anti Rusia beserta kelompok fasis di Ukraina ini didukung keberadaannya oleh AS. Tendensi anti-komunis akut dari kelompok fasis ini jelas menguntungkan posisi AS yang hendak menancapkan pangaruhnya di Ukraina melawan Rusia. Masih segar dalam ingatan ketika senator konservatif AS, John Mccain, bertemu pimpinan kelompok fasis Ukraina, Oleh Yaroslavovych Tyanhnybok, beberapa bulan sebelum terjadinya Revolusi Maidan. Dengan kata lain, maraknya fasisme di Ukraina juga dipengaruhi oleh peranan AS.

Dalam situasi inilah “invasi” Rusia di Crimea dan Donbas perlu dilihat. Populasi etnik Rusia di dua wilayah Ukraina tersebut gerah dengan tindakan diskriminatif kelas berkuasa Ukraina. Masuknya militer Rusia di dua wilayah itu sedikit banyak dilakukan melalui dukungan internal masyarakat Rusia-Ukraina. Hal ini menjadi masuk akal mengingat di dua wilayah tersebut, etnik Rusia merupakan kelompok mayoritas. Kita mungkin bisa tidak setuju dengan invasi Rusia, tapi perlu juga dilihat bahwa invasi ini tidak berlaku satu arah. Sebelum adanya intervensi militer Rusia, populasi Crimea menyelenggarakan referendum yang hasilnya mayoritas mendukung unifikasi Crimea terhadap Rusia.

Hal yang hampir mirip juga berlaku dalam keputusan Rusia untuk mendukung kemerdekaan Donetsk dan Luhansk. Bahkan Donetsk telah mendeklarasikan kemerdekaan semenjak April 2014 melalui keputusan referendum lokal. Namun deklarasi tersebut tidak digubris oleh Rusia, sebab pemerintah Ukraina berjanji untuk memberikan otonomi luas terhadap Donetsk sehingga kedekatan wilayah tersebut dengan Rusia tetap langgeng. Komitmen otonomi ini secara formal disepakati dalam Perjanjian Minks II pada September 2014. Masalahnya hingga 2022, pemerintah Ukraina tidak memenuhi komitmennya berdasarkan perjanjian Minsk II. Bahkan pada 2019, parlemen Ukraina melakukan amandemen konstitusi sehingga mencantumkan keanggotaan Ukraina dalam NATO.

Tentu saja referendum yang berlaku di Crimea dan Donbas tidak murni aspirasi populer masyarakat di sana. Ada peranan elite lokal, khususnya mereka yang dekat dengan Rusia, yang memungkinan mobilisasi berbuah referendum itu. Tidak heran jika mayoritas negara anggota PBB tidak mengakui referendum tersebut. Namun menolak referendum bukan berarti menampik fakta bahwa ada dinamika politik internal Ukraina yang bermasalah, yakni kecenderungannya yang dekat dengan kepentingan imperialisme AS. Dalam terang perkembangan politik inilah kita perlu memahami keputusan Kremlin yang melihat Ukraina sebagai ancaman keamanan Rusia, sehingga memberinya legitimasi untuk melakukan invasi militer.


Posisi Sosialis

Dari analisa ini, setidaknya kita bisa melihat bahwa jantung permasalahan konflik Rusia-Ukraina terletak pada nafsu ekspansionis imperialisme AS melalui NATO yang diakomodasi oleh kelas berkuasa Ukraina untuk menghalau pengaruh Rusia. Dengan pemimpin reaksioner seperti Putin, kita dapat memahami bahwa invasi militer menjadi pilihan logis bagi Rusia untuk menghentikan ekspansi NATO melalui Ukraina. Namun, pengakuan atas masalah pokok ini tidak dengan sendirinya menjadi invasi militer itu sah. Masalahnya, selayaknya judi, Langkah agresif ini belum tentu akan membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan Rusia. Bahkan invasi militer ini justru berpotensi untuk memperbesar sentimen anti-Rusia sampai ke level internasional.

Bagi sosialis revolusioner, tentu kita menghendaki situasi perang ini dapat diubah menjadi perang kelas. Kekalahan perang di pihak Rusia berpotensi membuka kesempatan bagi Gerakan sosialis di Rusia menguatkan pengaruhnya di massa rakyat. Sayangnya, gerakan sosialis di Rusia sendiri cenderung terbelah. Kekuatan sosialis utama, yang juga adalah kekuatan oposisi di parlemen seperti Partai Komunis Federasi Rusia, cenderung menerima keputusan invasi Kremlin. Jikapun ada kekuatan sosialis di yang melawan keputusan Putin di Rusia, kapasitas mereka terlalu kecil untuk dapat memobilisasi perlawanan. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mobilisasi spontan publik Rusia sekarang bisa menjadi pemula bagi formasi sosialis yang signifikan dalam menentang politik Putin.

Di tengah lemahnya posisi kekuatan sosialis baik di Rusia maupun di Ukraina, dan juga gerakan sosialis internasional secara keseluruhan, aspirasi paling mungkin untuk diperjuangkan adalah sekuat mungkin merealisasikan perdamaian di Kawasan timur Eropa. Deeskalasi militer harus direalisasikan segera. Kaum sosialis harus memposisikan bahwa invasi militer selain akan banyak menelan korban jiwa, juga tidak akan menjamin terciptanya stabilitas regional sebagaimana yang diinginkan Rusia. Tidak akan ada pemenang dalam perang ini, kecuali kelas kapitalis yang menguasai industri senjata dan industri minyak dan gas (migas). Maka penting untuk memberikan tekanan terhadap pemerintah Rusia agar segera menghentikan agresi militernya, sembari terus mendorong Rusia dan Ukraina untuk duduk bersama dalam negosiasi guna membangun perdamaian di perbatasan mereka.

Di sisi lain, kita juga harus mempropagandakan kampanye anti-imperialisme dengan menolak kehadiran AS melalui NATO di wilayah Ukraina dan mendesak netralitas Ukraina terhadap AS dan Rusia. Agresi militer Rusia hanya akan akan memperbesar aspirasi di publik internasional mengenai perlunya NATO mengintervensi situasi di Ukraina. Selain itu, bagi kepentingan kelas berkuasa Ukraina, politik mereka yang diskriminatif hanya akan semakin populer di mata publik yang bisa berakibat pada kian menyempitnya ruang pengorganisasian kelompok sosialis di Ukraina. Singkatnya, kaum sosialis sekarang memiliki dua agenda anti-perang: menolak perluasan pengaruh Imperialisme AS-NATO di Eropa Timur dan menuntut penghentian agresi militer Rusia segera!***


Muhammad Ridha adalah mahasiswa PhD di Northwestern University, Chicago, AS dan aktif di Partai Rakyat Pekerja (PRP)


 

Catatan Akhir

[1] Secara eksplisit, Lenin menyatakan lima fitur imperialisme: 1) Konsentrasi ekonomi; 2) Dominasi kapital finansial; 3) Pentignya ekspor kapital; 4) Terbentuknya formasi kapitalis monopolis secara internasional; 5) Terbentuknya pembagian politik berdasar formasi internasional kapitalis monopoli.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.