Masa Krisis Etnis Tionghoa di Indonesia setelah G30S

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


PADA 1959, Presiden Sukarno yang tidak puas dengan sistem demokrasi parlementer yang sudah berjalan sejak 1950 memutuskan membentuk sistem pemerintahan baru. Sistem pemerintahan yang berlaku efektif pada 5 Juli 1959 itu dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin. “Masa transisi [dari demokrasi liberal] ke Demokrasi Terpimpin pada tahun-tahun awalnya,” tulis Sejarawan Charles Coppel “merupakan masa pergolakan dan tidak menentu bagi minoritas Tionghoa.”[1]

Berbeda dari anggapan banyak orang, Demokrasi Terpimpin bukanlah sistem dengan Sukarno sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan. Demokrasi Terpimpin merupakan sistem hasil kompromi dengan berbagai pihak.[2] Salah satu bukti bahwa Demokrasi Terpimpin merupakan hasil kompromi adalah berbagai peraturan yang keluar pada masa itu, yang seringkali dibuat bukan berdasarkan keinginan pemerintahan pusat, tapi militer.

Etnis Tionghoa berada dalam posisi yang tidak menguntungkan karena berbagai peraturan diskrimintatif yang dikeluarkan pemerintah maupun penguasa militer. Posisi yang serba sulit dan berkepanjangan ini berkaitan dengan status kewarganegaraan mereka, yang mempengaruhi banyak bidang kehidupan lain, dari pendidikan, undang-undang tanah, hingga hak-hak ekonomi.

Salah satu peraturan yang sangat berpengaruh tersebut adalah Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959—yang diterbitkan atas prakarsa Angkatan Darat. Peraturan ini melarang perdagangan eceran oleh orang asing di luar ibu kota daerah otonom tingkat satu dan dua. Meskipun ditujukan kepada “orang asing”, larangan diterapkan secara khusus kepada orang Tionghoa secara keseluruhan, baik warga negara maupun bukan.

Penerapan PP 10 membuat keadaan dalam negeri menjadi kacau. Militer di berbagai wilayah memindahkan paksa orang-orang Tionghoa dari daerah pedesaan ke kota-kota. Hal ini yang membuat kondisi ekonomi memburuk karena tidak ada pengusaha dan koperasi nasional yang mampu menggantikan peran orang-orang Tionghoa yang diusir.

Selain itu, PP 10 juga berimbas pada perginya lebih dari 100 ribu warga etnis Tionghoa ke Tiongkok yang menyebabkan hubungan kedua negara memburuk.

Ricklefs berpendapat penerapan PP 10 oleh militer ditujukan untuk mempersulit orang-orang Tionghoa, melemahkan pergaulan di antara Indonesia dengan Tiongkok, serta menghambat Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu sedang mengalami pertumbuhan pesat.[3] Sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengkritik PP 10 sebagai peraturan rasialis yang diterbitkan untuk mencari-cari kesalahan kelompok minoritas yang tidak memiliki kekuatan politik.[4]

Keadaan etnis Tionghoa yang tidak stabil mulai mereda pada 1963 hingga akhir Oktober 1965, setelah Sukarno dan golongan kiriyang terutama diwakili oleh kaum komunismulai memantapkan posisi sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan. Coppel mengatakan keadaan tersebut dimungkinkan karena terdapat “pengakuan diam-diam oleh banyak orang Tionghoa dan orang Indonesia yang lebih berhaluan kiri (termasuk Presiden) bahwa mereka sama-sama menghadapi lawan, yaitu golongan anti komunis yang akan memanfaatkan perasaan anti-Tionghoa sebagai suatu masalah politik.”[5]

Hubungan diplomatik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) juga semakin dekat karena kepentingan dan tujuan kedua negara dalam politik luar negeri sama. Hal ini membuat setiap pembicaraan atau aksi anti-Tiongkok maupun anti-Tionghoa akan mudah dicap sebaga kontrarevolusi sehingga hanya dapat dilakukan diam-diam.[6]

Hal penting lain di masa Demokrasi Terpimpin, catat Williams, adalah kecenderungan orang Tionghoa WNI mengalami “asimilasi politik”.[7] Maksudnya, mereka mulai turut serta secara aktif dalam pemerintahan dan politik, terutama melalui organisasi massa Tionghoa terbesar sepanjang sejarah Indonesia: Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Meski sepakat, Coppel memiliki pandangan lain: partisipasi politik tersebut harus dilihat juga dalam sifatnya, tidak hanya eksistensi semata. Ia menulis:[8]

“Kombinasi  dari mobilisasi WNI keturunan Tionghoa oleh Baperki ke dalam kehidupan politik yang belum ada taranya, dibarengi dengan orientasi kiri dari para pemimpinnya, membantu untuk mengidentifikasi orang Tionghoa di mata banyak orang Indonesia (paling tidak, sebagian dari golongan militer) dengan komunisme.”

Artinya, keaktifan orang Tionghoa dalam kehidupan politik yang dekat dengan unsur kiri dilihat oleh lawan pemerintah sebagai wujud politik komunisme. Karena itu etnis Tionghoa hanya akan mendapatkan perlakuan positif dari pemerintah selama Sukarno—yang dekat dengan RRT—dan kaum kiri memegang kekuasaan. Dengan kata lain, posisi masyarakat Tionghoa rentan terhadap perubahan politik, terutama jika pihak oposisi menggantikan kekuasaan Sukarno.

Kerentanan itu makin menjadi-jadi setelah peristiwa G30S pada awal Oktober 1965.


Masa kritis pasca-G30S

Pada dini hari 1 Oktober 1965, terjadi penculikan pimpinan tentara yang pada akhirnya menewaskan enam pejabat tinggi Angkatan Darat. Letkol Untung, yang menyatakan diri sebagai pemimpin gerakan tersebut, kemudian mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi, suatu badan kekuasaan eksekutif sementara. Tak lama setelah pengumuman, Mayor Jenderal Soehartoyang saat itu menjabat sebagai Komandan Kostradberhasil menumpas gerakan tersebut dan menguasai keadaan.[9]

Penculikan pimpinan Angkatan Darat yang akan dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965) itu mengacaukan tatanan politik. Sukarno segera kehilangan kekuasaan, sementara PKIpartai terbesar saat itu yang menjadi pendukung utama Sukarno dalam Demokrasi Terpimpindituduh sebagai dalang. PKI dibubarkan tak lama setelahnya, para petinggi dan simpatisannya mengalami penangkapan dan pembunuhan massal. Soeharto sendiri kemudian mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada 1966 dan mengawali rezim Orde Baru.  

Seperti Demokrasi Terpimpin, G30S juga sangat berdampak pada posisi etnis Tionghoa. Masyarakat Tionghoa yang sebelumnya menikmati posisi relatif stabil dan tenang selama 1963-1965 terpaksa menghadapi kenyataan bahwa mereka memasuki situasi yang tidak menguntungkan ketika “ketionghoaan” dihubungkan dengan komunisme. Segala hal yang berhubungan dengan “ketionghoaan” segera dilarang oleh pemerintah, mulai dari organisasi, media, bahkan sekolah. Orde Baru bahkan membatasi perayaan kebudayaan dan kepercayaan masyarakat Tionghoa.[10]

Ketika Soeharto memulai kampanye antikomunis besar-besaran pasca- G30S, banyak orang Tionghoa yang tidak berhubungan dengan PKI mendapat dipersekusi, dipenjara, hak milik mereka disita, serta diusir dari Indonesia.[11] Dua tahun setelah G30S meletus, kekerasan anti-Tionghoa terus meluas dalam taraf yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekerasan anti Tionghoa di Medan pada 10 Desember 1965, misalnya, menewaskan kira-kira 2.000 orang.[12]

Bencana yang menimpa etnis Tionghoa setelah G30S terutama disebabkan oleh Orde Baru yang menyatakan keterlibatan RRT dalam peristiwa tersebut. Pemerintah Orde Baru menuduh bahwa RRT telah menyelundupkan senjata kepada PKI dan memerintahkan partai untuk memberontak.[13] Sentimen anti-Tionghoa yang meluas dan gerakan protes yang disertai kekerasan pertama-tama memang diarahkan kepada RRT, tetapi pada akhirnya merembet hingga menjadi kekerasan anti-Tionghoa secara keseluruhan, termasuk kepada masyarakat etnis Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia.

Siauw Giok Tjhan mengatakan, “Logika yang dipergunakan [pemerintah Orde Baru] adalah: warga Tionghoa mendukung RRT, dengan demikian warga Tionghoa mendukung komunisme, sehingga harus turut diganyang.”[14]

Dalam pandangan Siauw, peristiwa G30S 1965 yang merembet kepada gerakan anti-Tionghoa dan anti-RRT yang didukung oleh militer ini berhubungan dengan kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang pada saat itu hendak melaksanakan kebijakan China containment policy. Kebijkan ini bertujuan untuk “mengepung” RRT secara geografis dengan dukungan negara-negara yang berkiblat pada Amerika Serikat.

Situasi dalam negeri semakin memanas dengan munculnya demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di berbagai wilayah. Demonstrasi terbesar terjadi di Jakarta dengan massa puluhan ribu. Pihak RRT sendiri—yang saat itu memasuki peralihan ke masa Revolusi Kebudayaan yang penuh gejolak—tidak tinggal diam dan melancarkan protes kepada pemerintah Indonesia, terutama melalui siaran radio dan demonstrasi di depan kedutaan Indonesia di Beijing. Kejadian-kejadian ini membuat tuntutan pemutusan hubungan dengan RRT semakin membesar, sehingga pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk membekukan[15] hubungan kedua negara pada Oktober 1967.

Coppel berpendapat RRT dan orang Tionghoa memang sengaja dijadikan kambing hitam terhadap keadaan politik dan ekonomi Indonesia setelah G30S oleh Orde Baru karena beberapa alasan. Pertama, karena krisis ekonomi masih tetap berlanjut meski PKI dan menteri-menteri pendukung Sukarno sudah ditahan. Kedua, isu RRT dan masalah orang Tionghoa dianggap oleh banyak kesatuan aksi sebagai pokok persoalan baru yang bisa dimanfaatkan agar para anggotanya bisa terus dimobilisasi. Ketiga, RRT dan orang Tionghoa dianggap cocok sebagai kambing hitam karena sangat mudah menggambarkan mereka sebagai contoh komunis sekaligus elemen asing yang melakukan sabotase terhadap ekonomi negara. Keempat, orang Tionghoa tidak memiliki sarana perlindungan dari protes.[16]

Ketika protes terhadap RRT dan gerakan anti-Tionghoa semakin meluas, kesetiaan masyarakat Tionghoa WNI terhadap negara semakin dipertanyakan. Di beberapa kota besar, masyarakat Tionghoa WNI melakukan demonstrasi untuk menunjukkan kesetiaan mereka kepada pemerintah Indonesia, tetapi dengan hasil yang tidak memuaskan. Banyak orang Indonesia tetap mencurigai etnis Tionghoa yang berstatus WNI.[17]

Satu hal utama berkenaan dengan meningkatnya sentimen anti-Tionghoa di Indonesia setelah Orde Baru berkuasa adalah mulai digunakannya lagi ungkapan “Cina” untuk menyebut Tiongkok dan orang Tionghoa.[18] Meskipun “Cina” merupakan kata yang lebih tua dalam bahasa Indonesia, selama 40 tahun terakhir sebelum G30S 1965 penggunaannya telah diganti dengan kata “Tionghoa” karena dianggap lebih sopan dan tidak merendahkan.

Mengganti “Tionghoa” dan “Tiongkok” ke “Cina” diputuskan oleh pemerintah pada Agustus 1966 dalam suatu seminar Angkatan Darat. Mengganti “Tionghoa” ke “Cina” merupakan keputusan yang disengaja untuk mengungkapkan perasaan anti-Tionghoa. Pemutus kebijakan tersebut menyadari betul bahwa kata “Cina” dianggap sebagai hinaan oleh orang-orang Tionghoa.[19]

Ketika itu muncul perdebatan antara mereka yang membela penggunaan kata “Tionghoa” dengan kalangan yang ingin menggantinya menjadi kata “Cina”. Salah satu pihak yang membela penggunaan kata “Tionghoa” adalah wartawan senior Mochtar Lubis. Di harian Kompas 28 April 1967, mengatakan penggunaan istilah “Cina” merupakan bentuk penghinaan yang tidak pantas kepada WNI Tionghoa.[20]

Lubis mengatakan penggunaan kata “Cina” tidak tepat apabila masyarakat dan pemerintah hendak menyatakan ketidaksenangan kepada RRT yang dianggap terlibat dalam G30S 1965. Sebabnya, kata-kata itu mengandung unsur penghinaan kepada masyarakat Tionghoa secara keseluruhan, tidak terbatas kepada warga RRT saja.

Lubis juga meminta kepada pembaca untuk membayangkan diri mereka sebagai bagian dari etnis minoritas Tionghoa. Mereka tentu akan merasa khawatir dan terancam ketika membaca dan mendengar kata menghina tersebut serta cerita-cerita mengenai pemalakan terhadap etnis Tionghoa.[21]

Tulisan Mochtar Lubis segera mendapatkan balasan dari Zahri Ahmad, seorang pemimpin kelompok pengusaha “pribumi”, di Angkatan Bersenjata pada 8 Mei 1967. Menurutnya, cepatnya pergantian penggunaan istilah dari “Tionghoa” ke “Cina” menunjukkan lebih diterimanya istilah “Cina” dibandingkan “Tionghoa”, terlebih lagi etnis yang bersangkutan tidak menyuarakan protes terhadap pergantian tersebut. [22] Zahri Ahmad juga menambahkan, apabila perkataan “Cina” dianggap menghina, etnis Tionghoa seharusnya membiasakan perilaku dan mentalitas mereka agar sesuai dengan keinginan masyarakat mayoritas, bukannya kembali menggunakan istilah “Tionghoa”.[23]

Penggunaan istilah “Cina” untuk mengganti “Tionghoa” dan “Tiongkok” akhirnya diresmikan oleh pemerintah pada 25 Juli 1967.[24] Setelah diresmikan, tidak terjadi lagi perdebatan mengenai penggunaan istilah “Cina” dan “Tionghoa”. Semua instansi pemerintah dan media massa mengikuti perintah tersebut, kecuali harian Merdeka yang dipimpin B. M. Diah dan harian Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar.[25] Coppel mengatakan bahwa pada masa Orde Baru, pernyataan dan usul-usul yang berkenaan dengan anti-Tionghoa menjadi terhormat lagi.[26]


Penutup

Ada beberapa hal yang bisa dicatat berkenaan dengan posisi etnis Tionghoa pada masa peralihan dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru setelah peristiwa G30S. Pertama, posisi stabil etnis minoritas hanya dapat terjadi apabila pemerintahan yang berkuasa memang memiliki itikad baik kepada minoritas, seperti yang ditunjukan oleh Sukarno dalam Demokrasi Terpimpin pada 1963-1965.

Kedua, periode peralihan ini menunjukkan bahwa etnis minoritasdalam kasus ini etnis Tionghoadapat dengan mudah dijadikan kambing hitam oleh pemerintah yang rasialis ketika situasinya menguntungkan, terutama ketika masyarakat mudah termakan oleh provokasi dan mitos mengenai kelompok minoritas yang bersangkutan.

Ketiga, berbanding terbalik dengan yang selama ini dikatakan oleh banyak kalangan bahwa etnis minoritas kurang terlibat dalam dunia politik sehingga dipandang tidak nasionalis dan menyebabkan lahirnya ketidaksukaan masyarakat, periode peralihan ini menunjukkan bahwa keterlibatan politik kaum minoritas nyatanya tidak cukup untuk menghilangkan pandangan rasialis yang ada di dalam kelompok mayoritas.

Selama pemerintah tidak berusaha meniadakan berbagai pandangan negatif yang disematkan pada kelompok minoritas oleh berbagai kalangan yang diskriminatif, sebesar apa pun keterlibatan kaum minoritas dalam dunia politik, berbagai peristiwa rasis akan terus terjadi. Terlebih apabila pandangan negatif itu memang sengaja dipertahankan oleh aktor-aktor politik, termasuk di dalam negara, untuk dimanfaatkan sewaktu-waktu.***


Catatan Akhir

[1] Coppel, Charles A. (1994). Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm 79.

[2] Ricklefs, M. C. (2005). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

[3] Ricklefs, M. C., Op. cit., hlm. 404.

[4] Pramoedya Ananta Toer menulis kritik terhadap PP 10 dalam serangkaian artikel di harian Bintang Timur, yang kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul Hoakiau di Indonesia pada 1960. Tak lama berselang, buku tersebut dilarang terbit oleh militer, dan Pramoedya sendiri ditahan selama hampir setahun sejak 1960-1961. Untuk kritik lengkap Pramoedya, lihat Hoakiau di Indonesia (1998) terbitan Garba Budaya.

[5] Coppel, Charles A., Op. cit., hlm. 82.

[6] Ibid, hlm 89.

[7] Dalam Ibid, hlm. 90.

[8] Ibid, hlm. 101.

[9] Rossa, John. (2008). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 S dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra.

[10] Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia Pustaka, hlm. 1008. Peraturan tersebut adalah Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Berdasarkan peraturan ini, seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup

[11] Zhou, Taomo. (2019). Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok, dan Etnik Tionghoa, 1945-1967. Jakarta: Kompas.

[12] Coppel, Charles A., Op. cit., hlm 127-128.

[13] Berdasarkan penelitian Zhou Taomo (2019), tidak ada bukti yang valid mengenai keterlibatan RRT dalam peristiwa G30S. Pendapat Zhou bisa dikatakan tepat karena dalam penelitiannya Zhou menggunakan arsip resmi RRT selama kurun waktu tersebut.

[14] Siauw, Giok Tjhan. (2021). G30S dan Kejahatan Negara. Bandung: Ultimus, hlm 169.

[15] Orde Baru lebih memilih “membekukan” hubungan, yang berarti pemutusan diplomatik sementara, bukan permanen. Hal ini disebabkan oleh tujuan praktis belaka, yang terutama berhubungan dengan bidang ekonomi.

[16] Coppel, Charles A., Op. cit., hlm. 132.

[17] Ibid, hlm. 136-138.

[18] Ibid, hlm 143-144.

[19] Untuk masalah penggunaan kata “Cina” dan “Tionghoa” secara lebih lengkap, lihat Coppel dan Suryadinata (1970), The Use of the Terms “Tjina” and “Tionghoa” in Indonesia: an Historical Survey,  dalam Papers on Far Eastern History 2. Leo Suryadinata melakukan pembaruan atas tulisan ini, yang dimuat dalam bukunya Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia (2002)

[20] Coppel, Charles A., Op. cit., hlm. 257.

[21] Coppel, Charles A. dan Suryadinata, Leo. (1970). The Use of the Terms “Tjina” and “Tionghoa” in Indonesia: an Historical Survey.  Papers on Far Eastern History, 2, 108-109.

[22] Sangat mungkin sekali kalau sebenarnya banyak masyarakat Tionghoa yang tidak senang dengan pergantian istilah tersebut, namun tidak berani menyuarakan pendapat mereka. Ini tentu saja dikarenakan pada masa peralihan pemerintahan Sukarno ke Soeharto terjadi banyak peristiwa kekerasan yang diarahkan kepada mereka.

[23] Coppel, Charles A. dan Suryadinata, Leo, Op. cit., hlm. 110-111.

[24] Siauw, Op. cit., hlm 185.

[25] Suryadinata dalam Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia (2002) mengatakan bahwa hanya harian Raya yang konsisten menggunakan kata “Tionghoa” dibanding “Cina” hingga ditutup oleh Orde Baru pada 1974.

[26] Coppel, Charles A., Op. cit., hlm. 141.


Miguel Angelo Jonathan lulus dari Program Studi Pendidikan Bahasa Mandarin Universitas Negeri Jakarta pada 2021. Saat ini bekerja sebagai editor lepas.


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.