“Perang Rakyat” di Balik Penanganan COVID-19 di Tiongkok

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


DALAM kepustakaan berbahasa Inggris, Martin Jacques bisa disebut sebagai proponen papan atas dari konsep “eksepsionalisme Tiongkok” melalui buku larisnya yang terbit pada 2009, When China Rules the World. Buku ini adalah contoh terbaik pengemasan ulang narasi orientalis untuk abad ke-21. Selama sekitar satu dekade terakhir Jacques membingkai Tiongkok sebagai “negara peradaban” (civilizational-state) yang unik dari segi sejarah dan kebudayaan, lantas mengukuhkan pandangan bahwa Tiongkok amatlah berbeda dari kebanyakan negeri lain yang pernah ada dalam sejarah dunia. Konsekuensi, relativisme budaya menjadi satu-satunya teropong yang paling mungkin digunakan untuk memahami negeri ini. Hal ini membuat Jacques menyimpulkan bahwa kecakapan Tiongkok membasmi wabah COVID-19 bersumber dari keunggulan budayanya, terutama tradisi Konfusianisme.

Namun, jika “eksepsionalisme Tiongkok” bukan sekadar konsep dan memang betul-betul ada, maka cara yang jauh lebih baik untuk memahaminya adalah melalui praktik-praktik riil negara yang bisa kita identifikasi. Pemahaman seperti ini mungkin tidak terlalu berkaitan dengan buah pikiran Orang-Orang Bijak dari zaman antah berantah ketimbang dengan warisan revolusi yang jaraknya lebih dekat dan telah melahirkan Republik Rakyat Tiongkok. Pada 2007, peneliti Harvard Elizabeth Perry menggambarkan model tatanan politik Tiongkok sebagai perpaduan unik “otoritarianisme revolusioner”. Menurut Perry, sulit untuk membandingkan Tiongkok dengan negara-negara lain, termasuk bekas Uni Soviet dan negara-negara developmentalis di Asia Timur. Pasalnya, ada warisan khas yang bersumber dari teknik pengerahan massa era Mao Zedong yang kelak dikembangkan dan didayagunakan selama perjuangan kemerdekaan dan ketika proses pembentukan negara (state-building) RRT mulai bergulir.

Terlepas dari baik-buruknya, aktivitas pengerahan massa di Tiongkok yang paling tersohor adalah reformasi agraria dan kolektivisasi (1950-57), Lompatan Jauh ke Depan (1958-9) dan Revolusi Kebudayaan (1966-76), serta—kali ini kurang terkenal—Kampanye Anti-Konfusius (1974-5) dan Kampanye Melawan Pendukung Jalan Kapitalis (capitalist roaders) (1976). Namun, di luar itu, ada banyak kampanye yang mengandalkan mobilisasi massa untuk memberantas penyakit, meningkatkan kebersihan masyarakat, memperluas layanan kesehatan dasar, meningkatkan angka melek huruf, hingga kampanye-kampanye ideologis dan perjuangan kelas untuk memelihara “budaya revolusioner”. Seperti yang dijelaskan Wen-hui Tsai, kampanye-kampanye ini dirancang “di puncak struktur kekuasaan” sekaligus “mendorong dan mempromosikan partisipasi aktif massa dalam aksi kolektif, untuk tujuan mendukung pemimpin, kebijakan, atau program tertentu”. Teknik mobilisasi yang diterapkan dalam kampanye ini telah diadaptasi dan digunakan sepanjang era reformasi ekonomi. Bagi Perry, inilah “jantung eksepsionalisme Tiongkok.”

Perry menulis ketika epidemi SARS meledak pada 2002-2004. Ada perbedaan yang jelas terkait antara cara Tiongkok mengelola krisis SARS dan penanganan COVID-19. Namun, sebagian besar perbedaan ini tampaknya lebih menyentuh isu kapasitas negara. Mengulangi apa yang pernah dilakukan mantan presiden Tiongkok Hu Jintao, pada awal Februari 2020 Presiden Xi Jinping membingkai pengendalian epidemi sebagai “perang rakyat” melawan virus, sebuah ungkapan eksplisit yang mengacu kepada perjuangan bertahan hidup melawan Jepang. Penanganan COVID-19 juga disebut sebagai “perang total” (zongtizhan, 总体战), “perang pemusnahan” (jianmie zhan, 歼灭战) dan—menurut sebuah makalah—”perang antara virus dan umat manusia”. Bagi banyak pengamat, penyebutan ini terdengar militeristik, bahkan mungkin terlalu dramatis.

Penggunaan istilah-istilah tersebut seolah memperlihatkan apa yang akan dilakukan Tiongkok ketika harus merespons serbuan militer. Namun, makna yang terkandung rupanya lebih dalam. Pada 2010, Beijing mengesahkan Undang-Undang Mobilisasi Pertahanan Nasional, sebuah panduan umum yang bertujuan mengintegrasikan hubungan sipil-militer menjadi satu kesatuan yang kohesif, sehingga memungkinkan upaya mobilisasi cepat atas sumber daya sosial, ekonomi, sipil dan militer ketika menghadapi krisis atau konflik yang bersifat langsung. Hasilnya, menurut para peneliti di Institute for the Study of War, adalah pelembagaan kapasitas negara untuk terlibat dalam mobilisasi kilat berskala besar guna merespons segala jenis ancaman. Dokumen resmi untuk pertahanan nasional pada 2015 dan 2019, serta Rencana Lima Tahunan yang ke-13 dan ke-14, memuat penekanan baru pada peningkatan kapasitas mobilisasi berskala besar Tiongkok ini.

Desain pertahanan ini telah sepenuhnya diberlakukan sejak awal pandemi melalui kombinasi “kemudi” (steerage) yang dibimbing oleh pusat, partisipasi akar rumput, dan pendekatan kepada masyarakat luas dalam rangka pengendalian epidemi. Ketika aspek top-down dalam strategi ini dipandu melalui Central Leading Small Group for COVID-19, sistem komite warga a la Tiongkok memastikan agar masyarakat di akar rumput dikerahkan secara nasional sejak Januari 2020. Peran penting komite-komite tersebut dalam manajemen wabah tidak dapat diabaikan—media pemerintah Global Times menggambarkan mereka sebagai “pelopor” pengendalian virus. Komite-komite warga, yang beroperasi di tingkat yang sangat lokal, bertanggung jawab atas tugas harian untuk memitigasi penyebaran virus: memeriksa suhu dan kode perjalanan di daerah perumahan, mensosialisasikan peraturan baru kepada penduduk setempat, dan menegakkannya bila perlu. Sistem ini diterapkan ketika Komunis berkuasa pasca-1949 dan berpijak pada sistem lain yang sudah ada sebelumnya. Namun, meski melemah selama dekade-dekade awal reformasi ekonomi, sistem tersebut kembali menggeliat dan mendapat sokongan pada tahun 2000an sebagai bagian dari program “pembangunan berbasis lingkungan warga ” (shequ jianshe, 里社区建设). Sejak itulah sistem ini menjadi—dalam kata-kata Benjamin Read—”akar” negara Tiongkok.

Ciri khas lain dari respons Tiongkok terhadap COVID-19 adalah penggunaan milisi (mínbīng, 民兵) oleh Tentara Pembebasan Rakyat. Elsa Kania dan Ian Burns McCaslin menggambarkan keberadaan milisi ini sebagai bukti dari “relevansi abadi” tradisi “perang rakyat”. Bagi Kania dan McCaslin, pasukan cadangan ini dapat secepat kilat dikerahkan untuk membantu PLA dalam berbagai pertempuran dan operasi lainnya, mulai dari penyaluran logistik dan aksi respons darurat, perang siber, dan misi angkatan laut. Ketika pandemi mencapai puncaknya, PLA mengerahkan ratusan ribu orang di seantero Tiongkok untuk memastikan agar rantai pasokan (supply chains) tetap berjalan, menyemprot disinfektan di ruang publik, mengurangi tingkat penyebaran virus, serta meningkatkan produksi dan distribusi peralatan medis. Yang juga tak kalah penting adalah peran sel-sel partai di dalam dan seluruh lini tatanan sosial Tiongkok, mulai dari tingkat pemukiman warga dan bisnis swasta, hingga organisasi-organisasi ekonomi dan sosial lainnya. Setelah diaktifkan melalui sistem nomenklatura—di mana setiap jenjang otoritas di dalam hierarki menjalankan perintah yang dirilis langsung dari otoritas setingkat di atasnya—sel-sel partai dapat mengerahkan unit masing-masing untuk bertemu dan menjalankan perintah dari pusat tiap kali ada ledakan kasus. Penetrasi sel-sel partai di berbagai tatanan sosial yang makin digalakkan selama satu dekade terakhir juga memiliki dampak besar sehingga memungkinkan sistem yang ada mengatasi masalah jangka panjang berupa birokrasi yang terfragmentasi dan lamban saat merespons COVID-19.

Akhirnya, ada banyak bacaan tentang bagaimana BUMN Tiongkok melayani misi-misi politik dan sosial alih-alih tujuan ekonomi belaka. Kecenderungan inilah yang membuat BUMN Tiongkok menjadi instrumen yang mumpuni dalam penyaluran dan pengalokasian sumber daya selama pandemi kapan pun dan di mana pun dibutuhkan, mulai dari pasokan logistik dan tenaga medis hingga pengembangan infrastruktur vital seperti rumah sakit yang dibangun secepat kilat di Wuhan. Sementara banyak komite warga beranggotakan penduduk setempat, negara mengerahkan sukarelawan, staf bayaran, dan pensiunan BUMN untuk memenuhi kebutuhan akan personel sejak Januari 2020. Dalam beberapa tahun terakhir, BUMN Tiongkok telah dimerger menjadi entitas yang lebih besar dan solid dengan tujuan peningkatan kinerja dan daya saing ekonomi. Ketika negeri-negeri Barat melayangkan tuduhan bahwa Tiongkok telah melakukan praktik yang tidak adil, Beijing justru sukses  menjadikan perusahaan-perusahaan ini “lebih kuat, lebih baik, dan lebih besar” mengingat kinerja mereka selama pandemi. Tanpa unit-unit BUMN ini, sulit membayangkan bagaimana kapasitas mobilisasi Tiongkok bisa sangat  efektif. Penguatan BUMN mungkin akan menambah kapasitas negara secara keseluruhan untuk merespons berbagai ancaman—baik militer atau non-militer—dengan cara mengerahkan dan mengarahkan sumber daya manusia dan non-manusia untuk tujuan-tujuan tertentu.

Saking sentralnya pengalaman revolusioner yang terkandung di dalamnya, ungkapan ”perang rakyat” dalam respons Tiongkok terhadap pandemi mungkin tak mengejutkan bagi kebanyakan orang. Namun, pada akhir Januari 2020, seantero Tiongkok betul-betul berada dalam ”mode perang”. Serangkaian arahan yang dikeluarkan di Wuhan saat itu, misalnya, memerintahkan pemerintah daerah mengadopsi langkah-langkah “masa perang” seketat mungkin. Beijing tidak sedang melakukan akrobat bahasa ketika membingkai upaya pemberantasan virus sebagai ”perang rakyat”. ”Perang rakyat” adalah gambaran tepat tentang sebuah negara yang sedang menerjemahkan kebijakan keamanan dan pertahanan ke dalam tindakan. Ada banyak contoh strategi COVID-19 Tiongkok yang tentu dapat dialihkan ke konteks lain, misalnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan manajemen wabah: tes massal, penelusuran kontak, karantina, pemberlakuan jarak sosial, masker dan protokol kebersihan umum, hingga pembatasan pertemuan publik dan seterusnya.

Tentu saja ada banyak kekhasan Tiongkok lainnya, dan sulit membayangkan bagaimana kapasitas mobilisasi negara Tiongkok yang semakin terlembaga dapat ditiru di konteks yang berbeda. Penjelasan tentang warisan budaya masa lampau jelas tak berguna. Hanya melalui riset serius tentang benang merah antara era revolusi dan reformasi, kita bisa memahami berbagai karakteristik berbeda yang mendorong respons negara Tiongkok terhadap pandemi. Hanya dengan cara itu pula kita bisa bisa mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang sistem politik Tiongkok.***


Tulisan ini sebelumnya telah terbit di Monthly Review pada 19 Februari 2022. Diterbitkan ulang di IndoPROGRESS untuk tujuan pendidikan


Daniel Alan Bey adalah seorang mahasiswa pascasarjana tinggal di Suzhou, Tiongkok. Mengkaji Tiongkok kontemporer, Ia memiliki pengalaman hampir satu dekade sebagai jurnalis di Indonesia, Jerman, Ekuador, Inggris, dan Tiongkok


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.