Di Balik Kemegahan PLTU, Ada Masyarakat yang Ditumbalkan

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


LAPORAN Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) September tahun lalu menyatakan bahwa suhu bumi semakin cepat memanas. Berbagai belahan bumi menghadapi gelombang panas: pada angka 1,5ºC pemanasan global, gelombang panas menyebabkan musim panas lebih lama dan musim dingin lebih pendek; sedangkan pada angka 2ºC, panas yang ekstrem akan mencapai ambang batas toleransi kritis bagi pertanian dan kesehatan.

Banyak kajian telah ditulis dan rekomendasi telah diberikan oleh para ilmuwan. Namun, komitmen negara untuk menekan taraf pemanasan global menemui hambatan. Aktivitas manusia, seperti konsumsi batubara sebagai bahan bakar listrik, membuat komitmen itu lebih sulit dilakukan daripada yang diperkirakan. Komposisi para pembuat kebijakan juga menjadi hambatan, mengingat pemerintah dan pengusaha makin sulit dibedakan. Mereka memperlihatkan minat yang sama terhadap energi kotor.

Di Cilacap, tepatnya di Dusun Winong, masyarakat berdampingan langsung dengan industri kotor yang produknya kita rasakan sehari-hari, yaitu PLTU. Sejak beroperasi pada 2006 dengan kapasitas 600 megawatt, PLTU Cilacap (PT S2P) telah memasok listrik untuk Jawa dan Bali. Pada tahun-tahun selanjutnya, PLTU Cilacap mengalami ekspansi dan penambahan kapasitas hingga memiliki tiga pembangkit.

Pembangunan infrastruktur listrik pada mulanya adalah bagian dari kampanye Orde Baru. Penelitian Anto Mohsin berjudul Wiring the New Order: Indonesian Village Electrification and Patrimonial Technopolitics (1966-1998) (2014) mengungkapkan bahwa pemerintahan Suharto merencanakan pemerataan antara wilayah kota dan desa. Langkah yang diambil adalah memperkenalkan listrik ke desa-desa dengan slogan “Listrik Masuk Desa”, yang dipercaya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan itu, sesuai kajian sistem kelistrikan Moh. Sidik Boedoyo berjudul Sistem Kelistrikan di Jamali Tahun 2003 s.d. Tahun 2020 (2006), diproyeksikan untuk menopang kebutuhan listrik di sektor rumah tangga, usaha, industri, dan umum.

Kajian Boedoyo juga menunjukkan variasi besaran konsumsi listrik di pulau Jawa. Konsumsi listrik Jawa Barat-DKI Jakarta didominasi oleh sektor industri—sekaligus sebagai penyerap tenaga listrik terbesar se-Indonesia. Kebutuhan listrik di Jawa Tengah didominasi oleh kebutuhan di sektor rumah tangga, sementara kebutuhan di Jawa Timur-Bali hampir seimbang antara sektor rumah tangga dan industri.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik, kini berdiri megah bangunan PLTU PT S2P di wilayah Slarang dan Karangkandri yang ditetapkan sebagai kawasan resapan air dan persawahan berdasarkan RTRW 1997-2007. Dua tahun kemudian, masyarakat membentuk Komite Aksi Masyarakat (KAM) sebagai wadah untuk menentang PLTU. Waktu itu, KAM melakukan penolakan terhadap PLTU karena mengingat  energi kotor batubara akan meminggirkan aktivitas mereka sebagai nelayan dan petani. Penolakan juga didasari ancaman kesehatan yang bakal ditimbulkan akibat aktivitas pembakaran batubara.

Pada 2010, sebagaimana diberitakan Republika, kelompok nelayan Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap (PPSC) merekam rusaknya laut di Karangkandri yang menyebabkan berkurangnya tangkapan ikan. Pengetahuan ini akhirnya menjadi dasar untuk penolakan terhadap pembangunan PLTU Cilacap II di desa Bunton. Aktivitas PLTU, seperti hilir-mudik kapal tongkang dan tumpahan batubara ke laut, menyebabkan nelayan mengalami paceklik yang bahkan bisa berlangsung selama tujuh bulan.

Sayangnya, kehadiran KAM sebagai kontrol atas kedigdayaan PLTU tidak berlangsung lama karena tersandung konflik internal organisasi. Pada 2017 masyarakat membentuk Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL) yang mencakup Dusun Winong. Meski lingkupnya jauh lebih kecil daripada KAM, FMWPL telah berkontribusi dalam memberi tekanan terhadap industri energi kotor.


Terhimpit, Terhimpit, Terlempar

September 2021 lalu, Cilacap diganjar penghargaan Abdi Bakti Tani Tahun 2021 sebagai kabupaten/kota dengan peningkatan produksi padi tertinggi nasional tahun 2019-2020 (Gatra, 14/9).

Penghargaan itu sulit dibanggakan oleh sekitar 208 kepala keluarga di Winong. Pasalnya, sebagian besar penduduk kehilangan lahan pertanian karena PLTU. Tanah tandus menjadi salah satu penyebab utama. Selain itu, imbalan dari sawah yang dibayar oleh PLTU tak dibelikan sawah lagi karena kondisi tanah yang telah tercemar limbah.

Rukiyah menuturkan ingatannya kepada saya. Nenek yang lebih dari 80 tahun tinggal di Winong itu sempat memiliki beberapa bidang sawah yang menjadi sumber mata pencahariannya. Beberapa di antaranya berada di lahan yang sekarang berdiri PLTU Karangkandri (PT S2P).

“Saya juga punya (sawah) di sebelah sana, dulunya ijo-ijo semua,” ungkapnya pada 28 Oktober 2021. Jarinya terarah 300 meter ke arah laut, yang kini dipenuhi kapal penambang pasir yang hilir mudik. Sebelum PLTU berdiri, Rukiyah sempat membagi-bagikan sawahnya kepada anak-anaknya. Semua pemberiannya itu kini berakhir sama: hilang karena pembangunan dan perubahan iklim akibat PLTU dan abrasi.

Rukiyah bangkit dari batang pohon kelapa yang tumbang. Ia mengayunkan tongkat bambu dan karung goni untuk memburu sampah yang hanyut ke bibir pantai demi sesuap nasi. Siang itu ia tidak beruntung. Tak ada sampah di bekas abrasi yang bisa dijual. Ia pun khawatir karena pemecah ombak akan segera selesai dibangun sehingga akan menghalangi ombak pembawa sampah.

Keputusan berbeda diambil oleh Minten, perempuan paruh baya yang sehari-hari mengurus sawah. Uang hasil pembayaran PLTU atas sawahnya ia belikan sawah lagi di desa Bunton, sebelah timur Winong. Mulanya ia hanya perlu berjalan kaki ketika hendak ke sawah karena letaknya tepat di depan rumah. Sekarang, ada pengeluaran lebih untuk keputusan yang ia ambil. Waktu perjalanan dari rumah ke sawah lebih lama sehingga ia butuh sepeda motor.

Kepastian kesuburan tanah menjadi pertimbangan utama Minten, meski ada biaya lebih yang harus ia keluarkan, misalnya untuk PDAM. Terlepas dari ada penelitian yang mengatakan bahwa air tanah sudah mulai muncul sejak pengeboran yang dilakukan PLTU, Minten tetap menggunakan PDAM sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu air kering atau asin.

Penelitian yang dimotori oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Diponegoro pada 2021 menyatakan bahwa muka air tanah sudah naik kembali setelah 2018, tepatnya sejak terjadi intrusi akibat dewatering proyek PLTU. Hasil penelitian inilah yang mendasari kebijakan PLTU untuk menghentikan subsidi Rp100 ribu per bulan untuk PDAM. Namun, pengalaman warga berkata lain. Sebagian dari mereka mengatakan air sumur masih terasa asin dan pahit. Dua tuntutan pun muncul: mengkaji ulang kualitas air dan melanjutkan subsidi PDAM. Tak satu pun yang dipenuhi.

Ani (24), anak Minten, mengkhawatirkan pembuangan air bahang ke laut. Air bahang adalah air bekas mendinginkan mesin industri. Air ini menjadi salah satu penyebab nelayan kesulitan mendapatkan ikan. Selain itu, menurut penelitian Dedy Febrianto Sitinjak, dkk. (2017) yang berlokasi di perairan PLTU Labuhan Angin Sibolga, Sumatera Utara, air bahang juga merusak terumbu karang, yang memiliki peran mereduksi emisi karbon.

Ani menunjukkan kepada saya sebuah video yang diunggahnya ke Facebook pada 2019. Video itu memperlihatkan asap putih tebal yang keluar dari PLTU. Keterangan dalam video menyatakan: asap ini bisa menimbulkan hujan asam dan membahayakan warga.

“Ini aktivitas steam blow PLTU. Suaranya sangat bising. Warga sini waktu itu langsung geruduk PLTU untuk protes,” ujar mahasiswi teknik industri tersebut Oktober silam.

Suara bising itu kembali menganggu masyarat pada Desember 2021 dan berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Penyebabnya kali ini adalah kegagalan PLTU dalam mengoperasikan safety valve. FMWPL menyesalkan ketiadaan pemberitahuan sebelumnya terkait aktivitas ini, yang menyebabkan aktivitas masyarakat mendadak berhenti. Warga pun berhamburan ke luar rumah untuk memastikan apa yang sedang terjadi.

Himpitan hidup itu belum juga usai. Setiap keputusan yang diambil oleh masyarakat saat ini dihadapkan pada Perda Kabupaten Cilacap Nomor 1 Tahun 2021, yang menghilangkan Winong dari peta. Winong, dengan kata lain, akan dikorbankan untuk kawasan industri yang hingga saat ini tidak dapat dipastikan jenis dan lokasinya. Selain itu, FMWPL menolak Kawasan Peruntukan Industri (KPI) tersebut karena tidak melibatkan partisipasi publik dalam penyusunannya.


Masa Depan Penuh Ancaman

Hari-hari masyarakat Winong selanjutnya semakin mengkhawatirkan sejak munculnya PP No. 22/2021 sebagai turunan UU Cipta Kerja. PP ini mengeluarkan fly ash and bottom ash (FABA) dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Ancaman terhadap kesehatan semakin jelas. Alih-alih kesejahteraan, pembangunan memaksa mereka hidup berdampingan dengan racun.

Berdasarkan penelitian Greenpeace berjudul Kita, Batubara, & Polusi Udara (2015), pembakaran batu bara menjadi pembunuh paling mematikan yang menyebabkan 6.500 kematian dini per tahun di Indonesia. Terkait ekspansi PLTU, Greenpeace memperkirakan angka kematian dini akan naik menjadi 15.700 jiwa/tahun. Angka-angka itu belum melibatkan program 35GW yang dicanangkan Pemerintahan Jokowi.

Greenpeace telah membuat sampel di PLTU Tanjung Jati B di Jepara. Hasilnya, estimasi per tahun penyebab kematian dini akibat emisi polutan udara PLTU adalah stroke (450 jiwa), penyakit jantung iskemik (400 jiwa), paru-paru obstuktif kronis (60 jiwa), kanker paru-paru (50 jiwa), jantung kronis dan penyakit pernapasan lainnya (30 jiwa), infeksi saluran pernapasan bawah pada anak di bawah usia 5 tahun (20 jiwa). Tidak beda dengan di Winong, banyak dari mereka menderita sakit pernapasan (ISPA).

Bisakah kita berharap kepada para pengambil kebijakan di berbagai penjuru untuk memutus mata rantai ancaman itu?

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Roma, Italia, telah berlalu. Tiga negara yang masuk 10 besar penghasil karbon, Tiongkok, Arab Saudi, dan Rusia, menargetkan penghentian emisi karbon (zero net emission) di 2060. Penghentian penggunaan batu bara di level nasional ditetapkan pada 2030. Namun, pertemuan G20 tidak membahas rencana penghentian penggunaan batubara secara bertahap (Kompas, 1/11).

Sulit melihat keseriusan para pemimpin G20 dalam merespons perubahan iklim. Beberapa negara akhirnya menindaklanjuti komitmen iklim itu, seperti penghentian penggunaan batubara, melalui COP26 di Glasgow. Namun, tidak semua negara yang terlibat mau menyatakan komitmen. Tiongkok, misalnya, tidak mau menandatangani komitmen penghentian penggunaan batubara secara bertahap (Global Coal to Clean Power Transition Statement) di COP26. Padahal, komitmen itulah yang nantinya bisa mendorong negara-negara untuk membuat peta jalan penghentian batu bara di tingkat nasional—dengan implementasinya melalui undang-undang dan kebijakan sektoral.

Indonesia, yang turut menandatangani komitmen itu, masih sangat tergantung pada energi kotor dan membutuhkan bantuan teknis dan finansial internasional untuk menghentikannya. Di sisi lain, ia juga ingin menunjukkan wajah komitmen terhadap krisis iklim—dengan melibatkan diri di satu rapat ke rapat lainnya, mulai dari KTT G20 hingga COP26.

Perubahan iklim benar-benar menggerus berbagai sisi kehidupan masyarakat Winong. Saat ini, satu per satu warga “mengajukan penjualan tanahnya kepada PLTU” agar bisa segera pindah ke tempat lain. Menurut data FMWPL, sebanyak 64 rumah terjual, 41 rumah sedang diajukan proses penjualan tanahnya, dan 145 rumah masih bertahan. Baik yang bertahan maupun pindah, semuanya merasakan dampak dari energi kotor dan tidak dibiarkan menjalani hidup yang aman dan nyaman.***

*Tulisan ini adalah hasil advokasi bersama LBH Yogyakarta. Nama-nama narasumber bukan nama sebenarnya, untuk melindungi privasi. 


Miftahul Huda adalah pegiat isu gender dan lingkungan


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.