Mempercantik Citra Indonesia: Tugas Dubes “Papua” di Selandia Baru

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


“ADALAH tugas saya menyajikan informasi yang tepat (accurate) dan terkini (up-to-date) untuk menggeser cara pandang Selandia Baru dan negara-negara di Pasifik tentang Indonesia: tidak benar bahwa orang Papua menginginkan kemerdekaan.”

Pernyataan ini disampaikan Tantowi Yahya pada Desember 2016 ketika namanya diusulkan sebagai Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Selandia Baru sekaligus Duta Besar keliling di negara-negara Pasifik seperti Tonga, Samoa, Kepulauan Cook dan Nieu.

Kini Tantowi dipanggil pulang setelah bertugas hampir lima tahun. Per 29 Januari 2022, Jokowi mengirim Fientje Suebu untuk mengantikannya. Fientje disebut sebagai orang Papua pertama, anak kepala suku, yang menjadi duta besar. Dia merupakan diplomat di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) yang karirnya merangkak dari bawah.

Fientje melanjutkan sebagian tugas yang dijalankan Tantowi. Dengan mengirimkannya Selandia Baru dan beberapa negara Pasifik, Indonesia berharap punya legitimasi untuk menjelaskan “dengan tepat” masalah di Papua. Dengan kata lain, Fientje ditugaskan ke Pasifik untuk memoles citra Indonesia, yang sebetulnya sudah rusak itu karena terus melakukan kejahatan kemanusiaan di Papua.

Apakah misi itu akan berhasil?


Kritik dari masyarakat sipil

Di Selandia Baru sendiri, kritik atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Indonesia di Papua semakin keras disuarakan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil. Beberapa yang paling aktif adalah Oceania Interrupted, West Papua Action Aotearoa[1], Asia Pacific Report[2], serikat buruh First Union[3], Amnesty International New Zealand, aliansi berbasis isu yang terdiri dari anak-anak muda Pasifik, kelompok masyarakat adat Maori, hingga eksil dan mahasiswa Papua di Selandia Baru.

Mereka adalah aliansi yang cair namun dengan fokus mengkampanyekan kejahatan kemanusiaan dan mendukung perjuangan kemerdekaan Papua. Dua di antara banyak aktivis dari kelompok yang sering bersuara di media massa adalah Maire Leadbeater[4] dan Catherine Delahunty.[5]

Pandangan dan sikap mereka tegas bahwa kejahatan kemanusiaan di Papua adalah akibat penjajahan dan bahwa Indonesia menikmati impunitas yang besar. Setidaknya ada tiga tuntutan utama yang mereka kemukakan, yang mana ketiga sikap ini bermuara pada sikap politik yang tegas: kemerdekaan bagi orang Papua.

Pertama, menekan pemerintah Selandia Baru menghentikan kerjasama (salah satunya di bidang militer). Manfaat dari kerjasama tersebut dipakai untuk melakukan kejahatan kemanusiaan.[6] Kedua, menyerukan pemerintah Selandia Baru dan negara-negara Pasifik mengirim utusan khusus ke Papua melihat situasi secara langsung. Ketiga, mendesak dunia internasional, khususnya PBB, untuk lebih proaktif menyelesaikan isu Papua dan menyodorkan opsi hak penentuan nasib sendiri.

Kritik-kritik dari organisasi masyarakat sipil di Selandia Baru tidak bisa dianggap sepele. Keberadaan dan pengaruh organisasi masyarakat sipil ini meluas dengan kontak yang terbangun di banyak kota. Pengaruh, latar belakang, dan koneksi beberapa aktivis di dalam jaringan ini cukup kuat di perpolitikan Selandia Baru.

Opini para aktivisnya kerap disiarkan oleh media arus utama seperti Stuff, NZ Herald, Newsroom, RNZ maupun media independen semacam The Spinoff, Asia Pacific Report, E-Tangata. Media-media yang sama juga selalu memberitakan kasus kejahatan HAM: anak-anak dan perempuan yang ditembak, pembunuhan, penyiksaan, penambahan oleh serdadu militer di Papua dan lain sebagainya.


Politisi Selandia Baru dan isu Papua

Kritik atas kebijakan-kebijakan Jakarta di Papua tidak hanya datang dari kelompok masyarakat sipil, tetapi juga dari para politisi yang partainya sedang berkuasa, seperti anggota dewan dari dari Partai Hijau (Green Party) dan Partai Buruh (Labour Party). Beberapa anggota parlemen dari Partai Hijau menyatakan dukungan terbuka pada perjuangan kemerdekaan Papua. Dalam peringatan pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 2020 di luar gedung parlemen di ibukota Wellington, misalnya, mereka ikut orasi bersama demonstran.

Anggota parlemen dari Partai Buruh seperti Louisa Wall mendukung referendum dan mendorong Papua dimasukan dalam agenda dekolonisasi di PBB. Selain itu, beberapa anggota parlemen dari Partai Buruh dan Partai Hijau pada 2017 menandatangani Westminster Declaration yang menyerukan hak penentuan nasib sendiri bagi orang Papua melalui pemungutan suara yang diawasi dunia internasional.



Demo mendukung perjuangan kemerdekaan Papua di luar gedung parlemen Selandia Baru pada 2016. Tampak hadir beberapa anggota parlemen saat itu, diantaranya Nanaia dari Partai Buruh yang kini menjadi menteri luar negeri (kedua dari kiri), Louise Wall dari Partai Buruh (ketiga dari kiri), Catherine Delahunty dari Partai Hijau (keempat dari kiri), dan Marama Davidson dari Partai Hijau (kelima dari kiri), dan David Tua, petinju keturunan Samoa (keenam dari kiri). Foto: E-Tangata.


Tentu ada kritik atas partai-partai tersebut, yang mempertanyakan kesungguhan mereka mengangkat isu Papua. Menurut Asia Pacific Media Watch, partai-partai politik yang memiliki kursi di parlemen dianggap tidak serius menjadikan isu Papua sebagai prioritas dalam kebijakan partai.

Partai Hijau, misalnya, dikritik karena gagal menempatkan isu Papua sebagai bagian dari kebijakan HAM partai, melainkan hanya menjadikannya sebagai satu dari sekian isu-isu yang dikomentari partai yang terkait dengan isu-isu global. Partai Buruh juga dikritik karena sama sekali tidak menyebut isu Papua dalam kebijakan luar negeri dan HAM-nya.

Meskipun apa yang dilakukan oleh sebagian politisi di Selandia Baru adalah upaya individual, namun hal ini tetap menambah tekanan di dalam partainya sendiri. Pemerintah Partai Buruh (yang didukung Partai Hijau) memang terkesan hati-hati menyampaikan kritik dan protes kepada pemerintah Indonesia. Namun, tekanan dari organisasi masyarakat sipil dan sebagian politisi dipercaya akan mampu memaksa pemerintah Selandia Baru mengambil tindakan keras kepada Indonesia.


Kritik atas Indonesia di Pasifik

Posisi negara-negara di kawasan Pasifik secara keseluruhan terbelah dalam memandang isu Papua. Keterbelahan ini kemudian termoderasi dalam sikap Pacific Island Forum, salah satu organisasi regional yang beranggotakan Australia, Selandia Baru, dan semua negara kepulauan di Pasifik. Mereka menekankan penyelesaian isu Papua dengan tetap memperhatikan kedaulatan Indonesia.

Selandia Baru sendiri memiliki pengaruh atas sebagian negara Pasifik dalam rumpun Polinesia, seperti Samoa, Tonga, dan Kepulauan Cook. Jika dorongan masyarakat sipil dan sebagian politisi Selandia Baru berhasil membuat pemerintahnya mengambil sikap yang tegas atas Indonesia, negara-negara Pasifik rumpun Polinesia itu kemungkinan juga mengambil sikap yang sama. Sejauh ini kritik atas kejahatan Indonesia telah disuarakan oleh pemerintah Tonga dan Samoa.

Di luar itu ada negara-negara Pasifik rumpun Melanesia yang secara geografis dan identitas lebih dekat dengan Papua. Sikap negara-negara ‘Melanesia’ memang terbelah. Fiji dan Papua Nugini yang terpikat dengan lobi politik dan ekonomi Indonesia cenderung diam dalam kasus Papua. Sementara Vanuatu tegas. Negara ini sering mengkritik Indonesia secara keras di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menyusahkan para diplomat muda Indonesia menanggapi kritik-kritik itu.

Vanuatu (dan Kepulauan Solomon) pasang badan agar United Liberation Movement of West Papua–koalisi dari organisasi pejuang kemerdekaan Papua–menjadi anggota peninjau di Melanesian Spearhead Group (MSG), organisasi regional untuk negara Pasifik rumpun Melanesia. Vanuatu pun telah menjadikan Benny Wenda sebagai salah delegasi resmi mereka. Dengan demikian, Wenda memiliki akses untuk mengikuti pertemuan-pertemuan tingkat internasional bersama Vanuatu untuk mengkampanyekan kejahatan HAM di Papua.

Terlepas dari keterbelahan posisi negara-negara di kawasan Pasifik, yang jelas kejahatan HAM di Papua akan terus menjadi perhatian di kawasan tersebut karena sebagian negara di sana mendukung perjuangan Papua dan menggunakan kesempatan yang ada untuk melakukan kritik dan intervensi agenda. Hal ini tentu saja berbeda dengan ASEAN yang sama sekali menutup mata atas bencana kemanusiaan di Papua.


Strategi kikuk dan solidaritas

Diplomasi Indonesia di dunia internasional, terutama di kawasan Pasifik, tampak inkonsisten dan kikuk. Sebagaimana dicatat Wangge (2016), “Indonesia kerap mengeluarkan pernyataan defensif terkait kedaulatan dan integritas wilayahnya namun tidak melakukan apa-apa atas masalah kemanusian yang justru menjadi keprihatinan utama aktor negara dan non-negara di Pasifik.”

Telah banyak laporan investigasi yang diterbitkan di dalam dan luar negeri—bahkan yang disusun oleh institusi-institusi negara Indonesia sendiri—yang dengan gamblang membeberkan fakta kejahatan HAM di Papua.

Wangge lebih lanjut mencatat bahwa kebijakan luar negeri Indonesia hanya berbasis pada kepentingan domestik, yaitu kedaulatan dan slogan “NKRI harga mati”. Pemerintah Indonesia berpura-pura bahwa gerakan politik penentuan nasib sendiri tidak pernah ada dan pada saat bersamaan percaya bahwa dukungan internasional ada di sisi mereka. Tapi komunitas internasional tidak sedungu yang mereka kira.

Tugas Dubes Indonesia dalam “memberikan informasi yang akurat” atas isu Papua sekaligus memberikan upaya memoles citra negaranya, dibangun di atas konteks diplomasi yang inkonsisten ini.

Paling tidak ada dua strategi yang akan dilakukan oleh Dubes Indonesia, jika berkaca dari apa yang telah dilakukan misi Tantowi Yahya.

Pertama, membangun lobi-lobi personal dengan para politisi dan selebriti di Selandia Baru. Tantowi aktif sebagai pengundang maupun peserta pada acara-acara kesenian, amal, dan juga pertemuan bisnis. Kedua, menyelenggarakan acara tahunan Pacific Exposition yang telah dimulai sejak 2019, yang dihadiri dihadiri delegasi dari negara-negara Pasifik.[7] Dalam menjalankan dua strategi ini, Tantowi berusaha menjajaki kerjasama ekonomi dan budaya, sambil menjelaskan isu Papua dengan template yang sudah disusun Jakarta.

Strategi seperti terbukti tidak berhasil mempercantik citra Indonesia. Kesadaran akan kejahatan HAM di Papua mulai meluas di kalangan masyarakat di Selandia Baru. Kesadaran ini dipupuk dari semangat membara kebanyakan masyarakat Selandia Baru suku Maori, juga masyarakat berkulit putih, untuk terus melakukan dekolonisasi atas warisan penjajahan. Sembari melawan di dalam negeri, mereka juga melihat ke sekitar, menemukan orang Papua sebagai subyek jajahan, dan karena itu menjulurkan lengan solidaritas.***


Merlin Mauhatua adalah peneliti isu-isu Papua


Catatan Akhir

[1] West Papua Action Aotearoa memiliki cabang di di kota Auckland dan Canterbury.

[2] Ini adalah media independen yang berbasis di Auckland University of Technology.

[3] First Union memiliki sebuah ruangan yang dinamakan “West Papua diplomatic desk” di kantornya di Kota Auckland. Selengkapnya baca, “The curious case of the West Papua diplomatic desk in Auckland”, https://www.rnz.co.nz/national/programmes/voices/audio/2018667926/the-curious-case-of-the-west-papua-diplomatic-desk-in-auckland

[4] Marie Leadbeater merupakan mantan anggota dewan kota (councilor) Auckland yang banyak menulis tentang Papua. Buku terbarunya adalah See no evil: New Zealand’s betrayal of the people of West Papua. Maire pernah menulis buku tentang pendudukan di Timor Timur dan berkampanye bagi kemerdekaan negara itu. Maire kini aktif dalam West Papua Action di Auckland.

[5] Catherine Delahunty merupakan anggota parlemen pusat dari Partai Hijau untuk 3 periode, 2008 – 2017 (satu periode pemilu di Selandia Baru adalah 3 tahun). Saat dia di parlemen, Partai Hijau masih menjadi partai oposisi. Ketika menjabat, Catherine seringkali terlibat aksi demo dan bersuara keras mengenai Papua. Salah satu pernyataannya menyebut Papua ‘sebagai ladang pembantaian, genosida’, dan menyamakan apa yang terjadi di Papua dengan masa apartheid di Afrika Selatan.

[6] Selain sebagai mitra ekonomi, Selandia Baru mengekspor peralatan militer kepada Indonesia, seperti suku cadang pesawat militer dan persenjataan, serta memberikan pelatihan bagi personel militer Indonesia.

[7] Acara Pacific Exposition ini kerap menjadi target demonstrasi organisasi masyarakat sipil pendukung perjuangan Papua di Selandia Baru.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.