Ilustrasi: Jonpey
THE GODFATHER, Taxi Driver, City of God, Narcos, Peaky Blinders. Sebagian besar film dan serial ini sangat menarik karena penuh aksi, drama, dan kekerasan—tak lupa bumbu-bumbu pesan moral kehidupan. Dalam tulisan kali ini saya bakal membahas salah satunya yaitu yang akhir-akhir ini musim terakhirnya paling ditunggu, tentu saja Peaky Blinders. Barangkali beberapa di antara teman-teman sudah pernah nonton. Saya akan sedikit kasih spoiler.
Serial karya Steven Knight ini merupakan serial drama kriminal tentang perseteruan antar gangster yang berlatar di Birmingham, Inggris pasca-Perang Dunia I. Tiga orang kakak beradik veteran perang keturunan Romani Irlandia bernama Thomas, Arthur dan John Shelby bersama sanak saudara lainnya membangun sebuah bisnis yang terus berekspansi dan menguasai salah satu wilayah kumuh industrial di Birmingham. Lewat kiprahnya dalam berbagai kegiatan ilegal, kelompok ini dikenal dengan nama Peaky Blinders. Meski terkenal garang, mereka terlihat modis dengan setelan keren di masanya dan topi flat cap khas mereka yang bagian belakangnya telah diselipkan silet sebagai senjata untuk melukai lawan.
Selain menguasai bisnis, mereka juga dikenal serta dihormati warga setempat, khususnya di Small Heath. Karena ketenarannya, mereka mulai diendus oleh pihak kepolisian kala itu. Mayor Chester Campbell, yang diminta oleh Winston Churchill untuk menumpas Tentara Republik Irlandia, orang-orang komunis dan kelompok kriminal lainnya, mulai mengamati gerak-gerik Peaky Blinders. Ketika Thomas Shelby menyelundupkan sebuah senjata militer Inggris paling modern di masanya, konflik kepentingan dan intrik mulai terjadi, begitu juga dengan strategi dan aksi. Bagaikan domino, satu konflik membawa ke konflik lainnya yang sumber utamanya tentulah upaya-upaya untuk melangsungkan kehidupan.
Satu hal menarik dari Peaky Blinders dan tontonan-tontonan sejenis: kondisi sosial yang diangkat ke layar tak hanya terjadi di dalam cerita, namun juga di dunia nyata. Ketika kemiskinan serta keterbatasan memaksa sekelompok orang yang merupakan bagian terluar dari struktur masyarakat di masanya berusaha mempertahankan hidup dengan menghalalkan segala cara. Dengan pembagian kerja tertentu dan kelompoknya, mereka membangun jaringan yang menjalankan berbagai usaha. Mulai dari perjudian, pemerasan, pencurian, penipuan, penyuapan bahkan hingga ke narkotika dan terorisme. Kelompok-kelompok ini masih hadir hari ini dan tak hanya ada di Birmingham namun di kota-kota lainnya di seluruh dunia seperti London, New York, Medellin, Amsterdam, Tokyo, Hong Kong hingga Jakarta.
Kita mungkin bertanya, apa yang memungkinkan kelompok-kelompok ini eksis? Bagaimana materialisme historis menjelaskannya? Lantas bagaimana kiranya proletariat mesti bersikap terhadapnya?
Dalam materialisme historis, Marx dan Engels mengkategorikan kelas-kelas sosial dari masa ke masa di dalam beragam corak produksi yang berbeda. Dalam kapitalisme, kelas yang dominan tentu saja proletariat dan kapitalis. Perihal kelas ini teman-teman bisa membaca rangkaian tulisan Dede Mulyanto: Ini Soal Kelas, Bro!, Masih Soal Kelas Ya? dan Masya Alloh Lenin, Masih Soal Kelas Ya? Ada salah satu bagian samar dari strata sosial yang selama ini hadir berkiprah dalam perang kelas namun namanya jarang sekali terangkat. Marx dan Engels menamakannya dengan sebutan yang khas, yaitu lumpenproletariat.
Mereka menggunakannya pertama kali dalam The German Ideology (1846), lalu dalam beberapa tulisan lainnya seperti The Communist Manifesto (1848), Class Struggle in France: 1848-1850 (1850), The Peasant War in Germany (1950) dan The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte (1852). Sering disebut sebagai “Dangerous Class” dan “Social Scum”, penjelasan soal lumpenproletariat dapat kita temukan pula dalam Das Kapital Vol. 1 khususnya dalam Bab 25 sub-bab 4 terkait surplus populasi relatif. Sederhananya, lumpenproletariat adalah sebuah kategori sosial untuk menyebut sekelompok orang di lapisan paling bawah di dalam struktur masyarakat kapitalis. Engels menjelaskan bahwa meredupnya feodalisme dan perubahan relasi produksi menjadi relasi kerja upahan di Eropa membuat sebagian populasi perdesaan tak terserap menjadi tenaga kerja. Walhasil, mereka yang kerap disebut ”surplus populasi” ini tak punya pilihan selain mengadu nasib ke perkotaan. Sesampainya di kota, sebagian besar dari mereka pun tak kunjung terserap menjadi tenaga kerja. Alih-alih menjadi lebih sejahtera, para pekerja dari perdesaan malah menjadi pengangguran. Jalan satu-satunya untuk bertahan hidup adalah mencari uang lewat aktivitas mengemis, memeras, mencuri, menipu, prostitusi dan pekerjaan-pekerjaan berisiko lainnya.
Marx menambahkan bahwa sebagai kategori ekonomi, selain merupakan sisa-sisa dari feodalisme, surplus populasi ini pun merupakan produk dari kapitalisme. Tentu saja kapital memanfaatkan keberadaannya, bahkan mereproduksinya untuk melangsungkan penciptaan nilai-lebih serta mendukung perkembangan industri. Marx pun mengelompokkannya sebagai surplus populasi relatif yang terdiri atas tiga kategori: Floating, Latent dan Stagnant. Populasi Floating terdiri dari pekerja tua atau mereka yang telah pensiun. Populasi Latent merupakan pekerja dari perdesaan yang bekerja di ladang namun secara musiman ke kota, sedangkan Populasi Stagnant terdiri dari pekerja dengan jam kerja tinggi, upah rendah dan bahkan sering tidak secara resmi yang mana hidupnya jauh di bawah standar hidup proletariat biasanya.
Di lapisan terbawah dari surplus populasi terdapat apa yang disebut sebagai lumpenproletariat. Kategori ini sering dikenal terdiri dari gelandangan, para kriminal, pekerja prostitusi dan kaum miskin kota. Namun lebih dari itu, Marx membaginya lebih lanjut menjadi tiga kategori. Pertama, mereka yang sanggup bekerja namun tak kunjung mendapatkan pekerjaan sehingga tak memiliki hubungan langsung dengan relasi produksi kapitalisme. Kedua, anak yatim piatu serta anak-anak fakir miskin yang merupakan anak dari orang tua yang merupakan bagian dari surplus populasi dan kelak akan menjadi cadangan kelas pekerja. Ketiga, yaitu orang-orang yang berada di lapisan terbawah. Mereka termasuk orang-orang yang cedera dan lumpuh, sakit kronis, mengalami gangguan mental, janda tua, anak-anak dan yatim piatu yang terbuang, pecandu narkoba dan alkohol, mereka yang sudah melewati usia produktif, dan orang yang kemampuannya tertinggal oleh kemajuan teknologi serta industri kapitalisme.
Clyde Barrow dalam The Dangerous Class (2020) menambahkan bahwa lumpenproletariat ini merupakan kelompok yang terusir. Mereka merupakan kategori kumpulan orang-orang yang beragam yang dari sudut pandang ekonomi kapitalis tak berguna, sebab mereka tak mampu bekerja dan berkontribusi untuk produksi nilai lebih. Walau lumpenproletariat berbeda dengan proletariat, namun, menurut Barrow, pemisahan antara keduanya tidaklah kaku, sebab dinamika perekonomian kapitalisme beserta krisisnya dapat membawa seseorang dari kategori proletariat menjadi lumpenproletariat dan bahkan sebaliknya.
Jika sebelumnya lumpenproletariat ditempatkan sebagai kategori ekonomi, Marx mengelompokkannya lagi sebagai kategori status sosial atau kultural dan gaya hidup. Ia membagi kembali lumpenproletariat menjadi tiga kelompok. Pertama, konspirator revolusioner profesional. Merupakan orang-orang dari bagian lumpenproletariat yang membentuk perkumpulan rahasia untuk menciptakan revolusi. Dari sinilah lahir para konspirator yang merekrut pasukan dari tongkrongan ke tongkrongan, membujuk orang-orang dengan retorika, mengajak mereka bergabung dalam kelompok rahasia dan melakukan aksi heroik. Marx menemukan kelompok ini di Prancis pada 1848. Selama revolusi, kelompok yang sebelumnya diagungkan karena heroismenya malah menjadi tentara bayaran bagi borjuis alih-alih berpihak pada proletariat.
Kedua, lumpenproletariat intelek. Merupakan orang-orang lumpenproletariat paham literasi yang bergabung dalam korespondensi media. Kelompok ini secara sadar tak sadar cenderung membela kepentingan borjuasi dan tentu saja bermanfaat bagi borjuasi untuk memberikan informasi versi mereka demi memenangkan pengaruh dalam pikiran serta pengetahuan publik tentang berbagai kondisi riil kehidupan. Lalu yang ketiga, para aristokrat rendahan atau aristokrat finansial yang bagi kelas kapitalis bagai lumpenproletariat bagi proletariat. Merupakan kelompok tak produktif bagai benalu yang hidup dari perjudian (entah pasar saham atau spekulasi real estate) atau pencurian (entah dari penyitaan atau kebangkrutan dan transaksi keuangan korup lainnya yang erat berhubungan dengan dunia kriminal).
Kategori kultural dan kategori ekonomi di atas menandaskan dua hal yang menurut Barrow mencirikan lumpenproletariat. Pertama, tidak satu pun dari kategori sosial ini memiliki relasi ekonomi langsung dengan produksi dan keberadaannya tak esensial dalam reproduksi kapitalisme—karena mereka hidup dari penipuan, perjudian, pencurian hingga kekerasan terorganisir untuk melayani tujuan kelas penindas. Kedua, kategori sosial ini berada di pinggir atau di luar corak produksi kapitalis. Meski demikian, mereka adalah produk sampingan yang tak terhindarkan dari—dan bahkan diperlukan dalam—kapitalisme.
Meski terlihat sepele, bukan berarti kehadirannya tak punya pengaruh dalam sejarah kapitalisme. Lumpenproletariat kerap memiliki tendensi reaksioner dalam perubahan sosial dan dapat dibeli untuk banyak kepentingan, khususnya para penindas. Karena posisi mereka selalu terombang-ambing tanpa arah, setiap aksi para lumpenproletariat selalu berkaitan dengan kelas sosial lainnya seperti kaum tani, monarki, borjuis dan bahkan proletariat. Ketika lumpenproletariat dimanfaatkan untuk suatu kepentingan, konsekuensinya mereka akan membawa serta semua lapisan golongan dan kepentingannya. Mulai dari para preman, geng dan kriminal lain dengan sifatnya yang tak terkendali. Mereka siap melakukan apapun, termasuk kekerasan brutal, demi siapa saja yang berani memberikan mereka imbalan terbanyak mulai dari uang, rumah, jabatan, jaminan hidup, pakaian layak hingga seragam tentara-tentaraan.
Hal ini dicatat oleh Engels dari pengalaman revolusi 1848, ketika para lumpenproletariat sanggup maju bahkan hanya dengan tinjunya dalam pertikaian antara borjuis, bangsawan dan polisi. Pemandangan yang sama juga terlihat di Kerajaan Napoli pada tahun yang sama: para Lazzaroni atau para preman digunakan para bangsawan Bourbon untuk menindas gerakan liberal dan demokratik di Italia. Begitu pula yang terjadi di Prancis pada hari-hari di bulan Juni 1848, ketika para lumpenproletariat direkrut oleh pemerintahan sementara sebagai Garde Mobile lalu diupah per hari, dipersenjatai lengkap dan dibuat terorganisir lalu berbalik menyerang para pekerja. Inilah mengapa Marx Engels menyebutnya sebagai “Dangerous Class”; bak parasit, ia akan menempel pada siapapun yang bisa memberikannya sari kehidupan. Lantas bagaimana kiranya proletariat menyikapi hal ini?
Setidaknya ada beberapa posisi terhadapnya. Pertama yaitu posisi alami, Marx Engels berpendapat bahwa lumpenproletariat kelak akan menghilang sendirinya seiring dengan runtuhnya kapitalisme. Mengapa demikian? Karena di dalam masyarakat sosialisme atau transisi menuju komunisme, ketika semua alat produksi serta tanah telah dimiliki oleh proletariat, setiap orang mesti bekerja bersama membangun masyarakat yang baru tersebut. Sehingga surplus populasi akan terserap ke dalamnya dan lumpenproletariat pun akan menjadi proletariat sepenuhnya. Hal ini akan terjadi alami, atau bahkan lewat intervensi dengan paksaan seperti yang pernah diterapkan di Soviet pada 1920-an lewat aturan kewajiban bekerja dan larangan ’parasitisme sosial’ yang kelak juga diterapkan di negara-negara Blok Timur.
Kedua yaitu posisi melawan, sebagaimana yang dipaparkan Rosa Luxemburg ketika membahas Revolusi Rusia 1950 dalam The Russian Revolution (1918). Menurut Luxemburg, lumpenproletariat tak akan menyusut seiring perkembangan kapitalisme, takkan juga menghilang secara otomatis seiring keruntuhan kapitalisme. Baginya proletariat mesti berjuang mengalahkan para lumpen dalam pertarungan nyata di situasi revolusi, sebab jika tidak, merekalah yang akan menghancurkan gerakan proletariat. Sejarah membutikan ketika Rosa dan Liga Spartakus dilibas habis oleh Freikorps yang terdiri dari lumpen berwujud paramiliter fasis. Ketiga adalah posisi memanfaatkan, kurang lebih diterapkan oleh Lenin dan Mao. Dalam tulisannya Analysis of the Classes in Chinese Society (1925) menjelaskan bahwa sebagian lumpenproletariat bukanlah kelas yang stabil, sehingga sebagian dapat dibayar oleh kaum reaksioner dan sebagiannya bisa saja dirangkul oleh kaum revolusioner. Menurutnya para lumpen mesti diarahkan dan dibimbing dalam lingkungan proletariat yang disiplin. Namun tentu saja hal itu adalah suatu tantangan yang penuh kesabaran. Sebab tanpa arahan mereka akan kembali ke sifat alamiahnya yang mencari keuntungan sendiri, penuh kekerasan, semaunya sendiri, minim moral, dan kesetiaannya dapat dibeli. Mau tak mau, kita akan mengingat kembali deskripsi Engels dalam pengantar The Peasant War in Germany bahwa lumpenproletariat adalah seburuk-buruknya sekutu dalam revolusi.
Lalu bagaimana dengan lumpenproletariat di Indonesia? Dari paparan di atas, barangkali kita semua sudah paham betul apa dan siapa saja mereka. Namun, asumsi terkadang meleset dari realitas hari ini sehingga diperlukan penelitian mendalam untuk menjawabnya. Ini penting untuk membantu gerakan pekerja lepas dari blunder dan involusi. Atau barangkali malahan kita sendiri yang merupakan bagian dari surplus populasi lalu menjadi lumpenproletariat? Relasi dalam masyarakat kapitalis hari ini memang semakin kompleks sehingga wajar jika batas-batas proletariat dan lumpenproletariat semakin samar.
Thomas Shelby dan keluarga hanyalah salah satu jenis dari lumpenproletariat yang berusaha bertahan hidup. Masih banyak kisah yang hingga hari ini kurang lebih sama di semua belahan dunia. Mereka adalah imbas dari gagalnya kapitalisme mensejahterakan umat manusia, sekaligus blundernya perjuangan proletariat dalam merebut kekuasaan. Walhasil, apa yang diwanti-wanti Rosa Luxemburg pun terjadi: kini lumpenproletariat makin berlipat ganda dan bergerombol menggunakan jubah nasionalisme, suku bangsa, ras, agama serta perbadutan lainnya dan siap sedia menggebuk siapapun yang menghalangi jalannya, termasuk gerakan kelas pekerja. Pilihannya apakah kita proletariat akan bersatu dan melawan atau kita hanya akan mengulangi nasib Liga Spartakus?
Ada salah satu kutipan dari Thomas Shelby yang menurut saya keren. “Ada Tuhan dan ada Peaky Blinders. Ini Sparkhill dan kita berada di Small Heath. Kita jauh lebih dekat ketimbang dengan Tuhan.”
Yang lebih pas buat kita kira-kira begini: Ada kapitalis dan ada lumpenproletariat. Ini Indonesia dan kita berada di dalam dunia kapitalisme. Lumpenproletariat lebih dekat dengan proletariat ketimbang dengan para kapitalis.***
Kepustakaan
Barrow, Clyde W. (2020). Dangerous Class. Michigan: University of Michigan Press.
Marx, Karl. (1990). Capital Volume 1. London: Penguin Classics.