Kapitalisme, Kelas Kapitalis dan Krisis Ekologi

Print Friendly, PDF & Email

Illustrasi: Illustruth


PADA artikel saya sebelumnya yang mendiskusikan soal antroposen, dinyatakan bahwa manusia adalah penyebab utama terjadinya krisis ekologi saat ini. Sebabnya, sebagaimana disimpulkan oleh para ilmuwan sistem Bumi (Earth system), “dalam 50 tahun terakhir telah terjadi transformasi yang sangat cepat terkait hubungan manusia dengan alam dalam sejarah spesies.” [1]

Namun, fakta-fakta keras yang dikemukakan oleh para pengusung epos antroposen itu bukan tanpa kritik. Terutama karena kata “Manusia” dalam narasi antroposen tersebut dianggap terlalu umum atau terlalu universal. Ada dua dampak dari penggunaan kata manusia secara umum ini: pertama, karena hubungan manusia dengan alam begitu erat maka krisis ekologi dengan demikian adalah sebuah keniscayaan, sesuatu yang tidak bisa dihindari kecuali kita memisahkan atau memutus hubungan tersebut. Tapi, hal itu mustahil dilakukan karena manusia hidup dan membangun peradabannya di atas bumi ini. Konsekuensinya, apapun solusi yang ditawarkan untuk penyelesaian krisis ekologi tidak akan berdampak signifikan bagi keselamatan ekosistem bumi.

Kedua, karena manusia yang dirujuk itu bersifat universal maka pelaku kerusakan alam itu adalah manusia secara keseluruhan tanpa melihat latar belakang dan aktivitasnya. Di sini muncul ketidakadilan dalam melihat hubungan manusia dengan alam. Sebab tidak semua manusia memiliki sumber daya (ekonomi, kekuasaan politik dan jaringan kerja) yang sama, dan karena itu tidak semua aktivitas manusia terhadap alam memiliki dampak merusak yang juga sama. Aktivitas pengusaha pemilik ratusan ribu hektar perkebunan kelapa sawit dalam proses penggundulan hutan, pencemaran air, pemanasan global dan konflik pertanahan, misalnya, tentu tidak sama dampaknya dengan aktivitas penduduk yang hidup dari memungut hasil-hasil hutan secara terbuka. Oleh karena itu, tidak adil jika kemudian seluruh manusia harus memikul (atau diminta memikul) tanggung jawab yang sama terkait krisis ekologi yang semakin memburuk saat ini.

Kalau demikian adanya, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa manusia antroposen yang paling bertanggung jawab atas terjadinya krisis ekologi ini? Mengikuti pembabakan yang dibuat oleh Paul Crutzen, Eugene Stoermer dan para ahli ilmu bumi lainnya, saya akan mencoba menjawabnya dengan menempatkan epos antroposen ini dalam corak produksi kapitalisme dan kemudian melihat peran kelas kapitalis ketika berhubungan dengan alam.


Kapitalisme

Menjelaskan kapitalisme secara singkat adalah perkara susah-susah-gampang. Susah karena kita terpaksa harus memangkas banyak persoalan teoritik terkait dengannya. Misalnya, penjelasan tentang apa itu komoditi, apa itu kerja, atau apa itu nilai lebih, dsb yang sejatinya merupakan fondasi penting untuk kita bisa memahami kapitalisme secara mendalam dan komprehensif.

Kita bisa memulai penjelasan tentang kapitalisme melalui formula M->C->ΔM, dimana M adalah Money (Uang), C adalah Commodity (Komoditi) dan ΔM adalah Uang yang lebih besar lagi. Formula ini disebut Karl Marx sebagai medan sirkulasi kapital. Menurut Marx, kapitalisme adalah sebuah sistem sosial produksi yang bermula dari Uang (M) yang kemudian uang itu digunakan untuk membeli Komoditi (C) untuk selanjutnya dijual ke pasar untuk mendapatkan Uang lebih lebih besar lagi (ΔM). Pertanyaannya, dari mana tingkat keuntungan lebih besar (ΔM) itu diperoleh? Mengikuti formula M–>C–> ΔM, Marx mengatakan bahwa ketika si kapitalis membelanjakan uangnya untuk membeli komoditi (C) maka komoditi yang dibelinya itu adalah alat-alat produksi (means of production/MP) dan tenaga kerja (labor power/LP). Hanya dengan adanya kedua jenis komoditi inilah baru kemudian si kapitalis bisa menghasilkan komoditi (C’) yang nantinya dijual di pasar untuk menghasilkan ΔM, sehingga formulasinya menjadi M-C-C’- ΔM. Tetapi, proses ini tidak berhenti di ΔM, melainkan terus bergulir dan berbiak tanpa henti M-C- ΔM’’, lalu M-C- ΔM’’’, dan seterusnya.

Dari penjelasan sederhana ini, kapitalisme sebagai sebuah sistem hubungan sosial produksi dicirikan oleh lima hal yang tak terpisahkan satu sama lain (bersifat organik): pertama, adanya produksi komoditi (production of commodities), dimana produksi barang dilakukan bukan untuk dikonsumsi secara langsung tapi dipertukarkan di pasar. Untuk bisa mengonsumsi sebuah produk tertentu, Anda harus membelinya di pasar; kedua, adanya kerja-upahan (wage-labour) atau kelas buruh yang dieksploitasi oleh kelas kapitalis sehingga melahirkan konflik kelas yang tak terdamaikan di antara keduanya; ketiga, kehendak kelas kapitalis untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness) melalui eksploitasi tenaga kerja buruh dan eksploitasi terhadap alam yang melintasi batas ruang dan waktu. Dari sini kita bisa mengerti mengapa krisis ekologi mengalami percepatan di bawah sistem kapitalisme; keempat, kapitalisme dicirikan oleh organisasi yang rasional; dan terakhir, kelima, sebagai konsekuensi dari kehendak untuk akumulasi kapital, kapitalisme berwatak ekspansionis dan dinamis yang membuatnya berbeda dengan sistem non-kapitalis yang statis.[2]


Kelas Kapitalis

Berbeda dengan para ekonom arus utama, Marx melihat esensi kapitalisme pertama-tama dan terutama adalah hubungan antar manusia, bukan hubungan antara manusia dengan benda, apalagi hubungan di antara benda-benda. Karena kapitalisme merupakan hubungan sosial produksi, maka hubungan antara manusia yang dimaksud adalah hubungan antara pemilik alat-alat produksi yang tujuan utamanya adalah meraih keuntungan tanpa batas di satu pihak, dengan mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi, yang untuk hidup mereka harus menjual tenaganya kepada pemilik alat-alat produksi di pihak lain. Mereka yang memiliki alat-alat produksi ini disebut sebagai kelas kapitalis.

Masih menurut Marx, kelas kapitalis ini memiliki kekuasaan, bukan karena kemampuan personal atau kualitas kemanusiaannya, tetapi lebih karena kedudukannya sebagai seorang pemilik (owner) dari kapital. “Kekuasaannya adalah kekuasaan membeli (purchasing) dari kapitalnya tersebut yang tak ada seorang pun bisa menahannya.”[3] Seperti yang sudah disebutkan di atas, karena sistem kapitalisme adalah sistem yang berorientasi pada pengejaran dan penumpukan profit setinggi-tingginya tanpa terinterupsi, maka secara alamiah demikian pula tujuan utama kelas kapitalis ini.

Dalam Capital Vol. I, Marx menulis bahwa dalam medan sirkulasi kapital, kelas kapitalis ini memiliki dua tujuan: pertama, ia ingin memproduksi sebuah produk yang memiliki nilai-guna (use-value) yang kemudian akan dipertukarkannya, yakni barang yang ditakdirkan untuk dijual, sebuah komoditi; kedua, ia ingin memproduksi sebuah komoditi yang memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan jumlah total nilai komoditi (C) yang digunakannya untuk memproduksi komoditi (C’) itu di pasar terbuka. Ringkasnya, kelas kapitalis tidak hanya bertujuan memproduksi nilai-guna, tetapi juga menghasilkan sebuah komoditi; tidak hanya nilai-guna, tapi juga nilai (value); dan bukan hanya nilai tapi juga nilai-lebih (surplus-value).[4] Dalam bahasa sehari-hari, tujuan utama dari si kapitalis adalah untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya secara terus-menerus. Jika dalam aktivitasnya itu tingkat keuntungan yang diraupnya menurun—apalagi sampai merugi—(dengan berbagai penyebab) maka ia akan keluar atau dipaksa keluar dari medan sirkulasi kapital itu.

Sampai di sini, bagaimana kita menghubungkan penjelasan tentang kapitalisme dan kelas kapitalis ini dengan krisis ekologi? Mari kita ambil contoh kasus industri berbasis fosil khususnya batu bara (coal). Bukan kebetulan jika Crutzen dan Stoermer mengatakan bahwa epos antroposen ini bermula sejak akhir abad ke-18, yang bertepatan dengan penemuan mesin uap (steam engine) oleh James Watt. Seperti ditulis dengan brilian oleh Andreas Malm dalam bukunya Fossil Capital, penggerak utama mesin uap ini adalah batu bara. Bersamaan dengannya penemuan mesin uap inilah fondasi ekonomi fosil ini diletakkan.[5]

Sejak penemuan mesin uap, pertumbuhan ekonomi berlangsung dalam skala raksasa—sebagaimana dikatakan Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis, keajaiban kapitalisme melampaui segala bentuk keajaiban dunia yang pernah ada sebelumnya. Tetapi, harga yang harus dibayar dari ekonomi berbasis fosil ini juga tidak kalah gigantiknya: kesenjangan lebar antara kaya-miskin baik intra negara maupun antar negara, kolonialisme, imperialisme, rasisme, perang, dan krisis ekologi.

Akibat dari penambangan batu bara ini, misalnya, terjadi pelepasan karbon dioksida, nitrogen oksida, sulfur dioksida, dan gas metana yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim secara ekstrim, peningkatan suhu bumi, mencairnya es di kutub, terjadinya hujan asam, dst. Selain itu, akibat dari penambangan batu bara ini kualitas kesuburan tanah menurun drastis, air tercemar limbah merkuri dan zat logam, muncul bekas lubang galian, banjir dan tanah longsor. Dari aspek kesehatan, pembakaran batu bara ini menyebabkan kanker paru-paru, penyakit ginjal kronis, jantung, pneumokoniosis, dan silikosis bagi buruh dan warga sekitar area penambangan. Deretan dampak negatif dari penambangan batubara dan industri berbasis bahan bakar batubaru ini bisa lebih panjang lagi.

Celakanya, Indonesia adalah salah satu negara produsen batu bara terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 606,7 juta ton pada 2021. Dengan demikian, Indonesia juga merupakan salah satu penyumbang terbesar dari krisis ekologi saat ini. Tetapi, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, kita mesti lebih spesifik lagi melihat bahwa tidak semua orang Indonesia terlibat dalam aktivitas penambangan batu bara ini. Juga, tidak semua yang terlibat dalam bisnis sektor ini memiliki daya merusak yang setara. Para kapitalis yang bergerak di sektor penambangan batu bara itulah yang paling bertanggung jawab atas krisis ekologi ini.

Laporan yang dibuat oleh Project Multatuli (PM)[6] menunjukkan bahwa hingga 2021, ada 66 perusahaan batubara beroperasi dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan 1.162 perusahaan dengan izin usaha pertambangan (IUP). Dari jumlah tersebut, pada tahun 2020 tercatat lima induk usaha batubara terbesar di Indonesia, yakni PT Bumi Resources yang dikendalikan keluarga Bakrie, Grup Sinar Mas Mining milik keluarga Widjaja, PT Adaro Energy yang dikontrol bersama oleh keluarga Thohir serta keluarga Soeryadjaya dan kerabatnya, PT Indika Energy yang dikontrol keluarga Sudwikatmono, dan PT Bayan Resources yang dipimpin Low Tuck Kwong. Selain itu, masih menurut PM, setidaknya ada delapan oligark yang menguasai enam induk usaha batubara tersebut, yakni Aburizal Bakrie, Fuganto Widjaja, Sandiaga Uno, Edwin Soeryadjaya, Garibaldi “Boy” Thohir, Erick Thohir, Agus Lasmono, dan Low Tuck Kwong. Selain para raksasa ini, di bisnis arang ini mencuat nama dua pensiunan jenderal yang memilliki pengaruh sangat besar, yakni Prabowo Subianto dan Luhut Binsar Pandjaitan.


Penutup

Dari paparan singkat ini, menjadi jelas bahwa ketika berbicara tentang krisis ekologi di epos antroposen ini, kita tidak bisa melepaskanya dari konteks kapitalisme dan kelas kapitalis sebagai penyebab utamanya. Melepaskan konteks kapitalisme dari krisis ekologi ini akan menyebabkan upaya-upaya penanggulan krisis ekologi hanya akan bersifat tambal-sulam dan sekadar menunda kepunahan ekosistem bumi dan manusia yang hidup di atasnya. Ini memang tidaklah mudah, karena kapitalisme bukan hanya sesuatu yang bersifat abstrak dan struktural, tetapi sudah menjadi sebuah gaya dan budaya hidup sehari-hari. Tidaklah heran jika kita akhirnya menganggap bencana alam yang terjadi sebagai hal normal belaka dan kehidupan akan kembali bergerak seperti sebelumnya.

Demikian juga, ketika kita berbicara tentang siapa yang paling bertanggung jawab atas krisis ekologis saat ini, jawabannya tidak lain adalah kelas kapitalis. Secara politik, senjata kritik dan perlawanan gerakan pro-lingkungan harus diarahkan kepada mereka, bukan kepada manusia secara umum.***


Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS


Catatan Akhir

[1] Camilla Royle, “Marxism and the Anthropece”, International Socialism a quartely review of socialist theroy, http://isj.org.uk/marxism-and-the-anthropocene/#footnote-10080-35. Diunduh pada 6/2/2022.

[2] M.C. Howard and J.E. King, The Political Economy of Marx, (New York: New York University Press, 1985), 8.

[3] Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 and the Communist Manifesto, (New York: Promotheus Books, 1988), 36.

[4] Karl Marx, Capital Volume I, (London: Penguin Books, 1990), 293.

[5] Andreas Malm, Fossil Capital, The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming, (London: Verso, 2016), 16.

[6] Viriya Singgih, “Profil & Peta Koneksi Bisnis dan Politik 10 Oligark Batubara Terbesar di Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi”, Project Multatuli, https://projectmultatuli.org/profil-peta-koneksi-bisnis-dan-politik-10-oligark-batubara-terbesar-di-indonesia-di-bawah-pemerintahan-jokowi/. Diunduh pada 8/2/2022.

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.