Illustrasi: Jonpey
PADA Februari 2000, bertempat di Cuernavaca, ibukota dari negara bagian Morelos di Meksiko, sekelompok ahli ilmu alam yang tergabung dalam organisasi bernama International Geosphere-Biosphere Program (IGBP), tengah menghelat pertemuan tahunan mereka. Salah satu peserta pertemuan itu adalah Paul J. Crutzen, wakil ketua dari IGBP. Crutzen adalah seorang meterolog dan ahli kimia atmosfer asal Belanda yang pada 1995 memenangkan hadiah Nobel untuk penelitiannya tentang lapisan ozon.
Pada satu sesi pertemuan di sore hari, Crutzen tampak serius mendengarkan paparan para kolega ilmuwannya tentang perubahan-perubahan besar yang sedang terjadi pada bumi tempat kita tinggal ini. Di tengah-tengah presentasi itu, Crutzen tiba-tiba menginterupsi para koleganya yang kerap menggunakan istilah Holosen untuk menjelaskan tentang fenomena perubahan yang sedang terjadi sekarang. “Stop menggunakan istilah Holosen. Kita tidak sedang berada di Holosen lagi. Kita sedang berada di… Antroposen.”[1] ujar Crutzen.[2]
Eva Horn dan Hannes Bergthaller dalam buku mereka Anthropocene Key Issues for the Humanities bercerita bahwa interupsi Crutzen mendatangkan kebingungan di kalangan koleganya. Bahkan ketika sesi istirahat minum kopi, tidak ada pembicaraan lebih lanjut soal itu. Karenanya, segera setelah pertemuan tahunan tersebut usai, Crutzen mengajak ahli biologi air tawar (limnolog) Eugene F. Stoermer, dari University of Michigan, Amerika Serikat, yang beberapa kali menggunakan istilah antroposen pada dekade 1980an, untuk menulis paper programatik pendek guna menjelaskan apa yang dimaksud dengan antroposen di buletin terbitan IGBP. Dalam artikel bertajuk “The Anthropocene”, keduanya menulis bahwa setelah melalui berbagai studi dan penelitian terkait dampak dari perkembangan pesat aktivitas manusia di bumi dan atmosfer, mereka mengusulkan penggunaan istilah “antroposen” untuk zaman (epos) geologis terkini.[3]
Apa dampak dari keterlibatan manusia yang sangat besar dan berskala global terhadap bumi dan seisinya itu? Paparan Crutzen dan Stoermer menunjukkan bahwa peran sentral manusia dalam geologi dan ekologi ini ternyata lebih bersifat menghancurkan ketimbang menghasilkan manfaat. Keduanya, misalnya, mendaftar beberapa hal buruk yang disebabkan oleh aktivitas manusia tersebut: pertumbuhan populasi manusia berlangsung 10 kali lipat dalam tiga abad terakhir, ketika populasi sebesar itu telah memelihara 1,4 miliar ternak sapi penghasil metana (CH4), yang merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhannya dan perkembangan-perkembangan hidupnya, manusia antroposen ini kemudian mengeksploitasi lebih dari 30-50 persen permukaan tanah, menghancurkan hutan hujan tropis, mengalihkan aliran sungai dan membangun bendungan-bendungan raksasa, dan mengkonsumsi lebih dari setengah keseluruhan air tawar yang bisa diakses. Intervensi manusia ini juga menyebabkan terjadinya penurunan sebesar 25 persen ikan di wilayah laut dalam dan 35 persen di laut dangkal, meningkatkan penggunaan pupuk nitrogen lebih dari dua kali lipat dalam pertanian seperti yang digunakan secara alami di semua ekosistem terestrial yang digabungkan, menyebabkan terjadinya peningkatan sebesar 16 kali lipat penggunaan energi pada abad kedua puluh, yang menyebabkan terjadinya peningkatan emisi sulfur dioksida (SO₂) menjadi lebih dari dua kali tingkat alami dan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer untuk level tertinggi mereka dalam lebih dari 400.000 tahun.[4]
Karena sifat intervensi manusia yang destruktif itu, antroposen juga adalah sebuah epos dimana ekologi bukan hanya sedang berada dalam kondisi krisis, dimana pada tahap tertentu di masa depan bisa diatasi, tapi lebih dari itu, antroposen adalah sebuah ambang batas ekologi, sebuah patahan radikal (radical break) dari kondisi-kondisi ekologi yang sangat stabil pada epos holosen.[5]
Manusia sebagai Pusat
Kapan tepatnya epos antroposen ini bermula? Para sarjana geologi memiliki jawaban beragam soal ini. Ahli paleoklimatologi William Rudiman, misalnya, berpendapat bahwa epos antroposen ini sudah dimulai 5000-8000 tahun lalu, yang ditandai oleh pembukaan lahan untuk kebutuhan pertanian yang menyebabkan peningkatan level karbondioksida dan metana di udara. Sementara sarjana lingkungan Erle Ellis mengatakan bahwa asal muasal antroposen ini berjarak lebih jauh ke belakang ketimbang perkiraan Rudiman, yakni semenjak era Pleistocene (1,808.000-11,500) tahun lalu. Atas dasar itu, Ellis mengusulkan sebaiknya seluruh 11.000 tahun terakhir dari holosen seharusnya diganti saja namanya menjadi antroposen.”[6]
Jika kita mengikuti pandangan Rudiman dan Ellis ini[7], maka sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait dengan campur tangan atau keterlibatan manusia terhadap bumi dan seisinya. Perubahan iklim, bocornya lapisan ozon, kadar pengasaman laut yang makin tinggi adalah sebuah krisis ekologi biasa, sebuah proses alamiah hasil dari aktivitas manusia sejak jutaan tahun lalu. Tidak heran jika argumen ini mendapatkan sambutan hangat di kalangan borjuasi dan para pelobi anti-lingkungan.
Crutzen dan Stoermer sendiri berpendapat, walaupun bukan sebuah kesimpulan yang pasti, bahwa epos antroposen ini dimulai pada bagian terakhir abad ke-18, yang bertepatan dengan penemuan mesin uap oleh James Watt.[8] Dalam literatur ekonomi politik periode ini dikenal sebagai periode Revolusi Industri, yang mengawali pembakaran batubara dalam skala besar telah memicu kenaikan jangka panjang dalam konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Singkatnya, industrialisasi adalah titik mula dari antroposen.
Jika kita ingat bahwa epos antroposen merupakan sebuah patahan radikal dari epos holosen, maka dalam kaitan hubungan manusia dengan alam, kita bisa katakan bahwa telah terjadi perubahan yang sangat radikal di antara kedua epos geologis ini. Pada epos holosen, misalnya, baik manusia dan alam dilihat sebagai sumber kerendahhatian, kekaguman dan ketakjuban. Di sini manusia membangun hubungan estetis dan spritual dengan dirinya sendiri dan dengan alam, dimana alam internal dan eksternal harus diapresiasi karena kualitasnya sendiri, bukan pada nilainya sebagai sumberdaya material atau komoditi bagi kepentingan manusia semata. Karena itu penghormatan terhadap entitas non-manusia sangat diperlukan. Organisme, menurut pandangan ini, lebih dari sekadar mesin dan kumpulan dari atom-atom; mereka adalah entitas menyeluruh dan bersifat independen.[9]
Tetapi pada epos antroposen, hubungan yang harmonis dan setara antara manusia dengan alam itu kemudian dijungkirbalikkan, bermula pada zaman pencerahan (age of enlightment) di abad ke-17 dan 18. Para ‘Pangeran Pencerahan’ seperti Isaac Newton, Francis Bacon dan Rene Descartes memaklumatkan sebuah diktum baru bahwa manusia adalah pusat dari segalanya, bahwa manusia sendirilah yang menentukan takdir hidupnya, bukan kekuatan-kekuatan adikuasa yang transenden dan mistis. Dipandu oleh rasionalisme, empirisme, pragmatisme, dan sekularisme, manusia-manusia pencerahan ini memberontak terhadap tatanan dunia lama yang gelap, terbelakang, dan barbar. Sapere Aude (berani berpikir) adalah motto dari keseluruhan zaman pencerahan, kata filsuf Immanuel Kant.
Dalam hubungannya dengan alam, Francis Bacon, nabinya ilmu pengetahun modern, berpendapat bahwa posisi manusia adalah superior atas alam. Walaupun secara filsafati Bacon adalah seorang monis dan materialis, tetapi dalam hubungan manusia dengan alam filsafatnya mengusung dualisme fungsionalis yang kelak menjadi populer dan berpengaruh di tangan Rene Descartes. Karena itu, ketimbang melihat manusia sebagai bagian dari jejaring alam (web of nature)sebagaimana dalam epos holosen, Bacon melihat alam itu keras dan kejam dan karenanya harus ditundukkan oleh manusia. Bagi Bacon, manusia adalah Kaisar dari Kerajaan Bumi, wilayahnya adalah bumi itu sendiri yang harus dikuasai, dikelola dan ditransformasikan untuk melayani kebutuhan dan kepentingan manusia.[10] Dan dalam epos antroposen penundukkan dan pengelolaan kerajaan bumi itu dilakukan melalui proses industrialisasi dan penemuan-penemuan ilmiah.
Pemisahan manusia dari alam yang ditindaklanjuti oleh dominasi dan penundukkan manusia atas alam ini mencapai titik puncaknya pada bapak filsafat modern asal Prancis, René Descartes (1596-1650). Warisan pemikiran Descartes yang paling berpengaruh dan hingga kini masih terus diperbincangkan adalah pemisahannya yang tegas antara pikiran (mind) dan materi/tubuh (matter/body), yang terkenal dengan sebutan Dualisme Cartesian atau Revolusi Cartesian dalam bahasa sosiolog Jason W. Moore.[11] Dalam kaitan hubungan manusia dengan alam, dualisme Cartesian ini tampak dalam cara pandang yang saling berhadap-hadapan antara masyarakat dan alam (society and nature).
Lebih jauh dalam bukunya Discourse and Method (1637), Descartes mengasosiasikan manusia (human beings) dengan mind, sementara hewan derajatnya diturunkan ke level mesin (machine) atau mesin alamiah.[12] Dalam konteks ini, maka, menurut Moore, Revolusi Cartesian mencakup tiga hal: pertama, pemberlakuan status ontologis pada entitas (substansi) sebagai lawan dari hubungan (yaitu energi, materi, orang, gagasan dan sebagainya menjadi sekadar benda); kedua, pemaksaan … agar segaris dengan logika memilih hanya salah satu (bukan keduanya) mendominasi atau didominaasi; dan ketiga, dukungan atas gagasan mengenai kontrol terencana atas alam melalui penggunaan metode-metode saintifik. Dari ketiga doktrin ini, Moore dengan memparafrasekan Tesis kesebelas Marx Tentang Feuerbach, mengatakan bahwa “bagi kalangan materialisme modern awal, soalnya bukan sekadar menafsirkan dunia tapi bagaimana mengontrolnya: (mengutip Descartes) ‘untuk memungkinkan kita (manusia) menjadi tuan dan pemilik alam’”.[13]
Penutup
Dari paparan singkat di atas, krisis ekologi yang terjadi saat ini memaksa kita untuk memikirkan kembali secara serius bagaimana hubungan manusia dengan alam. Sudah jelas bahwa doktrin manusia sebagai pusat dari ekosistem dan cara pandang binary (manusia/alam atau manusia dan alam) yang merupakan warisan zaman pencerahan, tidak bisa lagi dipertahankan. Fakta-fakta geologis sudah membuktikan bahwa “anak-cucu ” pencerahan” ini adalah sumber masalah dari krisis ekologi saat ini.
Namun demikian, mengadopsi secara mentah-mentah nilai-nilai Romantik yang mengusung hubungan yang monistik antara manusia dengan alam seperti pada epos holosen, bukan tanpa masalah. Secara ekonomi-politik, epos holosen ditandai oleh corak produksi perbudakan dimana kelas-kelas sosial yang dominan adalah kelas budak vs kelas tuan budak, dan corak produk feodal dimana kelas-kelas sosial yang dominan adalah kelas petani hamba vs kelas tuan tanah. Sementara epos antroposen dicirikan oleh corak produksi kapitalisme dengan kelas buruh vs kelas borjuasi sebagai kelas sosial yang dominan.
Tanpa mempertimbangkan secara serius perbedaan di antara berbagai corak produksi (sistem ekonomi yang spesifik) ini, maka upaya untuk mengharmoniskan dan menyeimbangkan hubungan manusia dengan alam di epos antroposen ini hanya akan menjadi isu moral: penanaman sejuta pohon, pertanian organik, membuat mobil tenaga surya, mengganti kantong plastik dengan kantong kertas, jangan buang sampah sembarangan, dst, dst. Dari temuan-temuan ilmiah terbaru, tindakan-tindakan moralistik seperti ini gagal dalam menghentikan laju krisis ekologi. Sapere Aude!***
Coen Husain Pontoh adalah editor IndoPROGRESS
Catatan Akhir
[1] Secara etimologis, antroposen adalah gabungan dari dua kata anthropo (dari bahasa Yunani anthropos yang berarti manusia) dan cene (dari kainos, yang berarti baru). Antroposen dengan demikian berarti manusia baru.
[2] Eva Horn and Hannes Bergthaller, Anthropocene Key Issues for the Humanities, (London: Routledge, 2020), 1.
[3] Paul Crutzen and Eugene F. Stoermer, “The Anthropocen”, Global Change NewsLetter, No. 41, May 2000, 17-18, http://www.igbp.net/download/18.316f18321323470177580001401/1376383088452/NL41.pdf. Diunduh pada 9/1/2022. Lihat juga Ian Angus, facing the anthropocene fossil capitalism and the crisis of the earth system, (NY: Monthly Review Press, 2016), 33.
[4] Ibid. Lihat juga Ian Angus, facing the anthropocene fossil capitalism and the crisis of the earth system, (NY: Monthly Review Press, 2016), 36.
[5] Eva Horn and Hannes Bergthaller, Anthropocene, 1-2.
[6] Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humann in the Anthropocen, (Australia: Allen&Unwin, 2017), 20-21; Ian Angus, facing the anthropocene, 53.
[7] Fakta-fakta saintifik telah menunjukkan bahwa pandangan keduanya tidak cukup solid untuk dijadikan patokan asal-mula kemunculan antroposen.
[8] Op.Cit
[9] Peter Dickens, Society & Nature, (Cambridge: Polity Press, 2008), 4-5. Pandangan romantik tentang hubungan manusia dengan alam ini bisa kita saksikan saat ini dalam tradisi agama-agama Abrahamik dan komunitas-komunitas masyarakat Adat.
[10] Ibid., 2.
[11] Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital, (London: Verso, 2015), 19.
[12] John Bellamy Foster and Brett Clark, The Robbery of Nature Capitalism and the Ecological Rift, (NY: Monthly Review Press, 2020), 135.
[13] Op.Cit., 19-20.