Lebih dari Sepuluh Rekomendasi Bacaan soal Teknologi dan “Hak Digital” untuk Membuka 2022

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


PANDEMI Covid-19 memasuki tahun ketiga. Kendati telah dilakukan banyak penyesuaian, lalu lintas kembali padat. Semua (seolah) kembali normal. Namun, wabah kadung memaksa kita untuk melakukan banyak kegiatan berbasis daring di ruang digital. Apalagi dunia masih di bawah bayang-bayang virus yang kerap bermutasi dan berganti nama—terakhir dengan sebutan Omnicron.

Di tengah pandemi seperti ini, frasa yang acapkali disebut sebagai “dunia maya”, bagi sebagian, dan makin banyak, orang ternyata telah menjadi “dunia nyata”—atau setidaknya mendominasi kenyataan sehari-hari. Tak heran jika keingintahuan, kepekaan, hingga kerisauan soal privasi, pengawasan, dan “hak digital” semakin meningkat.

Kasus-kasus seperti bobolnya data pengguna toko online, terjadi juga pada BPJS Kesehatan—yang notabene adalah lembaga negara, penyebaran data oleh perusahaan pinjaman online (pinjol), hingga scam di ranah perbankan, bikin publik makin sadar dan bertanya-tanya soal kebijakan privasi WhatsApp, ramai-ramai migrasi ke Signal yang diklaim lebih aman, mulai menerapkan enkripsi, hingga memahami politik teknologi digital.

Namun, pembahasan politik digital sering kali menyempit hanya seputar ranah privasi dan kebebasan berekspresi serta berkumpul online—yang kerap dibingkai dalam kerangka “hak digital”. Saat banyak di antara kita ditanya apa itu “digital rights” atau “hak digital”, jawabannya melulu hanya sekitar “HAM online”, “HAM yang bersentuhan dengan teknologi”, privasi dari pengawasan, hak untuk berekspresi dan berkumpul online, dan sebagainya.

Padahal, jika mau membahas lebih spesifik: tidak semua teknologi itu digital, tidak semua teknologi digital itu online, juga tidak selalu yang berada di ruang digital atau online adalah maya. Pada 2015 lalu, UNESCO mengidentifikasi lebih dari 50 deklarasi dan kerangka kerja Internet, sementara Berkman Klein Center for Internet and Society Research mencatat 30 konstitusi dan 42 hak digitalyang kemudian dikelompokkan ke dalam tujuh tema. Dalam berbagai kerangka ini, kebebasaran berekspresi, privasi, dan akses ke internet adalah tiga hak yang sering muncul dan mendominasi.

Saat kita sedang menyaksikan melemahnya politik berbasis hak atau rights-based politics, penting juga bagi kita untuk dapat menganalisis perkembangan teknologi digital tidak semata dalam kerangka hak asasi manusia saja.

Saya punya rekomendasi sekitar sepuluh bacaan yang dapat menemani pikiran dan diskusi kita seputar topik di atas—sembari ditemani gorengan berbungkus fotokopi KK atau (permohonan) KTP. Meski banyak bacaan yang berupa buku, saya tidak akan membatasi rekomendasi hanya pada buku cetak atau jurnal, mengingat kita sedang membahas teknologi digital yang berubah sangat cepat.

Sebagai catatan, struktur penerbitan ilmiah dalam ilmu informasi dan komputer banyak lebih mengutamakan konferensi (terutama yang kompetitif) sebagai outlet publikasi daripada di bidang ilmu sosial, politik, dan budaya yang cenderung menilai lebih tinggi jurnal peer-review atau buku cetakan universitas.

Daftar ini dibuat bukan pula untuk mengagungkan judul atau nama yang tercantum. Dan mengingat IndoProgress sendiri juga telah menerbitkan buku saku Mengenal Perbedaan Kerja-teralienasi Digital (Digital Labour) dan Kerja-Umum Digital (Digital Work), serta Buruh, Feminisme, Media Digital, dan Demokrasi, saya tidak akan terlalu membahas yang telah dibahas dan dicakup di sana.


1.     Bukan Surveillance Capitalism (2018), tapi Capitalism’s New Clothes (2019)

Buku babon karya Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism, sering jadi salah satu rujukan favorit beberapa tahun terakhir. Istilah surveillance capitalism makin rutin seliweran di ragam media arus utama, dan tak terpisahkan dari percakapan sehari-hari soal menguatnya perusahaan-perusahaan teknologi raksasa GAFAMN (Google, Apple, Facebook, Amazon, Microsoft, & Netflix)—mungkin juga perlu menambahkan Spotify, Alibaba, dan Tencent?.

Jujur saja, saya sempat tertarik membacanya saat masih dalam bentuk artikel jurnal yang terbit pada 2015 lalu. Namun, setelah melihat daftar isi dan membaca beberapa halaman buku babonnya, saya jadi mempertanyakan kerangka analisis yang Zuboff gunakan.

Pertama, kerangka yang digunakan berhenti pada privasi end user atau konsumen—atau pola konsumsi individual. Kedua, bahkan bisa dibilang, Zuboff mengatakan bahwa kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism) ini adalah mutasi dari kapitalisme, yang ada kemungkinan kapitalisme sesungguhnya bisa lebih etis (?), atau ada kapitalisme yang “advocacy-oriented” (?). Hal-hal seperti yang, katanya, hampir dilakukan oleh—ehemApple dan Amazon. Hingga akhir buku ini, tidak ada pembahasan perihal pekerja Amazon dan Apple, yang sangat ironis sekali mengingat apa yang terjadi di Foxconn serta pertambangan mineral—bisa simak Goodbye iSlave oleh Jack Linchuan Qiu sebagai alternatif—dan berbagai protes yang terjadi di Amazon karena kondisi kerja yang sangat buruk.

Apalagi kalau waktumu mepet, ketimbang membaca 700 halaman lebih karya Zuboff, membaca naskah sepanjang 16.500 kata oleh Evgeny Morozov berjudul Capitalism’s New Clothes di The Baffler bisa jadi alternatif. Dalam tulisan tersebut, Morozov juga mengingatkan bahwa surveillance capitalism ini sudah pernah dibahas jauh sebelumnya di Monthly Review(2014).


2. The Making of Tech Worker Movement (2020)

Selain karya-karya yang dimuat di dua buku saku IndoProgress yang telah saya sebutkan di atas, saya rekomendasikan pula satu buku saku pendek—atau bisa juga disebut zine—berjudul The Making of Tech Worker Movement karya Ben Tarnoff. Tahun lalu, ia juga sedikit memberikan pembaruannya di tulisannya itu. Judul buku itu memang dimaksudkan untuk semacam memberi tribut bagi karya klasik sejarawan sosialis Edward Parlmer Thompson: The Making of the English Working Class (1963). Ben sendiri adalah pendiri sekaligus editor Logic Mag, sebuah majalah digital yang juga saya rekomendasikan sebagai bahan bacaan periodik renyah seputar teknologi.

Dalam tulisan ini, Ben membahas makin terbentuknya gerakan pekerja teknologi digital yang memang makin memuncak dalam dua-tiga tahun terakhir. Meski jelas sangat terfokus pada Silicon Valley di Amerika Serikat, tapi bagaimana gerakan ini dibangun layak untuk dipelajari, mengingat betapa banyaknya model Silicon Valley diimpor dan didewakan di berbagai skena startup dan retorika negara lain—salah satunya Indonesia. Dibahas pula di tulisan ini pengorganisasian melalui Tech Workers Coalition dan Collective Action in Tech.


3. Automation and the Future of Work (2020)

Beberapa tahun sebelum pandemi menerjang, kita menyaksikan surplusnya publikasi dan acara yang membahas otomasi dan masa depan kerja, dengan term “future of work”, “labour futures”, dan sebagainya. Tidak hanya menjadi bahan pembahasan umum di Silicon Valley dan dilontarkan oleh pemimpin-pemimpin perusahaan macam Elon Musk, Mark Zuckerberg, dan Bill Gates, otomasi dan penerapan universal basic income (UBI) juga makin sering diperbincangkan di kalangan politisi, mulai diterapkan di berbagai negara, dan turut meramaikan pilpres di Amerika Serikat.

Sementara Nick Srnicek, Alex Williams, Peter Frase, dan Aaron Bastani mempopulerkan varian kirinya. Buku Aaron Benanav, Automation and the Future of Work (2020), dengan padat tapi mudah dicerna mengevaluasi wacana otomasi dengan analisis sejarah ekonomi.


4. Cyber-proletariat: Global Labour in the Digital Vortex (2015)

Ini adalah buku klasik mengenai proletar siber. Nick Dyer-Witherford sengaja memilih istilah “siber proletariat”, bukan “buruh digital”, “buruh imaterial”, dan sebagainya, untuk kemudian membedah berbagai alasan dan perbedaannya dalam pembangunan teorinya mengenai kapitalisme sebagai pusaran—ibarat tornado—dengan tiga proses: produksi, sirkulasi, dan finansialisasi. Dalam dinamika pusaran ini, ada dua konsep utama disorot Dyer-Witherford. Pertama, komposisi kapital: rasio antara teknologi dan manusia yang terlibat dalam produksi komoditas. Kedua, komposisi kelas pekerja atau proletar: relasi antara kondisi (teknis) kerja (atau ketiadaan kerja), dan bentuk organisasi politik yang terbentuk darinya.



Dengan menggunakan kerangka ini, Dyer-Witherford menunjukkan bagaimana revolusi digital memungkinkan kapital untuk menghilangkan pekerja, sekaligus merekrut secara global tenaga kerja lebih murah, sembari meningkatkan kecepatan dan cakupan sirkuit komoditasnya. Ini dilakukannya sembari meninjau jauh rantai pasokan global di berbagai pelosok dunia. Dari wilayah sabuk karat di Amerika Utara, berbagai tempat kerja beracun dan berbahaya di sekitar Silicon Valley, pusat piranti lunak di Hyderabad, perakitan semikonduktor di Taiwan, hingga penyebaran pesat telepon genggam di berbagai negara Selatan, termasuk Indonesia, dan kritisnya ketergantungan telepon dalam pencarian pemasukan dan kerja berupah.

Wawancara dengan penulisnya sudah dimuat di buku saku IndoProgress, berisi dan renyah untuk dibaca.


5. Programmed Inequality (2017) dan The Computer Boys Take Over (2010)

Sebetulnya ada banyak buku klasik seputar gender dan teknologi, seperti Simians, Cyborgs and Women (Donna Haraway), Technofeminism (Wajcman), pun ada makin banyak manifesto baru seperti The Xenofeminist Manifesto, Glitch Feminism, dan sebagainya.

Namun kali ini, saya ingin merekomendasikan Programmed Inequality: How Britain Discarded Women Technologists and Lost Its Edge in Computing (2017) karya Mar Hicks. Melalui buku ini, yang disajikan bukanlah perayaan heroik atau individualisasi perempuan jenius, melainkan dinamika gender dan kelas, serta peran pekerja-pekerja perempuan yang seringkali terlupakan namanya. Ia bisa menjelaskan bagaimana feminisasi tenaga kerja dan diskriminasi struktural terhadap perempuan, sebagai tenaga kerja ahli di bidang komputer, ternyata berdampak fatal  bahkan menyebabkan Inggris kehilangan posisi terdepan mereka dalam pengembangan teknologi komputer setelah Perang Dunia.



Buku ini juga membuat kita memikirkan kembali asumsi narasi sejarah komputer yang acap kali mengagungkan individualitas dan inovasi. Fokus buku ini memang masih terbatas pada perempuan di Inggris, acapkali kulit putih, dan masih menempati posisi istimewa dibandingkan dengan banyak perempuan lainnya, tetapi ada banyak situasi paralel yang dapat dipelajari.

Jika tertarik pada konteks di Amerika, bisa simak The Computer Boys Take Over: Computers, Programmers, and the Politics of Technical Expertise. Mar Hicks juga menulis artikel pendek yang berkaitan dengan situasi ini di Logic Mag, “How to Kill Your Tech Industry.”


6. Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (2021)

Buku Kate Crawford ini cukup saya rekomendasikan untuk pemula dalam pembahasan artificial intelligence (AI) secara lebih gamblang, sederhana, tapi cukup menyeluruh. Tidak terbatas pada sekedar data dan kognisi yang seolah imaterial seperti machine learning dan penambangan data (data mining) saja, tapi juga ekstensif melibatkan penambangan tradisional, eksploitasi alam, dan tenaga kerja. Ia juga menjelaskan bagaimana AI yang awalnya dimulai dari projek publik, akhirnya makin diprivatisasi untuk keuntungan segelintir orang.

Bagi yang familiar dengan sisa-sisa perang dingin berupa “kajian kawasan” atau area studies Amerika, saya rekomendasikan untuk menemani bacaan ini dengan artikel Manan Ahmed Asif, “Technologies of Power – From Area Studies to Data Sciences”.


7. The Huawei Model: The Rise of the China’s Technology Giant (2020)

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan banyak perdebatan, kebingungan, bahkan apa yang disebut teori konspirasi seputar 5G, Huawei, dan “geopolitik”—yang tampaknya juga membuat Hizkia Yosie Polimpung gemas menulis panjang. Sembari kita menunggu tulisan lanjutan Yosie, kita bisa bernostalgia bagaimana perusahaan yang dulu hanya kita kenalnya dari wifi dongle dan router kini sudah teken kontrak dengan Luhut, dan naga-naga menerapkan royalti paten 5G ke perusahaan seperti Apple dan Samsung, terutama setelah dikenakan larangan dagang di berbagai negara, dan membaca The Huawei Model: The Rise of the China’s Technology Giant.

Buku ini menyoroti perkembangan Huawei dan menggunakannya untuk memaparkan evolusi ekonomi digital Tiongkok. Ada pula informasi spesifik sehubungan dengan transformasi Cina, mulai era Mao hingga setelahnya, serta dinamika dan tegangan ekonomi politik global. Umumnya, analisis mengenai inovasi teknologi Cina—di luar narasi kesuksesan individu ala Jack Ma—seringkali fokus pada peran yang dimainkan oleh negara, inisiatif negara, atau pemerintah lokal. Masih sedikit yang membahas peran yang dimainkan oleh perusahaan. Huawei, yang bukan BUMN dan pekerjanya mendapatkan share kepemilikan saham, memberi gambaran implikasi dan komplikasi perkembangan industri teknologi.


8. Surrogate Humanity: Race, Robots, and the Politics of Technological Futures (2019)

Buku ini menelusuri bagaimana robot, kecerdasan buatan, dan teknologi menjadi pengganti pekerja manusia dalam sistem yang berakar dalam kapitalisme rasialis dan patriarkis, dengan mempertanyakan: siapa yang diemansipasi melalui otomasi, dan siapa yang menikmati hasil kerja para robot dan teknologi pengganti manusia?

Atanasoski dan Vora menunjukkan bagaimanapun robot dirancang menjadi versi manusia yang “lebih sempurna”—pembunuh yang lebih rasional, pekerja yang lebih efisien, dan teman seks yang tak kenal lelah—teknologi baru mereplikasi dan mempertajam kesenjangan ras dan gender dalam kaitannya dengan kerja-kerja yang tak dihargai, eksploitasi, perampasan, dan akumulasi kapital.


9. Cybernetic Revolutionaries: Technology and Politics in Allende’s Chile (2011)

Buku karya Eden Medina ini memaparkan sejarah percobaan pengembangan sistem jaringan komputer untuk pengelolaan ekonomi dan politik bernama Projek Cybersyn di Chile tahun 1970-an. Termasuk dalam rancangannya adalah sistem pengelolaan dan pengambilan keputusan yang terdesentralisasi, jaringan telex, interaksi manusia komputer yang tidak terbatas pada kelas elite, tapi juga dapat diakses oleh pekerja (seperti melalui remote di senderan tangan).



Ada gambaran keterkaitan perkembangan teknologi dan politik lintas negara, di tengah dinamika perang dingin, seperti bagaimana berbagai insinyur dan teknolog Chile harus mengembangkan alternatif jejaring komputer yang berbeda dari negara lainnya karena keterbatasan bahan dan spare part dengan adanya blokade Amerika. Terlepas rancangan ini tidak terealisasikan sejak Allende dikudeta, sejarah pengembangan sistem teknologi dan politik ini memberi bayangan kompleksitas dan kemungkinan lain yang bisa dipelajari.


10. Sehimpun Bacaan soal Panduan Pengelolaan Keamanan Digital

Terakhir, dengan makin meningkatanya pengawasan dan ancaman digital, bacaan-bacaan di bawah ini dapat berguna menjadi panduan awal:


Kathleen Azali adalah peneliti. Sehari-hari aktif di PERIN+1S dan C2O


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.