Ilustrasi: Jonpey
KRISIS iklim melanda berbagai belahan dunia. Di Indonesia, misalnya, kita menyaksikan banjir, tanah longsor, krisis air bersih selama setidaknya beberapa tahun terakhir ini. Namun, pembicaraan tentang krisis iklim seringkali tidak mengikutsertakan kapitalisme sebagai variabel utama kerusakan alam. Solusi yang kerap ditawarkan bahkan masih berada dalam koridor kapitalisme, yakni dengan bungkus “hijau.”
Presenter IndoPROGRESS TV Astried Permata mewawancarai Siti Maimunah, seorang aktivis lingkungan, yang menghadiri konferensi perubahan iklim PBB atau COP26 yang tahun ini diselenggarakan dari Oktober hingga November di Glasgow, Skotlandia. Berikut petikannya:
Astried Permata
Sejauh mana krisis iklim yang tengah kita hadapi saat ini? Kita sering menyaksikan di media ada berbagai hoaks yang meragukan bahwa krisis iklim benar-benar terjadi.
Siti Maimunah
Menurut penelitian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), jika kita tidak melakukan sesuatu, pada 2100, suhu kita akan naik 2,7 derajat celcius. Padahal seharusnya di bawah 1,5 derajat celcius. Dampaknya sangat banyak. Contohnya di pulau terluar, Sumba. Ada gagal panen, kekeringan. Sumba juga mengalami hari tanpa hujan 245-9 hari. Jadi, bisa dibayangkan kawasan-kawasan Indonesia Timur yang lebih kering tentu akan punya banyak masalah. Tetapi, kawasan seperti Jawa, meski memiliki intensitas hujan akan lebih banyak, namun menghadapi problem pembangunan yang membuat kawasan hutan menjadi semakin berkurang.
Perubahan iklim itu seperti lingkaran setan. Penyebabnya berkelindan dengan akibatnya. Kemampuan atnosfer bumi berubah sehingga turut mengubah yang lain juga. Dulu, atmosfer bumi masih mampu mengatasi pencemaran. Sekarang, sejak masa revolusi industri, situasinya semakin buruk. Kebakaran terjadi di banyak tempat. Belum lagi, misalnya, topan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Bencana terjadi secara beruntun, terus-menerus, dan meningkat. Tidak tepat untuk membicarakan mereka yang denial.
Astried Permata
Apa dampak paling mengerikan dari gejala-gejala ini?
Siti Maimunah
Kolapsnya peradaban. Lebih dari itu, alam memiliki fungsi mendukung kehidupan kita. Kita tidak ada artinya saat sistem pendukung kehidupan kolaps. Kolaps itu bisa ditandai dengan bencana yang tidak tertangani. Bayangkan situasi yang seperti itu yang dipicu oleh perubahan atmosfer bumi. Ada air laut naik karena es mencair, misalnya. Ada perubahan perilaku mikrobia, penyakit, dan sebagainya. Tetapi jangan lupa, perubahan iklim ini tidak berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan model pembangunan yang mana jika dilanjutkan, jadi berganda. Penting melihat perubahan iklim ini sebagai dimensi berlapis, yang pada konteks tertentu, terjadi ketidaknormalan karena perubahan sistemik ini menyejarah. Sistem pendukung kita kolaps dan kita tidak bisa membantu diri kita sendiri, apalagi menolong orang lain.
Astried Permata
Mbak Mai menghadiri Konferensi COP26. Apa yang dibicarakan di sana?
Siti Maimunah
COP26 itu pertemuan pemimpin-pemimpin dunia yang bersepakat menghadapi perubahan iklim; dan hanya ada satu cara: mengurangi pencemaran atmosfer bumi. Konsekuensinya: mengubah model pembangunan. Perluasan pembakaran energi fosil (batu bara, minyak, gas bumi) harus dihentikan. Kedua, pembukaan lahan juga harus dihentikan karena mendorong akumulasi gas rumah kaca. Ketiga, bagaimana membantu penduduk dunia menghadapi perubahan iklim. Selama ini baru dirumuskan beberapa cara mitigasi dan adaptasi. Nah, pertemuan COP tugasnya bersepakat.
Atmosfer ini tidak bisa disekat-sekat, tidak bisa diadministrasi. Tapi, ketahuan siapa pencemar yang paling besar. Ada chemical tracking yang bisa dilakukan. Negara-negara yang kita sebut sebagai negara maju, negara industri, dan negara-negara yang tertinggal atau emerging seperti Indonesia. Mereka harus sepakat mengurangi emisi dan membantu rakyat untuk bisa beradaptasi. Intervensi bisnis di COP juga ada dan besar. Namun, harus dipastikan tahun 2100 itu di bawah 1,5 derajat celcius. Emisi harus turun. Tapi masalahnya, dari COP ke COP, di pertemuan selama 26 tahun itu, meskipun ada progres, tapi selalu berujung pada ketiadaan kesepakatan mengenai jalan menuju keselamatan itu bagaimana dan seperti apa.
Di COP, setiap hari aku berusaha membuat catatan. Glasgow ini sangat penting sebagai kota kedua imperium Inggris, kalau kita letakkan Inggris itu sebagai revolusi industri yang kemudian mempercepat emisi rumah kaca. Jadi, Glasgow ini kota yang signifikan untuk men-track dampak perubahan iklim. Pada abad ke-15, kita tahu Inggris hidup dari kawasan-kawasan koloni. Glasgow adalah kota yang hidup dari itu, dari beberapaindustri: perkapalan, tembakau, gula. Semuanya membutuhkan energi fosil. Ia juga butuh tembakau, kapas, dan gula dari negara jajahan, yang semuanya digerakkan oleh perbudakan dan energi fosil.
Sejarah perubahan iklim adalah sejarah sistem kapitalis; dan Glasgow sangat penting di situ. COP diselenggarakan di pinggir Sungai Clyde yang di masa lalu monumental untuk kelahiran mesin uap (steam engine). Glasgow adalah kota penggerak. Pabrik kapal, pabrik kapal perang ada di sini, dan industri-industri lainnya. Apa yang dieksploitasi adalah orang-orang yang melakukan urbanisasi dan alam itu sendiri. Menurut penelitian dari 2004-2009 yang melacak sidik kimia dari sedimen sepanjang Sungai Clyde yang berkontribusi ke pencemaran yang ditopang industri fosil yaitu minyak bumi dan batu bara; dan itu memutar produksi di sekitarnya, hingga perkebunan tembakau di Amerika, perkebunan gula di Karibia. Itulah yang kita hadapi. Sistem kapital inilah yang kita rasakan. Ada negara yang sudah maju dan ada yang masih tertinggal. Negara-negara yang masih tertinggal ini dibuat seolah-olah harus mengejar ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi yang dicapai negara maju.
Astried Permata
Jadi, Glasgow penting sebagai saksi bisu sejarah perubahan iklim dan di COP negara-negara hadir untuk menyepakati sesuatu. Nah, saya mau tanya sebenarnya gimana Indonesia merespons kasus perubahan iklim yang riil ini?
Siti Maimunah
Indonesia menawarkan kekayaannya untuk solusi iklim. Indonesia menawarkan konservasi karbon. Kedua, Indonesia bersetuju kita mengalami perubahan iklim. Tetapi, langkah-langkah Indonesia sendiri blunder. Indonesia tetap meneruskan model pembangunan yang rakus energi fosil. Tidak ada komitmen bahkan dari negara-negara yang ekonominya kuat termasuk Indonesia jika mereka akan menurunkan konsumsi energi fosil. Jadi, artinya, model pembangunan berbasis energi fosil terus dilanjutkan. Kedua, Indonesia justru menunjukkan akan memberikan solusi-solusi yang problematik. Biofuel, misalnya, juga problematik karena mengandalkan sawit. Ada pembukaan hutan, pengambilalihan masyarakat adat dan seterusnya. Jokowi menyebutkan akan membuat ekosistem mobil listrik. Ini secara term agak salah. Ekosistem mobil listrik maksudnya apa? Yang dia maksudkan adalah menyediakan atau mempercepat proyek-proyek untuk memastikan produksi baterai untuk energi terbarukan. Indonesia seperti mengajukan diri untuk memproduksi itu dengan konsekuensi seperti pembukaan tambang-tambang nikel atau seng di Sumatra Utara milik Bakrie, tembaga, dan juga tambang lainnya di Papua, Maluku, yang kita tahu kerusakan lingkungannya luar biasa.
Disebutkan juga akan ada pembangunan kawasan-kawasan ekonomi hijau untuk menopang industri baterai. Misalnya di Kalimantan utara akan dibangun bendungan yang terbesar se-Asia Tenggara; dan itu akan menenggelamkan kampung dan hutan dan ekonomi berkelanjutan yang berbasis pada hutan. Jadi, bisa diingat di sini: pemerintah begitu kontras sikapnya, tapi dikemas dalam konteks “Kami mendukung ekonomi hijau.” Iya, ada kesepakatan-kesepakatan yang sudah dihasilkan, yang bukan merupakan kesepakatan baru. Komitmen untuk zero-deforestation itu komitmen lama yang diperbaharui terus. Menteri terus meralat hal itu. COP26 ini seperti ajang obral janji yang kita tahu harapannya untuk mengurangi emisi sampai 1,5 derajat celcius itu. Dengan cara yang sekarang tidak mungkin tercapai. Tapi, apa yang dilakukan Indonesia adalah kembali melayani industru maju atau negara maju agar mereka mencapai transisi menuju energi terbarukan. Jadi, tidak ada percakapan mengurangi pembongkaran dan pembakaran energi fosil yang menjadi syarat utama bagi penurunan emisi. Tidak hanya Indonesia, tapi juga negara-negara utara yang bergantung pada energi fosil.
Astried Permata
Pemerintah Indonesia menyerahkan dirinya untuk dijajah kembali. Tapi, ada narasi bahwa sikap yang diambil pemerintah saat ini adalah menolak tunduk pada negara Dunia Pertama. Misalnya dalam hal kelapa sawit.
Siti Maimunah
Kalau pandangan kita hanya diarahkan ke pemerintah, ya hopeless. Menurut saya, harapan itu terletak pada rakyat, perempuan, petani, nelayan, masyarakat adat, pemuda yang mestinya bersatu padu untuk menekan pemerintah. Bagaimanapun sistem kapital ini kan hidup dari dua hal itu: mengeksploitasi alam dan manusia. Lebih spesifik lagi isu perempuan. Perempuan tidak hanya diperlakukan sebagai buruh yang tak dibayar. Hal ini selalu sulit kita percakapkan, bahkan ketika bicara tentang kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual. Perlu sebuah cara baru untuk memandang persoalan agar tidak sektoral, tapi juga cara baru yang dilandasi pemahaman bahwa kita semua terkait dengan alam. Saya rasa itu penting dipercakapkan karena selama ini masyarakat sipil menjadi terkotak-kotak; dan itu yang diharapkan pemerintah karena jika semakin terkotak-kotak, masyarakat sipil akan lemah.
Solidaritas ekonomi yang ekologis menjadi penting. Penting untuk mempercakapkan dan membayangkan dunia 20 tahun ke depan, di mana kita terkait dengan alam, dengan beragam hubungan kuasa yang satu sama lain berbeda. Kita bersama-sama bekerja untuk melawan mereka yang mendapat keuntungan terbesar, kaum 1 persen.***