Foto: Jan Banning
SIAPA yang tak kenal Stalin? Sang manusia baja yang konon merupakan pelindung Revolusi Oktober. Kita mengenalnya lewat pembersihan besar musuhnya yang dijalankan sepanjang 1936-1938 di Uni Soviet dan Perang Dunia II yang dimenanginya. Soal kisah Stalin, Anda pasti lebih kenal. Sebagian memujanya dan sebagian lagi membencinya. Namun, di tengah kesibukan dan kontroversi, Stalin menelurkan salah satu esai yang menurut saya cukup penting berjudul The Foundations of Leninism yang dipaparkan dalam beberapa sesi di Universitas Sverdlov pada 1924. Esai ini kemudian diterbitkan di Pravda.
Kurang lebih esai Stalin membahas apa yang dimaksud dengan Leninisme. Dimulai dari akar sejarahnya, metode, teori, kediktatoran proletariat, persoalan tani, persoalan nasional, strategi dan taktik, partai lalu sampai soal gaya bekerja. Dalam tulisan kali ini saya akan membahas salah satu bab saja, khususnya bagian delapan yang menjelaskan soal partai. Mengingat hal ini yang kerap diperbincangkan kawan-kawan di persimpangan kiri jalan dan tentu saja karena dewasa ini muncul beberapa partai yang berusaha mewakili kelas pekerja di Indonesia.
Sebagian dari kita pasti malas jika membahas soal partai-partaian. Dalam imajinasi kita sekarang ini partai tak lain merupakan kumpulan elit yang mengaku mewakili mayoritas rakyat, tetapi berperilaku mewakili segelintir orang atau bahkan kepentingan pribadi saja. Belum lagi bicara soal politik praktis dan slogan-slogan omong kosong yang sama sekali tak mengenyangkan perut. Meski saya paham betul bahwa partai hanyalah salah satu jalan dari berbagai macam cara memenangkan kepentingan proletariat, akan tetapi saya pikir penting kiranya kita coba menyimak kembali apa yang dicatat oleh Stalin soal partai ala Lenin.
Membuka babnya dengan mengkritik sikap Internasional Kedua menghadapi Perang Dunia Pertama, Stalin berpendapat bahwa mereka tak siap menghadapi kondisi genting yang penuh benturan antara proletariat dengan para musuh kelasnya. Menurutnya, hal ini disebabkan karena Internasional Kedua merupakan sekadar mesin pemilihan umum untuk perjuangan dalam parlemen yang minim militansi dan tak dapat mengarahkan pekerja menghadapi perubahan zaman. Stalin menegaskan kondisi yang berubah di masa itu memaksa proletariat untuk mengemban tugas baru yaitu reorganisasi sistem kerja partai, edukasi revolusioner untuk perjuangan kelas pekerja, menjalin aliansi dengan proletariat sedunia dan mendukung gerakan pembebasan dari kolonialisme. Walhasil, bagi Stalin, diperlukan organisasi yang siap dengan perubahan. Organisasi tersebut adalah suatu partai yang berpondasikan pemikiran Lenin. Kenapa sih mesti partai? Lantas partai seperti apa?
Stalin menjelaskannya dengan enam fitur spesifik partai ala Lenin. Namun, kita akan mencoba membahas tiga dari enam fitur tersebut terlebih dahulu. Pertama, ia berpendapat bahwa kondisi perjuangan proletariat melawan pion-pion kapitalisme bagai prajurit yang bertempur di medan perang. Dalam pertempuran ini, proletariat membutuhkan sebuah detasemen yang dapat mengumpulkan segenap kelas pekerja dalam satu unit pasukan. Detasemen ini pastinya akan terdiri atas sejumlah banyak ‘prajurit’ yang mana akan tercerai-berai dalam pertempuran jika tanpa arahan serta koordinasi dari para perwira sehingga partai di sini hadir sebagai detasemen sekaligus perwira bagi segenap kelas pekerja.
Namun, Stalin mengingatkan bahwa sebelum menjadi detasemen dan perwira bagi proletariat, partai mesti lebih dahulu menjadi bagian dari proletariat itu sendiri dan haruslah memenangkan simpati para pekerja. Oleh karena itu, partai mesti memahami lalu mengambil tindakan yang berangkat dari kenyataan kondisi pekerja hari ini. Partai diharapkan supaya dapat selalu hadir dan mengawal kepentingan segenap kelas pekerja, sembari memupuk kesadaran kelas sebagai amunisi dan membuat orang banyak ingin bergabung untuk berjuang bersama melawan kapitalisme. Inilah salah satu tugas pertama dan yang terpenting dari sebuah partai kelas pekerja.
Kedua, karena kapitalisme berkembang pesat dan hampir selalu selangkah di depan, maka proletariat wajib senantiasa sanggup menghimpun kekuatan. Di sinilah kedisiplinan dan organisasi yang profesional diperlukan agar kelas pekerja bisa mengenal kapan waktu untuk menyerang dan kapan waktu untuk bertahan atau bahkan mundur. Tanpa hal tersebut, pekerja akan hanyut tergulung ombak kapitalisme. Bahkan partai mesti mengilhami pekerja di luar partai yang tak terorganisir dengan semangat organisasi dan ketahanan. Dengan demikian, partai, menurut Stalin, merupakan detasemen kelas pekerja yang terorganisir.
Jika ingin memenangkan pertandingan bulu tangkis, kita harus berhadapan dengan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu dengan latihan yang cukup keras. Lalu, kita mesti masuk ke dalam lapangan dan menggunakan raket bulu tangkis dan bukan raket tenis meja. Artinya, untuk menang atas kapitalisme, kita mesti terjun ke dalamnya lalu mempelajari cara kerja sistemnya dan memanfaatkan kelemahannya untuk mengalahkan. Kita berpikir bahwa partai akan seperti perusahaan pribadi milik kapitalis yang mana struktur organisasi ditentukan oleh besarnya kepemilikan saham. Namun, dalam detasemen kelas pekerja ini, struktur berlaku sebaliknya: dipilih secara demokratis dan representatif. Inilah yang membedakan pengorganisiran kerja ala kapitalis dan ala proletariat.
Ketiga, banyaknya kelas pekerja berarti banyak pula keragaman yang ada, sehingga tak dapat dipungkiri terdapat banyak organisasi atau kelompok di luar partai yang mewadahi bermacam kegiatan golongan pekerja. Mulai dari serikat buruh, koperasi, lembaga advokasi, organisasi perempuan, kelompok tani dan nelayan, media progresif, komunitas belajar dan lain-lain. Stalin berpendapat bahwa kelompok-kelompok ini dalam kondisi tertentu memang diperlukan karena dapat menguatkan wadah proletariat dan membangun kesadaran. Namun, ia bertanya, bagaimana memastikan setiap kelompok yang beragam tersebut sejalan dalam perjuangan kelas pekerja melawan kapitalisme? Lalu siapa yang dapat menyelaraskan bidang-bidang yang beragam dalam setiap organisasi tersebut saat berhadapan dengan para borjuis hari ini?
Jawaban Stalin tentu saja partai dan para anggotanya. Sebab, senada dengan Lenin, menurut Stalin partai merupakan bentuk termutakhir dari organisasi kelas proletariat. Mengapa demikian? Pertama karena partai adalah pusat dari perwakilan kelas pekerja yang paling kompeten dan memiliki banyak koneksi. Kedua karena partai adalah sekolah terbaik untuk menciptakan pemimpin kelas pekerja yang dapat mengarahkan setiap kelompok-kelompok di mana mereka berkecimpung. Lalu ketiga, karena pengalaman dan wibawa, partai adalah satu-satunya organisasi yang mampu memusatkan perjuangan proletariat yang dengan demikian sanggup mengubah setiap kelompok di luar partai menjadi bagian tambahan dan membangun jaringan antara partai dengan kelas pekerja.
Lantas apakah dengan demikian semua kelompok tersebut mesti tunduk di bawah partai? Tentu saja tidak. Namun, menurut Stalin, anggota partai yang ikut serta di dalam setiap kelompok dapat mensosialisasikan misi-misi partai dan mensinergiskan dengan agenda setiap kelompok. Tujuannya: supaya setiap gerak kelompok-kelompok di luar partai dalam perjuangan proletariat bisa didukung sehingga menjadi lebih terorganisir dan terencana dengan baik. Sebab, menurut Stalin di poin selanjutnya bahwa partai merupakan alat bagi kelas pekerja menumbangkan tatanan borjuasi dan membangun serta mempertahankan kediktatoran proletariat.
Jadi, dapat kita simpulkan sementara pemikiran Lenin yang dirangkum Stalin ini berpendapat bahwa partai adalah pusat dari perjuangan yang berintegritas, terorganisir dan bersifat menyeluruh yang dapat menjadi wadah segenap kelas pekerja. Apabila kita jeli, kita mendapati dua keunikan. Pertama, Stalin sama sekali tidak membahas bahwa partai bertujuan sekedar memenangkan perjuangan parlementer. Lebih dari itu, ia menempatkan partai sebagai sarana untuk menangkis serangan borjuasi dan mencapai kediktatoran proletariat. Tentu saja karena ketika ia menuliskan esai ini, konfrontasi antara pion-pion dari masa feodalisme serta kapitalisme sedang merongrong perjuangan kelas pekerja di selimut kediktatoran proletariat yang masih muda di Rusia.
Namun, jika kita perhatikan lebih mendalam apa, yang disampaikan oleh Stalin merupakan apa yang disampaikan pula oleh Lenin—sebuah antitesis dari Internasional Kedua kala itu—bahwa partai bukan melulu soal memenangakan perjuangan di dalam parlemen, tapi juga sarana berkoordinasi mempersiapkan setiap kemungkinan konfrontasi dan yang terpenting yaitu memenangkan hati para pekerja. Bagaimana caranya? Pastinya dengan keberpihakan dan selalu hadir di dalam hidup keseharian kelas pekerja. Mulai dari menjangkau setiap golongan kelas pekerja di perdesaan dan perkotaan, membangun jaringan komunikasi ke organisasi atau kelompok proletariat di luar partai, hingga menjadi wadah paling mutakhir bagi perjuangan kelas melawan borjuasi.
Kedua, dalam esai ini Stalin lebih mengutamakan soal prakondisi bagi sebuah partai yang mewakili segenap kelas pekerja. Mengingat partai adalah bagian dari kelas pekerja, maka partai mesti mendapatkan kepercayaan dari segenap pekerja. Caranya dengan kembali lagi ke poin di atas. Namun, lebih dari itu, pondasi lainnya adalah struktur dan mekanisme kerja di dalam partai yang transparan dan demokratis. Hal ini mencegah hadirnya elit serta fraksi-fraksi atau bahkan para oportunis yang kerap menghambat kinerja partai dalam bergerak sebagaima mestinya. Oleh karena itu, lewat pendidikan yang disiplin, profesionalitas dan penyusunan aturan bersama pun menjadi salah satu kunci keberhasilan partai yang disampaikan oleh Stalin.
Kira-kira inilah pendapat Stalin jika ditanyakan soal partai kepadanya di tengah diskusi warung kopi. Apakah kiranya ide Stalin ini benar adanya karena ini kata Lenin? Belum tentu. Sebab sekali lagi, kondisi objektif yang nyata paruh kedua abad ke-21 cukup drastis perbedaannya dengan kondisi seabad lalu. Meski masih berada di bawah relasi upahan dan rumus umum kapital yang eksploitatif, kondisi kelas pekerja kini memiliki banyak perkembangan. Terlebih lagi, wajah kapitalisme hari ini tak sevulgar pada zaman Marx-Engels. Bagaimana cara menyadarkan proletariat akan posisinya sebagai kelas pencipta nilai lebih di dunia yang terlihat seakan baik-baik saja? Bagaimana pula menyatukan dan memobilisasi semua kelas pekerja yang makin beragam ke dalam satu organisasi bernama partai?
Jawabnya mungkin ada di ujung langit, belum lagi pertanyaan soal modal pendanaan dan keuangan partai. Sayangnya, kita tak mungkin menanyakan semua ini ke Stalin, yang jasadnya telah bersemayam di dinding Kremlin Necropolis. Satu-satunya cara mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut ialah melalui praktik dan uji coba. Lenin dan Stalin meninggalkan kita sebuah garis pedoman soal partai kelas pekerja yang semestinya. Kini tugas kitalah untuk mengujinya. Semoga para kelas pekerja yang hari ini menguji coba dengan membangun partai bisa membaca kembali dengan seksama pedoman Lenin yang dirangkum Stalin ini.***