Gerak Neoliberal dalam Investasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


PEMBANGUNAN kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang merupakan Kerjasama Indonesia dan Tiongkok memasuki babak baru. Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) no. 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung, telah membuka ruang negara untuk lebih lanjut memastikan dan menjamin keberlangsungan proyek tersebut.

Isi peraturan tersebut di antaranya adalah menunjuk Luhut Panjaitan sebagai ketua Komite Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Dari sisi finansial, Perpres tersebut memberikan ruang bagi negara untuk bisa memberikan penjaminan kewajiban konsorsium BUMN akibat kenaikan atau perubahan biaya (cost overrun) proyek. Bahkan, Proyek KCJB masuk ke dalam proyek strategis nasional yang diatur dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) No. 56 tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional di mana Kereta Cepat antara Jakarta – Bandung masuk menjadi proyek strategis nasional. Deretan regulasi untuk mendukung proyek ini tidak lepas dari ambisi Jokowi menjadikan Indonesia memiliki kereta berkecapatan tinggi pertama di Asia Tenggara. Selain itu KCJB memungkinkan terbukanya ruang-ruang ekonomi baru dikawasan aglomerasi Jakarta dan Bandung.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Agresivitas Tiongkok dalam proyek kereta cepat di Indonesia merupakan bagian dari proyek ekonomi politik Belt and Road (BRI) yang digagas Xin Jinping pada 2013 lalu. Menurut Bank Dunia (2018), BRI merupakan upaya ambisius Pemerintah Tiongkok untuk meningkatkan kerjasama regional dan meningkatkan konektivitas dalam skala lintas benua. Inisiatif ini bertujuan memperkuat hubungan infrastruktur, perdagangan, dan investasi antara Tiongkok dan sekitar 65 negara lain yang secara kolektif menyumbangkan lebih dari 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB), 62% populasi dan 75% cadangan energi. Potensi besar ini dilihat sebagai momentum perluasan modal dalam kerangka BRI.

Argumen tulisan ini dibangun dengan proposisi David Harvey (2008) bahwa siklus krisis neoliberalisme mengenai spatial fix temporary adalah merupakan imbas overaccumulation capital yang dialami Tiongkok. Investasi Indonesia dan Tiongkok telah menciptakan ruang di bawah strategi BRI sebagai saluran akumulasi melalui penciptaan ruang-ruang ekonomi baru sepanjang trase kereta cepat.

Ada beberapa hal penting yang saya identifikasi terkait perkembangan kapitalisme Tiongkok ini. Pertama, PDB Tiongkok pada sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan. Kedua, multilateral development bank Tiongkok sebagai kanalisasi pinjaman kapital dari Tiongkok, yang mana dalam pengalaman China Development Bank (CDB) memberikan fasilitas pinjaman modal investasi KCJB. Selain itu, saya mengidentifikasi kerangka kerjasama invesatasi berdasarkan business to business (B to B ) antara Indonesia dan Tiongkok melalui PT Kereta Cepat Indonesia Tiongkok, dimana negara memberikan jaminan dalam proyek tesebut. Akhir tulisan ini menjelaskan bagaimana gerak kapital dari investasi KCJB memiliki dampak serius terhadap aliansi kelompok sipil oposan proyek. Lemahnya kekuatan kelompok sipil ditengarai disebabkan oleh perubahan masyarakat pasar yang justru bersedia melepas aset lahan karena dinilai menguntungkan.


Kebangkitan Kapital Tiongkok

Ekonomi dunia berada pada titik perdebatan mengenai babak baru dari ekonomi internasional yang menempatkan Tiongkok sebagai pusat perhatian baru global saat ini.  Berdasarkan database IMF, pertumbuhan PDB Tiongkok dari tahun 2015 hingga 2017 terus mengalami kenaikan. Pada 2015, misalnya, PDB mencapai US$11.065 triliun, dan naik pada tahun berikutnya menjadi US$11.191 triliun. Pada 2017, PDB Tiongkok naik menjadi US$12.238 triliun atau tumbuh dari 6,7% ke 6,9% pada 2016 hingga 2017. Dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir, Tiongkok mengalami perubahan ekonomi dan moneter internasional secara dramatis, yaitu kebangkitan perekonomian Tiongkok. Menurut catatan IMF, pada akhir 1999, Tiongkok termasuk negara dengan pendapatan rendah dan masih tercatat sebagai negara penerima bantuan asing. Bahkan Tiongkok sebelumnya bukan salah satu dari sepuluh besar negara teratas dalam kuota dan hak suara di IMF. Walhasil, Tiongkok kala itu bukan negara yang secara signifikan dapat mengklaim posisi tawar di organisasi moneter internasional (IMF). Pertumbuhan ekonomi Tiongkok dapat dilihat pada penggunaan mata uang Renminbi yang dalam dua puluh tahun lalu terbatas hanya di dalam negeri–Tiongkok–dan kini telah tumbuh 9% rata-rata per tahun. Market share PDB global, Renminbi telah berlipat empat dari 3% menjadi 15% di mana tingkat pertumbuhan nominalnya pada periode yang sama mencapai rata-rata 13,4%. Bahkan pasca pandemi, PDB Tiongkok diprediksi tumbuh menjadi 8,2 % dan menjadi negara yang mampu menyumbang 27,7 % terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.

Di Asia Tenggara, koridor ekonomi BRI memiliki dua jenis konektivitas yang tersambung langsung ke Tiongkok daratan, di antaranya maritim, melalui Laut Tiongkok Selatan ke selatan melalui Singapura dan utara Jakarta serta tersambung ke Selat Malaka yang mengarah ke India (Asia Selatan). Kemudian, melalui jalur darat yang membentang di utara Laos hingga Selatan Malaysia. Secara ekonomi, kawasan Asia Tenggara membutuhkan peningkatan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, perdagangan dan konektivitas kawasan. Laporan ADB dalam Asia’s Infrastructure Needs tahun 2017 menunjukan kebutuhan negara-negara Asia Tenggara atas investasi infrastruktur berbasis transportasi, energi, dan infrastruktur penunjang ekonomi lainnya pada 2016-2030 membutuhkan antara US$2,8 triliun hingga US$3,1 triliun (ADB 2017: 19-26). Lebih lanjut ADB memaparkan bahwa terjadi eskalasi total perdagangan barang baik didalam kawasan Asia Tenggara maupun luar Asia tenggara sebesar US$4 triliun pada 2010 meningkat US$5 triliun pada 2016-2017 (kuartal pertama).

Hal ini yang membuat proyeksi pertumbuhan rata-rata PDB tahunan negara-negara kawasan Asia Tenggara sebesar 5,25 % di rentang 2016 hingga 2020 (ADB 2017).  Proyeksi positif dan potensi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara berkorelasi dengan penetrasi investasi Tiongkok di kawasan Asia Tenggara. Data Oxford Economics 2017 yang juga dikutip oleh LSE tentang Tiongkok’s Belt and Road Initiative (BRI) and Southeast Asia tahun 2018 menjelaskan bahwa arus investasi Tiongkok dan pembiayaan infrastruktur di negara-negara Asia Tenggara cukup signifikan. Indonesia menduduki posisi tertinggi dengan nilai aliran dana yang diterima sebesar US$171,11 juta, diikuti Vietnam sebesar US$151,68, Kamboja sebesar US$103,93; Malaysia sebesar US$98,46; dan Singapura sebesar US$70,09.


Kereta Cepat Indonesia-Tiongkok: Gerak Kapital

Agresivitas Tiongkok di bidang investasi kereta cepat telah terlihat beberapa tahun terakhir. Menurut Statistics of International Union of railways, per November 2013, jarak tempuh operasi kereta cepat Tiongkok telah mencapai 11.028 km diseluruh dunia. Investasi dalam negeri Tiongkok mengalami peningkatan yang signifikan. Setidaknya pada2014 dan 2015 belanja kereta cepat telah mengahbiskan lebih dari US$100 milyar hanya untuk manufaktur infrastruktur kereta cepat dalam negeri. Dalam Majalah Keuangan Tiongkok, Cixin melaporkan bahwa Tiongkok menginvestasikan US$567 milyar dalam infrastruktur kereta cepat periode 2016 hingga 2020 lebih besar dibandingkan pada periode 2010 hingga 2015 yang pada nilai US$522 milyar. Segmentasi industri kereta cepat Tiongkok berdasarkan surat kabar bisnis dari Tiongkok, The 21st Century Business Herald (dalam Chan 2016) pada pasar global dimulai sejak 2008 di mana Tiongkok merilis untuk pertama kalinya Kereta Cepat trase Beijing hingga Tianjin. Market share industri kereta cepat Tiongkok sebesar 6,005.4 milyar Yuan atau 34,5 % dari seluruh investasi industri kereta cepat di dunia. Laporan investasi perusahaan kereta Cepat Tiongkok, CRRC terlihat bagaimana terjadinya peningkatan aktvitas industri kereta cepat di Tiongkok. CRRC menandatangani kontrak hingga 2020 sebesar US$150 milyar di luar negeri dengan skema bisnis join venture. Memang agresivitas penjualan manufaktur kereta cepat di dalam negeri hanya tumbuh 0,9% walaupun telah menguasai manufaktur kereta cepat di dalam negeri. Namun, menurut laporan terbaru CRRC, aktivitas investasi di luar negeri mengalami peningkatan 61% dari rentang 2015 hingga 2020.

Di Indonesia, agresivitas investasi kereta cepat Tiongkok dengan logika kapital negara mengalami pertautan. Ini terlihat dari bagaimana investasi KCJB yang semula merupakan mekanisme investasi berbasis Business to Business (B to B) kemudian berubah ketika Jokowi mengambil langkah politik dengan mengintervensi investasi menggunakan APBN sebagai jaminan pembiayaan. Sumber pendanan modal proyek KCJB didasarkan pada Perpres no. 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 dimana terdiri dari tiga sumber modal. Pertama, penerbitan surat utang–obligasi–oleh konsorsium dalam hal ini PT KCIC. Kedua, pinjaman dari lembaga keuangan luar negeri atau multilateral–dalam hal ini China Development Bank (CDB) yang merupakan lembaga keuangan multilateral. Melalui China Development Bank (CDB), KCJB mendapatkan aliran pinjaman modal sebesar USD 4,5 milyar. Pinjaman PT KCIC kepada CDB memiliki konsensus selama 50 tahun dengan 10 tahun pertama merupakan  grace periode–masa tenggang dengan hanya membayar bunga pinjaman–dan melakukan cicilan dengan bunga sebesar 2% selama 40 tahun. Serta ketiga, yang juga menjadi hal baru dari perkembangan proyek ini, pembiayaan yang berasal dari APBN. Pembiayaan yang dimaksud merupakan bagian antisipasi pemerintah atas perubahan jumlah pembiyaan yang berakibat gagalnya proyek.

Dalam proyek ini, pemerintah menugaskan empat BUMN yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Perkebunan Nusantara VIII, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk yang kemudian mendirikan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PBSI) dengan komposisi pemegang saham diantaranya, PT Wika sebesar 38%; PT KAI sebesar 25%; PTPN VIII sebesar 25%; dan PT Jasa Marga sebesar 12% (Laporan Keuangan Tahunan WIKA 2016, Laporan Keuangan Tahunan PT KAI 2017 & Laporan Keuangan Tahunan PTPN VIII 2017).  Selanjutnya PT PBSI menandatangani Joint Venture Agreement (JVA) pada 16 Oktober 2015 dengan Tiongkok Railway International Co. Ltd (Beijing Yawan HSR Co. Ltd) untuk kemudian membentuk perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) bernama PT Kereta Cepat Indonesia (KCIC). Adapun struktur permodalan PT KCIC yang terdiri atas PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT PSBI) dengan Tiongkok Railway International. Co.Ltd  berlangsung dengan pembagian porsi saham 60% dikuasai PT PBSI dan 40% dikuasai Tiongkok Railway International. Co.Ltd.

Dari sini terlihat bahwa konfigurasi perusahaan kereta cepat didominasi kapital perusahaan negara. Alasan inilah menjadikan pembiayaan APBN sebagai jaminan dalam keberlangsungan proyek ini. Ini sejalan dengan J. Danang Widoyoko (2019) yang melihat adanya perkembangan kapitalisme negara. Widoyoko (2019) melihat adanya pergeseran signifikan antara kekuatan kapital BUMN dengan oligarki. Pada era Orde Baru, BUMN seperti Pertamina menjadi sumber kapital para konglomerat untuk menjadi pemasok minyak mentah atau penyedia kapal tanker. Sementara itu, PLN dipaksa membeli batu bara dari elite politik dan konglomerat pemilik konsesi tambang untuk pembangkit listrik (Widoyoko dalam Mudhoffir dan Pontoh 2019: 278).

Secara tegas, Widoyoko (2019) melihat relasi oligarki dengan BUMN memunculkan pola hubungan yang berbeda. Identifikasi ini dilihat dari sektor infrastruktur dan konstruksi yang menempatkan BUMN menjadi pemain utama di segmennya. Sedangkan para oligarki di hadapan BUMN hanya sebagai mitra “junior”. Walaupun dalam tulisan ini saya tidak akan menekankan secara khusus perkembangan relasi oligarki, akan tetapi perkembangan kapitalisme Indonesia sejak awal telah diinkubasi dan melahirkan struktur kekuasaan “para konglomerat”. Hanya saja, seperti yang diungkapkan Widoyoko (2020), dominasi relasi oligarki bergeser menjadi mitra bagi penguatan kapitalisme negara pasca-otoriter dan proyek KCJB memberikan gambaran bahwa tranformasi kapitalisme negara mengarah pada konvergensi kepentingan pasar yang lebih luas.


Penciptaan Ruang Ekonomi: Privatisasi Lahan

Sejak awal, fokus utama pembangunan kereta cepat adalah pengembangan kawasan ekonomi baru. Press ReleaseGroundbreaking Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung oleh Presiden Joko Widodo” (2016) yang dikeluarkan salah satu BUMN konsorsium PT KCIC, PT WIKA, menegaskan bahwa pembangunan kereta cepat merupakan lokomotif tumbuhnya ekonomi dan dapat menjadi akselerasi sentra ekonomi regional. Secara eksplisit, WIKA menegaskan pengembangkan ekonomi utama berada pada dua titik yaitu kawasan industri karawang dan pengembangan kota baru Walini yang sama-sama akan diintegerasikan dengan stasiun kereta cepat. Stasiun berbasis Transit Oriented Development (TOD) yang terdiri atas empat titik, meliputi TOD Halim di Jakarta serta TOD Karawang, TOD Walini, dan TOD Tegalluar yang masing-masing berada di wilayah Jawa Barat. Masing-masing TOD tersebut memiliki konsep tematik di setiap TOD yang berbasis integrasi kegiatan ekonomi di masing-masing wilayahnya. Bahkan, baru-baru ini, kunjungan Luhut Panjaitan ke Stasiun Padalarang ditujukan untuk memastikan dibangunnya stasiun tambahan di kawasan tersebut.

Lantas apa makna pembangunan TOD tersebut?

Pengembangan ruang ekonomi menjadi bagian penting dari pembangunan TOD sepanjang trase KCJB. Hal ini tidak lepas dari aglomerasi kota utama yang penting dalam mengidentifikasi overaccumulation yang terjadi di dua kota utama yaitu DKI Jakarta dan Kota Bandung.  Overaccumulation di sini merupakan kejenuhan dan penumpukan investasi di kota utama berbasis industrialisasi (Harvey, 2003 & 2005). Overaccumulation adalah pratanda krisis yang diikuti surplus kapital baik berupa modal maupun uang serta surplus tenaga kerja yang dilanjutkan dengan ketidakmampuan menggunakan surplus yang ada (Harvey 2003: 86). Perluasan geografis merupakan pilihan tunggal untuk memperpanjang umur dari kapitalisme yang hari ini mengambil corak utama neoliberalisme.

Dalam konteks KCJB, pergerakan aktivitas industri ini teridentifikasi pada peningkatan wilayah sekitaran kota utamanya, yakni wilayah Fringe Region DKI Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi, Serang, dan Karawang yang mengalami peningkatan penduduk. Pola yang sama juga nampak pada Bandung Raya. Aktivitas ekonomi dari pusat regional ke spasial-spasial terdistribusi di sekitarnya. Hal ini terlihat pada beberapa contoh, misalnya pengembangan wilayah timur Jakarta, tepatnya di kawasan Kabupaten Bekasi; Trase KCJB melalui kawasan bisnis dan perumahan seperti Lippo Karawaci, persisnya tepatnya di pinggir Tol Jakarta-Cikampek; CBD Meikarta Orange Country milik Lippo Group, serta kawasan perumahan Delta Mas, milik pengembang Sinarmas Land.

Trase KCJB pun menjadi kawasan yang strategis secara ekonomi. Bisnis TOD KCJB beroperasi melalui kerja-kerja perampasan yang “legal”. Terdapat dua pola privatisasi yang terjadi dalam proyek KCJB. Pertama, privatisasi aset negara, dalam hal ini BUMN yang tergabung dalam PT PSBI dalam penyertaan modal. Kedua, privatisasi melalui transaksi lahan antara PT KCIC dengan masyarakat sipil yang wilayahnya terkena dampak proyek kereta cepat. Dalam penyertaan modal BUMN-BUMN yang terlibat dalam proyek KCJB yang tergabung dalam PT PSBI, beberapa perusahaan BUMN melakukan penyertaan modal dalam bentuk aset. PTPN VIII, PT KAI dan Jasamarga, misalnya, melakukan penyertaan modal berupa aset-aset lahan yang dimiliki masing-masing perusahaan. Ini berbeda dengan PT WIKA yang tidak lain adalah satu-satunya perusahaan yang meneribitkan surat utang paling besar sebagai penyertaan modal dalam proyek ini mengingat statusnya sebagai pemegang saham PT PSBI terbesar.

Privatisasi lahan milik masyarakat berlangsung melalui mekanisme transaksional ganti rugi dalam pembebasan lahan untuk proyek KCJB.  Pembebasan lahan masyarakat dilakukan oleh PT KCIC melalui pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah PT Arjuna yang melakukan pembebasan lahan milik masyarakat. Secara teknis, PT Arjuna akan melakukan pembelian lahan milik masyarakat yang kemudian akan dibeli kembali oleh pihak PT KCIC sehingga PT Arjuna bertanggung jawab dalam pengurusan terkait harga, dialog dengan masyarakat, hingga persoalan administrasi seperti sertifikat yang berdasarkan b to b yang mengedepankan proses transaksi ganti rugi.

Identifikasi seperti ini menunjukan bahwa sistem keuangan yang dimaksud Harvey terintegrasi dengan sirkuit kapital global yang mampu melakukan konsolidasi akumulasi kapital secara terkoordinasi oleh negara–dalam hal ini BUMN yang terlibat dalam konsorsium PT KCIC. Sedangkan arus kredit di lini lain yaitu konsumsi, didasarkan pada kebutuhan atas hunian dan fasilitas transportasi yang terintegrasi dan berpotensi menciptakan aktivitas-aktivitas produksi ekonomi dalam suatu ruang yang terpisah-pisah secara spasial. Hal ini akan dibuktikan pada bagian selanjutnya mengenai akumulasi kapital melalui penjarahan dalam pembangunan TOD KCJB.

Kecenderungan sistem pasar untuk melakukan melakukan eksploitasi sumber daya milik bersama seperti air dan tanah terjadi hingga kini khususnya di negara-negara berkembang. Privatisasi dan deregulasi menjadi kombinasi selanjutnya bagi neoliberalisme untuk menyelesaikan permasalahan akumulasi nilai tambah kapitalisme di dalam satu ruang, yang lebih lanjut disebut overaccumulation (Harvey 2003: 67).


Lemahnya Kekuatan Kelompok Sipil

Gerak kapital memiliki implikasi serius terhadap ruang-ruang hidup masyarakat di kawasan terdampak, yang pada akhirnya secara bersamaan telah melemahkan kekuatan gerakan sipil, yang merupakan oposisi dari proyek KCJB. Sebenarnya perlawanan proyek KCJB sudah muncul sejak awal proyek. Gerakan #formjabar yang digagas beberapa kelompok aktivis di Jawa Barat seperti Walhi Jabar dan LBH Bandung, misalnya, sejak awal berkampanye tentang dampak masif dari proyek KCJB seperti kerusakan lingkungan di kawasan proyek hingga marjinalisasi masyarakat terdampak. Namun, gerakan ini tidak berlangsung lama. Terdapat pola kontradiktif di dalam kekuatan arus bawah. Bubarnya koalisi masyarakat sipil pada akhir 2017 disebabkan oleh bergesernya masyarakat sosial menjadi masyarakat ekonomi secara masif.

Masyarakat terdampak terus dicekoki dalil kepentingan negara dan pembangunan yang dipropagandakan melalui perangkat-perangkat desa dan pemerintahan kabupaten terdampak melalui sosialisasi pembebasan lahan. Akibatnya, dukungan justru tidak didapatkan dari masyarakat arus bawah sebagai subyek perjuangan dari gerakan itu sendiri (Rainditya, 2019). Ini sejalan dengan argumen Wendy Brown (2019) yang menyatakan bahwa dalam pengertian neo-Marxis, neoliberalisme juga dimaknai sebagai proyeksi kekuasaan kaum borjuis (pemilik kapital) untuk menghancurkan berbagai hambatan terhadap kapital, menaklukkan tuntutan redistribusi modal yang berkeadilan, dan menghancurkan kekuatan dan harapan kekuatan kelas pekerja baik di negara maju maupun berkembang. Lebih lanjut, Brown (2019) menegaskan bahwa homo economicus menjadi konsekuensi dari tata masyarakat baru di alam neoliberal, yang tentu memiliki implikasi pada demokrasi. Sejalan dengan argumen Brown (2019), warga terdampak proyek KCJB mudah melepas kepemilikan lahan karena struktur masyarakat yang bertransformasi dari masyarakat sosial menjadi masayarakat ekonomi. Praktis, relasi-relasi yang terbentuk didasarkan pada kapital, yang dalam hal ini adalah ganti untung yang menjanjikan.


Kesimpulan

Tulisan ini memberikan gambaran singkat bahwa gerak kapital Tiongkok melalui investasi KCJB membuka karakter dari logika kapitalisme negara. Transformasi pasca-otoriter terlihat dari bagaimana kapitalisme negara mendominasi ruang ekonomi politik nasional. Gerak kapital Tiongkok melalui strategi ekonomi politik BRI  cukup efektif melakukan penetrasi kapital melalui kerjasama di negara-negara mitranya, tidak terkecuali melalui “bisnis” kereta cepat. Proyek ini tidak dapat dimaknai hanya sebagai kereta berkecepatan tinggi antara dua kota besar di Indonesia, Jakara dan Bandung.

Namun, terdapat corak neoliberal yang kentara dari aktivitas investasi tersebut. Pertama, agresivitas Tiongkok melalui investasi kereta cepat b to b diikuti dengan fasilitas pembiayaan kapital melalui China Development bank (CDB) dengan skema pembiayaan utang. Namun, intervensi kapital Tiongkok yang masuk direspon oleh Indonesia melalui intervensi negara melalui deregulasi via berbagai Perpres yang diterbitkan. Deregulasi tersebut memungkinkan investasi modal BUMN dengan penyertaan aset dalam proyek serta jaminan pembiayaan melalui anggaran negara. Hal ini secara bersamaan menguak dua hal: Investasi Tiongkok dengan corak khas neoliberal serta “kapital negara” sebagai corak khas dari model kapitalisme Indonesia.

Kedua, proyek KCJB telah menciptakaan ruang-ruang ekonomi baru yang eksklusif. Implikasi praktisnya, privatisasi ruang dan marjinalisasi warga terdampak. Konvergensi neoliberal Tiongkok dan kapital negara nyata-nyata telah menciptakan perilaku sosial warga yang justru berorientasi pasar. Ini terlihat dari lemahnya kekuatan kelompok sipil oposisi #fromJabar yang digagas sejak proyek KCJB dimulai. Terdapat kontradiksi antara perjuangan gerakan dengan warga yang menjadi subjek perjuangan. Warga justru memperjuangkan ganti untung ketimbang mempertahankan kepemilikan lahan mereka. Dilihat dari pembangunan pemukiman menengah dan mewah yang masif disepanjang trase KCJB, praktis ruang-ruang yang ada pun kian menjadi eksklusif.***


Kepustakaan

Asian Development Bank. (2011). ASIA 2050 Realizing the Asian Century. ADB. Manila: ADB Publish.

Asian Development Bank. (2017). Meeting Asia’s Infrastructure Needs. Mandaluyong: ADB Publish.

Brown, Wendy. 2019. In the Ruins of Neoliberalism: The Rise of Antidemocratic Politics in The West. Columbia University Press. Columbia.

Brown, W. 2015. Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution. Zone Book.

Chan, Gerald. 2016. China’s High-speed Rail Diplomacy: Global Impacts and East Asian Responses. University of Auckland

China Development Bank. 2017. Annual Report 2017. Beijing: CDB

China Development Bank. 2017. Loan Agreement Signed for Indonesia’s Jakarta-Bandung High-Speed Railway Project (dalam http://www.cdb.com.cn/English/xwzx_715/khdt/201708/t20170829_4510.html diakses tanggal 10 November 2021)

CIMB Southeast Asia Research. 2018. China’s Belt and Road Inisiative (BRI) and Southeast Asia. Zafar. Kuala Lumpur

CRRC Annual Report 2020 dalam            http://www.crrcgc.cc/Portals/73/Uploads/Files/2021/4-25/637549450316272405.pdf

Endrawati. Oktiani. November 2021. Investasi China di RI Meroket Sejak 2015, Ada 72 Proyek Senilai USD21 Miliar. IDX Channel (dalam https://www.idxchannel.com/economics/investasi-china-di-ri-meroket-sejak-2015-ada-72-proyek-senilai-usd21-miliar diakses tanggal 12 November 2021)

Harvey, David. 2005. a Brief History of Neoliberalism. London: Oxford University.

—. 2014. Seventeen Contradictions and The End of Capitalism. London: Profile Books.

—. 2003. The New Imperialism. New York: Oxford University Press.

Hidayat, Reja. Agustus 2017. Bisnis Jual-Beli Lahan di Proyek Kereta Cepat. Tirto (dalam https://tirto.id/bisnis-jual-beli-lahan-di-proyek-kereta-cepat-ctJk diakses tanggal 9 November 2021).

Jian. Zhao. Juli 2016 Railway System Expansion Should Reflect the New Economy Reality. Caixin Global (dalam https://www.caixinglobal.com/2016-07-08/railway-system-expansion-should-reflect-the-new-economy-reality-101046198.html diakses tanngal 15 November 2021).

Pratomo. M. Nurhadi. Januari 2018. Proyek Kereta Cepat: Pinjaman dari CDB Cair dalam 10 Hari ke Depan. Binis.com (dalam https://ekonomi.bisnis.com/read/20180110/45/725103/proyek-kereta-cepat-pinjaman-dari-cdb-cair-dalam-10-hari-ke-depan diakses tanggal 10 November 2021).

Robison, Richard. 2009. Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox Pubhlising (Asia) LTD.

Rainditya. Deda R. 2019. Konvergensi Agenda Neoliberalisme dan Relasi Oligarki dalam Keputusan Politik Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Thesis Skripsi, Universitas Airlangga 2019) dalam https://repository.unair.ac.id/100598/.

Widoyoko, J. Danang. [ed. Abdil Mughis Mudhoffir dan Coen Husain Pontoh]. 2019. Perubahan dan Kesinambungan Kapital di Indonesia: Oligarki dan Kapital Negara, dalam Oligarki: Teori Dan Kritik. Jakarta: Marjin Kiri

World Bank. 2013. Belt and Road Initiative. dalam https://www.worldbank.org/en/topic/regional-integration/brief/belt-and-road-initiative (diaskes tanggal 12 November 2021).***


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.