Ilustrasi: Illustruth
INDONESIA sedang menghadapi darurat kekerasan seksual. Sementara itu, upaya untuk memperjuangkannya melalui pengaturan hukum menemui banyak hambatan. Kita disadarkan kembali atas ketidakseriusan negara dalam menangani isu ini, setidaknya, sejak tahun 2020 ketika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS) dikeluarkan dari prolegnas prioritas. Akhir Maret 2021, meskipun RUU ini kembali masuk ke dalam daftar perencanaan pembentukan Undang-Undang, namun pro dan kontra terkait pengesahannya tidak pernah mereda. Ironisnya, hal itu terjadi di tengah situasi genting peningkatan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Menurut data dari catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2020 (komnas perempuan, 2020), kekerasan seksual menempati angka tertinggi bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat. Selain itu, sebesar 58% dari total angka kekerasan terhadap perempuan di wilayah publik dan komunitas terjadi dalam bentuk kekerasan seksual. Data sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak dari bulan Januari sampai Juli 2020 menunjukkan bahwa dari total 4.116 kasus kekerasan terhadap anak, angka terbesar adalah kasus kekerasan seksual yaitu mencapai 2556 kasus (Kamil, 2020).
Para aktivis, akademisi, dan/atau pihak yang mempunyai keprihatinan terhadap isu kekerasan seksual memandang RUU PKS sebagai solusi yang mendesak untuk segera diberlakukan. Hal ini masuk akal mengingat sistem hukum di Indonesia yang cenderung positivistik mengandung beberapa kelemahan. Pertama, memposisikan perempuan sebagai objek yang netral. Netralitas ini menempatkan hukum sebagai sektor yang mengandung nilai-nilai objektivitas dan otonom dari berbagai unsur moral, ekonomi, politik dan sosial, meskipun mengadopsi hak-hak yang ada dengan mengubah status hak sosial menjadi hak hukum. Hal ini menempatkan kekerasan seksual sebagai tindak pidana sporadis tanpa mempertimbangkan ketimpangan struktural yang dialami perempuan. Dalam konteks ini, konstruksi hukum positivistik menunjukkan pengabaian analisis struktural terhadap peran gender dan identitas perempuan berdasarkan basis rasial, ekonomi, etnis, sosial, dan budaya dengan menempatkan perempuan dalam kategori tunggal (Stubbs, 1993; Leigh, 2009; Chen, 2019).
Kedua, kecenderungan mengutamakan hukuman, terutama penahanan dalam menyelesaikan kompleksitas persoalan (Buss, 2011). Penyelesaian melalui penahanan cenderung menekankan pada pembalasan (retributif) sehingga berpotensi mengabaikan aspek restoratif dalam kasus kekerasan seksual yang menjadi bagian dari kompleksitas isu yang bersifat struktural. Ketiga, metode pembuktian secara hukum dibebankan kepada penggugat, dalam hal ini perempuan sebagai korban. Jenis tanggung jawab ini memaksa penggugat untuk membuktikan kesalahan tergugat. Metode pembuktian ini memberatkan karena kekerasan seksual merupakan pengalaman traumatis yang dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental, serta konsekuensi merugikan bagi para penyintas. Keempat, kecenderungan untuk menempatkan kompleksitas masalah sosial pada kesalahan pribadi atau individu dan memisahkannya dari persoalan struktural sebagai suatu kesatuan.
Kelima, menempatkan persoalan kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga (misal: pemerkosaan di dalam pernikahan) sebagai isu personal, yang dengan demikian seharusnya tidak ditangani oleh pekerja sosial karena terjadi di ranah privat. Konsep ruang privat dalam liberalisme mengacu pada kegiatan dan/atau tindakan yang bersifat rahasia dan bebas dari campur tangan unsur publik. Oleh karena itu pada dasarnya pemikiran liberal tentang ranah privat adalah sesuatu yang tidak boleh diatur dengan undang-undang (O’ Donovan, 1997). Urusan pribadi, seksualitas dan reproduksi, keluarga merupakan elemen yang menopang terbentuknya ruang privat yang secara sosial diidentifikasikan sebagai ruang tanggung jawab perempuan. Ketika persoalan ini dipandang sebagai masalah pribadi, maka kecenderungannya adalah menyalahkan korban (istri yang berperan sebagai Ibu rumah tangga) atas ketidakmampuannya menjaga keseimbangan fungsi keluarga. Solusi yang ditawarkan kemudian adalah melakukan evaluasi atas perilaku anggota di dalam keluarga, yang kebanyakan ditujukan kepada perilaku istri.
Untuk itulah, sebagai alternatif, paradigma hukum berbasis keadilan gender dipandang sebagai solusi yang mampu mendorong perlindungan jangka panjang dengan analisis komprehensif terhadap akar permasalahan pada simbol-simbol bias yang dicerminkan oleh hukum. Isu-isu inilah yang ingin dibenahi dalam reformasi hukum berbasis keadilan gender, yang juga diharapkan dapat dibenahi oleh RUU PKS.
Memposisikan RUU PKS sebagai solusi akan menjadi tepat apabila ditempatkan sebagai sebuah langkah awal krusial yang diperlukan untuk mendesak perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Namun, sebagai sebuah langkah awal, bagaimanapun juga, perjuangan mengesahkan RUU PKS dan reformasi hukum yang anti-seksis lain hanyalah sebuah permulaan. Capaian pengakuan legal tidak akan menjadi berarti tanpa perkembangan gerakan untuk memperjuangkan pencabutan akar permasalahan. Menyelesaikan akar persoalan berarti harus mampu melihat kekerasan seksual sebagai bagian dari kesatuan permasalahan kompleks yang diciptakan oleh sistem. Oleh karena itu, mencabut akar kekerasan seksual adalah berarti: perubahan struktur masyarakat secara keseluruhan. Artikel singkat ini secara umum ingin menjawab pertanyaan tentang apa dan bagaimana perjuangan pengaturan hukum anti kekerasan seksual dapat menjadi solusi bagi perwujudan pembebasan perempuan secara menyeluruh. Terdapat empat bagian dalam artikel ini dengan fokus pembahasan yang berbeda-beda namun saling berhubungan. Bagian pertama artikel ini berfokus pada pembahasan tentang perkembangan kategori hukum dalam tindak pidana pemerkosaan. Perkembangan kategori hukum dalam hal ini tentu bukan merupakan sesuatu yang dapat terjadi tanpa didorong oleh tuntutan gerakan massa. Oleh karena itu, perkembangan gerakan anti-kekerasan seksual menjadi pembahasan pada bagian kedua artikel ini. Pada bagian ketiga, penulis memaparkan pandangan tentang landasan material perjuangan hukum dalam menyelesaikan akar kekerasan seksual. Kita akan menyadari bahwa perjuangan pengaturan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual bukanlah merupakan satu-satunya solusi utama. Dengan demikian, mendukung pengesahan RUU PKS perlu diletakkan dalam rangka memanfaatkan kekuatan represif negara untuk memperkuat gerakan mobilisasi, solidaritas, dan kesadaran massa. Pembahasan ini menjadi penutup pada artikel ini.
Perkembangan Kategori Hukum dalam Tindak Pidana Pemerkosaan
Sejarah pengaturan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual mengalami banyak perkembangan definisi. Pada perkembangan awal, kekerasan seksual dimaknai secara sempit sebagai bentuk pemerkosaan, yaitu bentuk serangan seksual dari seseorang atau lebih kepada orang lainnya tanpa kesepakatan. Dengan kata lain, kesepakatan adalah instrumen utama untuk mengidentifikasi terjadi atau tidaknya kekerasan seksual berwujud pemerkosaan. “Tanpa kesepakatan” juga dapat bermakna persetujuan yang dipaksakan oleh kekerasan fisik, di bawah ancaman dan/atau manipulasi atau dilakukan oleh seseorang yang tidak mampu menyatakan kesepakatannya secara valid. Sebagai contoh, kesepakatan yang diberikan oleh anak di bawah umur dan/atau orang yang berada di bawah pengampuan, orang yang terbatas secara fisik dan/atau mental adalah masuk dalam kategori kesepakatan yang invalid (WHO, 2002). Selain itu, dalam praktik pengadilan, hal-hal yang berkaitan dengan ada tidaknya kesepakatan dalam suatu hubungan seksual adalah salah satu isu pelik dalam pembuktian tindakan pemerkosaan karena kesepakatan adalah suatu konsep yang multi-interpretatif.
Di berbagai negara, pembuktian tindak pidana pemerkosaan dilakukan dengan memasukan unsur keyakinan dari terdakwa tentang persetujuan yang beri atau tidak diberi oleh korban. Misalnya di Inggris, Undang-Undang tentang Kekerasan Seksual menentukan bahwa suatu tindakan memenuhi unsur keyakinan apabila memenuhi kategori masuk akal dengan memperhatikan semua keadaan, termasuk tindakan yang untuk memastikan kemunculan unsur keyakinan atas kesepakatan. Di New South Wales, ada beberapa unsur dalam tindak pidana pemerkosaan yaitu seseorang memahami bahwa orang lain tidak memberikan kesepakatan atas hubungan seksual tertentu; seseorang secara gegabah memutuskan bahwa orang lain telah menyepakati terjadinya hubungan seksual; dan seseorang dengan tanpa landasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa orang lain telah menyepakati terjadinya hubungan seksual. Pemenuhan unsur-unsur tersebut harus memperhatikan keadaan meliputi tindakan yang telah diambil untuk meyakini telah terjadinya kesepakatan untuk melakukan hubungan seksual, tidak termasuk di dalamnya adalah hubungan seksual yang terjadi karena seseorang dalam keadaan mabuk.
Selain berkaitan dengan validitas kategori dalam mendefinisikan kesepakatan, bentuk tindakan juga merupakan salah satu instrumen yang mengalami perkembangan makna. Pada awalnya, tindakan pemerkosaan hanya akan menjadi valid ketika terjadi pemaksaan penetrasi dari penis ke dalam vagina, yang dengan demikian kategori korban dibatasi hanya pada perempuan. Perkembangan selanjutnya menunjukan bahwa tindak pidana pemerkosaan mengalami perluasan definisi. Kategori tindakan tidak lagi terbatas pada penetrasi penis pada vagina, tetapi meliputi pula penetrasi pada anus melalui bagian tubuh lainnya atau oleh objek bantu. Termasuk di dalamnya adalah hubungan seksual yang dilakukan terhadap organ genital yang dibentuk atau dikontruksi oleh tindakan pembedahan.
Selain itu, hubungan seksual yang dilakukan secara oral tanpa kesepakatan juga dapat dikategorikan sebagai pemerkosaan. Undang-Undang tentang Pemerkosaan (Statutory Rape Laws) di Massachussetts (Amerika Serikat) mengatur bahwa penetrasi baik oleh alat kelamin, jari, mulut, ataupun obyek bantu adalah dianggap memenuhi unsur sebagai suatu hubungan seksual. Pengadilan di Manhattan menjatuhi hukuman 23 tahun penjara kepada Harvey Weinsten setelah terbukti bersalah atas tindakan pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap puluhan perempuan sejak oktober 2017. Weinstein terbukti melakukan tindak pidana seksual tingkat pertama, salah satunya terhadap Mimi Haleyi yang dipaksa melakukan hubungan seksual secara oral. Pengadilan Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia memasukkan bentuk tindakan pemaksaan oral seks ke dalam definisi pemerkosaan, karena berpendapat bahwa penetrasi paksa yang dilakukan organ seksual laki-laki ke dalam mulut adalah serangan yang paling memalukan dan merendahkan martabat manusia. Dengan kata lain, hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia internasional menitikberatkan tujuan pengaturan hukum anti kekerasan seksual pada perlindungan martabat setiap manusia (Sexual Offences Act (Amandment) 1956, 1976, 2003 of United Kingdom).
Pada umumnya, suatu hubungan seksual dapat dikatakan sebagai “tanpa kesepakatan” apabila tindakan tersebut memenuhi unsur pemaksaan, atau terhadap orang-orang yang tidak mampu menyatakan konsensus. Dengan kata lain, syarat terpenuhinya unsur kesepakatan tidak selalu berlaku dalam semua situasi dan keadaan. Misalnya hubungan seksual yang dilakukan terhadap anak di bawah umur dapat dikatakan sebagai tindak pidana pemerkosaan tanpa mempertanyakan tentang ada tidaknya kesepakatan (Sexual Offences Act 2003). Dengan kata lain, kesepakatan dari anak di bawah umur adalah tidak relevan menurut hukum. Termasuk dalam hal ini adalah terhadap orang yang sedang di bawah pengaruh alkohol dan mereka yang berada di bawah intimidasi sehingga tidak mungkin melakukan penolakan dan/atau pembelaan diri.
Adapun hal yang patut menjadi perhatian adalah bahwa kesepakatan tidak semata-mata diindikasikan oleh ketiadaan penolakan dan/atau pembelaan secara fisik. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa mengatur bahwa tindak pidana pemerkosaan dapat terbukti secara hukum walaupun korban tidak melakukan pembelaan secara fisik (Article 3 of the European Convention on Human Rights). Persyaratan ini dirumuskan dengan mempertimbangkan bahwa mengharuskan adanya pembelaan diri secara fisik oleh korban dalam merumuskan tindak pidana pemerkosaan mempunyai risiko mempersempit kategori, yang menyebabkan beberapa bentuk tindak pidana pemerkosaan tidak terjamah hukum. Hal lain juga meliputi pertimbangan terhadap perlindungan efektif terhadap otonomi seksual individu. Termasuk dalam kategori ini adalah korban yang berada dalam situasi “keterpaksaan” dan/atau “intimidasi” yang menegasikan kemungkinan untuk mencapai kesepakatan. Beberapa contoh diantaranya adalah pemerkosaan yang terjadi terhadap korban penculikan atau dalam penahanan atau korban yang berada di bawah situasi perang dan genosida, dan/atau terhadap seseorang yang menderita sakit secara fisik maupun mental.
Sejak paruh kedua abad kedua puluh, kategori tindak pidana pemerkosaan mengalami banyak perubahan. Definisi pemerkosaan berkembang dari pengertian tradisional dan sempit berupa paksaan penetrasi oleh penis terhadap vagina di luar ikatan perkawinan menjadi tindakan-tindakan meliputi pemaksaan hubungan seksual dalam berbagai bentuk bahkan yang terjadi di dalam ikatan perkawinan.
Dengan perluasan definisi seperti ini, korban tidak lagi dibatasi hanya perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Unsur terpenuhinya tindakan juga tidak lagi terbatas pada penetrasi penis ke dalam vagina. Perkembangan definisi-definisi hukum dalam kasus kekerasan seksual membuka peluang perlindungan dan pemulihan hak bagi korban yang semakin luas. Hal yang penting untuk ditekankan adalah bahwa perkembangan kategori hukum dalam tindak pidana pemerkosaan ini adalah suatu capaian yang tidak mungkin diperoleh tanpa adanya perjuangan gerakan perempuan.
Tiada Capaian tanpa Gerakan
Perkembangan pengaturan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual tidak akan pernah dicapai tanpa adanya perjuangan. Gerakan anti pemerkosaan, sebagai bentuk gerakan sosial politik, berkembang sebagai bentuk protes dan perlawanan atas kekerasan terhadap perempuan yang semakin marak terjadi. Gerakan ini bertujuan untuk mengubah sikap dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana pemerkosaan. Stigma negatif tentang perempuan sebagai penggoda, lambang kesucian, obyek pengontrolan seksual, dan pandangan-pandangan yang menabukan seksualitas perempuan menyebabkan perkembangan kecenderungan sikap menyalahkan korban atas paksaan hubungan seksual yang dialaminya. Tindakan menyalahkan korban tersebut adalah bagian dari rangkaian penderitaan traumatis pasca-peristiwa yang akan menimbulkan perasaan bersalah, misalnya karena mengganggap dirinya “tidak suci,” dan perasaan menyesal karena memandang dirinya sebagai penanggung jawab utama yang berkontribusi terhadap terjadinya tindak pidana pemerkosaan.
Selain itu, gerakan anti pemerkosaan juga bertujuan untuk mengkampanyekan reformasi hukum pemerkosaan dan/atau hukum pembuktian yang memberikan celah bagi pelaku untuk terbebas dari segala dakwaan. Hal ini dapat terjadi baik karena hukum yang mengandung banyak kesalahan dan celah kategori sehingga kurang komprehensif memberikan perlindungan kepada korban pemerkosaan, dan/atau disebabkan oleh permainan kekuasaan maupun uang. Gerakan ini berhasil memperoleh capaian reformasi hukum di beberapa wilayah, akan tetapi secara praktis angka kekerasan seksual yang dilaporkan tetap bertahan pada angka yang memprihatinkan.
Gerakan ini berkembang pada akhir tahun 1960-1970an, pada masa gelombang feminisme ke-2. Tindak pidana pemerkosaan mulai diangkat sebagai sebuah isu yang dipandang perlu dianalisis dan ditangani secara serius karena meninggalkan efek destruktif bagi korban, khususnya perempuan. Pada awal pembahasan, gerakan ini memandang sumber permasalahan dalam tindak pidana pemerkosaan adalah ketidakmampuan laki-laki dalam mengontrol hasrat seksual. Para feminis menekankan bahwa dinamika relasi kuasa yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan akibat pelanggengan peran gender secara sosial adalah salah satu faktor utama pemakluman terjadinya pemaksaan terhadap perempuan (Fried, 1994; Donat & D’Emilio, 1998). Dengan kata lain, kekerasan seksual dan kekerasan lainnya terhadap perempuan adalah alat kontrol sosial sekaligus bentuk kuasa yang digunakan oleh laki-laki untuk mempertahankan posisi subordinasi perempuan.
Dengan demikian, selain bertujuan untuk mengubah kesadaran masyarakat dan mengkampanyekan reformasi hukum berkaitan dengan tindak pidana pemerkosaan, gerakan ini juga bermaksud untuk membangun jaringan solidaritas bagi para korban kekerasan seksual untuk sanggup bangkit menjadi penyintas. Sebagai contoh, pada tahun 1991 di Australia, slogan “Memecah Keheningan Kekerasan Seksual” menggema di kampus-kampus dan jalanan. Pemerintah Victoria membuat seri iklan di televisi untuk mengubah sikap masyarakat terhadap kekerasan seksual.
Gerakan anti pemerkosaan terus berkembang hingga saat ini. Pada tahun 2016, gerakan pemogokan feminis di Argentina mengkampanyekan isu tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan slogan “Ni Una Menos” yang artinya Tidak Kurang Satupun. Kampanye ini dilakukan dalam rangka meresponspemerkosaan kelompok dengan disertai oleh tindakan pembunuhan yang menimpa Lucia Perez, seorang remaja perempuan berusia 16 Tahun. Gerakan ini menyebar dengan cepat ke Spanyol, Italia, Brazil, Turki, Peru, Amerika Serikat, Meksiko, Chile dan negara-negara lain sebagai bentuk kemarahan atas putusan bebas dari hakim terhadap 3 orang terdakwa pemerkosa dan pembunuh Perez. Slogan “Ni Una Menos” digaungkan di berbagai negara sebagai bentuk penegasan bahwa tidak ada satupun perempuan yang pantas mati atau hilang karena kekerasan. Selain itu, gerakan #MeToo juga berkembang di berbagai negara sebagai bentuk protes terhadap kekerasan seksual yang terjadi di tempat kerja (Aruzza, et.al, 2019).
Landasan Perjuangan Hukum: Analisis terhadap Akar Kekerasan Seksual
Sarah Wagner (2005) dalam Women and Venezuela’s Bolivarian Revolution berpendapat bahwa
“… meskipun undang-undang adalah awal yang penting, tetapi perannya tidak lebih hanya permulaan. Perubahan politik akan terus berlanjut dan harus dilengkapi dengan perubahan ekonomi, sosial dan budaya – pendekatan komprehensif untuk keseluruhan masalah.”
Perjuangan pengesahan pengaturan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual berdiri di atas landasan ini. Hal yangperlu dipahami dari maraknya kasus kekerasan seksual adalah bahwa kejahatan ini bukan merupakan persoalan yang diakibatkan oleh gangguan atas ketertiban pada umumnya atau ketiadaan hukum yang memadai untuk memberikan efek jera kepada tersangka atau untuk melindungi korban. Kekerasan seksual adalah persoalan sistemik yang tertancap kuat di dalam tatanan sosial, yang dengan demikian perlu dipahami sebagai bagian dari keseluruhan totalitas organik kekerasan sistem secara lebih kompleks. Kebanyakan tanggapan dari gerakan feminis terhadap kekerasan seksual, khususnya yang terjadi pada perempuan adalah mendorong adanya pengaturan dan reformasi hukum sebagai tujuan utama. Para feminis yang meyakini bahwa reformasi hukum adalah solusi utama, mendasarkan tuntutannya pada asumsi bahwa hukum dan para penegaknya, termasuk pangadilan, mempunyai otonomi untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual secara menyeluruh.
Faktanya adalah persoalan kekerasan berbasis gender tidak disebabkan hanya oleh ketiadaan atau tidak memadainya pengaturan hukum yang ada. Persoalan kekerasan berbasis gender adalah persoalan struktural yang mengakar kuat dan menjadi bagian integral dari fungsi keseharian masyarakat kapitalis. Sistem kapitalisme menciptakan pemisahan antara aspek regenerasi tenaga kerja dan akumulasi keuntungan produksi. Hal ini menyebabkan perempuan ditempatkan sebagai penanggungjawab utama proses reproduksi sosial, sembari mensubordinasi perannya pada lapangan produksi. Dalam proses ini, citra-citra negatif pada perempuan dikonstruksi, salah satunya melalui pembentukan norma seksualitas yang menguntungkanstruktur masyarakat pada setiap periode sejarah tertentu. Oleh karena itu, menganalisis akar penindasan perempuan adalah menempatkannya dalam konteks hubungan sosial terhadap corak produksi yang ada melalui investigasi proses sejarah yang melahirkan corak produksi tersebut. ini menyebabkan tuntutan yang menitikberatkan semata-mata pada pengaturan hukum dan capaian hak legal tidak akan mampu memberikan keadilan yang sesungguhnya karena bahkan kesempatan untuk mengakses keadilan melalui bantuan hukum pun tersedia secara tidak proporsional bagi setiap perempuan berdasarkan basis ras, gender, kelas, dan yang lain. Oleh karena itu, adalah hal yang keliru untuk menempatkan hukum sebagai satu-satuya solusi utama dan final dalam penyelesaian kasus kekerasan tanpa mendasarkan pada gerakan massa untuk menuntut perubahan sistem masyarakat secara keseluruhan.
Kekerasan seksual adalah isu yang tidak terisolasi dari kekerasan sistem yang lebih kompleks. Kekerasan seksual memiliki akar yang kuat dalam tatanan sosial yang menyediakan 3 landasan utama yang memungkinkannya untuk tetap ada. Pertama, adanya pembagian khas di dalam sistem antara pekerjaan menciptakan manusia dan menciptakan keuntungan. Hal ini menjadikan aktivitas penciptaan dan pengisian kembali daya tenaga kerja dipandang sebagai aktivitas yang tidak berguna, namun sangat diperlukan, karena tidak menghasilkan keuntungan secara langsung bagi kapitalisme. Tanggung jawab ini dibebankan kepada perempuan atas landasan posisi subordinasi yang direstrukturisasi untuk membentuk seksisme baru yang modern, khususnya pada pekerjaan produksi. Kenyataan ini memberikan sedikit kesempatan kepada perempuan untuk memperoleh pekerjaan produktif dengan tunjangan dan jaminan sosial yang memadai dan dengan demikian menyediakan lebih sedikit kemungkinan untuk mengakhiri hubungan destruktif di dalam keluarga. Dengan kata lain, posisi subordinasi perempuan direstrukturisasi ke dalam kelembagaan baru kapitalisme sekaligus menjadikan perempuan sebagai sasaran atas dominasi dan pengontrolan (O’Shea, 2014).
Kedua, sistem kapitalisme menciptakan keterasingan serta menormalisasi dominasi dan hierarki. Di bawah sistem yang didominasi oleh pasar dan profit, keterasingan memunculkan mistifikasi terselubung atas ketidakberdayaan dan kepasrahan terhadap fragmentasi diri dari produksi, serta sistem hierarki yang diterima apa adanya. Hal ini mengkonstruksi kesadaran masyarakat untuk menjustifikasi sistem yang memberikan “hak” kepada seseorang untuk memperlakukan manusia pada hierarki yang lebih rendah sebagai objek. Hierarki dan dominasi, dengan demikian, dipandang sebagai suatu kewajaran interaksi manusia dalam relasi kuasa yang dibentuk oleh sistem. Kaum rentan, (termasuk perempuan) yang direduksi hak dan pilihannya, dijadikan sebagai sasaran dominasi dan pelampiasan keterasingan. Upaya mendominasi manusia yang berada di bawah kekuasaannya dianggap sebagai bentuk penegakan norma dan ketertiban untuk menciptakan keteraturan.
Di samping itu, pengontrolan terhadap seksualitas perempuan untuk menaturalisasi institusi keluarga dan mengontrol ketersediaan unsur tenaga kerja dalam formasi tenaga produksi menciptakan keterasingan perempuan dari seksualitasnya. Kenikmatan seksual menjadi terpisah dari interaksi manusia melalui pembatasan kontrol seksualitas manusia dan menciptakan aura kerahasiaan dari ruang privasi tersebut. Secara struktural, aktivitas penindasan yang menyentuh cerminan privasi ini, melalui pelecehan seksual, dipandang sebagai bentuk pelampiasan dan penundukan yang bersifat paling traumatis dan mampu melumpuhkan daya, tidak hanya pada perempuan tetapi juga pada laki-laki (Bloodworth, 2015).
Ketiga, dalam sistem produksi berbasis profit, segala sesuatu dapat dijual, tidak terkecuali tubuh manusia yang dipandang sebagai objek untuk memproduksi komoditas atau menjadi komoditas itu sendiri. Salah satu konsekuensinya adalah merebaknya industri pornografi dengan memanfaatkan—sekaligus melanggengkan–stigmatisasi tubuh perempuan. Seiring masuknya perempuan ke dalam angkata kerja produksi, perempuan mulai mendapatkan kesempatan untuk melihat dirinya sebagai manusia yang mempunyai hak atas kebutuhan dan tuntutan pribadi. Hal ini bertentangan dengan citra sebagai Ibu dan Istri yang melekat pada tugas reproduksi generasi. Sebagai akibat dari perkembangan ini, ketersediaan alat kontrasepsi dan akses terhadap aborsi menjadi relatif terbuka dan membuat perempuan mulai dipandang sebagai makhluk seksual yang aktif dan bergairah, yang bertentangan dengan citra tradisional tentang perempuan sebagai Ibu rumah tangga yang pasif. Akan tetapi di sisi lain, citra baru yang dilekatkan pada perempuan ini menjadikan tubuhnya lebih mudah untuk dieksploitasi sebagai obyek seksual untuk kepentingan produksi komoditas atau menjadi komoditas itu sendiri dalam industri komoditi maupun pronografi (O’Shea, 2014).
Kekerasan Seksual adalah Bagian Integral dari Kekerasan Sistem, Perubahan Struktur Masyarakat adalah Solusi
Dalam kampanye-kampanye menuntut pengaturan dan reformasi hukum dalam mengatasi kekerasan seksual, tidak terhindarkan, negara dipandang sebagai pelindung integritas moral dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan negara mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum yang bersifat represif untuk memaksakan kepatuhan. Di tengah kefrustrasian dalam menghadapi tindak kejahatan kekerasan seksual ini, negara, yang direpresentasikan oleh polisi dan penegak hukum, berpotensi dipandang sebagai satu-satunya solusi dan harapan.
Dukungan dan kepedulian yang ditunjukan oleh polisi serta para penegak hukum secara khusus, akan meningkatkan kredibilitas para penegak hukum dan membawa dua konsekuensi. Pertama, di tengah menguatnya kecenderungan kekuasaan sayap kanan, dan melemahnya gerakan kiri berbasis massa, upaya untuk menarik simpatik dan kepercayaan masyarakat akan mempermudah pemerintah dalam menerapkan kebijakan reaksioner, misalnya normalisasi ketertiban umum melalui pelanggengan seksualitas dan peran gender tertentu. Kedua, peningkatan kredibilitas kebijakan hukum melalui citra kepedulian ini dapat mengaburkan kesadaran massa dan menyebabkan masyarakat kehilangan daya kritis terhadap kebijakan negara yang reaksioner (Bloodoworth, 1992).
Mendukung pengesahan RUU-PKS harus dipahami dalam konteks pemanfaatan kekuatan represif dari negara untuk mencegah tindakan tertentu dari individu dan sekaligus melindungi individu lainnya dari tindakan yang dapat menjadi ancaman bagi keselamatan dan keamanan manusia. Dalam hal perumusan solusi konkrit, yang perlu dilakukan adalah mendasarkan analisis pada realita bahwa belum adanya kekuatan kaum progresif terorganisir yang dapat mencegah serangan individu terhadap ancaman pelemahan tenaga produktif kelas pekerja dan karena itu ketiadaan inilah yang harus diciptakan.
Prinsip dasar pemanfaatan kekuatan represif negara dapat dilakukan berlandaskan pada prasyarat bahwa kekuatan dalam bentuk kebijakan dan peraturan perundangan harus dapat menjadi embrio untuk memperkuat gerakan mobilisasi dan solidaritas serta meningkatkan kesadaran massa. Dalam konteks prasyarat ini maka setidaknya ada dua jenis tuntutan yang menjadi mendesak diperjuangkan di bawah sistem kapitalisme melalui pengaturan hukum.
Pertama adalah tuntutan pemenuhan basis kehidupan dan penghidupan bagi kelompok termarjinalkan. Sebagai contoh, tuntutan-tuntutan seperti perumahan dan tempat penitipan anak yang berkualitas dan terjangkau, upah yang setara, dan akses terhadap jaminan sosial dapat memberikan landan kesempatan sekaligus kepercayaan diri kepada perempuan untuk meninggalkan rumah tangga yang penuh kekerasan. Kedua, pengaturan hukum yang memberikan landasan untuk mereduksi prasangka-prasangka seksis dan rasis. Termasuk dalam hal ini adalah tuntutan tentang kesetaraan pernikahan, anti homophobia dan transphobia, serta pengaturan kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya.
Kedua jenis tuntutan ini selain dapat menyelamatkan tenaga kerja perempuan dalam formasi tenaga produktif, juga dapat menghilangkan hambatan persatuan antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki, yang selama ini dipandang sebagai penyebab kekerasan seksual. Dalam hal ini, kelas pekerja, baik laki-laki maupun perempuan, dapat saling menyadari tentang kepentingan dan tujuan perjuangan yang sama, dan bahwa mereka adalah sekutu, alih-alih musuh, dalam perjuangan. Kondisi ini memungkinkan terbentuknya kepercayaan diri kelas pekerja terhadap kekuatan mobilisasi, yang penting dan diperlukan, sebagai pra-kondisi untuk memungkinkan perubahan struktural yang lebih luas (Bloodworth, 1992).***
Linda Sudiono adalah staff pengajar di salah satu universitas di Jogjakarta dan tim redaksi Penerbit Independen.
Kepustakaan
Aruzza, Cinzia, Tithi Bhattacharya, Nancy Fraser. 2019. Feminism for 99%: A Manifesto. London& New York: Verso
Bloodworth, Sandra. 1992. “Rape, Sexual Violence and Capitalism”. Marxist Left Review, 5(autumn).
__________________. 2015. The Roots of Sexual Violence. Diakses di https://marxistleftreview.org/articles/the-roots-of-sexual-violence/.
Chen, Chao-Ju. 2019. “Catharine A. MacKinnon and Equality Theory”. On Robin West and Cynthia Grant Bowman (ed). Research Handbook on Feminist Jurisprudence. UK : Edward Elgar Publishing,. P. 48.
Donat, P.L., & D’Emilio, J. (1992). “A Feminist Redefinition of Rape and Sexual Assault: Historical Foundation and Change”. Journal of Social Issues. 48(1): 9-22
Doris Buss. 2011. “Performing Legal Order : Some Feminist Thoughts on International Criminal Law”. International Criminal Law Review. 11(3): 409-423.
Fried, Amy. 1994. “It’s Hard to Change What We Want to Change”. Gender & Society. 8(4).
Kamil, Irfan. 2020. Kementerian PPPA Catat Ada 4116 Kasus Kekerasan Anak dalam 7 Bulan Terakhir. Diakses di Kementerian PPPA Catat Ada 4.116 Kasus Kekerasan Anak dalam 7 Bulan Terakhir Halaman all – Kompas.com
O’ Donovan, Katherine. “Sexual Division in Law”. On Hilaire Barnett (ed). 1997. Sourcebook on Feminist Jurisprudence. Great Britain : Cavendish Publishing. P. 156.
Komnas Perempuan. 2020. Catatan Tahunan 2020. Diakses di Komnas Perempuan
Leigh, Goodmark. 2009. “Reframing Domestic Violence Law and Policy: An Anti-Essentialist Proposal”. Washington University Journal of Law and Policy. 31(1) : 41-56.
O’Shea, Louise. 2014. “Marxism and Women’s Liberation”. Marxist Left Review, 7 (Summer).
Stubbs. Margot. 1993. “Feminism and Legal Positivism”. On D. Kelly Weisberg (ed). Feminist Legal Theory. Philadelphia : Temple University Press. P. 455.
World Health Organization. 2002. “World Report on Violence and Health” on E. G. Krug, et.al (ed.). WHO: Geneva.
Wagner, Sarah. 2005. Women and Venezuela’s Bolivarian Revolution. Diakses di Women and Venezuela’s Bolivarian Revolution | Venezuelanalysis.com.***