Diam-Diam Dikomodifikasi: Perburuhan Digital di Media Sosial Menurut Christian Fuchs

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: socialistproject.ca


MEDIA SOSIAL kelihatannya telah menjadi platform yang mendukung kondisi lebih egaliter. Orang-orang bisa saling berbagi secara gratis dan akses pengetahuan menjadi lebih terbuka. Selain itu, media sosial juga tampak seperti perwujudan demokrasi baru karena beraneka gagasan bisa disuarakan dan bahkan dapat langsung sampai pada pembuat dan pelaksana kebijakan. 

Namun sosiolog asal Austria, Christian Fuchs, enggan terjebak pada persepsi penuh puja puji tersebut. Menurut pria yang lahir pada 1976 ini media sosial justru merupakan ruang eksploitasi jenis baru yang secara subliminal membuat kita semua bekerja untuk para pemilik modal tanpa mendapat upah atau gaji. 

Fuchs, profesor di Westminster School of Media and Communication, London, Inggris mengelaborasi gagasan itu dalam buku berjudul Digital Labour and Karl Marx (2014). Ia mengawali bukunya dengan mengulas kembali teori nilai lebih dari Karl Marx. Marx beranggapan “nilai lebih” adalah selisih antara waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksinya (labour time) dan waktu kerja untuk kapital. Ilustrasinya, jika buruh dibayar Rp100.000 untuk kerja 10 jam, maka pemilik modal akan mempekerjakan buruh tersebut selama 12 jam. Kelebihan dua jam tersebut adalah “nilai lebih” yang dikonversi menjadi keuntungan. Itu adalah waktu yang tak dibayar. 

Prinsip di atas nantinya akan digunakan Fuchs untuk menganalisis “nilai lebih” dalam media sosial yang didapat dari hasil “kerja” kita, para pengguna, atau yang ia sebut sebagai “buruh tidak dibayar”. 

Namun sebelum memasuki analisis tersebut, mari kita bahas dulu gagasan Fuchs tentang media dan komunikasi yang ditinjau dari kacamata Marxisme.


Marxisme dalam Media dan Komunikasi

Dallas Smythe (1907–1992) bisa jadi merupakan orang pertama yang mengajukan kekhawatiran tentang kurangnya implementasi Marxisme di bidang media dan komunikasi. Memang sudah ada mazhab Frankfurt yang mengemukakan bahwa media adalah agen dari ideologi kapitalisme, semacam aparatus yang menanamkan pengaruh kultural kepada masyarakat. Namun Smythe tidak puas dengan kritik ideologis yang diarahkan pada hegemoni media—yang dianggapnya terlalu simplifikatif dalam menilai audiens

Smythe mengusulkan menjadikan Marxisme sebagai titik awal lewat teori tentang pertukaran komoditas. Apa yang relevan untuk dibahas dalam media dan komunikasi dari perspektif Marxisme berkenaan dengan akumulasi kapital dalam industri media dan juga reproduksi, regenerasi, serta kualifikasi dari buruh. 

Fuchs mengembangkan gagasan tersebut untuk digunakan dalam risetnya mengenai media sosial dan perburuhan digital. Ia melihat bahwa pengguna secara ideologis dipengaruhi untuk memakai media sosial dalam rangka menjaga relasi sosial, seolah-olah tanpa platform tersebut hidup akan menjadi kurang bermakna. Fuchs melihat hal demikian sebagai alienasi. 

Selain itu, pengguna yang menghabiskan waktu di media sosial pada dasarnya bisa disamakan dengan nilai yang diciptakan oleh buruh yang tidak digaji. 


Playbour

Menurut Fuchs, pengguna media sosial menjadi sasaran komodifikasi saat mulai terkoneksikan dengan jaringan internet (online). Hampir seluruh waktu-waktu tersebut adalah sekaligus waktu-waktu untuk kemunculan iklan. Iklan-iklan ini secara jitu berusaha menyasar pengguna berdasarkan data-data personal termasuk apa yang menjadi kesukaan pengguna dan dengan siapa mereka berinteraksi. 

Dapat dikatakan bahwa saat tengah menggunakan Facebook, Twitter, Youtube dan sejenisnya, kita tidak hanya sedang berinteraksi dengan orang lain yang kita kehendaki, melainkan juga tengah disasar dan sekaligus digiring oleh iklan tertentu. Kemunculan iklan-iklan tersebut, tentu saja, hanya berbasis apa yang disebut algoritma dan tidak benar-benar mengetahui keinginan terdalam kita. Meski demikian, fenomena digital ini menunjukkan bahwa pengguna senantiasa berada di dalam pengawasan sistem besar yang terus-menerus melakukan komodifikasi. 

Pengguna platform media sosial tidak bisa dikatakan mendapat gaji. Padahal, mereka memproduksi nilai-nilai yang kemudian dikomodifikasi oleh kapital. Pengguna yang terkoneksikan terus-menerus dengan internet tidak akan mampu untuk mengonversi “hasil kerja”-nya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga dengan demikian berbagai platform di internet seperti Google, Facebook, Youtube atau Twitter menerapkan apa yang disebut Marx sebagai “nilai lebih” dari kerja buruh. 

Sepanjang 2011, Facebook meraup keuntungan sekitar 1 miliar dolar AS. Keuntungan Facebook bisa jadi berasal dari aktivitas kerja yang setara dengan 35 miliar buruh dan jam kerja gratis yang totalnya bisa mencapai 60 miliar jam!

Objek perburuhan dari Facebook adalah pengalaman manusia. Pengalaman manusia, sebelum adanya media sosial, cenderung lebih terisolasi, privat dan tidak terhubung satu sama lain. Facebook membuatnya menjadi publik dan terhubung. Dalam aturan yang kita sepakati sebelum membuat akun, di sana sebenarnya tertulis bagaimana pengguna setuju bahwa seluruh pengalaman yang dibagi dapat digunakan oleh Facebook untuk kepentingan ekonomi.  Dengan demikian, kita juga bisa menemukan bahwa produk perburuhan digital adalah data yang merepresentasikan pengalaman individu dan sosial yang terekspos pada publik.

Karena kegiatan berselancar kita di internet selalu dikomodifikasi, menjadi sulit untuk memisahkan mana kegiatan yang tidak dikomodifikasi. Bisa dikatakan bahwa hidup telah menjadi pabrik dan ruang kerja buruh meluas pada nyaris seluruh aktivitas keseharian.  Hal tersebut yang kemudian menjadi elemen penting dalam akumulasi kapital oleh media sosial. Media sosial mengonversi hidup keseharian penggunanya menjadi keuntungan pribadi dan kita semua yang mengaksesnya tidak sadar bahwa kita telah menjadi buruh tidak dibayar yang memperkaya pihak tertentu. 

Tidak hanya tidak dibayar, kita juga melakukannya dengan senang hati!

Namun harus diakui sulit bagi para pengguna untuk melihat adanya eksploitasi tersebut. Alasan pertama, kita melihat media digital adalah bentuk kultur partisipatoris dan demokrasi jenis baru sehingga sisi progresifnya dianggap jauh lebih banyak. Kedua, kita menganggap bahwa eksploitasi itu tidak ada karena dalam interaksi di media sosial kita lebih menganggapnya sebagai permainan. 

Dulu, bermain adalah kegiatan yang dilakukan saat waktu senggang (seperti seks dan berwisata) yang dapat dikatakan sebagai kegiatan tidak produktif dan terpisah dari waktu kerja. Sekarang terjadi perubahan: penggunaan internet justru dipicu oleh hiburan dan kesenangan, yang tanpa sadar tidak terpisahkan dari waktu kerja yang dieksploitasi oleh korporasi internet. 

Itu sebabnya Fuchs menggagas istilah “playbour” yang menunjuk pada buruh yang menyerahkan “nilai lebih”-nya secara sukarela sambil bermain-main.


Jalan Keluar

Fuchs menawarkan jalan keluar dengan melakukan “humanisasi internet” yang tidak dikontrol oleh logika kapital dan akumulasi keuntungan pribadi melainkan dikendalikan oleh semua pengguna dan menghasilkan keuntungan juga untuk semua. Internet yang memberikan informasi yang tidak untuk dikonsumsi demi keuntungan material; internet yang dapat diakses semua orang tanpa harus membayar; internet yang berbasis akses teknologi dan pengetahuan untuk semua; internet yang berbasis produksi bersama, kepemilikan bersama, kontrol bersama, kepentingan bersama melampaui kelas, serta kebaikan bersama. 

Secara lebih rinci, platform media sosial yang berdasarkan kepentingan bersama haruslah memenuhi beberapa dimensi, yaitu pertama, penggunaan media sosial tidak memiliki karakter instrumental dan tidak ada komoditas yang diciptakan darinya—hanya nilai-guna yang memuaskan kebutuhan sosial.  Kedua, pengalaman dianggap sesuatu yang penting untuk dibagi dengan orang lain secara nonkomersial dalam sebuah organisasi nonprofit yang dikontrol dan dipunya oleh seluruh pengguna.  

Fuchs juga menawarkan solusi berupa Okupasi (Occupy) yang bereaksi terhadap situasi kapitalisme neoliberal dengan mengambil alih apa yang seharusnya menjadi milik bersama. Okupasi ini, dalam pandangan Fuchs, bisa diwujudkan melalui berbagai jenis komunikasi. Jenis komunikasi pertama, yang dianggap paling berhasil, tak lain komunikasi tatap muka. Jenis komunikasi kedua, harus diakui, melalui media sosial. 

Namun Fuchs menekankan bahwa media sosial komersil seperti Facebook atau Twitter mesti tetap diwaspadai karena dua alasan. Pertama, media sosial komersial akan lebih fokus pada komodifikasi, dan tentu gerakan revolusioner akan sangat menjual jika dijadikan konten.  Kedua, media sosial komersial sangat mungkin ambil bagian dalam berpolitik, dengan berpihak pada kepentingan tertentu, yang bisa saja merugikan jalannya Okupasi itu sendiri.  

Menurut riset Fuchs, ada sejumlah media yang dapat digunakan untuk Okupasi, yaitu media-media nonkomersial seperti Occupy News Network, InterOccupy, OccupyTalk, The-GlobalSquare, Occupii, N-1 dan Diaspora*.  Media semacam ini, harus diakui, memang kalah pamor dibanding media komersil seperti Facebook atau Twitter, tetapi mau tidak mau mesti digunakan demi keberhasilan Okupasi.*** 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.