- Judul buku: A Feminist Reading of Debt1
- Penulis: Lucí Cavallero dan Verónica Gago
- Tahun terbit: 2021
- Jumlah halaman: 90
- Kota terbit: London
- Penerbit: Pluto Press
PERMASALAHAN finansial atau keuangan, termasuk utang, seringkali dianggap sebagai permasalahan teknis dibanding politis. Sistem anggaran negara, misalnya, walaupun disusun dan dibahas secara matematis atau kuantitatif, pada nyatanya sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi-politik baik nasional dan internasional. Di level internasional, hal ini diperkuat oleh lembaga keuangan seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), yang kebijakannya didominasi oleh negara-negara utara. Di Indonesia, IMF pun baru-baru ini memberi pujian terkait rasio utang dan perekonomian Indonesia yang dinilai baik. Penilaian ini tidak didasarkan pada realita ekonomi masyarakat di tengah pandemi COVID-19, yang semakin harinya semakin bergantung pada brutalitas pasar.
Pemberitaan mengenai angka-angka serta grafik naik turunnya tingkat utang negara kerap melahirkan kesan bahwa dunia keuangan bersifat rumit dan abstrak sehingga sulit dicerna oleh masyarakat awam. Tak heran, jika hanya segelintir pakar berjalur istimewa saja yang sering mendiskusikan permasalahan tersebut di panggung-panggung media dan pembuatan kebijakan. Penjelasan-penjelasan mereka jauh dari realita kehidupan sehari-hari masyarakat yang lebih banyak memikul beban dari permasalahan keuangan negara dan dunia.
Di dalam buku A Feminist Reading of Debt, Lucí Cavallero dan Verónica Gago (2021) menyuguhkan pandangan alternatif terhadap utang dan keuangan, yang dapat dikatakan bersifat lebih membumi dan menyentuh pengalaman masyarakat, terutama kelas pekerja. Cavarello dan Gago (2021) mengkaji permasalahan utang dan keuangan dalam kaitannya dengan sistem kapitalisme neoliberal serta bentuk-bentuk ketidakadilan dan kekerasan berbasis gender yang bersifat patriarkis. Sebab itu lah, buku ini menggunakan pendekatan feminis, demi menyoroti pengalaman-pengalaman perempuan dan komunitas LGBTQ+ yang seringkali terabaikan.
Buku ini terdiri atas dua bab. Bab pertama merupakan mukadimah dari buku ini, sedangkan bab kedua (yang merupakan isi utama buku ini), berjudul A Feminist Reading of Debt, berisi 22 sub-bab yang menjelaskan beragam permasalahan terkait utang dan reproduksi sosial, utang dan kaitannya dengan sistem finansial dan pembangunan, serta hubungannya dengan sistem patriarki dan fasisme. Bab kedua ini juga menjabarkan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para aktivis feminis di Amerika Latin. Di akhir buku, Cavarello dan Gago (2021) juga melampirkan pandangan Rosa Luxemburg berjudul “Di Tanah Utang dan Konsumsi”, kronologi singkat gerakan feminis terkait utang antara tahun 2016 sampai 2018, transkripsi wawancara yang dilakukan oleh penulis buku, serta manifesto beberapa kolektif feminis yang terlibat dalam pergerakan melawan utang.
Membongkar relasi utang ‘pribadi’, ‘rumah tangga’, dan sistem finansial global
Dalam mukadimahnya, Cavarello dan Gago (2021) membangun fondasi yang mendukung analisis feminis mereka terhadap permasalahan utang. Dengan menggarisbawahi pentingnya proses mengeluarkan utang dari lemari -terjemahan harafiah dari ungkapan “Taking Debt Out of the Closet” – buku ini bermaksud – dan nampaknya cukup berhasil – membongkar sistem finansial dengan cara menghilangkan kekuatan abstraksinya, yakni dengan menunjukkan secara konkrit beragam dinamika dan dampak dari sistem finansial secara umum, dan utang pada khususnya.
Seperti yang dijelaskan di dalam bab kedua, buku ini bersandar pada teori-teori dan analisis reproduksi sosial, dinamika perampasan, subordinasi, dan finansialisasi – yang dipaparkan oleh beragam akademisi, antara lain Wendy Brown (2015), Silvia Federici (2012; 2016), David Graeber (2011), Saskia Sassen (2014), dan lain-lain.
Berawal dari pengalaman-pengalaman konkrit di Amerika Latin (khususnya di Brazil dan Argentina), A Feminist Reading of Debt dikemas sebagai pemantik diskusi global seputar utang dan dampaknya yang cenderung lebih berat bagi perempuan dan kelompok minoritas gender dan LGBTQ+. Dalam hal ini, keterhubungan menjadi kata kunci yang penting. Ini senada dengan analisis Cavarello dan Gago (2021) yang membongkar tautan permasalahan utang antara tingkat global-regional-lokal, urban-rural, negara-rumah tangga, sembari memfaktorkan mekanisme-mekanisme utama neoliberal serta menantang narasi biner terkait tata sosial dan ekonomi – misalnya dengan cara mendekonstrusi dikotomi rumah dan tempat kerja (home dan work).
Cavarello dan Gago (2021) menekankan mekanisme utang sebagai respon khas neoliberal terhadap permasalahan ekonomi dan subsistensi yang dipicu oleh sistem kapitalisme neoliberal itu sendiri, yakni, kebijakan pemangkasan anggaran negara (austerity, termasuk pemotongan subsidi), privatisasi atau swastanisasi, dan pembebasan perdagangan internasional khususnya dalam sektor impor-ekspor pangan – yang misalnya dikemas dan didorong oleh lembaga finansial seperti International Monetary Fund (IMF) di dalam Structural Adjustment Programs (SAP). Masyarakat mengalami dampak dari kebijakan-kebijakan ini khususnya dalam kenaikan harga kebutuhan pokok seperti pangan, tempat tinggal, dan layanan kesehatan, di samping stagnasi upah serta menipisnya perlindungan dan jaring pengaman sosial ekonomi.
Gejala-gejala lainnya juga disebut di dalam buku ini, seperti perampasan tanah masyarakat adat untuk kepentingan agribisnis serta impor pangan yang di satu sisi mengancam dan menekan produsen lokal, sementara di sisi lain memperbesar risiko krisis – yang sebagiannya dipicu pula oleh fluktuasi mata uang. Dalam konteks ini, kedua penulis buku menyebut contoh di Argentina, di mana setelah petahana sayap kanan Mauricio Macri kalah dalam pemilu, nilai peso menurun 25 persen hanya dalam tiga hari. Mirip halnya dengan apa yang terjadi di Meksiko pada tahun 1994, di Indonesia pada tahun 1998, Lebanon sejak 2020, dan beragam negara lainnya, fenomena ini berkaitan erat dengan permasalahan utang negara-negara dunia ketiga, yang seringkali dianggap sebagai permasalahan matematis dibanding politis (Federici, 2019).
Mengingat pemaparan Federici (2012; 2016) mengenai peran utang dalam fragmentasi perjuangan kelas, Cavarello dan Gago (2021) menggarisbawahi sifat politis mekanisme utang sebagai solusi privat dalam upaya penanganan gejala-gejala di atas, khususnya dalam mengkonfrontasi kemiskinan dan rintangan dalam subsistensi tingkat rumah tangga. Singkatnya, utang menawarkan (dan terkadang memaksakan) jawaban bagi dilema subsistensi dan kebutuhan reproduktif, yang semakin sulit atau tidak lagi dapat dipenuhi oleh hasil kerja upahan. Sementara itu, subsidi dan pelayanan publik kian memudar atau bahkan telah sepenuhnya hilang, dan sisa-sisa program kesejahteraan hanya dapat diakses oleh mereka yang dicap cukup miskin atau cukup rentan berdasarkan kriteria yang berlaku.
A Feminist Reading of Debt mengkarakterisasi pengadaan kriteria ini sebagai bentuk yang bersifat menghukum, yang juga mempertahankan hierarki berbasis gender. Cavarello dan Gago (2021) memberikan contoh moratorium dana pensiun untuk housewives ‘ibu rumah tangga’ atau mereka yang tenaga kerjanya tidak dibayar (selayaknya atau sama sekali) seumur hidup mereka. Akibatnya, hanya mereka yang dianggap memenuhi kriteria kemiskinan dan kerentanan di atas dapat mengakses dana pensiun tersebut. Sementara sisanya harus bergantung pada kontribusi individu (yang sebelumnya merupakan tanggung jawab negara dan pemberi pekerjaan atau employer). Jumlah dana pensiun yang biasanya didapatkan dari negara pun pada umumnya sangat kurang dari cukup, sehingga untuk bertahan hidup, utang menjadi jalan keluar jangka pendek. Dengan kata lain, sistem pensiun negara semata-mata menjadi sarana kapital untuk “menyerang kehidupan sehari-hari orang-orang termiskin” (hh. 25).
Ketika utang terkesan meringankan kemiskinan setidaknya dalam tingkat individu atau rumah tangga, utang sebetulnya berfungsi sebagai sarana eksploitatif yang mengikat dan memperburuk tingkat kegentingan (precariousness) debitur.
Utang juga merupakan bagian dari proses finansialisasi, yang -seperti yang dijelaskan oleh Saskia Sassen (2014) dan Wendy Brown (2015) dan dikutip oleh buku ini- kian menginvasi beragam sektor dan daerah. A Feminist Reading of Debt mengritik praktik pembangunan yang dinaungi prinsip inklusi finansial (seperti mikrokredit) yang sejenak terkesan emansipatoris tetapi justru malah menciptakan ruang-ruang baru bagi lembaga keuangan dan perbankan (baik formal maupun informal) untuk melakukan eksploitasi dan ekstrasi melalui riba (usury) dan spekulasi.
Seperti yang dikutip di dalam buku, jurnalis Oscar Guisoni menjelaskan latar belakang orang-orang yang terlibat di dalam gerakan debitur pada tahun 2001 di Bolivia. Kebanyakan dari debitur-debitur ini merupakan masyarakat adat yang mengalami kemiskinan. Banyak dari mereka terlilit utang dari Lembaga Swadaya Masyarakat finansial, bank-bank swasta, dengan persentase bunga sebesar 40 persen – belum lagi tambahan ongkos terkait komisi dan ongkos lainnya, yang dapat menyebabkan tingkat bunga membengkak sampai 120 persen. Hasil wawancara yang dilakukan oleh kedua penulis buku dengan perempuan-perempuan yang terdampak utang di Amerika Latin juga menunjukkan pola serupa. Lagi-lagi, masyarakat miskin menjadi kelompok yang seringkali paling terpaksa memilih opsi utang untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Semakin miskin seorang debitur, semakin besar kemungkinannya untuk membayar terlambat, dan dengan demikian semakin besar pula tingkat bunga dan ongkos lain yang perlu dibayar. Singkatnya, semakin miskin seorang debitur, semakin besar beban utang yang harus ia tanggung.
Tentunya, tidak semua jenis utang dan produk perbankan perlu dicap sebagai sesuatu yang buruk. Cavarello dan Gago (2021) pun menegaskan pentingnya proses pembahasan dan perluasan praktik sistem pinjaman yang tidak bergantung pada sistem riba dan/atau tingkat bunga yang tinggi (di samping proposal lain seperti penghapusan utang, pembiayaan alternatif, dan mata uang alternatif). Ini karena sistem riba – dan spekulasi – merupakan salah satu sarana akumulasi kapital, yang pada dasarnya selalu memperkaya segelintir orang sembari memiskinkan dan/atau mencelakai yang lainnya. Melalui transkripsi wawancaranya, para penulis buku ini pun memperlihatkan buasnya praktik utang dan riba melalui tawaran cicilan untuk beragam keperluan peralatan dan keperluan rumah tangga, mulai dari listrik, gas, air, telepon genggam, televisi, motor, sampai dengan rumah.
Beban berlipat utang dan reproduksi sosial bagi perempuan dan LGBTQ+
Dengan menganalisis utang sebagai bagian integral dari proses finansialisasi dan privatisasi yang semakin menyerang kehidupan sehari-hari, Cavallero dan Gago (2021, hh. 14) menyimpulkan bahwa “subsistensi itu sendiri menghasilkan utang”, dan “tindakan hidup itu sendiri ‘menghasilkan’ utang.” Dari titik ini, keduanya menggarisbawahi peran perempuan, transpuan dan kelompok marijnal lainnya (yang seringkali terlupakan) dalam penanggungan beban reproduksi sosial, yang semakin hari semakin lekat dengan mekanisme utang sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Bahkan, berdasarkan suatu studi yang dilakukan oleh Argentina Political Economy Center (CEPA) pada tahun 2019, sebanyak 92 persen dari penerima tunjangan anak di Argentina masih perlu memohon dan menerima pinjaman untuk bertahan hidup. Mirip dengan contoh moratorium dana pensiun yang disebut di atas, program subsidi dan tunjangan dari negara nampaknya hanya berfungsi sebagai jembatan yang membawa masyarakat miskin ke jalur utang – dan bukan lagi sebagai jaminan pemenuhan kebutuhan dasar-dasar sehari-hari.
A Feminist Reading of Debt menegaskan bahwa bertambahnya permasalahan keuangan, utang dan beban dalam reproduksi sosial nyatanya berkaitan erat dengan berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dan kelompok marjinal lainnya – khususnya mereka yang tenaga kerjanya (walaupun esensial) terdevaluasi. Misalnya, tekanan dan tuntuan pembayaran tagihan seringkali membuat perempuan terperangkap di dalam bentuk-bentuk relasi yang sifatnya abusive dan berbasis kekerasan heteropatriarkis. Cavarello dan Gago (2021) memperjelas dinamika ini dengan menautkannya dengan permasalahan struktural, di mana mekanisme utang menciptakan sistem ketaatan atau kepatuhan (obedience) baik di tingkat negara maupun tingkat rumah tangga. Di tingkat negara, keduanya mengingatkan pembaca bahwa distribusi subsidi tempat tinggal dan program Perumahan Sosial biasanya dilakukan oleh negara dengan pemberlakuan kriteria cis-heteroseksis, di mana program-program tersebut hanya dapat diakses oleh rumah tangga cis-heteroseksual: laki-laki sebagai suami, perempuan sebagai istri, serta anak-anak mereka. Kebijakan seperti ini secara otomatis menghukum orang-orang yang hidup di luar norma keluarga heteroseksual, termasuk transpuan, perempuan lesbian dan individu-individu queer lainnya.
Menggarisbawahi peran dan potensi perlawanan dalam pemaknaan utang ala feminis
Salah satu elemen paling esensial di dalam A Feminist Reading of Debt (dan juga di dalam analisis feminis kiri lainnya seperti A Decolonial Feminism oleh Francois Vergès; sertaFeminism, Interrupted oleh Lola Olufemi) ialah perlawanan dan pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya perempuan. Setidaknya ada dua poin yang perlu disoroti – tanpanya, pemaknaan utang ala feminis tidak dapat dinyatakan tuntas.
Pertama, di dalam gerakannya, para aktivis feminis di Amerika Latin (Ekuador, Chile, Argentina, Kolombia, dsb) mengubah dan memutarbalikkan narasi mengenai utang. Proses ini meliputi slogan seperti “mereka berutang nyawa pada kita” dan “ini bukan cinta, ini bentuk tenaga kerja yang tidak dibayar” Tentunya, narasi ini didasari pula oleh pemahaman dan pengakuan bahwa tenaga kerja perempuan, komunitas queer, serta kelompok marjinal lainnya selama ini tidak dianggap atau dihargai, meskipun tanpa tenaga kerja tersebut, kerja upahan dan akumulasi kapital tidak mungkin dapat berjalan dengan lancar. Berangkat dari narasi ini, beragam perempuan debitur menolak untuk membayar tagihan utang dan bunga, sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem ketaatan atau kepatuhan yang dibangun oleh sistem finansial. Di samping itu, para aktivis feminis Amerika Latin ini pun menekankan corak utang yang bersandar pada relasi paksa yang mirip dengan karakteristik relasi yang berbasis kekerasan heteropatriarkis.
Kedua, dan tak kalah penting, A Feminist Reading of Debt membahas potensi bentuk-bentuk perlawanan yang mempolitisisasi krisis reproduksi sosial, sekaligus merevitalisasi jaringan dan relasi saling bantu (mutual aid) yang selama ini dirusak oleh dinamika neoliberal yang mendahulukan kepentingan privat dibanding kolektif, serta bentuk-bentuk norma dan penindasan heteropatriarkis. Beberapa contoh di Argentina meliputi: 1) ollas populares atau pot populer (mirip dengan konsep dapur umum) yang menjadi pusat distribusi makanan gratis di tempat umum termasuk di lokasi demonstrasi, 2) kelompok arisan meliputi compañeras dan compañeros (sahabat) yang bertujuan untuk membantu satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk membayar sebagian tagihan utang yang mencekik, 3) verdurazos atau aksi politis pembagian sayur-sayuran secara gratis dan besar-besaran, yang difasilitasi oleh Serikat Pekerja Tanah, didorong oleh tingkat inflasi yang semakin mempersulit hidup bagi petani dan konsumen. Bagi petani perempuan khususnya, beban ini juga diperparah oleh minimnya akses tanah (dan ongkos sewa yang tinggi), tekanan akibat perdagangan bebas, serta tentu saja, devaluasi tenaga kerja perempuan.
Gerakan politis dalam pembagian makanan secara gratis (feriazos) yang dilakukan melalui ollas populares dan verdurazos secara tidak langsung mendorong pemerintah Argentina untuk mulai menangani isu kelaparan, tepatnya dengan menggencarkan program food cards atau kartu pangan. Cavarello dan Gago (2021) berargumen bahwa langkah ini merupakan pengakuan bahwa solusi finansial seperti utang rumah tangga tidak dapat mengatasi krisis ini. Lebih penting lagi, program kartu pangan seolah-olah tampak sebagai bentuk institusionalisasi feriazos yang awalnya digencarkan sebagai bentuk gerakan sosial dan perlawanan. Hal ini terjadi setelah dua tahun setelah Corina de Bonis, seorang perempuan dan guru yang melakukan protes terhadap penutupan sekolah di daerah marjinal Buenos Aires, disiksa dan dibunuh. Kata-kata “tidak ada pot lagi” (“no more pots”) diukir di perutnya, menandakan bahwa gerakan politis seperti ollas populares atau pot populer memiliki potensi untuk mengguncang, atau setidaknya mengancam kekuatan neoliberal dan heteropatriarkis.
Kritik
Seperti yang ditulis oleh Tithi Bhattacharya di dalam kata pengantar buku ini, Cavarello dan Gago menggunakan kerangka accumulation by dispossession (David Harvey dan Rosa Luxembourg) dalam analisis mereka. Bhattacharya dengan cermat mengkritisi pilihan ini. Menurutnya, kerangka tersebut cenderung berpotensi lebih lemah dalam mempromosikan solidaritas internasional dalam melawan sistem finansial dan neoliberal, yang sangat diperlukan mengingat sifat kapital yang semakin hari semakin transnasional – sehingga melampaui dikotomi Utara-Selatan yang kerap dititikberatkan di dalam kerangka accumulation by dispossession.
Selain itu, Cavarello dan Gago (2021) tidak ragu untuk menautkan pola-pola penyembunyian dan devaluasi di atas dengan bentuk penindasan yang terkadang dibahas dalam ruang hampa, yakni kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan kekerasan berbasis gender lainnya. Namun, menurut saya, buku ini seharusnya dapat dengan lebih rinci memperjelas poin-poin ini. Misalnya, dalam kritiknya terhadap hipokrisi dalam sistem pendidikan Amerika Latin, Cavarello dan Gago (2021) menumpahkan pemikiran kritis mereka terhadap hipokrisi di dalam sistem pendidikan di negara-negara Amerika Latin, yang merupakan manifestasi kemesraan neoliberalisme dengan fasisme. Di satu sisi, neoliberalisme mendorong berkembangnya mata pelajaran baru seperti pendidikan keuangan atau finansial, serta proyek yang mempromosikan utang bagi anak muda. Di sisi lain, pendidikan seks dan gender – serta beragam layanan kesehatan seksual dan reproduktif, termasuk layanan aborsi aman – kerap kali diserang dan dicap sebagai bentuk ideologi gender. Namun, Cavarello dan Gago (2021) tidak menjelaskan bagaimana akses pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi (termasuk aborsi), seksualitas, dan gender dapat berkontribusi dalam mengatasi permasalahan seperti kekerasan berbasis gender, penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, dan lainnya.
Terlepas dari itu, buku ini sangat bermanfaat, terutama mengingat potensinya dalam memantik diskusi yang lebih membumi tentang isu ekonomi politik pada umumnya dan keuangan pada khususnya. Diskusi membumi yang dimaksud di sini ialah diskusi dan narasi yang lebih dekat dengan realita kehidupan sehari-hari orang-orang yang perannya terkesan tersembunyi (atau disembunyikan) dan tidak dianggap. Dalam hal ini, khususnya perempuan, transpuan, serta kelompok-kelompok tertindas lainnya yang pengalamannya (terutama dalam hal reproduksi sosial dan gender) terpinggirkan di dalam analisis dan kritik terhadap kapitalisme (Bhattacharya, 2017; Bohrer, 2021; Federici, 2004; Raha, 2021).
Seperti dikemukakan oleh Angela Davis terkait prinsip interseksionalitas (elemen khas dari gerakan feminis yang juga ditekankan oleh Cavarello dan Gago), pergerakan hendaknya tidak hanya bersandar pada interseksionalitas identitas, tetapi juga interseksionalitas perjuangan melawan berbagai jenis penindasan (rasisme, imperialisme, patriarki) yang terjadi di mana saja. Demikian pula, Françoise Vergès menantang gerakan feminis untuk mengadopsi pendekatan yang tidak hanya interseksional tetapi juga multidimensional, demi mencegah hierarki perjuangan di mana satu perjuangan dianggap lebih penting dan darurat dibanding perjuangan lainnya (Vergès, 2019; Hutchinson, 2001). Hierarki perjuangan yang dimaksud di sini terkadang tersiratkan ketika, misalnya, perjuangan melawan rasisme atau seksisme dianggap lebih penting dibanding perjuangan melawan kapitalisme (atau sebaliknya). Padahal kedua hal ini berkaitan dengan erat, sehingga tidak dapat dipisahkan dan dipilih mana yang perlu didahulukan.
Dalam analisisnya yang singkat namun padat, A Feminist Reading of Debt memiliki potensi besar dalam mendukung analisis dan gerakan yang bersifat interseksional dan multidimensional. Buku ini dapat menginspirasi, menjembatani, dan memperkuat solidaritas perlawanan terhadap kapitalisme (yang memperkuat dan diperkuat oleh heteropatriarki, rasisme, imperialisme, dan fasisme).
Penutup
Menurut saya, buku A Feminist Reading of Debt berhasil mengajak pembaca untuk memerhatikan bentuk-bentuk ekstraksi dan ekploitasi finansial yang sifatnya tak kentara, terutama karena sistem keuangan telah menjadi bagian dari infrastruktur yang taken for granted atau diterima begitu saja.
Hanya dalam 90 halaman, buku ini berhasil menggambarkan setidaknya tiga hal pokok yang selama ini tersembunyi dan/atau dianggap abstrak: 1) dinamika dan dampak berlapis dari keterhubungan antara sistem finansial global dan kebijakan neoliberal; 2) bentuk-bentuk kerja reproduktif perempuan dan kelompok marjinal di dalam rumah tangga, yang meliputi juga beban manajemen keuangan (dan utang) rumah tangga; 3) bentuk-bentuk perlawanan dan pembangkangan yang dipelopori oleh aktivis perempuan dan komunitas queer, yang secara fundamental menentang sistem terorisme finansial dan heteropatriarki.
Nampaknya, bagi pergerakan feminis, queer, dan lainnya – di Indonesia dan negara-negara lainnya – buku yang singkat namun padat ini dapat menjadi pedoman untuk berpikir kritis dalam menganalisis permasalahan ketidaksetaraan gender dan penindasan heteropatriarkis (termasuk homofobia, bifobia, dan transfobia), yang nyatanya begitu lekat dengan kondisi material.***
Dania Putri bekerja sebagai konsultan di beberapa lembaga riset dan advokasi internasional
Kepustakaan
Bhattacharya, T. (2017), “Introduction: Mapping Social Reproduction Theory,” dalam Bhattacharya, T. (Ed). Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Oppression. London: Pluto Press.
Bohrer, A. J. (2021). “Translator’s Introduction,” dalam Vergès, F. (2021), A Decolonial Feminism. Diterjemahkan oleh Ashley J. Bohrer. London: Pluto Press.
Brown, W. (2015). Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution. New York: Zone Books.
Cavarello, L. & Gago, V. (2021). A Feminist Reading of Debt. Diterjemahkan oleh Liz Mason-Deese. London: Pluto Press.
Federici, S. (2004). Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation. New York: Autonomedia.
Federici, S. (2012). From Commoning to Debt: Microcredit, Student Debt and the Disinvestment in Reproduction. Kuliah di Goldsmiths University pada 12 November 2012. https://archive.org/details/SilviaFedericiTalkAtGoldsmithsUniversity-12November2012-CpAudio/SilviaFederici1TalkAtGoldsmithsUniversity-12November2012-CpAudio.mp3 (diakses pada 3 September 2021)
Federici, S. (2016). From Commoning to Debt: Financialization, Micro-Credit and the Changing Architecture of Capital Accumulation. Committee for the Abolition of Illegitimate Debt. http://www.cadtm.org/From-Commoning-to-Debt (diakses pada 3 September 2021)
Federici, S. (2019). Re-enchanting the World: Feminism and the Politics of the Commons. Oakland: PM Press.
Graeber, D. (2011). Debt: The First 5,000 Years. Brooklyn, New York: Melville House.
Hutchinson, D. L. (2001), “Identity Crisis: ‘Intersectionality,’ ‘Multidimensionality,’ and the Development of an Adequate Theory of Subordination”, dalam Michigan Journal of Race and Law, 2001, vol 6, p. 309.
Raha, N. (2021), “A Queer Marxist Transfeminism: Queer and Trans Social Reproduction”, dalam Gleeson, J. J. & O’Rourke, E. (Ed.), Transgender Marxism. London: Pluto Press.
Sassen, S. (2014). Expulsions: Brutality and Complexity in the Global Economy. Cambridge: Belknap Press.
Vergès, F. (2021), A Decolonial Feminism. Diterjemahkan oleh Ashley J. Bohrer. London: Pluto Press.