Kaya, Sekaya Midas dan Kroisos

Print Friendly, PDF & Email

ALKISAH pada zaman besi, di bagian barat Anatolia, berdiri kerajaan bernama Frigia. Selain karena kisahnya dalam mitologi Perang Troya dan perang melawan para perempuan pejuang Amazon, Frigia terkenal dengan kisah tentang Raja Midas. Sebagai raja kaya raya yang kurang populer di antara rakyatnya, Midas memimpin negerinya dari balik dinding istana megah yang penuh dengan taman yang indah. Berpesta pora sambil menghabiskan anggur adalah kegemarannya, sehingga ia merasa dekat dengan Dionysus sang dewa anggur dan pesta. 

Suatu hari Midas menemukan makhluk mitologi yang disebut Satyr mabuk dan tidur di taman indahnya. Mengetahui bahwa Satyr adalah sahabat dari Dionysus, Midas tak menghukumnya, dan malah menjamu Satyr dengan hidangan mewah dalam istananya. Ketika mendengar hal itu, sang dewa pun memberikan tawaran satu permintaan untuk Midas. Meski kaya raya dan memiliki apa saja yang ada di dunia, Midas merasa kekurangan sesuatu yang berkilau. Akhirnya Dionysus memberikan Midas sebuah kekuatan untuk mengubah apapun yang Midas sentuh menjadi emas.

Kegirangan dengan kekuatan barunya, Midas pun menyentuh segala benda yang ada di istananya. Mulai dari dinding hingga perabotan rumahnya, semuanya menjadi emas. Setelah kelelahan, ia pun menjadi lapar. Namun ketika makanan dan minuman disentuhnya, semua jadi berkilau seketika. Ia kebingungan dan menjadi sedih. Suatu ketika permaisuri dan putrinya datang menghibur, namun mereka pun menjadi emas ketika tangan Midas menyentuhnya. Ia pun kembali ke Dionysus, memohon pada sang dewa untuk melepaskan kekuatan tersebut. Sang dewa menyuruhnya mandi di sungai Pactolus yang konon pasir sungainya hingga kini berkilauan bagai emas. Ia pun kembali ke istananya dan menemukan semuanya kembali seperti sebelumnya. 

Di sekitar waktu yang sama dan di tempat yang berdekatan, terdapat kerajaan yang dikenal dengan nama Lydia. Sejarawan mencatat seorang raja di Sardis yang membangun Kuil Artemis di Efesus yang sangat megah. Ia bernama Raja Kroisos. Konon kekayaan keluarganya berasal dari pasir emas sungai Pactolus. Namun, kelimpahan tersebut sebenarnya merupakan hasil upeti dan perdagangan. 

Orang Lydia menemukan bentuk mata uang terbaru dan paling mutakhir di masanya yaitu koin logam. Sementara bangsa-bangsa di belahan dunia lain menggunakan ternak, kerang, biji kakao atau garam, orang Lydia di abad ke-7 SM telah mencetak koin emas dan perak. Dengan ukuran dan berat yang seragam, perdagangan dimudahkan dari yang tadinya harus mengukur berat logam menjadi tinggal menghitung pecahan koin saja. Lalu, tempat bertransaksi atau pasar pun hadir untuk pertama kalinya. Inilah yang membuat Kerajaan Lydia kaya raya.

Meski bergelimang harta, kemakmuran Lydia tak berlangsung lama. Seiring dengan kejayaannya, bangkit pula Raja Koresh Agung dari Akhemeniyah Persia yang menaklukan Media dan Babilonia. Kroisos yang merasa terancam pun bertanya kepada peramal di Delphi apakah ia harus bersekutu atau berseteru. Peramal Delphi pun menjawab bahwa jika Kroisos menyerang Persia, ia akan menghancurkan kerajaan besar. Kroisos yang percaya diri nyatanya salah mengartikan ramalan tersebut. Kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaannya sendiri yaitu Lydia. Setelah beberapa operasi militer yang gagal total, Kroisos kalah dan Lydia tinggal debu sejarah yang terlupakan. 

Walau lenyap, warisannya yaitu uang koin menyebar ke Yunani, bahkan bertahan sampai setidaknya abad ini. Meski dua kisah dari zaman besi Anatolia ini berselimut legenda, namun sesungguhnya Midas dan Kroisos menggambarkan setidaknya dua fakta dari sebuah relasi objektif dalam upaya bertahan hidup manusia. 

Mari kita bicarakan lebih lanjut mengenai relasi tersebut. 


Terbentuknya logam menjadi komoditas yang bernilai adalah gejala umum dalam sejarah manusia, khususnya sejak zaman perunggu 3000 SM hingga kini. Manusia mulai melebur berbagai bijih logam dan dari semuanya, emaslah yang paling bernilai. Selain karena kelangkaannya, emas juga tahan lama. Sementara tembaga menghijau, besi berkarat dan perunggu memudar, emas sama sekali tak berubah. Orang Mesir kuno mengaitkannya dengan Dewa Ra dan orang Maya mempersembahkannya kepada para dewa. Sekitar tahun 2500 SM, logam mulai digunakan sebagai uang di Mesopotamia, meski koin baru digunakan setelahnya di Lydia. 

Layaknya semua komoditas, emas pun memiliki kegunaan yang beragam dalam setiap masa dalam tiap kultur masyarakat. Mengingat ia tak keluar dengan sendirinya dari perut bumi, emas diproduksi dari kerja-kerja manusia saat mengolah bijih emas dalam durasi waktu kerja tertentu. Dengan kata lain, emas memiliki nilai-guna. Oleh karena punya nilai, emas pun seperti benda-benda buatan manusia lainnya. Ia dapat disepadankan dengan barang-barang buatan manusia lainnya, seperti laptop ASUS, Honda Beat, sepatu Ventela, sepeda United dan lain-lain. Hal inilah yang memungkinkan pertukaran di antara benda, sehingga emas begitu juga dengan benda lain memiliki nilai-tukarnya.

Ketika saya punya 20 Gram emas untuk ditukarkan dengan 1 Honda Beat milik Lenin, emas milik saya berbentuk nilai relatif sedangkan Honda Beat milik Lenin merupakan nilai ekuivalen. Dalam posisi sebaliknya pun demikian, jika saya ingin menukarkan 1 Honda Beat dengan 3 buah laptop ASUS milik Mao, Honda Beat menjadi bentuk relatif dan laptop jadi ekuivalen. Seperti dalam tulisan sebelumnya, di sinilah emas menjadi uang atau ekuivalen yang universal sehingga memungkinkan banyak transaksi pertukaran.

Transaksi pertukaran atau sirkulasi komoditas antara saya, Lenin dan Mao dinamakan pertukaran langsung komoditas ke komoditas (K-K), yang dalam perkembangannya diperantarai oleh uang sehingga menjadi komoditas-uang-komoditas (K-U-K), atau aktivitas menjual untuk membeli. Saya menjual 2 sepatu Ventela seharga 1 Gram emas, lalu 1 Gram emas tersebut saya gunakan untuk membeli 1 sepatu Compass dan 1 pasang kaos kaki. 1 Gram emas di atas kini diwakilkan oleh mata uang rupiah sekitar Rp 900.000, maka kiranya inilah yang selama ini kita lakukan ketika kita pergi ke warung atau shopping di e-commerce.

Namun faktanya tak hanya sirkulasi K-U-K saja yang ada dalam masyarakat manusia. Hadir pula bentuk sirkulasi lainnya yaitu uang-komoditas-uang (U-K-U). Bentuk ini dimulai dari sejumlah uang untuk membeli komoditas yang akan dijual kembali demi mendapatkan uang lebih banyak di akhir sirkulasi atau U-K-U’. Dinamakan dengan aktivitas membeli untuk menjual, bentuk inilah yang digunakan sejak zaman sebelum masehi oleh pedagang di pasar Lydia, pedagang Venesia dan Genoa di abad pertengahan, hingga para re-seller di era e-commerce hari ini.

Kiranya inilah yang membedakan kedua raja zaman antik yang saya ceritakan di awal. Keduanya sama-sama pecinta emas, namun yang membedakan ialah Midas mengonsumsi emasnya, sementara Kroisos menjadikannya uang. Midas ibaratnya berada dalam sirkulasi menjual untuk membeli, sedangkan Kroisos ada dalam sirkulasi membeli untuk menjual.


Apabila kita membuka kembali Das Kapital, Marx menerangkan bahwa dari sirkulasi U-K-U’ inilah kapital lahir. Namun, keuntungan besar-besaran yang memberikan kekayaan kepada para kapitalis menurutnya bukan berasal dari sirkulasi, melainkan dari produksi. Mengapa? Sebab dalam proses pertukaran, nilai hanya berpindah dari satu komoditas ke komoditas lain yang sepadan. Terlepas dari adanya penipuan atau keserakahan, sejatinya nilai tetap sama, sehingga tak memungkinkan hadirnya nilai-lebih. 

Maka menurut Marx, nilai-lebih muncul dari proses produksi komoditas. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan menambahkan nilai serta nilai-guna pada sebuah komoditas lewat bantuan kerja manusia. Lantas manusia yang seperti apa? Manusia yang dengan rela menjual tenaga-kerjanya sebagai komoditas, untuk dicurahkan dalam kurun waktu tertentu, dengan didukung instrumen kerja, untuk menciptakan sebuah komoditas. Manusia tersebut ialah kita semua yang tak punya pilihan lagi selain menjual tenaga kerja untuk upah agar bisa bertahan hidup. Tentu saja namanya adalah proletariat atau kelas pekerja.

Seperti Midas, kelas pekerja hidup dalam sirkulasi K-U-K, menukarkan tenaga kerjanya sebagai komoditas dengan uang untuk membeli komoditas lain seperti mie instan, bensin motor dan lain-lain. Sedangkan di sisi seberang, para pemilik alat produksi atau para kapitalis layaknya Kroisos hidup dalam sirkulasi U-K-U’ yang dengan uang mesti membeli komoditas instrumen kerja dan tentu saja tenaga kerja untuk menghasilkan lebih banyak uang. 

Dari sini sudah jelaslah dua kepentingan kelas, proletariat dan kapitalis, yang berseberangan. Kelas yang satu menguasai kelas yang lain. Tentu bukan lewat paksaan, namun melalui keharusan. Buruh Nike harus membeli sepatu Nike yang ia buat sendiri dengan uang, karena sepatu tersebut milik perusahaan Nike. Lalu ia harus berdiri 7-8 jam selama 5-6 hari memasang tali dan sol sepatu sepanjang hidupnya untuk membeli sepatu yang dibuatnya. Ketika hampir semua hal ihwal dikomodifikasi dan dunia tak henti berinflasi, mereka yang menguasai kapital inilah yang menjadi juara bertahannya.

Selain itu, di sinilah juga terletak satu permasalahan akut yang dipandang sebelah mata. Sementara sirkulasi K-U-K selesai ketika Che sudah menukarkan Rp30.000 dengan Paket Panas McD, Che mengonsumsi nilai-guna ayam goreng tersebut dan sirkulasi selesai. Namun, lain ceritanya dengan sirkulasi U-K-U’ yang tak akan ada akhir. Nilai dalam uang di akhir sirkulasi harus terus bertambah dan berputar kembali ke awal sirkulasi tanpa henti. Padahal alam, tempat manusia mendapatkan sumber dayanya, memiliki batas dan perlu waktu untuk menyeimbangkan diri.

Inilah sebuah bukti objektif bahwa corak produksi kapitalisme bermasalah. Ia tak hanya merugikan para pekerja, namun secara laten juga kepada tiap kapitalis sejati, sejauh hidung mereka masih menghirup oksigen dan kaki mereka masih menapak di bumi. Kiranya bisa kita saksikan, krisis ekologi dan krisis ekonomi yang selama ini menghantui seakan bisa diusir dengan menyebut nama sang trinitas: demokrasi oligarki, investasi dan regulasi. Maka ke depannya entah mana yang lebih dulu akan sungguh-sungguh meruntuhkan kapitalisme, kelas pekerja atau alam itu sendiri.

Ada benarnya kata-kata Rosa Luxemburg seabad yang lalu bahwa masyarakat hari ini berada di persimpangan jalan, entah transisi ke sosialisme atau regresi ke barbarisme. Mungkinkah kita menuju sosialisme? Mungkin kalau kita upayakan, sebelum alam mendahului kita. Namun sayangnya, mungkin hanya sebagian kecil dari 7,9 milyar manusia yang menyadari wejangan Rosa. Sisanya beranggapan bahwa masyarakat hari ini berada di persimpangan jalan, entah menjadi sekaya Midas atau sekaya Kroisos.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.