- Judul Buku : Pekerja Industri Kreatif Indonesia: Flexploitation, Kerentanan, dan Sulitnya Berserikat
- Penulis : Fathimah Fildzah Izzati, Rara Sekar Larasati, Ben Laksana, Rio Apinino, Kathleen Azali
- Penerbit : Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi
- Tahun Terbit : 2021
- Tebal : 257
“Benar-benar kayak kerja rodi, menghabiskan sebegitu banyak waktu yang enggak dihargai” (3.S, hlm 1)
SEORANG teman tertawa ngakak usai melihat meme di Twitter tentang sembilan golongan yang akan mati syahid. Selain mereka yang mati berperang di jalan Tuhan dan karena wabah, meme itu menyebutkan bahwa orang yang sakit perut dan sakit lambung juga termasuk golongan mati syahid. Respons teman saya singkat: berarti gue yang punya gerd bakal mati syahid dong. Tentu saja itu respons bernada gurau. Setidaknya ia bisa memberikan hiburan untuk diri sendiri di tengah kondisi pandemi yang entah kapan bakal berakhir.
Namun, di balik gurauan tersebut, ia adalah pekerja kreatif dan sudah cukup lama mengidap Gerd. Penyakitnya selalu kambuh kalau ia terlalu banyak bekerja, stres, kurang tidur, telat makan, dan juga kalau sedang tidak banyak pekerjaan, karena itu artinya ia harus mencari strategi agar tetap mendapatkan pemasukan. Gerd (Gastroesophageal Reflux Disease) adalah kondisi naiknya asam lambung yang cukup parah dan berulang kali. Para pekerja kreatif tentu familiar dengan penyakit ini. Ia sekaligus menyimbolkan berbagai problem yang dialami para pekerja kreatif: bekerja dalam situasi yang rentan, penuh eksploitasi, minim jaminan kesehatan, dan terutama jauh dari perlindungan negara.
Sudah banyak yang menjelaskan tentang bagaimana kerentanan itu terjadi. Salah satunya, kita bisa membaca Isabell Lorey dalam State of Insecurity: Government of the Precarious (2015: 13-15) yang menjelaskan tentang kerentanan. Menurut Lorey, ada tiga dimensi kerentanan. Precariousness merujuk pada kondisi yang inheren dalam diri manusia dan selalu relasional karena ia tidak bersifat individual melainkan sosial, semua orang mengalaminya. Dimensi kedua adalah precarity, merujuk pada relasi dominasi yang terlihat dalam hierarki sosial dalam masyarakat baik dari aspek sosial, politik, dan lainnya.
Sementara itu, dimensi ketiga adalah governmental precarization. Dimensi ini merujuk pada proses perentanan terhadap warga negara dan di saat yang bersamaan memperkuat negara dan melayani produktivitas ekonomi kapitalis. Lorey juga menyebut bahwa proses perentanan ini penting untuk melihat aspek struktural dan memproblematisasi relasi kompleks kondisi eksploitasi yang dialami pekerja.
Tepat pada upaya untuk memproblematisasi dan memahami kerentanan pekerja kreatif tersebutlah buku Pekerja Industri Kreatif Indonesia: Flexploitation, Kerentanan, dan Sulitnya Berserikat (2021) ini mesti ditempatkan. Buku ini membantu memahami apa sebenarnya yang dialami oleh para pekerja kreatif, termasuk berbagai problem yang mereka hadapi di dalam industri kreatif.
Buku ini merupakan hasil penelitian tim riset Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi) yang bertujuan untuk “mengisi kekosongan suara pekerja dalam kebijakan pengembangan ekonomi kreatif yang pernah disebut presiden Joko Widodo sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia” dan bagian dari upaya untuk “membangun ekosistem industri media dan kreatif yang adil, inklusif, dan manusiawi” (h. viii).
Tujuan ini penting untuk di-highlight mengingat diskursus tentang ekonomi kreatif di Indonesia lebih banyak berkutat pada romantisasi enterpreneurship, termasuk di antaranya fleksibilitas pekerjaan yang dalam beberapa tahun belakangan menjadi tren buat anak-anak muda. Industri kreatif digembar-gemborkan akan mendorong perekonomian Indonesia. Anak-anak muda punya kebebasan yang lebih untuk bekerja dalam industri ini. Namun, aspek kerentanan yang ada di dalamnya kerap luput dibahas. Oleh karena itu, ketika ada buku yang ingin memberikan suara bagi pekerja, termasuk membahas tentang kerentanan, tentu menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Apakah buku ini mampu memenuhi tujuan tersebut? Tulisan ini akan mencoba mengulasnya secara singkat dan memberikan refleksi di bagian akhir.
Flexploitation
Buku setebal 257 halaman ini dimulai dengan pertanyaan: bagaimana pekerja di industri kreatif memahami dan mengalami kerentanan dalam sistem kerja fleksibel di bawah rezim tenaga kerja fleksibel saat ini? Ini adalah pertanyaan yang penting untuk diajukan. Ia mencoba langsung menusuk ke jantung persoalan yang dihadapi oleh para pekerja kreatif dalam kehidupan kesehariannya.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Izzati dkk. melakukan wawancara mendalam terhadap 16 pekerja industri kreatif yang ada di tiga kota yaitu Bandung, Jakarta, dan Surabaya. 16 pekerja yang diwawancarai mewakili 16 subsektor ekonomi kreatif yang dirilis oleh Bekraf pada 2015 dan dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini. Beberapa di antaranya bekerja sebagai jurnalis lepas, ilustrator, pekerja lepas dekorasi acara pernikahan, juga di agensi iklan dan pekerja IT.
Sebelum memaparkan temuan dan analisisnya, Izzati dkk. memberikan elaborasi atas flexploitation, fleksibilitas dan eksploitasi, sebagai fondasi untuk melihat kerentanan pekerja industri kreatif di Indonesia. Dengan mengutip Kong (2014), Izzati dkk. menyebut bahwa kerentanan pekerja semakin membesar karena fleksploitasi yang dicirikan dengan semakin masifnya kerja-kerja temporer dan penuh dengan ketidakpastian.
Kondisi flexploitation ini berangkat dari latar belakang pengaturan kerja secara fleksibel (flexible work practices/FWP) yang melekat dan lazim dalam industri kreatif. Seperti dijelaskan Izzati dkk., ada dua dimensi fleksibilitas yaitu: pertama, fleksibilitas ruang dan waktu. Kedua, fleksibilitas pasar tenaga kerja yang berhubungan dengan informalitas dan kerentanan pekerja. Dua dimensi tersebut yang berpengaruh besar terhadap bagaimana pekerja menjadi demikian rentan. Ilustrasi tentang Gerd di awal tulisan ini hanya salah satu contoh saja yang deretnya bisa diperpanjang.
Alan Tuckman dalam Employment Struggles and the Commodification of Time (2005) menyebut bahwa pada satu sisi, narasi arus utama menjelaskan bagaimana kebebasan dan independensi pekerja meningkat karena bisa mengatur waktu dengan lebih fleksibel. Namun di sisi lain, fleksibilitas juga berarti akan ada tekanan bagi pekerja untuk bekerja di luar kontrak yang sudah disepakati dengan pemberi kerja. Pekerja harus bekerja melampaui jam normal pada umumnya, siap dihubungi di waktu-waktu yang mestinya bisa dipakai untuk beristirahat, tidak punya kebebasan untuk mengambil cuti, dan berbagai contoh lainnya.
Untuk menunjukkan karakter kerentanan pekerja kreatif, buku ini juga menyinggung tentang ekosistem industri kreatif di Indonesia. Selama ini narasi arus utama selalu mengidentikkan kerja industri kreatif dengan self-programmable, kerah putih, enterpreneurial labour seperti jurnalis, game developer, desainer, peneliti dan sebagainya. Yang luput dibahas dan ditekankan dalam buku ini ialah bahwa ekosistem ekonomi kreatif di Indonesia yang didominasi oleh usaha mikro akan sulit bersaing dengan industri kreatif waralaba multinasional dengan kapasitas produksi massal. Kondisi yang pada tahap selanjutnya berpengaruh terhadap mayoritas pekerja di ekonomi kreatif yang berhadapan dengan “kondisi kerja yang serba tidak pasti, upah rendah, tanpa jaminan kesehatan ataupun keselamatan kerja,” (h. 53).
Ada beberapa temuan menarik dari gambaran umum yang diperoleh dari para informan penelitian ini (h. 59-69). Pertama, kontrak kerja kasual. Sebagian besar informan yang diwawancara menyebut bahwa mereka bekerja tanpa kontrak yang jelas agar tetap memiliki akses terhadap sumber-sumber pemasukan. Pekerjaan yang didapatkan seringkali berbasis pada pertemanan dan kepercayaan. Ketiadaan kontrak adalah salah satu sumber kerentanan yang disadari oleh para pekerja namun mereka tetap melakukannya karena tidak memiliki banyak opsi.
Kedua, ketiadaan jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan hidden costs. 62,5% informan yang diwawancarai menyebut bahwa mereka tidak mendapatkan jaminan kesehatan seperti BPJS atau asuransi kesehatannya dari pemberi kerja. Kondisi ini berpengaruh besar terhadap kerentanan para pekerja, khususnya dari sisi kondisi kesehatan. Karena tidak mendapatkan jaminan kesehatan, konsekuensinya, mereka sebisa mungkin harus menjaga kesehatan sendiri agar tidak sakit. Sakit akan membuat mereka mesti mengeluarkan lebih banyak uang dan itu berarti waktu bekerja bakal berkurang.
Ketiga, jam kerja, beban kerja, dan eksploitasi di tempat kerja. Sebagai pekerja kreatif yang tidak terikat kontrak kerja, sebagian besar informan menyebut bahwa mereka bisa mengatur waktu kerjanya sendiri dan tidak terikat jam kantor. Namun di sisi lain, kebebasan mengatur waktu kerjanya sendiri ini juga menjadi sumber kerentanan yang lain. Kadang mereka bisa bekerja 24 jam dan mesti mengatur sendiri waktu cuti, di mana itu kerap berarti mereka harus meringkas pekerjaan dengan lebih cepat.
Keempat, persoalan upah murah. Sebagian besar informan yang diwawancarai merasa tidak mendapatkan upah yang layak, bahkan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Upah murah ini menjadi faktor penyebab kerentanan mereka. Kebutuhan terus bertambah tapi tidak berbanding dengan kenaikan upah. Pada akhirnya, banyak yang kemudian terjerat untuk melakukan pinjaman uang kepada penyedia pinjaman online. Kondisi ini semakin parah di masa pandemi.
Kelima, ketiadaan kepastian karier. Empat hal di atas menjadikan para informan menyadari bahwa tidak ada kepastian karier dalam pekerjaan mereka. Padahal, kepastian karier menjadi salah satu yang mereka butuhkan dengan mempertimbangkan faktor lain seperti keluarga dan jaring pengaman pekerjaan. Konsekuensinya, mereka bekerja sambil memikirkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan lain yang lebih memberikan jaminan.
Beberapa temuan tersebut setidaknya membuka mata bahwa di balik hingar-bingar sharing economy, gig economy, revolusi industri 4.0, dan tetek-bengek lainnya yang menyilaukan, ada kondisi pekerja yang menyedihkan. Selain melihat kondisi tersebut, Izzati dkk. juga menyebut bahwa negara “justru melumrahkan situasi yang tidak normal” tersebut (h. 107). Selain regulasi yang tidak berpihak, negara juga terus melakukan romantisasi dan melekatkan citra positif pada industri kreatif. Citra yang bisa mengaburkan berbagai kondisi menyedihkan di belakangnya.
Ilusi Kebebasan
Kesimpulan yang ada dalam buku ini sejajar dengan argumen yang dibangun oleh Nick Srnicek dalam bukunya yang berjudul Platform Capitalism (2017). Di era platform capitalism, kata Srnicek, pekerja diberi ilusi kebebasan bahwa mereka tidak lagi memiliki hambatan dalam karier dan diberi kesempatan untuk menjadi apapun sesuai apa yang bisa dilakukan. Seorang penulis, desainer, admin media sosial, dan berbagai pekerjaan lainnya yang tumbuh dengan dipengaruhi teknologi, bisa bekerja kapanpun dan di manapun yang ia mau.
Lebih jauh, Srnicek menyebut bahwa kondisi ini didorong oleh meledaknya platform, infrastruktur digital yang memungkinkan setiap orang saling terhubung dengan lebih cepat. Platform ini – mewujud dalam berbagai bentuk teknologi komunikasi – yang menjadi medium bagi pelanggan, pengiklan, penyedia jasa, produser, suplier, dan sebagainya. Platform juga memungkinkan penggunanya untuk membangun sendiri produk, jasa, dan marketplace yang sesuai dengan karakter mereka masing-masing.
Sebagai contoh, sistem operasi Microsoft Windows memungkinkan pengembang berbagai software mengembangkan jasa dan menjualnya ke konsumen. Mesin pencari Google menyediakan platform bagi pengiklan dan penyedia konten untuk menyasar orang-orang yang mencari informasi tertentu. Sementara itu perusahaan seperti Uber, Gojek, Grab, memungkinkan para driver menjangkau penumpang dengan lebih cepat. Ringkasnya, platform memungkinkan individu untuk bekerja sebagai apapun selama ia bisa melakukannya.
Platform juga mengubah konsep waktu dalam pekerjaan. Secara simbolis, waktu pada dasarnya membantu kita untuk membagi antara waktu kerja dan non-kerja. Pada umumnya, para pekerja kantoran punya waktu atau jam kerja nine to five, 09.00 sampai 17.00. Lepas dari waktu tersebut adalah waktu non-kerja yang bisa digunakan untuk aktivitas lainnya. Namun, platform mengubah konsepsi akan waktu tersebut.
Telepon genggam, laptop, internet, dan berbagai perangkat teknologi lainnya mengubah apa yang disebut Tuckman (2005) sebagai demarkasi spasial antara rumah dan tempat kerja. Platform kemudian menuntut kita untuk, kalaupun tidak hadir secara fisik, hadir secara emosional, yang pada tahap tertentu membuat pekerja menjadi anxious. Tiba-tiba pada tengah malam atau akhir pekan dikontak atasan untuk urusan pekerjaan. Tiba-tiba di waktu jam istirahat dihubungi mendadak untuk menuntaskan pekerjaan yang mestinya bisa diselesaikan di waktu lain. Bahkan beberapa teman dengan sengaja mematikan WhatsApp di jam-jam tertentu, termasuk ketika beristirahat di rumah, agar tidak diganggu oleh urusan pekerjaan. Tentu saja ini adalah pengalaman kolektif yang pada dasarnya tidak hanya dialami oleh pekerja kreatif, tetapi juga pekerja lainnya. Artinya, batasan waktu kerja dan non-kerja menjadi kabur. Kerentanan pekerja semakin terindividualisasi dan personal.
Proses individualisasi tersebut, adalah proses yang membebaskan namun sekaligus menakutkan. Seperti dijelaskan McGuigan dalam Creative Labour, Cultural Work and Individualisation (2010), sulit untuk tidak menghubungkan proses individualisasi ini dengan restrukturisasi neoliberalisme. Proses individualisasi membuat pekerja semakin terisolasi dan semakin berjarak dengan serikat pekerja. Individualisasi juga berarti bahwa seorang pekerja kreatif khususnya dituntut untuk terus-menerus mencari kesempatan kerja berikutnya begitu pekerjaan sebelumnya selesai. Padahal, keberlanjutan kerja ini sangat sulit untuk dijaga. Pekerja kreatif, misalnya, harus terus-menerus menjaga track record dan reputasi yang sangat vital.
Cohen dalam Cultural Work as a Site of Struggle: Freelancers and Exploitation (2012) menjelaskan bagaimana ilusi itu beroperasi dengan mengambil contoh dari penulis freelance. Pada satu sisi, penulis freelance punya banyak kebebasan. Mereka bisa bekerja memproduksi tulisan dalam jangka pendek untuk beberapa klien sekaligus. Namun untuk bisa mendapatkan pekerjaan itu seorang penulis dipaksa terus-menerus mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan dengan risiko yang harus ia tanggung sendiri. Ia tidak serta-merta bisa mendapatkan posisi yang menguntungkan apalagi bagi penulis freelance yang masih muda atau pemula.
Perusahaan atau pemberi kerja punya posisi tawar yang lebih tinggi dan selalu punya opsi untuk mengganti pekerja. Kata Cohen, kondisi ini membuat para pekerja atau penulis freelance dalam hal ini menjadi semakin insecure. Kita bisa mengeksplorasi contoh tersebut dengan lebih panjang. Para penulis freelance, ilustrator, editor video, fotografer, seniman, musisi, dan pekerja lainnya pada akhirnya berada dalam posisi yang sama: rentan.
Saya merasa kelebihan buku ini terletak pada upayanya untuk menunjukkan kondisi empiris yang dialami oleh para pekerja kreatif di Indonesia. Temuan dari hasil wawancara 16 informan tentu tidak bisa digunakan untuk melakukan generalisasi, selain itu melakukan penelitian di masa pandemi juga membuat hambatan menggali data menjadi lebih berat. Namun setidaknya, temuan-temuan dalam buku ini bisa digunakan untuk membantu melakukan proses identifikasi berbagai problem yang dihadapi pekerja kreatif sehari-hari.
Di saat yang bersamaan, ia juga berupaya memberikan landasan konseptual bagi proses flexploitation yang terjadi, menjelaskan tentang industri kreatif, sekaligus mendiskusikan tentang prekariat – pekerja yang berada pada kondisi rentan – di Indonesia. Landasan ini penting karena membantu menjelaskan posisi kelas pekerja kreatif dan mengelaborasi faktor-faktor yang membuat para pekerja yang diwawancarai merasakan kebutuhan untuk berserikat.
Diskusi tentang kesadaran berserikat, khususnya bagi para pekerja kreatif di Indonesia, memang semakin marak diperbincangkan selama beberapa tahun terakhir. Sindikasi tentu saja terlibat dalam mengampanyekan pentingnya kesadaran bagi para pekerja kreatif untuk berserikat. Nah, beberapa temuan dalam buku ini menunjukkan ada di mana posisi kesadaran kelas para pekerja kreatif, bagaimana mereka mengidentifikasi kondisi mereka sendiri, termasuk seperti apa mereka melihat kebutuhan untuk bergabung dengan serikat pekerja.
Namun pada titik itu juga, sebagai catatan kritis, saya merasa buku ini begitu ambisius. Ia punya ambisi besar untuk mengelaborasi banyak hal, namun terlihat agak tergopoh-gopoh. Ketika membahas tentang prekariat, misalnya, buku ini hanya menyinggungnya sepintas lalu dengan memunculkan secara singkat perdebatan tentang prekariat sebagai sebuah kelas sosial tersendiri atau tidak. Temuan atas identifikasi posisi kelas oleh para informan juga tidak banyak dielaborasi. Padahal menurut saya bagian ini penting, sebagaimana tertulis, “untuk melihat sejauh mana posisi pekerja dalam industri kreatif dapat mempengaruhi kesadaran kelas” (h. 16), juga memahami bagaimana proses “kelas pekerja yang terprekarisasi secara global” terjadi.
Lepas dari catatan tersebut, tentu saja buku ini penting. Menurut saya, ia berhasil memberikan suara bagi pekerja sebagaimana tujuan yang dijelaskan dalam pengantar. Dengan memberikan gambaran yang sedang terjadi dan memunculkan suara pekerja kreatif, buku ini relevan digunakan untuk mendiskusikan lebih jauh tentang bagaimana kondisi pekerja kreatif di Indonesia. Belum lagi ketika kita membincangkan efek Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan beberapa waktu lalu yang berpotensi melanggengkan kondisi yang sudah buruk. Sudah waktunya kita membincangkan dengan lebih serius kondisi yang benar-benar dihadapi para pekerja kreatif, termasuk membangun kesadaran kelas dan pentingnya untuk bergerak bersama dengan berserikat. Bukan sekadar melanggengkan ilusi industri kreatif yang terus-menerus digemborkan untuk menutupi berlapis-lapis kerentanan yang ada di dalamnya.***
Wisnu Prasetya Utomo, dosen di Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM
Kepustakaan
Cohen, Nicole. (2012). Cultural Work as a Site of Struggle: Freelancers and Exploitation. tripleC: Communication, Capitalism & Critique. Open Access Journal for a Global Sustainable Information Society. 10. 141-155. 10.31269/triplec.v10i2.384.
Lorey, Isabell. (2015). State of Insecurity: Government of the Precarious. London: Verso.
McGuigan, Jim. (2010). Creative Labour, Cultural Work and Individualisation. International Journal of Cultural Policy, 16:3, 323-335, DOI: 10.1080/10286630903029658.
Srnicek, Nick. (2017). Platform Capitalism. Cambridge: Polity Press.
Tuckman, A. (2005). Employment Struggles and the Commodification of Time: Marx and the Analysis of Working Time Flexibility. Philosophy of Management. 5, 47–56. https://doi.org/10.5840/pom20055221.