Ilustrasi: Deadnauval
“KAMU sudah baca [masukkan salah satu karya George Orwell] belum?”
Itu adalah pertanyaan pertama yang kerap diajukan kepada saya saat bertemu seseorang yang mengenal saya sebagai penulis fiksi, dan saya akan mengangguk. Biasanya, beberapa orang akan melanjutkan topik tentang Orwell itu.
“Menurut Animal Farm, revolusi akan selalu gagal.”
Kalau obrolan sudah sampai situ, biasanya saya akan melakukan salah satu dari dua pilihan yang tersedia, dan keduanya tergantung situasi: pertama, saya akan mengganti topik. Kedua, saya akan mendengarkan bagaimana hasil pembacaan orang itu terhadap Animal Farm. Biasanya, lawan bicara saya itu tidak berhenti di Animal Farm, tapi akan lanjut ke 1984, tentu saja, dan akan mengaitkan kondisi politik hari ini dengan karya-karya Orwell.
Lalu, setelah kira-kira dia puas berbicara, saya akan memunculkan satu kalimat yang jarang diangkat pembaca Orwell, entah karena tidak tahu atau memang tidak peduli: “Tahukah kamu kalau Orwell adalah seorang cepu?”
Dulu, Orwell pernah membuat sebuah daftar nama yang akan diajukan kepada Information Research Department—lembaga antikomunis yang didirikan Kerajaan Inggris untuk mencegah propaganda Soviet di kalangan gerakan buruh. Di dalam daftar itu, ia tulis nama-nama jurnalis, penulis, sejarawan, editor, dan aktivis. Bukan cuma konyol karena di dalamnya terdapat pula komentar-komentar tentang orang-orang yang dilaporkan—yang tak luput dari rasisme, homofobia, dan tendensi antisemit—tetapi kekonyolannya semakin paripurna karena selama ini, sebelum daftar itu keluar pada 2003, Orwell terkenal sebagai orang yang memperingatkan bahwa Bung Besar (Big Brother) sedang mengawasi masyarakat.
Ternyata, Bung Besar-nya adalah dia sendiri. Fakta ini bisa masuk sebuah artikel berjudul: “10 Plot Twist Paling Mengguncang Pikiran Anda.”
Meski begitu, saya tidak menyalahkan kamu jika meyukai George Orwell. Faktanya, 1984 dan Binatangisme adalah dua dari sedikit karya fiksi spekulatif yang bisa saya baca di perpustakaan sekolah—selain Arus Dirgantara dan Gulliver di Negeri Liliput. Yang patut disayangkan adalah jika kita berhenti di Orwell dan menelan semuanya tanpa pikiran kritis.
Tidak jarang saya bertemu dengan orang yang membicarakan Uni Soviet dan komunisme berdasarkan Animal Farm, yang sebetulnya ditulis tanpa mengindahkan realitas material yang Uni Soviet hadapi, misalnya agresi negara-negara kapitalis selama Perang Sipil Rusia (1918-1922). Selain itu, adanya kecenderungan Orwell mereduksi sejarah dengan melebur Marx dan Lenin menjadi satu karakter, sehingga melupakan kontribusi Lenin dalam revolusi dan pembangunan Uni Soviet.
Representasi Uni Soviet dan komunisme yang meleset dalam karya Orwell adalah akibat yang logis dari fakta bahwa Orwell sendiri belum pernah ke Soviet. Tetapi yang fatal dari model hackwork yang ia terapkan adalah karya-karyanya kemudian meracuni diskusi tentang komunisme, bahkan sosialisme secara umum. Secara terang, Michael Parenti menjelaskan fenomena ini dalam Left anti-communism: The Unkindest Cut.
“What we are dealing with is a nonfalsifiable orthodoxy, so assiduosly marketed by the ruling interests that it affected people across the entire political spectrum.”
Sosialisme sebagai Premis
Tidak berlebihan jika mengklaim sosialisme, atau secara spesifik marxisme—karena mempelajari sosialisme tanpa marxisme seperti menonton film bisu—sebagai sebuah montase sosial paling otoritatif tentang keadaan sosial sejak abad ke-19. Selain teori politik dan ekonomi, ia juga seperti gunung yang disusun oleh bentuk-bentuk cerita: satire tentang kesenjangan ekonomi, polemik melawan eksploitasi, akhir dunia akibat kebangkrutan kapitalis, dan model akhir dari sebuah utopia.
Singkatnya, sebuah masa depan yang tidak terlalu jauh. Dari hal-hal itu saja, kamu bisa berspekulasi dan membayangkan satu atau dua cerita pendek. Jika fiksi ilmiah adalah ensiklopedia, tidak mengherankan jika sosialisme mengambil porsi besar di dalamnya.
Korelasi paling nyata antara sosialisme dan fiksi ilmiah adalah keduanya sama-sama membayangkan alternatif dari status quo. Sekalipun Marx, dalam penutup Capital edisi kedua Jerman, sengaja menghindari untuk berspekulasi tentang seperti apa masyarakat komunis di masa depan. “[…] analisis kritis terhadap fakta-fakta aktual, alih-alih menulis resep untuk warung masa depan.”
Tetapi, sebagai sebuah genre, fiksi ilmiah sangat cocok untuk menjadi medium kritik terhadap realitas masa kini, melalui eksplorasi kemungkinan-kemungkinan sosial dan politik di masa depan yang ditawarkan marxisme.
Beberapa tahun lalu, sebagian besar orang larut dalam nostalgia ‘90-an. Mereka merayakan seolah era itu adalah puncak peradaban modern, kendati sebagian sisanya meratapi era ‘90-an. Marxisme kena pukul telak di era itu: versi sosialisnya diejek “ikut rubuh bersama Tembok Berlin”, kaum postmodern memasukkan marxisme ke dalam draf komedi mereka, dan gagasan perjuangan kelas menjadi topik yang dianggap lebih tidak waras dari kesaksian palsu Nayirah.
Namun, hari-hari belakangan, tren itu bergeser cukup ekstrem saat Imperium Amerika Serikat bergetar dan dunia dilanda pandemi. Semangat baru untuk mengajukan pertanyaan kritis muncul lagi. Pemikiran progresif, seperti sudah ditakdirkan oleh sejarah, tak bisa lagi diabaikan. Tidak hanya di ranah sosial, ekonomi, dan politik, tapi juga sastra. Pada ranah sastra, fiksi ilmiah menjadi tawaran genre paling menggiurkan hari ini. Ia mewadahi dinamika antara kemajuan teknologi, hubungan sosial di bawah kapital, dan manusia.
Daftar rekomendasi novel ini saya pilih secara longgar saja. Kamu mungkin akan menemukan karya-karya yang lebih dekat dengan fantasi alih-alih fiksi ilmiah. Selain itu, sebisa mungkin buku-buku ini saya pilih bukan ditulis berdasarkan hasrat yang kuat untuk membayangkan model-model dunia tanpa kapitalisme. Syukur-syukur mereka secara kritis memberi cara mencapai model-model itu yang menjejakkan kakinya pada berbagai masalah yang hari ini dihadapi. Namun, yang lebih penting sebetulnya mereka enak dibaca—dan tentu selain George Orwell. Menurut saya, sangat disayangkan jika pembacaan publik tentang fiksi ilmiah atau fiksi spekulatif hanya berhenti di George Orwell, atau menganggap 1984 adalah magnum opus fiksi ilmiah.
Karena itu, saya mengajukan beberapa bacaan fiksi ilmiah dan fantasi yang bisa menemani teman-teman selama pandemi berlangsung. Meski tidak semuanya menyenangkan, sebenarnya, untuk dibaca saat pandemi seperti ini. Saya akan mengurutkannya berdasarkan tahun terbit, selain itu saya lengkapi dengan semacam fun fact tentang penulisnya sebagai bonus.
1. Frankenstein, or the Modern Prometheus (1818)
Untuk nomor satu, ada karya fiksi dari Mary Shelley yang terbit di awal abad ke-19: Frankenstein, or the Modern Prometheus. Rasa-rasanya, sudah tidak perlu penjelasan lagi karya satu ini.
Fun fact: Frankenstein adalah nama sang dokter, bukan nama monsternya. Sama seperti Zelda dalam Legend of Zelda, yang merupakan nama sang putri, bukan tokoh yang ke mana-mana selalu pakai baju hijau.
2. Looking Backward: 2000-1887 (1888)
Buku fiksi ilmiah nomor dua, saya memilih karya Edward Bellamy. Karya ini menceritakan seorang tokoh utama yang tidur pada tahun 1887, dan saat bangun sudah ada di tahun 2000. Saat dirinya terbangun, dunia yang ia tempati kira-kira sama dengan dunia yang kita rasakan sekarang di tahun 2020: dunia dengan kondisi pekerja yang menyedihkan.
Menariknya, dalam buku itu diceritakan bahwa para pekerja bersatu untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Sebuah kondisi masyarakat yang bebas konflik secara harafiah—cocok buat kamu yang lagi malas berkonflik. Yang menakjubkan adalah bagaimana Bellamy menjelaskan secara detail—bahkan terlalu detail—soal organisasi pekerja, media, distribusi makanan, dan distribusi kebutuhan rumah.
Fun fact: Edward Bellamy, kemungkinan besar, adalah penemu kartu kredit—atau jangan-jangan Bellamy yang menginspirasi Jokowi untuk bikin banyak kartu?
3. News From Nowhere (1890)
Mari kita bayangkan film-film animasi Hayao Miyazaki dengan latar belakang Inggris tahun 1890: sangat utopis, rada kikuk, dan naif. Namun, justru itu yang bikin News From Nowhere karya William Morris jadi terasa hangat. Tokoh utamanya, William Guest, kembali dari pertemuan liga sosialis lalu tidur dan saat bangun tahu-tahu sudah di masa depan.
Familier? Ya, News From Nowhere merupakan novel tandingan Looking Backward: 2000-1887.
Kelihatannya Morris tidak suka konsep sosialisme negara dalam karya Bellamy.
Di dalam News From Nowhere, kamu akan menemukan banyak hal yang ideal menurut Morris: tidak ada orang miskin—salah satu tokoh yang dijumpai Guest di masa depan bahkan tak paham apa itu kemiskinan, tidak ada komersialisme atau kapitalisme, hingga tidak ada kriminal dan polisi—yang di dalam novel ini disebut civic bourgeois guard.
Sisanya, silakan baca sendiri.
Fun fact: Novel ini berisi pandangan tentang perempuan khas era Victoria. Kamu bisa menemukan lapisan tipis seksisme di dalamnya.
4. Iron Heel (1907)
Iron Heel ditulis sebelum Perang Dunia I dan Revolusi Oktober, namun ajaibnya—kalau mau disebut ajaib—Jack London menggambarkan kekejaman dan ketidakadilan sistem kapitalisme yang melandasi konstitusi Amerika Serikat. Berisi pandangan khas sosialis awal abad 20, Iron Heel kelak mempengaruhi banyak karya fiksi ilmiah modern.
Novel ini menceritakan kebangkitan oligarki di Amerika Serikat, yang kemudian secara sabar mempraktikan monopoli, dan pada fase paling puncak berubah menjadi negara korporat yang represif. Ia menggambarkan bagaimana kaum buruh diatur agar saling hantam satu sama lain sementara kelas menengah terjebak dalam model perbudakan ekonomi.
Fun fact: Di usia 18 tahun, Jack London dipenjara karena menggelandang.
5. Red Star (1908)
Buku nomor lima adalah sebuah fiksi ilmiah karya Alexander Bogdanov, anggota asli Partai Bolshevik, yang ditulis semasa pengasingan akibat kegagalan Revolusi Rusia pada 1905.
Red Star mengajak pembaca untuk sejenak membayangkan sebuah peradaban komunis di Mars: sebuah masyarakat maju, damai, dan meraih kebebasan paling paripurna. Novel ini dijamin menyirami benih-benih revousioner yang tersembunyi di dalam dirimu.
Tak salah jika ada orang yang menyebut buku ini semacam buku panduan alih-alih novel. Di dalamnya terdapat pula ide yang melampaui zamannya, misalnya lenyapnya pemisahan fisik antar gender. Setelah membaca Red Star, kamu mungkin tertarik untuk membaca Engineer Menni, sekuelnya, dan akan terpesona dengan sosok Menni.
Fun fact: Sekalipun tercatat sebagai anggota partai politik, Alexander Bogdanov meninggal bukan karena aktivitas politiknya, melainkan rasa penasarannya sebagai eksperimentalis yang terpesona dengan transfusi darah.
6. Aelita (1922)
Campuran sains yang mendekati akurat dengan fantasi membuat novel karangan Alexei Tolstoy ini terasa nyentrik. Aelita bercerita tentang dua petualang asal Soviet yang terbang ke Mars dengan pesawat ruang angkasa anti gravitasi berbentuk telur. Saat tiba di Mars, ternyata sebuah peradaban maju sudah berdiri di planet itu. Tetapi, kesenjangan antara kelas penguasa dan kelas pekerja sangat terasa.
Hanya ada satu kata: revolusi!
Fun fact: Tolstoy adalah orang pertama yang memastikan penggunaan gas van oleh Nazi untuk melakukan genosida.
7. Swastikas Night (1937)
Novel nomor tujuh ini ditulis saat Hitler sedang berjaya, saat banyak penulis menerima retorika eugenik. Alih-alih ikut merayakan narasi utopis supremasi kulit putih, Katharine Burdekin—yang memiliki nama pena Murray Constantine—memperlihatkan masa depan yang suram dan opresif di bawah Nazi. Masa depan itu tepatnya saat tujuh ratus tahun pasca kemenangan Hitler dan Kekaisaran Jepang.
Buku ini membicarakan keadaan misoginis struktural secara gamblang. Selain itu, novel ini juga menggambarkan bagaimana Nazi menghapus sejarah, menciptakan mitologi, membuat agama Hitler, hingga akhirnya Yahudi lenyap.
Fun fact: Identitas asli Murray Constantine baru diungkapkan pada pertengahan 1980-an oleh Daphne Patai, seorang professor Amerika Serikat di bidang sastra dan bahasa, saat ia sedang fokus mempelajari fiksi utopia dan distopia.
8. The Dispossessed: An Ambiguous Utopia (1974)
Ketika propaganda antikomunisme jadi tren di kalangan penulis fiksi ilmiah pada era Perang Dingin, Ursula K. Le Guin justru menggunakan pendekatan yang unik untuk memasukkan komunisme di dalam The Dispossessed. Dia menuliskan solidaritas di kalangan kelas pekerja dengan bersungguh-sungguh, sambil memperlihatkan kepada pembaca, kemungkinan-kemungkinan, dan keterbatasan-keterbatasannya.
Di dalam The Dispossessed, Le Guin mendeskripsikan masyarakat tanpa negara di sebuah planet bernama Anarres. Di planet itu, masyarakatnya berperilaku seperti masyarakat komunis di Uni Soviet, di mana kelas pekerja saling bekerja sama satu sama lain. Sebagai contoh: jika sang tokoh utama Shevek ingin makan, maka makanan sudah tersedia di meja makan. Makanan itu dimasak oleh orang-orang yang bekerja untuk memberi makan orang-orang. Dengan begitu, Shevek bisa fokus pada pekerjaan utamanya, yaitu mempelajari fisika, sehingga kemudian ia bisa mengajarkan ilmunya kepada orang lain dan mengembangkan teknologi-teknologi baru.
Ada satu film dari Soviet terkenal yang secara persis menggambarkan proses Shevek di atas. Film itu berjudul Devchatta (1961). Baik pekerja dalam The Dispossessed maupun Devchatta sama-sama bekerja bukan untuk keuntungan finansial, melainkan untuk kehidupan yang lebih baik.
Fun fact: Kalau kamu jengah dan kecewa dengan perilaku J.K. Rowlings, kamu bisa mulai membaca A Wizard of Earthsea—dijamin mirip, malah lebih seru.
9. Serial ‘The Parable’ (1993-1998)
Di dalam novel berseri The Parable, keruntuhan sebuah masyarakat digambarkan terjadi secara berkala dan pasti. Dimulai dari kerusakan lingkungan, yang berujung pada kehancuran ekonomi dan politik. Novel karya Octavia E. Butler itu menceritakan bagaimana pencemaran air, bahan-bahan kimia beracun, percobaan farmasi yang gagal, dan menghasilkan obat-obatan adiktif yang berbahaya.
Octavia memperingatkan tentang hubungan timbal balik konsumen dan korporasi yang beracun, yang kemudian menggiring dunia pada kekacauan.
Fun fact: Karena mengidap disleksia, Butler tidak pernah menyetir mobil sendiri. Dia pengguna setia jasa angkutan umum dan selalu menjadi sobat ngobrol supir bus yang ia tumpangi.
10. Embassytown (2011)
Karya nomor sepuluh sekaligus yang paling anyar adalah Embassytown karya China Miéville. Novel ini menceritakan sebuah masa depan yang jauh, saat manusia menetap di planet yang merupakan batas kemampuan manusia menjelajah semesta. Planet itu sudah dihuni oleh bangsa Ariekei, makhluk yang terkenal dengan bahasanya yang unik, dan manusia sudah membangun hubungan yang damai dengan mereka.
Premisnya sederhana: bahasa. Coba kamu bayangkan sebuah dunia di mana penghuninya tidak dapat berkomunikasi satu sama lain karena konsep bahasa mereka berdasar pada keharafiahan (literalness). Mereka tidak dapat berbohong, tidak bisa menggunakan metafora, perumpamaan, atau konsep-konsep abstrak. Novel ini sangat cocok bagi kamu yang menyukai bahasa, politik bahasa, atau sekadar mencari alien yang agak lain dari biasanya!
Fun fact: China Miéville mendeskripsikan Tolkien sebagai “bisul/tumor (wen) di pantat literatur fantasi.”***
Sabda Armandio adalah novelis, esais, dan pengurus produk-produk multimedia.
Pada awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda melalui tangan Balai Poestaka berusaha membendung arus penerbitan buku dan artikel karya para aktivis anti-kapitalis dan anti-kolonialis. Barisan literatur yang berperan besar menyuburkan gerakan politik kelas di Indonesia ini dicap Belanda sebagai “batjaan liar”. Kami mengklaim kembali istilah tersebut untuk sebuah rubrik berisi rekomendasi bacaan yang disusun secara tematik untuk merespons berbagai macam isu. Haris Prabowo adalah editor tamu Batjaan Liar. Sehari-hari ia bekerja sebagai jurnalis Tirto.id.