Ilustrasi: Joe Giddens/PA Archive
“Tidak ada perayaan yang disuguhkan di kakiku, karena seperti halnya Sojourner, aku harus membajak ladang-ladang gersang dan menarik gerobak dengan punggungku. Bahkan ketika payudaraku mengeras dan air susu mengalir darinya, cambuk itu masih melukaiku. Keduanya membentuk arus dalam kesadaranku: tidak ada hal yang romantis dari seorang perempuan yang bekerja seperti laki-laki untuk menyelamatkan anak-anaknya dari cengkeraman kematian dan keputusasaan. Ia (perempuan itu) mengeras dalam usahanya. Sedikit kepedulian yang diberikan untuknya: bahwa ketika ia membuka dirinya untuk benih itu, ia juga sedang membuka dirinya untuk menjadi orang yang dicintai dan dikasihi. Namun (pada akhirnya), tidak ada seorangpun yang berdiri disitu untuknya.”
(amina wadud, 2006)
IDUL ADHA selalu identik dengan cerita pengorbanan Ismail dan ketaatan Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah. Seperti halnya cerita-cerita Islami lainnya yang menjadi ilustrasi hegemonik bagi ajaran keislaman, cerita Idul Adha dalam bingkai kehidupan Ibrahim menempatkan perempuan sebagai aktor pelengkap saja atau malah menghapuskan peranan mereka sama sekali. Dalam beberapa dekade terakhir, akademisi Muslim dengan haluan teologi Womanist, teori kritis, dan teologi pembebasan (wadud, 2006; Hidayatullah, 2012; Abugideiri, 2001) telah memberikan kritik terhadap dominasi Ibrahim dalam konteks Idul Adha, terutama tentang ketidakpedulian perspektif tradisional Islam terhadap aspek-aspek kekerasan yang nampak dalam cerita Ibrahim.
Berbeda dengan kajian teologis dalam tradisi Yahudi yang telah banyak membahas aspek kekerasan dalam cerita penyembelihan Ishaq dan penghapusan peran perempuan di dalamnya (misalnya, Levine, 2001; Hackett, 1989), bahasan narasi pengorbanan yang melibatkan Ibrahim AS, Ismail AS, Sarah RA, dan Hajar RA dalam wacana keislaman hampir selalu dibingkai dalam tema kepatuhan absolut sebagai ekspresi keimanan. Lebih jauh, penekanan konteks Idul Adha sebagai peringatan perintah penyembelihan Ismail AS dengan menafikan dinamika keluarga Ibrahim hampir secara total menghapuskan kehadiran perempuan tidak hanya dalam perayaan Idul Adha, melainkan juga dalam narasi kelahiran Islam pada umumnya.
Pembacaan dan pemaknaan ulang sejarah dengan penekanan terhadap peran perempuan dan kelompok marjinal lainnya dalam peristiwa-peristiwa penting Islam telah banyak dilakukan (misalnya, Ahmed, 1992; Mernissi, 1991). Pada tataran rekonstruksi sejarah dan untuk menemukan kembali suara-suara marjinal yang terpendam dominasi epistemologi patriarkal di masa lalu, wacana kesejarahan dengan fokus suara perempuan penting untuk dilakukan. Akan tetapi, proyek rekonstruksi sejarah berbasis gender saja tidak cukup, karena sejatinya kekerasan terhadap perempuan tidak hanya hadir dalam bentuk penghapusan historis, melainkan juga dalam bentuk kekerasan simbolik dengan implikasi nyata dalam kehidupan perempuan.
Dari cerita kehidupan Nabi Ibrahim AS dan kaitannya dengan peringatan Idul Adha, narasi pengorbanan Ismail AS mendominasi pemaknaan ritual tahunan tersebut. Dominasi itu kemudian menghasilkan alienasi epistemologis dan alienasi simbolik yang menjadi bagian dari langgengnya kekerasan berbasis gender pada saat ini.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kekerasan epistemologis dalam bingkai Idul Adha menyebabkan terhapuskannya dua narasi yang mengetengahkan pentingnya peran perempuan di dalamnya. Narasi pertama berkaitan dengan pentingnya peran Hajar RA dalam membesarkan dan membentuk Ismail AS hingga menjadi pribadi yang patut untuk menyandang gelar kenabian. Penghapusan narasi ini mengaburkan proses panjang dan penuh tantangan yang harus dihadapi oleh seorang perempuan budak kulit hitam untuk mempersiapkan wadah kemanusiaan bagi firman Ilahi. Perspektif patriarkal yang mendominasi latar belakang sejarah ritual Idul Adha menampilkan Ismail AS lebih sebagai abstraksi kesempurnaan keimanan, ketimbang sebuah gambaran utuh kemanusiaan yang tak luput dari proses pertumbuhan dan kehadiran ibu yang mendidik dan membesarkannya dengan susah payah.
Narasi kedua yang dihapuskan melalui dominasi perspektif patriarkal dalam konteks Idul Adha adalah dinamika hubungan antara Ibrahim AS, Sarah RA, dan Hajar RA. Konstruksi persona Ibrahim AS sebagai model ketaatan absolut dalam peristiwa pengorbanan Ismail AS membuat banyak dari kita memandang Ibrahim AS sebagai sosok yang lepas dari dinamika sejarah dan konteks sosial, politik, dan budayanya. Dalam hal ini, kualitas hubungan Ibrahim AS dengan istrinya, Sarah RA, dan dengan selirnya, Hajar RA, diasumsikan sejajar dengan kualitas ketaatannya terhadap Allah. Asumsinya adalah, jika ia dapat mengabdikan dirinya kepada Allah sampai ia rela menyembelih putranya sendiri, maka tidaklah mungkin ia menyakiti istri dan selirnya.
Sumber-sumber tradisional Islam yang secara gamblang menceritakan prahara rumah tangga Ibrahim AS menjadi terlupakan begitu saja. Selain itu, rasa sakit dan permasalahan yang dialami oleh Hajar RA sebagai seorang budak kulit hitam sekaligus selir dalam keluarga Ibrahim AS turut dikaburkan dan dijustifikasi dengan menggunakan dalih keimanan.
Ini bukan berarti bahwa faktor keimanan dan keterpilihan sebagai orang-orang suci sama sekali tidak dapat menjelaskan dinamika keluarga Ibrahim AS. Namun, hal ini berarti bahwa status Ibrahim AS, Sarah RA, dan Hajar RA sebagai orang suci tidak serta-merta melepaskan mereka dari arus kontekstualisasi sejarah. Terlepas dari apapun sensibilitas modern kita terhadap praktik perbudakan, sumber-sumber tradisional Islam mencatat bahwa Ibrahim AS dan Sarah RA memiliki Hajar RA sebagai budak di rumah mereka. Pengasingan Hajar RA di gurun tandus yang nantinya berkembang menjadi kota Mekkah tidaklah mungkin dilakukan tanpa status sosial-politik Hajar RA sebagai budak dan selir Ibrahim AS.
Dalam kerangka kontekstualisasi sejarah inilah kita dapat melihat pentingnya pemaknaan ulang narasi Idul Adha dari lensa Hajar RA. Kisah Idul Adha yang hanya mengetengahkan keimanan dan tindakan Ibrahim AS dan Ismail AS, seperti halnya narasi hegemonik lainnya, adalah kisah yang sebenarnya bersifat spesifik namun menyaru sebagai narasi universal. Faktanya adalah, tidak semua Muslim merasakan keterikatan dengan cerita perintah penyembelihan Ismail AS yang menegasikan pengalaman perempuan dan kaum marjinal lainnya. Bagi banyak perempuan Kulit Hitam dengan genealogi sosial, politik, dan budaya yang berakar di sejarah praktek perbudakan di Amerika Serikat, maupun bagi perempuan yang berperan sebagai orang tua tunggal sekaligus tulang punggung keluarga, kisah pengorbanan, keteguhan, dan keimanan Hajar RA dalam menghadapi prahara di keluarga Ibrahim AS bisa jadi jauh lebih bermakna daripada cerita Ibrahim AS yang hampir menyembelih putranya, Ismail AS.
Di tataran simbolik, penghapusan peran dan pengorbanan perempuan dalam cerita Ibrahim AS dan Ismail AS mengaburkan problematika sistemik berbasis gender yang terlestarikan melalui keseluruhan kerangka naratif Idul Adha. Pada lapisan pertama, pengaburan permasalahan sistemik berbasis gender ini membatasi ruang imaji keimanan kita dengan menetapkan bahwa keputusan Ibrahim AS untuk menuruti perintah penyembelihan anaknya adalah keputusan yang berakar dari ketakwaannya. Dengan menggunakan narasi transendental (i.e., ketakwaan) untuk menjelaskan kepatuhan Ibrahim AS terhadap perintah yang dapat dilihat sebagai bentuk kekerasan, narasi tradisional Idul Adha menempatkan peristiwa pengorbanan Ismail AS sebagai abstraksi yang terlepas dari implikasi nyata kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, sisi manusiawi Ibrahim AS, Ismail AS, dan terutama Sarah dan Hajar RA, dihapuskan untuk menekankan kesucian Ibrahim dan Ismail AS sebagai nabi pilihan Allah. Padahal, penggambaran nabi-nabi sebagai sosok non-manusiawi merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an tentang kemanusiaan nabi-nabi itu sendiri (al-Qur’an 12:109; 29:50; 74:24-25). Dengan kata lain, keinginan kita untuk memiliki landasan keimanan dalam figur yang sempurna malah bertentangan dengan perspektif al-Qur’an tentang figur-figur terpilih itu sendiri.
Pada lapisan kedua, tersingkirkannya peran dan pengorbanan Sarah dan Hajar RA dari kisah pengorbanan Ismail AS mendorong kita untuk memandang Idul Adha sebagai konteks bagi satu macam pengorbanan saja, yakni pengorbanan mental dan fisik Ibrahim dan Ismail AS dalam upaya mereka untuk memenuhi perintah penyembelihan Ismail AS. Dalam konteks ini, pengorbanan dan kerja keras Sarah dan Hajar RA dalam bentuk kerja reproduktif yang memungkinkan Ibrahim dan Ismail AS untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai nabi pilihan dipandang sebagai hal alamiah yang tak perlu untuk didiskusikan.
Implikasinya, struktur dominasi di mana laki-laki diabstraksi menjadi figur yang berada di atas kemanusiaan, dan di mana eksploitasi dan pengorbanan perempuan dianggap sebagai harga yang memang harus dibayar untuk menghadirkan persona sempurna yang tak terikat oleh kontekstualisasi sejarah terus lestari hingga hari ini.
Kecemburuan Sarah terhadap Hajar; kekhawatirannya akan adanya saingan bagi putranya Ishaq untuk mewarisi kepemimpinan ayahnya; ketakutan Hajar akan hidupnya dan hidup putranya yang membuat ia tersingkir dua kali dari rumah majikannya; dan perjuangan Hajar untuk bertahan hidup bersama putranya di gurun pasir yang tandus, seluruhnya tercermin dalam perjuangan, pengorbanan, dan eksploitasi atas perempuan di masa kini.
Contohnya: perempuan buruh pabrik yang harus memenuhi tuntutan untuk menghidupi keluarganya sekaligus mengerjakan tugas rumah tangga, perempuan pekerja migran yang harus meninggalkan anaknya demi bertahan hidup dengan cara memenuhi peran domestik perempuan lainnya, dan perempuan korban kekerasan seksual yang menjadi target sanksi sosial dalam masyarakat, semuanya merupakan perwujudan dari pengorbanan-pengorbanan tak nampak yang dibayarkan di altar patriarki sejak zaman Ibrahim AS.
Paradigma pernikahan konsumeris-Islamis di Indonesia yang meromantisasi gambaran keluarga kecil Muslim dengan landasan hubungan ‘syar’i’ antar suami-istri merupakan konteks lain yang mengalienasi perempuan dari kelompok rentan dan marjinal. Ekspresi kesalihan yang diwujudkan dalam ketaatan absolut istri terhadap suami, pembagian peran berbasis gender di mana istri diharapkan untuk berada di ruang domestik saja, dan kegiatan konsumtif terhadap produk-produk ‘syar’i’ tak membuka ruang bagi keluarga-keluarga Muslim dengan ibu sebagai orang tua tunggal ataupun ibu yang harus bekerja di luar rumah. Terlepas dari Idul Adha yang kita peringati setiap tahun, kelindan kapitalisme dengan ekspresi keimanan kita masih saja mendiskriminasi para Hajar masa kini.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mengenyahkan struktur kekerasan yang mendominasi narasi Idul Adha kita?
Memperluas fokus naratif Idul Adha dengan menempatkan kisah-kisah Hajar dan Sarah RA secara sejajar dengan kisah Ibrahim dan Ismail AS adalah hal pertama yang dapat kita lakukan untuk mengeliminir struktur kekerasan tersebut. Fokus terhadap kisah-kisah Hajar dan Sarah RA, disamping fokus terhadap cerita Ibrahim dan Ismail AS, memiliki dua fungsi. Pertama, perluasan fokus tersebut akan menempatkan Ibrahim dan Ismail AS sebagai pelaku sejarah yang tak lepas dari dinamika keseharian yang jauh dari sempurna. Kedua, perluasan fokus naratif terhadap Hajar dan Sarah RA juga akan menggarisbawahi pengorbanan dan eksploitasi perempuan yang seringkali disembunyikan di balik layar demi kisah-kisah kenabian yang tanpa cela. Fungsi kedua dari fokus terhadap Hajar dan Sarah RA inilah yang dapat diterapkan untuk membuka mata kita akan pola-pola pengorbanan dan eksploitasi perempuan lainnya yang disembunyikan, dijustifikasi, dan dipandang sebagai hal yang alamiah demi melestarikan kapitalisme dan patriarki.
Idul Adha sejatinya bukan hanya tentang pengorbanan Ibrahim dan Ismail AS, melainkan juga tentang perjuangan, pengorbanan, dan eksploitasi Hajar dan Sarah RA. Idul Adha menyampaikan pesan kesetaraan kepada kita di mana seorang perempuan budak kulit hitam yang diasingkan bersama putranya ke padang pasir tandus oleh keluarga tuannya adalah juga seorang perempuan yang perjuangannya untuk bertahan hidup dilestarikan menjadi salah satu ritual haji yang dilakukan oleh jutaan orang setiap tahunnya. Perempuan yang namanya tak pernah disebut di dalam al-Qur’an itu, adalah juga satu-satunya perempuan yang dikuburkan di samping Ka’bah. Idul Adha pada intinya adalah pelajaran tentang betapa label normatif tidaklah sama dengan kesempurnaan, dan tentang kesetaraan sejati yang tidak datang dari hukum tertulis maupun status sosial-politik, melainkan dari pengakuan Tuhan terhadap derajat kemanusiaan mereka yang marjinal.***
Lailatul Fitriyah adalah Ph.D Candidate, World Religions and World Church Program Department of Theology, University of Notre Dame, AS
Kepustakaan
wadud, amina. Inside the Gender Jihad. Oxford: Oneworld, 2006.
Abugideiri, Hibba. “Hagar: A Historical Model for “Gender Jihad”.” In Daughters of Abraham: Feminist Thought in Judaism, Christianity, and Islam, edited by Yvonne Yazbeck Haddad, and John L. Esposito, 81-107. Gainesville, FL: University Press of Florida, 2001.
Ahmed, Leila. Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. New Haven, CT: Yale University Press, 1992.
Hackett, Jo Ann. “Rehabilitating Hagar: Fragments of an Epic Pattern.” In Gender and Difference in Ancient Israel, edited by Peggy L. Day, Minneapolis: Fortress, 1989.
Hidayatullah, Aysha. “Our Living Hagar.” In A Jihad for Justice: Honoring the Work and Life of amina wadud, edited by Kecia Ali, Juliane Hammer, and Laury Silvers, 217-224. USA: 48HrBooks, 2012.
Levine, Amy-Jill. “Settling at Beer-lahai-roi.” In Daughters of Abraham: Feminist Thought in Judaism, Christianity, and Islam, edited by Yvonne Yazbeck Haddad, and John L. Esposito, 12-34. Gainesville, FL: University Press of Florida, 2001.
Mernissi, Fatima. The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam. Reading, Mass: Addison-Wesley, 1991.