Foto: Alison McKellar/Flickr/Jacobin
BAGAIMANA gereja melibatkan diri dalam pergumulan sosial menyoal kemiskinan dan ketimpangan? Sebagian gereja, saya kira, akan langsung menjawab pertanyaan ini dengan melakukan kegiatan amal seperti bakti sosial (baksos). Dalam pengamatan saya, baksos kerap kali dianggap sebagai tanda bahwa gereja telah mewujudkan tanggung jawab sosialnya di tengah masyarakat.
Kegiatan sosial seperti baksos tentu saja memiliki manfaat, apalagi di tengah pandemi Covid-19 di mana kelas pekerja yang menjadi korban utamanya. Bantuan-bantuan berupa baksos sedikit banyak dapat membuat asap dapur mereka yang kekurangan tetap mengepul selama beberapa waktu.
Namun, gereja perlu menyadari bahwa program-program karitatif seperti baksos tidak akan mengubah struktur sosial kapitalistik yang penuh dengan ketimpangan. Jurang kaya-miskin tetap akan menganga lebar, perampasan ruang hidup akan terus terjadi, dan penghisapan tenaga kerja akan terus berjalan.
Kemiskinan yang coba ditambal secara insidental melalui kegiatan baksos tidak akan menyudahi kapitalisme yang secara terus menerus mereproduksi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, upaya untuk menggumuli problematika sosial seperti kemiskinan dan ketimpangan mesti dilengkapi dengan pemahaman atas kapitalisme. Terkait itu, gereja bisa mengambil bagian dalam perjuangan melawan kapitalisme melalui kerja-kerja kebudayaan yang progresif yang berpihak kepada kelas pekerja dalam perjuangannya untuk menyudahi kapitalisme.
Selama ini, gereja sebenarnya telah melakukan kerja-kerja kebudayaan–yang kebanyakan diekspresikan melalui seni musik dan seni tarik suara. Ini menunjukkan bahwa gereja memiliki sumber daya untuk merealisasikan kerja kebudayaan yang progresif. Namun, gereja perlu menyadari fungsi ideologis dari ekspresi-ekspresi kebudayaan yang ada terlebih dahulu. Dalam hal ini, kebudayaan bukanlah sekadar wadah untuk mengembangkan potensi, ruang berekspresi, atau sarana hiburan semata, melainkan arena pertentangan ideologis yang amat krusial dalam pertarungan politik.
Agar klaim ini semakin jelas, saya ingin mengajak pembaca untuk menilik kembali sejarah perang kebudayaan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada tahun 1960-an.[i] Yang pertama dikenal berpedoman pada garis realisme sosialis dan menganggap semangat humanisme universal[ii] tidak cocok bagi rakyat Indonesia yang masih berjuang untuk melawan imperialisme dan feodalisme sebagai bagian dari usaha penuntasan Revolusi Agustus 1945. Sedangkan yang kedua berusaha menyebarkan paham humanisme universal dan memandang realisme sosialis sebagai model kebudayaan yang mengekang kebebasan berekspresi.
Pertikaian ini berakhir pada tahun 1965 sejak organisasi-organisasi progresif—termasuk Lekra—dibubarkan pemerintah, lalu sebagian besar anggotanya ditangkap, dipenjarakan, dibuang ke kamp kerja paksa dan tidak sedikit yang dibunuh.[iii] Alhasil, semangat kebudayaan yang berpihak pada kelas pekerja sebagaimana dipromosikan Lekra meredup dalam wajah kebudayaan Indonesia pasca 1965. Dalam studinya, Wijaya Herlambang menunjukkan bahwa proses ini merupakan bagian dari manuver politik Amerika Serikat dan sekutunya untuk menaklukkan perjuangan rakyat Indonesia yang tengah melawan imperialisme.[iv]
Menurut saya, gereja dapat belajar dari perjuangan Lekra, yang memiliki komitmen politik tinggi dalam kerja kebudayaan. Meski keduanya adalah institusi yang jauh berbeda, setidaknya gereja dapat meneruskan atau mengobarkan kembali semangat pembebasan kelas pekerja melalui kerja kebudayaan. Penekanan saya tertuju pada Lekra yang memosisikan kebudayaan sebagai lapangan perjuangan untuk membebaskan rakyat pekerja dari belenggu kapitalisme.
Rentang kerja kebudayaan Lekra sangat luas, mulai dari kesusastraan, perfilman, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, hingga seni musik. Beberapa contoh hasil kerja kebudayaan Lekra: di bidang kesusastraan, kita tentu tidak asing lagi dengan nama Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Lekra yang melahirkan Tetralogi Buru; di bagian perfilman, ada Bachtiar Siagian, sutradara Lekra yang menyutradarai beberapa film, salah satunya berjudul Violetta; di aras seni panggung, Lekra pernah mementaskan kisah tentang rakyat miskin di tengah perayaan Jumat Agung dan Paskah berjudul Matine Gusti Allah, sebuah lakon tentang penyaliban Yesus.
Gereja sendiri sebenarnya memiliki materi yang potensial untuk kerja-kerja kebudayaan seperti ini. Dalam Alkitab kita menemukan narasi eksodus—keluarnya Israel dari tanah perbudakan Mesir—yang berperan penting dalam tatanan masyarakat Israel baru pasca-eksodus. Kuncinya terletak pada Keluaran 20:2 yang berbunyi: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” Kisah pembebasan tersebut diingat dan terus direlevansikan dalam konteks-konteks baru yang dihadapi Israel dalam bentuk puji-pujian yang tercatat di dalam Mazmur (misalnya: Mzm. 78, 114, 136).
Di Alkitab yang sama pula, kritik para nabi terhadap ketidakadilan sosial di masanya yang tersebar luas di banyak bagian juga bisa kita pertimbangkan. Berikut beberapa kutipannya:
Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! (Yesaya 1:16-17)
Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yesaya 58:6-7)
Sangkamu rajakah engkau, jika engkau bertanding dalam hal pemakaian kayu aras? Tidakkah ayahmu makan minum juga dan beroleh kenikmatan? Tetapi ia melakukan keadilan dan kebenaran, serta mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan adil. Bukankah itu namanya mengenal Aku? Demikianlah firman TUHAN. (Yeremia 22:15-16)
Sebab itu, karena kamu menginjak-injak orang yang lemah dan mengambil pajak gandum dari padanya, sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya. Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang. (Amos 5:11-12)
Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik. (Habakuk 1:2-4)
Beberapa nukilan di atas memang tidak cukup memetakan keseluruhan kritik para nabi, akan tetapi, kita dapat memperoleh sedikit gambaran bahwa melalui tradisi profetik, para nabi jelas berpihak kepada kaum tertindas pada zamannya.
Selain narasi eksodus dan tradisi profetik para nabi, kita juga bisa melihat bagaimana Yesus sendiri mengawali pelayanannya dengan sebuah deklarasi tentang pembebasan orang-orang tertindas. Injil Lukas 4:18-19 mencatat perkataan Yesus yang berbunyi:
Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.
Bahkan sebelum deklarasi ‘Manifesto Nazaret’, Injil Lukas 1:52-53 menulis nyanyian Maria, Bunda Yesus, yang kemungkinan besar memengaruhi Yesus:
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa. (Lukas 1:52-53)
Yesus dan Maria berani mengekspresikan keberpihakan dan rindu akan pembebasan kaum tertindas. Namun, ekspresi mereka ini acap kali luput dari perhatian gereja.
Dengan melimpahnya bahan-bahan yang ‘siap olah’ seperti ini, tidak sulit bagi gereja untuk mengembangkan kerja-kerja kebudayaan yang progresif. Sebagai ilustrasi, gereja dapat menciptakan atau mengaransemen lirik lagu solidaritas rakyat pekerja dengan semangat kritik sosial para nabi. Gereja juga dapat mementaskan kisah Marsinah dalam bentuk drama musikal untuk mendemonstrasikan kenyataan pertentangan kelas. Selain itu, seiring dengan meningkatnya kemajuan teknologi dan kreativitas serta kemampuan kaum muda yang mumpuni, gereja juga memiliki potensi besar untuk memproduksi film-film indie dengan pesan yang sama. Sementara itu, di bidang seni lukis, gereja dapat memajang hasil-hasil karya seniman gereja—yang mengadaptasi gaya realisme sosialis—di dinding-dinding gereja. Gereja juga dapat memimpin pembuatan puisi dan prosa yang menyuarakan kritik sosial dan bertujuan untuk pembebasan kelas pekerja. Gereja perlu memikirkan lebih jauh agar kerja-kerja kebudayaan progresif ini dapat terwujud dengan cara yang terorganisir. Pembentukan jejaring antar gereja untuk melakukan berbagai upaya kolaborasi sangat penting dilakukan.
Meski demikian, saya melihat bahwa terdapat tantangan untuk merealisasikan kerja-kerja kebudayaan progresif ini. Dalam hal ini, gereja terdiri atas berbagai lapis kelas masyarakat yang memiliki kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Artinya, gereja berhadapan dengan situasi dilematis yang menguji komitmen keberpihakan gereja kepada kelas tertindas.
Di sinilah, kerja-kerja kebudayaan menjadi panggung penting bagi kita untuk menyaksikan kepentingan kelas mana yang direpresentasikan dan diperjuangkan oleh gereja.***
Yasuo Huang adalah mahasiswa Sarjana Teologi di STT
Amanat Agung, Jakarta; anggota Kristen Hijau
Kepustakaan
[i] Andreas Supartono, “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965,” Skripsi (Jakarta: STF Driyarkara, 2000).
[ii] H. B. Jassin, tulis Wijaya Herlambang, mengatakan bahwa kebudayaan aliran humanisme universal menekankan nilai-nilai kemanusiaan absolut, lihat Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film (Serpong: Marjin Kiri, 2019), 86. Penekanan pada absolutisme itulah yang pada akhirnya berpandangan bahwa kerja kebudayan tidak bisa disetir oleh kepentingan politik.
[iii] Geoffrey B. Robinson, The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66 (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2018).
[iv] Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, 58-101.