“Di abad ke-21, perasaan bukan lagi algoritma terbaik di dunia.”
—Yuval Noah Harari, Homo Deus
“Prinsip kepemilikan-diri adalah sebuah prinsip yang menempati kedudukan penting dalam ideologi kapitalisme. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak milik pribadi yang utuh atas diri dan tenaganya sendiri.”
—G.A. Cohen, Self-Ownership, Freedom and Equality
Ilustrasi oleh Jonpey
SEPERTI halnya dalam ekonomi (yang sudah diulas di tulisan sebelumnya), COVID-19 adalah sebuah keadaan kahar dalam politik dunia. Keadaan ini membatalkan begitu banyak asumsi politik sehari-hari kita. Hampir seluruh segi kehidupan politik kita bertopang pada mobilisasi rakyat banyak: mobilisasi suara, mobilisasi massa di jalanan, mobilisasi kekuatan bersama yang di Indonesia dikenal sebagai gotong royong. Itulah juga yang menandai demokrasi yang kita kenal selama ini. Kaitan itu begitu eratnya hingga kita bisa menyimpulkan: tidak ada demokrasi tanpa keramaian. Hak untuk berkumpul dan membuat keramaian adalah motor yang menggerakkan demokrasi. Dengan penjarakan fisik yang diakibatkan oleh COVID-19, hal-hal itu ditangguhkan buat sementara waktu. Bersama dengan itu banyak segi kehidupan politik kita yang juga tertangguhkan. Maka tidak kelirulah bila dikatakan bahwa virus korona menghadirkan sebuah situasi darurat (state of emergency) dalam tatanan politik global.
Kita tentunya dapat mengungsikan demokrasi ke dunia maya. Akan tetapi pilihan-pilihan politik, dalam pengertian kebijakan publik, pada akhirnya akan berurusan dengan orang yang hidup dan bernafas di dunia nyata. Di sana, demokrasi berhadapan dengan pilihan-pilihan yang kerapkali bertolak belakang dengan prinsip-prinsipnya sendiri. Pilihan untuk melakukan kuncitara (lockdown) atau tidak menghasilkan dampak yang begitu nyata, seperti kita saksikan dalam migrasi besar-besaran dari New Delhi.[1] Berhadapan dengan COVID-19, seluruh pemimpin negara demokratis di dunia sekarang seperti sedang didudukkan melingkari sebuah meja perjamuan yang penuh dengan buah simalakama:
- Memberlakukan kuncitara dan membatasi hak warga atas mobilitas atau menjamin hak warga atas mobilitas dan dengan itu membiarkan persebaran korona
- Memberlakukan peretasan data pribadi (lokasi dan isi pembicaraan pribadi) warga[2] dalam rangka memberlakukan sistem deteksi dini atas COVID-19 atau menghargai privasi setiap warga, termasuk hak warga untuk menutup-nutupi fakta dirinya terjangkit korona
- Memberlakukan pembatasan atas kebebasan berpendapat untuk mencegah merebaknya berita bohong sehingga situasi tetap kondusif bagi penanganan pandemi atau menjunjung-tinggi kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan untuk memproduksi hoax
- Memberlakukan pembatasan atas aktivitas keagamaan yang melibatkan mobilisasi massa secara fisik dan mencegah penyebaran korona atau menghormati hak warga untuk beribadah menurut keyakinannya dan dengan itu membiarkan pandemi makin merebak liar tak terkendali
Daftar ini, tentu saja, bisa diperpanjang lagi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang politik dan demokrasi yang selama ini hanya dijelajahi secara teoretis di buku-buku filsafat politik, kini mengemuka sebagai pertanyaan mendesak yang ditunggu jawabannya setiap jam.
COVID-19 jelas membuat bagian inti dari keyakinan politik kita terpapar pada cuaca. Sengatan terik matahari perlahan-lahan membuat inti yang rawan itu meleleh. Seluruh tradisi politik yang dirasa tidak sungguh diperlukan terpaksa dibuang demi memerangi pandemi. Akibatnya, kita berhadapan dengan sebuah situasi yang nyaris unik dalam sejarah politik dunia, sekurang-kurangnya sejak keruntuhan monarki-monarki besar di awal abad ke-20. Ada tiga hal yang bisa saya bayangkan tentang nasib politik demokrasi tingkat dunia pada masa korona. Pertama, surutnya politik berbasis hak. Kedua, semakin usangnya wacana tentang legitimasi dan representasi. Ketiga, transformasi demokrasi menjadi datakrasi.
Dalam tulisan ini saya akan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan politik sebagai dampak dari pandemi korona. Semua ini hanyalah kemungkinan dan saya tidak berpretensi mengklaim bahwa hal-hal itu niscaya terjadi. Tujuan saya adalah membayangkan keadaan dunia yang mungkin ada setelah korona. Dengan demikian, tulisan ini adalah suatu exercise in modality.
Hak Bukanlah Titik Berangkat Politik
Demokrasi adalah sebuah rights-based politics, sebuah politik yang bertumpu pada hak. Nun jauh di dasar konstitusi setiap negara demokratis terdapat pengakuan pada Hak Asasi Manusia sebagai ihwal yang sakral. Sebab dari sanalah konon segala konsep politik demokratis lain diturunkan. Sikap kita terhadap demokrasi berbeda dari sikap para pendiri tradisi demokratis itu sendiri, yakni orang-orang Yunani kuno. Untuk mengerti kenapa hak tidak menghabiskan seluruh pengertian politik, kita perlu kembali membuka sejarah pemikiran politik.
Ketika Solon meletakkan dasar bagi konstitusi Athena pada abad ke-6 SM yang kemudian dikenal sebagai demokrasi, ia tidak berangkat dari sebuah visi mistik tentang HAM. (Ketika itu orang-orang Prancis bahkan belum mengenal bahasa Latin dan “Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara” tidak bisa diucapkan dalam bahasa mereka.) Mengatasi perselisihan antarklan dan kelompok aristokrat, Solon menggariskan sebuah konstitusi yang pada intinya menstruktur jabatan publik berdasarkan keanggotaan dari empat kelas sosial yang tersusun berdasarkan hierarki pendapatan. Demokrasi, dengan demikian, didasari oleh politik kekuasaan dan bukan sebaliknya. Itulah sebabnya, banyak pemikir politik klasik sejak Plato hingga Polybios berbicara tentang siklus bentuk-bentuk pemerintahan (monarki – aristokrasi – demokrasi). Artinya, mereka melihat bahwa bentuk pemerintahan itu sendiri relatif terhadap pergeseran kekuasaan di tubuh masyarakat. Tidak ada pemujaan atas demokrasi sebagai idée fixe. Demokrasi hanyalah sebuah fase dalam konjungtur kekuasaan yang terus berubah.
Berbeda dari orang-orang Yunani kuno, sensibilitas politik kita hari ini dibentuk oleh asosiasi normatif antara politik dan hak. Politik yang baik, dalam kacamata kita orang modern, adalah politik yang bisa memastikan terselenggaranya sistem hak. Dalam monarki, kita melihat, sistem itu tidak terselenggara dengan baik karena hak dimonopoli raja dan kerabatnya. Demokrasi kita pandang sebagai sistem yang ideal karena hak didistribusikan secara kurang-lebih merata bagi setiap warga negara. Dari situlah kita belajar melihat segala gejala politik berdasarkan standar hak sehingga seolah-olah politik menjadi identik dengan cara mengurus hak dalam kehidupan bersama.
Sejarah kemudian mengajari kita banyak hal. Ada begitu banyak soal yang tidak bisa kita pecahkan. Kemarin dulu kita sudah dipusingkan dengan pelarangan HTI yang bagi sebagian kalangan bertentangan dengan HAM (kebebasan untuk berserikat dan berkumpul) dan bagi sebagian lainnya perlu dilakukan untuk mengamankan HAM (yang akan dianulir ketika HTI berkuasa secara politik). Pertanyaan politik fundamental dari perdebatan ini adalah: apakah orang memiliki hak untuk menghancurkan sistem hak? Dengan kata lain, sahihkah hak kita untuk membatalkan sistem hak yang melandasi seluruh hak, termasuk hak kita tadi? (Dalam filsafat logika dan matematika, ini dikenal sebagai “kalimat Gödel” dan menempati kedudukan penting dalam Teorema Ketaklengkapan Sistem Formal Aritmatika). Dalam situasi seperti itu, demokrasi hadir bagaikan ular yang berupaya memakan ekornya sendiri.
COVID-19 mengintensifkan pertanyaan politik fundamental dari demokrasi itu. Pilihan untuk memberlakukan kuncitara, peretasan data pribadi, pembatasan kebebasan berpendapat dan berkumpul memperlihatkan dilema klasik demokrasi: sistem hak hanya bisa diamankan dengan menghancurkan sebagian hak. Dengan kata lain, keberlangsungan demokrasi ditopang oleh kebijakan anti-demokratis: agar berkelanjutan, demokrasi harus diamankan, bahkan kalau perlu dari dirinya sendiri. Momen anti-demokratis yang diperlukan untuk menunjang demokrasi itulah yang dalam kosakata politik demokrasi modern disebut sebagai “keadaan darurat” (state of emergency).
Keadaan darurat menandai sebuah kawasan anti-demokratis dalam geografi pemikiran tentang demokrasi. Dalam keadaan darurat, kepala pemerintahan memiliki kewenangan untuk melakukan apapun yang diperlukan demi keselamatan negara. Kita telah melihat adegan ini diputar berulang kali dalam sejarah, sejak Julius Caesar diangkat secara demokratis oleh senat sebagai “diktator” untuk melawan musuh-musuh Roma di abad pertama SM sampai Benjamin Netanyahu yang beberapa hari lalu memberlakukan keadaan darurat atas dasar pandemi COVID-19 dan membubarkan parlemen Israel sekalipun ia kalah dalam pemilu yang lalu. Dalam sejarah politik Indonesia, kita juga bukannya tidak punya preseden: pemberlakuan Dekrit Presiden Soekarno 1959 yang membubarkan Dewan Konstituante dan memberlakukan lagi UUD 1945 adalah juga keputusan politik yang hanya mungkin diambil karena persepsi bersama tentang kedaruratan.
Demokrasi memiliki bakat alam untuk menghancurkan dirinya sendiri. Untuk itu, intervensi manual (manual override) seperti pemberlakuan keadaan darurat terkadang diperlukan untuk menyelamatkan demokrasi. Kendati begitu, sama sekali tidak ada jaminan bahwa keadaan darurat yang merupakan kondisi pengecualian itu tidak merentang hingga akhirnya menjadi norma. Ada masa rawan sewaktu demokrasi hendak diselamatkan melalui intervensi anti-demokratis: selalu ada kemungkinan bayi demokrasi ikut terbuang bersama air cucian yang kotor. COVID-19 agaknya akan memaksa tatanan politik dunia mengalami masa rawan itu selama berbulan-bulan.
Kerentanan demokrasi yang disingkapkan oleh pandemi korona adalah juga kerentanan dari konsepsi politik sebagai perkara hak itu sendiri. Kalau kita mengikuti politik hak, maka kita akan sampai pada perwujudan HAM yang murni dan konsekuen dalam dunia tanpa manusia, dalam dunia di mana spesies manusia sudah punah akibat korona. Hak tentu penting, tetapi itu tidak cukup dan terlalu sarat kontradiksi (terlalu banyak bug-nya) untuk dianggap sebagai fondasi tatanan politik dalam keadaan kahar yang diciptakan korona.
Legitimasi dan Representasi Tidak Selamanya Relevan
Kalau hak tidak bisa dijadikan dasar dari tatanan politik, lantas apa alternatifnya? Kita sudah terlalu terbiasa berpikir politik dalam kerangka hak sampai-sampai sukar sekali membayangkan politik tanpa menyeret-nyeret hak. Dalam uraian berikut kita akan coba menggali asumsi tersembunyi dari politik hak.
Demokrasi bukan hanya sistem distribusi hak, tetapi juga dan lebih penting lagi sebuah sistem produksi hak. Bagaimana pemimpin memperoleh kewenangannya dalam negara demokratis? Kewenangan itu tentu saja datang dari suara pemilihnya, dari hak pilih warga negara yang dicurahkan untuk memilih sang pemimpin. Namun mengapa warga negara memiliki suara atau hak pilih? Pertanyaan ini hampir tidak pernah kita tanyakan karena begitu “jelas dengan sendirinya” (self-evident). Akan tetapi, boleh jadi “kejelasan dengan sendirinya” ini adalah sebuah ilusi optik yang datang dari “kacamata demokratis” kita.
Suara atau hak pilih adalah sesuatu yang terberi (given) dalam demokrasi. Di balik yang terberi itu ada asumsi tersembunyi yang kerapkali tidak tersurat di konstitusi. Asumsi tersebut adalah keyakinan, atau lebih tepatnya postulat, bahwa setiap orang memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Sebut saja ini tesis pemerintahan-diri (self-governance). Karena setiap orang memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri, maka mereka bisa mendelegasikan kewenangan itu ke dalam badan eksternal yang disepakati bersama bernama negara dan kepalanya. Inilah argumen para pemikir kontrak sosial di abad ke-17 dan 18. Namun apa yang mendasari tesis pemerintahan-diri? Mengapa orang berwenang mengatur dirinya sendiri? Jawabannya kita temukan dalam klaim pengetahuan-diri, yakni bahwa tidak ada yang lebih tahu tentang diri seseorang ketimbang orang itu sendiri. Sebutlah ini tesis pengetahuan-diri (self-knowledge). Karena setiap orang diasumsikan sebagai pihak yang paling tahu tentang dirinya sendiri, maka ia punya klaim untuk mengatur dirinya sendiri.
Akan tetapi kita dapat bertanya lebih lanjut: mengapa setiap orang boleh diasumsikan sebagai yang paling tahu tentang dirinya sendiri? Jawabnya karena setiap individu memiliki dirinya sendiri. Inilah yang dalam teori politik kontemporer, antara lain oleh G.A. Cohen, disebut sebagai tesis kepemilikan-diri (self-ownership). Argumennya, karena setiap orang memegang hak milik pribadi atas dirinya sendiri yang memungkinkan akses langsung atas seluruh gejala pribadinya, maka ia sendirilah yang paling tahu tentang dirinya sendiri. Tesis kepemilikan-diri adalah batu fondasi dari seluruh pemikiran demokrasi. Tesis itu adalah pangkal yang mempertemukan aneka posisi dalam spektrum politik yang begitu luas mulai dari kaum sosialis, liberal dan libertarian. Ketiga posisi itu sepakat bahwa setiap orang memiliki dirinya sendiri. Yang menjadi perdebatan di antara mereka hanyalah bagaimana jika kepemilikan-diri dari satu orang bertemu dengan kepemilikan-diri orang lain. Di situ kita berbicara tentang sistem kebebasan dan pengelolaan hak dalam bingkai hidup bersama.
Dengan demikian, kita memiliki alur penyimpulan fundamental dalam politik modern: dari kepemilikan-diri kita memperoleh pengetahuan-diri, dari pengetahuan-diri kita memperoleh pemerintahan-diri, dan dari pemerintahan-diri kita memperoleh demokrasi. Inilah asumsi-asumsi tersembunyi yang menopang seluruh diskusi tentang legitimasi, representasi dan politik suara dalam demokrasi modern. Kedatangan COVID-19 membuat seluruh asumsi tersebut tidak lagi berlaku.
Kehadiran COVID-19 menggugat klaim tentang pemerintahan-diri, itu jelas. Dalam situasi pandemi, pemerintahan-diri ditangguhkan: penjarakan fisik diberlakukan dan pembatasan kebebasan individu diterapkan. Lebih jauh lagi, pengetahuan-diri juga dianggap tidak berlaku: orang tidak bisa diasumsikan mengerti kepentingannya yang paling dasar, atau dengan kata lain, orang bisa salah mengenali kepentingannya sendiri. Orang yang memilih untuk pelesiran ke mall di masa korona bisa dianggap keliru menafsirkan (hierarki) kepentingannya sendiri karena seakan kepentingan bersenang-senang bisa dianggap lebih penting dari kepentingan untuk bertahan hidup. Lebih mendasar lagi, COVID-19 juga menganulir tesis kepemilikan-diri. Alasannya jelas: nasib seseorang bukan hanya milik orang itu sendiri. Dalam situasi korona, masyarakat ikut punya suara atas apa yang dilakukan seorang individu terhadap dirinya sendiri. Sebab kecerobohan individu atas dirinya sendiri akan membahayakan masyarakat di sekitarnya. Menjadi masuk akal bila orang-orang berbicara tentang kelemahan demokrasi dalam menghadapi virus tersebut; sebagian bahkan memandang COVID-19 sebagai cobaan berat bagi demokrasi.[3]
Selain itu, tempo kedatangan pandemi ini juga membuatnya semakin disruptif terhadap sendi-sendi demokrasi. COVID-19 datang pada sebuah era ketika dunia tengah beralih memasuki era Revolusi 4.0. Ini adalah sebuah era ketika algoritma dan dataraya (big data) dapat dikatakan tahu tentang diri kita lebih daripada diri kita sendiri. Dengan itu, tumbang pula individualisme yang inheren dalam tesis pengetahuan-diri. Situasi ini digambarkan Yuval Noah Harari dengan gamblang dalam Homo Deus:“Selama abad ke-19 dan 20, keyakinan pada individualisme masuk akal karena memang tidak ada algoritam eksternal yang dapat memantauku secara efektif. […] Karenanya, dalam konteks teknologi abad ke-20, kaum liberal benar ketika berargumen bahwa tidak ada seorang pun yang lebih mengenali diriku ketimbang diriku sendiri. […] Akan tetapi, teknologi abad ke-21 memungkinkan algoritma eksternal untuk mengenaliku lebih baik daripada diriku sendiri. Begitu ini terjadi, keyakinan pada individualisme akan runtuh dan kewenangan akan beralih dari individu manusia ke jejaring algoritma.”[4]
Dari rekaman pilihan kita, durasi interaksi dan jejak metadata yang kita tinggalkan ketika kita berinteraksi dengan berbagai gawai, algoritma dalam aplikasi yang biasa kita pakai akan bisa mendeskripsikan seluruh kebiasaan kita, entah secara sadar maupun tidak. Dari situ algoritma tersebut dapat membangun profil tentang watak kita, pilihan politik kita, gairah terpendam kita. Dengan demikian, tesis pengetahuan-diri jelas keliru. Algoritma lebih tahu tentang diri kita lebih daripada diri kita sendiri.
Dengan runtuhnya klaim pengetahuan-diri, runtuh pula klaim pemerintahan-diri dan alasan bagi perlunya demokrasi. Seluruh diskusi tentang legitimasi dan representasi dibangun di atas asumsi bahwa setiap orang memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri karena mereka yang paling tahu tentang kepentingannya sendiri. Algoritma berbasis dataraya membuktikan kekeliruan asumsi tersebut dan COVID-19 mengingatkannya lagi dengan begitu gamblang dalam bentuk debat tentang kuncitara, peretasan data pribadi, pembatasan atas kebebasan berpendapat dan berkumpul.
Datakrasi: Tawaran untuk Sebuah Teknokrasi Partisipatoris
Sekarang kita andaikan hal-hal di muka benar. Andaikan bahwa COVID-19 telah mendorong demokrasi pada titik nadirnya. Andaikan juga bahwa Revolusi 4.0 telah memungkinkan pengetahuan yang lebih akurat tentang kepentingan-diri daripada pengetahuan individu atas dirinya sendiri. Maka transformasi politik seperti apa yang dapat kita antisipasi? Seperti apakah tatanan politik yang lebih kebal terhadap kedaruratan dan kondisi pengecualian? Inilah pertanyaan politik kita hari-hari ini.
Barangkali ini waktu yang tepat untuk mempreteli seluruh asumsi politik yang selama ini kita kira jelas dengan sendirinya tetapi sejatinya bersifat ad hoc. Kita harus membongkarnya mulai dari dasar: tesis kepemilikan-diri. Dalam situasi COVID-19, kita tidak bisa bekerja dengan asumsi bahwa setiap orang memiliki dirinya sendiri. Kita harus berangkat dari asumsi yang lebih longgar, yakni bahwa setiap orang adalah milik masyarakatnya. Atau lebih tepatnya, setiap orang memiliki dirinya sendiri sejauh masyarakat juga memilikinya. Artinya, tidak ada keputusan politik yang bisa diambil di atas dasar agregasi kepentingan-individu-dilihat-dari-perspektif-individu. Keputusan politik harus diambil di atas dasar agregasi kepentingan-individu-dilihat-dari-perspektif-bersama.
Kita juga mesti membongkar tesis pengetahuan-diri. Korona dan Revolusi 4.0 secara bersamaan menyadarkan kita: kita sering tidak sungguh mengetahui kepentingan diri kita yang paling dasar. Kita membangun narasi tentang diri kita dan mempercayainya sekalipun narasi itu bertentangan dengan kepentingan kita yang terekam rapi dalam seluruh perilaku dan kebiasaan yang kita jalani secara sadar dan taksadar. Hari-hari ini kita dipaksa untuk menyadari: kita tidak memiliki akses langsung atas diri kita sendiri, kita hanya dapat mengakses bagian diri kita yang kita sadari. Algoritam berbasis dataraya jauh lebih kapabel menjalankan peran pengetahuan-diri daripada suara hati kita sendiri.
Kita preteli juga tesis pemerintahan-diri. Klaim kewenangan kita untuk mengatur diri sendiri dimentahkan oleh mekanisme persebaran virus korona. Kita dituntut untuk tidak hanya mengatur diri sendiri tetapi juga mengatur orang lain yang hidup di sekitar kita. Di masa pandemi, kewenangan sosial mengalahkan kewenangan individual. Sebabnya karena sakit akibat virus menular bukanlah peristiwa individual; itu adalah peristiwa sosial.
Setelah ketiga tesis penopang demokrasi itu runtuh akibat COVID-19, apa yang tersisa dari demokrasi? Semangat dasar demokrasi yang menolak kesewenang-wenangan politik oleh satu golongan atas golongan lainnya rasanya masih bisa diselamatkan. Hal itu dapat dilakukan tanpa mengandalkan ketiga asumsi di muka yang sudah dibuat usang (moot) oleh situasi dunia pasca-korona. Setelah asumsi-asumsi pokok demokrasi yang bermasalah di masa pandemi universal ini ditinggalkan, apa pilihan tatanan politik yang masih memungkinkan kita meneruskan semangat dasar demokrasi? Saya melihat jawabannya ada pada sebuah tatanan yang mungkin bisa disebut datakrasi.
Datakrasi dapat dideskripsikan sebagai sebuah “teknokrasi partisipatoris”. Ini tentu terasa seperti sebuah oksimoron, sama halnya dengan ungkapan “penipu yang jujur”. Bagaimana mungkin ada teknokrasi tanpa teknokrat, sebuah teknokrasi yang berbasis pada keterlibatan publik? Berkat Revolusi 4.0 dan COVID-19, hal itu bukan hanya mungkin, tetapi juga mutlak perlu. (“It is not only possible; it is necessary,” kata Dr. Strangelove). Datakrasi adalah sebuah tata pemerintahan yang dikelola secara impersonal, tanpa individu ataupun kelompok pemimpin, sepenuhnya berdasarkan kecerdasan buatan (AI) dengan berbasiskan dataraya yang terhimpun dari seluruh aktivitas warga negara. Ada dua sifat dasar yang membentuknya:
- Di satu sisi, datakrasi bersifat teknokratis sejauh seluruh kebijakan publik diselenggarakan berdasarkan keputusan AI yang impersonal dan imparsial sehingga tidak memungkinkan adanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
- Di sisi lain, datakrasi bersifat partisipatoris sejauh seluruh kebijakan publik diambil berdasarkan dataraya yang mencerminkan totalitas kehidupan warga negara sehingga kepentingan warga dengan sendirinya terwakili dalam keputusan AI tersebut
Datakrasi mungkin dapat disebut sebagai “pemerintahan tanpa pemerintah”—sebuah penggambaran yang mungkin dapat memuaskan berbagai pihak, mulai dari libertarian-kanan hingga anarko-libertarian. Datakrasi bekerja tanpa birokrasi dan karenanya menghapuskan korupsi dan pemburu rente (dengan itu menyenangkan kaum libertarian dan liberal di ujung kanan spektrum). Sekalipun memantau seluruh aktivitas warganya secara non-stop melalui penggunaan gawai atau alat pelacak lainnya secara wajib (mandatory) dan menarik data pribadi secara massif, tidak ada seorang pun selain AI itu yang menarik manfaat dari peretasan privasi itu, mirip seperti arsitektur data blockchain atau enkripsi end-to-end dewasa ini yang sejatinya merupakan anonymous surveillance (pemantauan tanpa seorang pun yang memantau). Dalam arti itu, tidak ada privasi yang terlanggar sebenarnya dan karenanya para anarko-libertarian bisa bernafas lega.
Masalah klasik demokrasi adalah pada tegangan antara partisipasi versus kompetensi. Masalah ini dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan: bagaimana jika suatu kebijakan publik yang dipilih secara mufakat oleh warga ternyata adalah kebijakan publik yang salah? Apakah kebijakan yang diambil secara mufakat itu mungkin salah? Seorang demokrat radikal akan menjawabnya: keputusan berbasis mufakat tidak mungkin salah karena mufakat adalah kriteria penentu salah-benar dalam politik demokrasi (sekalipun jutaan orang mati akibat keputusan itu dan bumi hancur lebur). Seorang pemikir teknokratis-aristokratis akan menjawabnya: keputusan berbasis mufakat bisa salah karena ada ukuran eksternal yang dapat mengukurnya, yakni misalnya kecerdasaran kaum intelek, sehingga percayakan saja urusan publik pada keputusan orang pintar atau “orang-orang terbaik” (aristos). Kedua jawaban ini sama-sama keliru. Keduanya berangkat dari asumsi ad hoc bahwa partisipasi dan kompetensi tidak bisa didamaikan. Keadaan dewasa ini, berkat Revolusi 4.0, telah membuat asumsi itu kelihatan sifat ad hoc-nya: sekarang kita bisa mewujudkan sintesis antara partisipasi dan kompetensi, yakni dalam wujud datakrasi.
Pada dasarnya, datakrasi adalah sebuah demokrasi yang batu fondasinya bukan hak, melainkan kebenaran. Datakrasi adalah sebuah truth-based politics. Dalam skema ini, pemerintahan diselenggarakan berbasis kebenaran tentang seluruh aktivitas, watak dan hasrat setiap warganya—suatu kebenaran yang dengan sendirinya bersifat partisipatoris. Berdasarkan kebenaran tentang apa yang ada dalam kehidupan warga (das Sein), termasuk hasrat setiap warga tentang apa yang seharusnya ada (das Sollen), AI akan dapat mengkalkulasi kebijakan publik paling efisien yang dapat menyelenggarakan kondisi ideal yang diidamkan setiap orang. Logikanya mirip seperti Google Map yang memetakan jarak terdekat untuk sampai ke tujuan. Di sana orang tidak perlu bicara lagi soal hak dan representasi hak dalam sistem kepartaian. Kebenaran adalah unit yang lebih elementer dari hak; lewat kebenaran-kebenaran yang tersambung dalam dataraya kita dapat mensintesiskan hak. Dengan demikian, hak adalah konsep turunan yang dirakit dari kebenaran sebagai konsep yang lebih primitif.
Mendengar semua ini kita tentunya akan membayangkan sebuah pemerintahan yang diselenggarakan secara dingin, tanpa nilai-nilai etis apapun. Namun itu tidak benar. AI tidak akan mampu bekerja tanpa sehimpun nilai (katakanlah “ideologi bangsa”) yang kita instal sebagai norma dasar (Grundnorm). Norma dasar ini akan berperan sebagai aksioma sedangkan kebenaran publik yang terhimpun dalam dataraya akan berperan sebagai aturan penyimpulan (rule of inference). Dengan demikian, kebijakan publik yang dikeluarkan AI tersebut akan selalu didasari oleh pertimbangan etis-normatif, tidak dingin seperti yang kita bayangkan. Karenanya, dalam masyarakat datakratis, satu-satunya perdebatan politik adalah perdebatan tentang norma dasar yang menjadi basis ideologis AI tersebut. Setelah itu disepakati, maka seluruh kesimpulan yang diturunkan dari norma dasar dan dataraya otomatis menjadi kebijakan publik yang ditaati semua orang.
Lantas bagaimana kita mengelola kesalahan dalam datakrasi? Kalau ada orang yang mau protes kenapa kebijakan AI itu seperti tidak sesuai dengan norma dasar yang disepakati, ia tinggal mengunduh bukti deduktif dari aksioma (norma dasar) dan aturan penyimpulan (dataraya) sehingga ia akan mengerti bahwa kebijakan X adalah konsekuensi logis dan normatif dari aksioma A1 dan A2 serta penerapan aturan penyimpulan nomor 145, 223, 498 dan seterusnya. Kalau ia masih tidak puas dan banyak orang lain juga sama, maka mereka dapat mendorong referendum untuk menulis ulang norma dasar yang diduga menjadi penyebab kesalahan penyimpulan datakratis. Dengan begitu, aksioma datakrasi dapat direvisi lewat referendum sedangkan aturan penyimpulan yang diperoleh dari dataraya tidak bisa direvisi tanpa orang benar-benar merevisi diri mereka sendiri (karena dataraya secara transparan memotret hidup dan hasrat masing-masing warga melalui anonymous surveillance non-stop).
Apabila dalam tulisan lalu tentang ekonomi pasca-korona saya telah berargumen bagi suatu sosialisme berbasis penguasaan negara atas sarana produksi dan pemberlakuan Pendapatan Asasi Universal, dalam tulisan ini saya melengkapi dimensi politiknya. Sosialisme-negara tersebut haruslah secara politik dilembagakan dalam wujud datakrasi. Hanya dengan begitu lenyaplah seluruh problem klasik sosialisme-negara seperti birokrasi gemuk dan korup, merebaknya para pemburu rente, dan rentannya penyalahgunaan kekuasaan. Dengan politik datakrasi, semua problem itu hilang ditelan bumi. Selain itu, datakrasi menyelamatkan inti program sosialisme—mewujudkan masyarakat tanpa kelas termasuk kelas penguasa (apparatchik partai)—dengan melembagakannya secara impersonal tanpa seorang pun yang menduduki tampuk kekuasaan. Yang kita jumpai akhirnya adalah sebuah perkawinan antara keadilan ekonomi (sosialisme) dan kebenaran politik (datakrasi).
Sosialisme datakratis yang saya gambarkan di sini memang agak ganjil bunyinya bila dibandingkan dengan politik sosialisme konvensional. Sebabnya jelas, imajinasi sosialisme konvensional dibangun di suatu zaman yang sangat merepotkan di mana orang harus memobilisasi sejumlah besar orang, menggelar mimbar bebas, membangun partai, mempertahankan barikade—singkatnya, sebuah imajinasi yang sumbernya ada pada Revolusi 1848 di Eropa. Selama ini kita mengikutinya karena penghormatan pada tradisi progresif warisan nenek-moyang kita. Saking khusyuknya kita sampai kita tidak merasa perlu bertanya lagi: apa sungguh perlu semua itu? Pandemi COVID-19 dan Revolusi 4.0 hari ini membuat kita bertanya lagi. Pada era penjarakan fisik yang akan berlaku sampai entah kapan ini, sosialisme datakratis adalah tatanan politik yang mungkin diimajinasikan hari ini. Sudah waktunya negara dan politik diurus oleh mesin, sehingga manusia bisa betul-betul hidup sebagai manusia: menulis puisi di pagi hari, menjalankan piket kerja sosial di siang hari, nongkrong-nongkrong di sore hari, berfilsafat di malam hari. Saya sendiri belum menjelajahi berbagai segi utopik dan distopik dari gagasan ini. Di sini saya baru sebatas melemparkan sebuah tawaran supaya masuk dulu ini barang dalam perbincangan publik kita. Coba saja didiskusikan dulu, mungkin ada yang bisa mengembangkan.***
31 Maret 2020
Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan di martinsuryajaya.com. Diterbitkan ulang di IndoProgress untuk tujuan pendidikan.
Kepustakaan
[1] https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/30/202000565/india-lockdown-pekerja-migran-ini-meninggal-setelah-jalan-kaki-215
[1] https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/30/202000565/india-lockdown-pekerja-migran-ini-meninggal-setelah-jalan-kaki-215
[2] https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75
[3] https://www.theatlantic.com/international/archive/2020/03/italy-coronavirus-covid19-restrictions-democracy/607729/
[4] Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, Harper Collins, Bab 9.