Ilustrasi oleh Jonpey. Karya-karyanya dapat dijumpai di sini.
TERKUMPULNYA hasil Pemilihan Pendahulu (Primary) Partai Demokrat di Michigan yang ditutup pada Selasa (10/3) lalu memberikan sinyal kekalahan bagi Senator Bernie Sanders untuk memenangkan nominasi kandidat presiden dari Partai Demokrat untuk melawan Donald Trump di pemilu Amerika Serikat (AS) 2020. Peta politik Primary Demokrat memang berubah dengan cepat sejak Biden menang besar di Carolina Selatan pada akhir Februari lalu. Sanders yang awalnya merupakan favorit kuat kehilangan status unggulannya pasca pemilihan “Super Tuesday” yang diselenggarakan 3 Maret 2020 dimana ia kehilangan 10 dari 14 negara bagian.
Namun perlu dicatat bahwa Bernie Sanders sejauh ini telah memenangkan sekitar lima juta suara dalam primary Demokrat dengan basis pendukung yang multi-generasi, multi-ras dan sebagian besar datang dari kelas pekerja dan pemilih muda. Terlepas dari apakah Bernie Sanders akan tetap melaju memenangkan nominasi dalam konvensi nasional Partai Demokrat nanti, terdapat pelajaran besar yang perlu kita ambil dari momen pencalonan Bernie Sanders.
Untuk itu, tulisan ini bertujuan untuk melihat apa makna pencalonan Bernie Sanders bagi gerakan Kiri di AS dan bagaimana mereka mengumpulkan energi yang dihasilkan dari politik elektoral untuk membangun sebuah gerakan progresif yang lebih besar dari sekedar pemilihan kandidat presiden. Namun, sebelum masuk ke inti pembahasan, tulisan ini akan berputar sebentar untuk membahas bagaimana sejarah politik elektoral di AS membentuk posisi kelas pekerja Amerika terhadap Partai Demokrat.
Sejarah Kekecewaan Kelas Pekerja terhadap Partai Demokrat
Dalam sebuah perdebatan antara ekonom sosialis Richard D. Wolff dan ekonom peraih Nobel Paul Krugman yang ditayangkan oleh democracynow.org, Krugman menyayangkan strategi yang diambil Bernie Sanders dengan mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai seorang sosialis demokratis (democratic socialist) yang dinilai Krugman sebagai langkah yang beresiko dalam memenangkan elektabilitas para konstituen Partai Demokrat. Dalam debat tersebut, Wolff menanggapi bahwa meskipun tidak ada pendefinisian yang monolitik tentang bagaimana menjadi seorang sosialis, apa yang ditawarkan Sanders dalam kampanyenya sangat sejalan dengan salah satu tradisi sosialisme. Kedua, tindakan Sanders yang mengasosiasikan dirinya dengan sosialisme justru dipandang Wolff sebagai langkah strategis untuk membangun narasi politik yang seutuhnya berbeda dengan tradisi politik berhaluan kanan ala Partai Demokrat. Namun mengapa upaya membedakan diri dari pendirian kompromistis ala Partai Demokrat ini sangat penting bagi kampanye Sanders?
Selama ini kelas pekerja AS telah mengalami kekecewaan yang terakumulasi sepanjang sejarah politik elektoral AS. Pasca The Great Depression yang menghantam AS pada tahun 1930-an, kelas pekerja AS sebenarnya pernah memiliki kepercayaan yang besar terhadap Partai Demokrat, terutama sejak terpilihnya Franklin D. Roosevelt dan penerapan kebijakan New Deal pada 1933. Kebijakan New Deal merupakan serangkaian program sosial yang menyasar kelas pekerja AS, yang meskipun masih terdistorsi oleh diskriminasi ras dan gender, ia berkontribusi dalam membawa kelas pekerja AS untuk memiliki posisi tawar yang baik pada aspek distribusi pendapatan, dan yang terpenting, memberikan panggung politik bagi gerakan Kiri baru untuk memprioritaskan tuntutannya pada upaya membangun inklusivitas kelas pekerja dengan memasukkan kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan (para pekerja perempuan dan kulit berwarna) ke dalam program kesejahteraan (Fraser, 2019). Pada era inilah hukum yang mengatur upah minimum dan Undang-Undang Hubungan Perburuhan Nasional (The Wagner Act 1935) pertama kali diperkenalkan. Sejak itu, kelas pekerja memiliki kedekatan dan kecenderungan terhadap Partai Demokrat.
Namun semuanya berubah pada tahun 1970an, dengan kemenangan Ronald Reagan melalui partai Republik yang membawa posisi kelas pekerja Amerika Serikat pada kemunduran. Ketika Partai Republik semakin anti-buruh dan bergerak ke kanan, Partai Demokrat justru semakin meninggalkan komitmennya terhadap New Deal. Kedua partai tersebut saling berbagi komitmen terhadap neoliberalisme dengan membiarkan korporasi dan pasar bebas mengambil alih berbagai layanan publik. Hukum perburuhan yang sebelumnya berpihak kepada pekerja semakin dipreteli secara sistematis untuk melemahkan serikat pekerja dan mempersenjatai pemilik modal (Maisano, 2017). Serangan paling frontal bagi kelas pekerja adalah dikeluarkannya berbagai terobosan kebijakan ekonomi yang diarahkan untuk memudahkan akumulasi kapital korporasi AS baik melalui relokasi proses produksi ke negara-negara dengan tingkat upah yang jauh lebih murah dan regulasi yang longgar, didatangkannya para pekerja migran sebagai tenaga kerja murah, serta diberlakukannya program austerity (pengetatan dan pemotongan anggaran sosial) yang mencekik kelas pekerja (Johnson, 2016). Baik Partai Republik maupun Demokrat keduanya sama-sama merangkul globalisasi kapitalisme AS yang berperan besar dalam proses peminggiran kelas pekerja dari politik.
Berkaca dari pemilu AS 2016 lalu, meskipun sebagian kelas pekerja tetap bersama Partai Demokrat sebagai the lesser evil, tetapi sejumlah besar kelas pekerja lainnya justru menjatuhkan pilihannya pada Trump yang kala itu muncul sebagai kandidat yang paling gamblang dalam mengekspresikan kemarahan dan rasa pengkhianatan yang mereka rasakan terhadap kedua Partai. Perasaan pengkhianatan yang serupa juga mendorong kelas pekerja di Eropa untuk berbalik menentang tradisi politik haluan tengah partai-partai lamanya yang berpuncak pada terpilihnya tokoh-tokoh ekstrim kanan serupa Trump pada pemilihan parlemen Eropa pada Mei 2019 lalu. Sayangnya, baik di AS maupun di Eropa, kelas pekerja yang memendam kemarahan dan perasaan terkhianati justru terperdaya oleh narasi xenophobia yang dihembuskan kelompok ekstrim Kanan sebagai distraksi politik untuk mengalihkan perhatian publik terhadap kegagalan fundamental dari sistem ekonomi neoliberal.
Kekecewaan kelas pekerja inilah yang luput dipahami oleh Partai Demokrat pada pemilu 2016 lalu. Ini mendorong sebagian kelas pekerja AS berbalik memilih Trump yang kala itu menyuguhkan persona yang berbeda dari sosok tipikal politisi Partai Republik dan menangkap kemarahan kelas pekerja melalui slogan kampanyenya “Make America Great Again” (Wolff, 2019). Dalam konteks ini, kampanye Sanders justru mengindikasikan kemampuannya untuk memahami kekecewaan dan kemarahan rakyat pekerja AS terhadap janji-janji politik Partai Demokrat yang hanya sibuk membenahi persoalan-persoalan di permukaan dengan pendekatan yang tetap berpihak pada korporasi besar tanpa benar-benar berani menunjuk siapa yang perlu bertanggung jawab atas ketimpangan ekonomi ekstrim yang dialami AS sampai saat ini (Wolff, 2020). Dalam salah satu debat utama Partai Demokrat yang ditayangkan MSNBC, Sanders menyerukan bahwa “tidak akan ada yang berubah kecuali kita memiliki keberanian untuk menghadapi Wall Street, industri asuransi, industri farmasi, industri militer dan industri bahan bakar fosil. Jika kita tidak memiliki keberanian untuk menghadapinya, maka kita hanya akan terus memiliki rencana dan terus berbicara, sementara kelompok 1 persen akan semakin kaya, dan sisanya akan terus bergulat untuk bertahan hidup.” Sanders secara terang benderang menyatakan bahwa unsur yang hilang selama ini dari perpolitikan AS adalah perjuangan kelas.
Dalam satu wawancara, Sanders ditanya tentang apa arti menjadi seorang sosialis baginya, dengan cepat Sanders mengoreksi, bahwa ia seorang ‘sosialis demokrat’, kemudian menjawab bahwa hal tersebut berarti orang-orang perlu memperhatikan negara-negara di seluruh dunia yang memiliki catatan keberhasilan dalam memerangi dan mengimplementasikan program kebijakan bagi kelas menengah dan rakyat pekerja. Dalam wawancara tersebut Sanders dengan jelas ingin membuat program politiknya terbaca oleh publik dan konkret. Ia merujuk revolusi politiknya pada cita-cita untuk mengubah Amerika Serikat menjadi Denmark, bukan Uni Soviet.
Terlepas dari aspek strategisnya, apa yang dikedepankan oleh Sanders, mengutip Nathan Robinson, adalah etika sosialis yang lebih menggambarkan pandangan terhadap dunia dimana ia mendorong perasaan solidaritas dengan orang-orang yang termarjinalkan dan tertindas, namun ia tidak serta merta berhubungan dengan cara pandang tentang kepemilikan pekerja (worker ownership) atas sarana produksi. Bagi Robinson, etika sosialis di satu sisi menjadi bermasalah karena ia membuat kabur gagasan sosialisme dari tujuan utamanya, namun di sisi lain ia juga bermanfaat dalam membangun common ground dengan mereka yang tidak mendefinisikan diri mereka sebagai sosialis, namun percaya bahwa ketidakadilan itu buruk, kesetaraan itu baik dan solidaritas diperlukan secara moral.
Dan faktor etika sosialis inilah yang menjadi daya tarik Sanders, yang memudahkannya untuk membangun koalisi dengan orang-orang yang tidak serta merta tertarik dengan ekonomi sosialis, namun percaya bahwa sistem politik dan ekonomi yang berlaku saat ini beroperasi secara tidak adil. Dan posisi politik inilah yang membedakan Sanders dari banyak anggota Partai Demokrat lainnya yang selama ini dinilai selalu bermain ‘aman’ dengan terus mengambil kebijakan yang berpihak pada korporasi. Desakan Sanders dalam mendefinisikan dirinya sebagai seorang sosialis demokrat, bukan hanya demokrat, adalah cara untuk memisahkan dirinya dari sistem politik lip-service pro status quo ala demokrat liberal.
Peran Kampanye Sanders bagi Pengorganisasian Kelas Pekerja
Sepanjang sejarahnya, masyarakat Amerika Serikat memang selalu enggan untuk mengasosiasikan diri dengan sosialisme, bahkan ketika mereka menyaksikan sendiri kegagalan kapitalisme yang kini membawa mereka pada tingkat eksploitasi dan ketimpangan ekonomi yang luar biasa tajam. Krisis finansial 2008, yang begitu jelas merupakan hasil dari sistem kapitalisme finansial yang membawa serta seluruh perekonomian jatuh ke dalam pengejaran keuntungan yang sembrono, justru menjadi awal kebangkitan kelompok konservatif Kanan The Tea Party yang anti perpajakan, alih-alih kebangkitan gerakan Kiri. Tidak sedikit pula para pakar seperti Paul Krugman yang melihat bahwa rakyat AS tetap tidak akan siap dengan pembicaraan seputar sistem ekonomi alternatif seperti sosialisme, betapapun tertindasnya mereka dengan sistem ekonomi yang berlaku saat ini. Terlepas dari apapun penyebabnya, sudah lebih dari satu abad tidak ada partai sosialis yang memainkan peran signifikan dalam politik AS dan selama itu pula kata sosialisme dianggap oleh sebagian besar masyarakat AS sebagai paham politik yang tabu.
Namun, majunya Bernie Sanders dalam pencalonan partai Demokrat pada pemilihan presiden AS sejak 2016 lalu membantu mengubah kondisi ini. Majunya Sanders kembali sebagai salah satu kandidat utama tahun ini membuktikan bahwa masyarakat AS kini sangat haus dengan perubahan, bahwa kini masyakat AS lebih siap untuk membicarakan kritik terhadap kapitalisme ketika ia melekat pada agenda kebijakan yang berani dan kredibel dalam meredistribusikan kekayaan dan pemberdayaan kelas pekerja.
Yang lebih penting dari visi kampanye Sanders adalah gerakan politik yang ia bantu untuk kembali mendapatkan panggung. Sanders secara gamblang menjelaskan bahwa perubahan di AS tidak dapat dicapai tanpa melibatkan diri dalam perjuangan kelas, dan para elit kapitalis tidak akan menyerahkan kekuasaannya pada mayoritas rakyat AS tanpa perlawanan. Dan pertarungan ini tidak bisa dilancarkan oleh para elit politisi, ini adalah pertarungan yang harus dilancarkan dan dimenangkan oleh jutaan rakyat biasa, di kotak suara, di tempat kerja, dan di jalanan.
Slogan kampanye Sanders, “Not Me, Us” menyiratkan bahwa kampanye ini bukan sekedar soal meyakinkan orang-orang untuk memilih Sanders sebagai sosok yang kompeten. Lebih dari itu, kampanye ini merupakan sarana untuk mempersatukan orang-orang ke dalam pertarungan yang tidak lagi boleh dihindari, yaitu pertarungan kepentingan mereka sebagai kelas pekerja. Dalam banyak kesempatan, Sanders selalu menekankan bahwa yang paling dibutuhkan rakyat Amerika adalah revolusi politik, sebelum kemudian menjelaskan proposal unggulannya secara terperinci.. Dikemukakannya gagasan ‘revolusi politik’ dalam kampanye Sanders tentunya bukan tanpa alasan. Ia dikemukakan sebagai upaya untuk menangkap aspirasi publik akan model ekonomi-politik yang baru, yang terlihat pada tingginya dukungan terhadap gagasan Medicare for All (kesehatan untuk semua) dan Green New Deal (jaminan penghidupan untuk semua melalui pekerjaan ramah lingkungan), besarnya gelombang protes dari para guru dan gerakan-gerakan militan lainnya yang diorganisir oleh para pekerja di seluruh AS, serta kuatnya dukungan dari para anggota kongres muda–seperti Alexandria Ocasio-Cortez, Ilhan Omar, Rashida Tlaib, dan Ayanna Pressley—yang tidak takut untuk keluar dari tekanan politik partainya dan berani merangkul kebijakan-kebijakan yang lebih progresif untuk menjangkau kelompok-kelompok marjinal. Gagasan revolusi politik ini semakin menemukan relevansinya pasca kemunculan gerakan kuat melawan rasisme, seksisme dan xenophobia yang dipicu oleh kebijakan Trump.
Kampanye Sanders secara konsisten menunjukkan dirinya tidak seperti kampanye politik biasanya. Kampanye ini tidak menelan mentah-mentah tekanan elektabilitas dan merubah diri untuk beradaptasi dengan kepentingan pemilihan. Kampanye Sanders berhasil menghubungkan permasalahan-permasalahan yang dialami individu kelas pekerja dengan permasalahan publik, dan hal tersebut berhasil meningkatkan angka popularitas alih-alih menurunkan elektabilitasnya seperti yang ditakutkan kebanyakan partai Demokrat. Kampanye Sanders juga telah membawa teknik dan taktik yang biasanya digunakan dalam pengorganisasian rakyat ke dalam aktivitas kampanye sehari-hari, yang memungkinkan mereka menjangkau lebih dalam ke seluk beluk kelas pekerja dan memberikan keterampilan ini kepada pasukan sukarelawan kampanye. Para sukarelawan ini tidak akan melupakan apa yang mereka pelajari ketika kampanye berakhir, dan hubungan yang mereka bangun sekarang kemungkinan akan menjadi masukan bagi upaya pengorganisasian gerakan Kiri di masa depan baik di dalam maupun di luar arena politik elektoral (Day, 2020).
Selain itu, kampanye Sanders juga meminjam teknik lainnya dari strategi pengorganisasian pekerja, yaitu dengan merekrut ribuan pekerja industri jasa seperti bartender, barista, kasir dan pramusaji sebagai sukarelawan dan staf kampanye. Para pekerja jasa ini umumnya adalah para anak muda tech-savvy yang mengalami kondisi kerja overworked dan menemukan resonansi personal dengan pesan yang ditawarkan Sanders. Yang menarik dari strategi ini adalah para pekerja muda ini dapat memainkan peran kepemimpinan organik di tempat kerjanya, sebuah faktor kunci untuk mendorong pengorganisasian kelas pekerja. Para sukarelawan ini umumnya merupakan wajah yang familiar di komunitas mereka, yang dapat berkomunikasi secara efektif dengan beragam orang dan dapat memobilisasi massa melalui jaringan mereka yang luas di industri jasa.
Pendekatan kampanye Sanders yang unik ini mulai membuahkan hasil pada kaukus pemilihan pendahuluan Partai Demokrat, ketika Sanders memenangkan kontes pertama di Iowa. Belasan pekerja shift malam di rumah jagal JBS yang hampir seluruhnya adalah imigran, langsung menghadiri lokasi kaukus sepulang kerja untuk memilih Sanders. Para pekerja ini mungkin tidak akan datang memilih jika bukan karena upaya keras para pendukung Sanders yang menyisir para pekerja di luar pabrik di tengah malam dan menindaklanjutinya dengan perbincangan di rumah seperti yang sering lakukan para pengorganisir serikat pekerja. Program-program politik Bernie Sanders memang menawarkan banyak hal bagi rakyat pekerja yang menghadapi kondisi yang rentan. Tidak diragukan, Workplace Democracy Plan (Gagasan Demokrasi Tempat Kerja) yang ditawarkan Sanders merupakan program paling serius, komprehensif, dan adil yang mengangkat hak-hak pekerja yang belum pernah diusulkan oleh kandidat presiden AS sebelumnya.
Namun, perlu diingat bahwa, kelas pekerja AS telah mengalami pengeksklusian dari politik selama berpuluh-puluh tahun. Mengharapkan dukungan suara dari para pekerja tentunya tidak akan semudah menyeru dan menunggu mereka datang untuk memilih suatu kandidat dalam pertarungan elektoral (Day, 2020). Bernie Sanders dan timnya menyadari bahwa untuk mendapatkan dukungan dari mereka yang telah lama dibuat merasa tidak berdaya membutuhkan kerja keras. Kampanye Sanders tidak menunjukkan teknik kampanye yang tipikal dilakukan dalam mencari dukungan suara. Dalam hal ini, kita menyaksikan bahwa dukungan kelas pekerja yang diberikan kepada Bernie Sanders tidak terjadi secara spontan, melainkan hasil dari upaya pengorganisiran organik untuk membawa kelas pekerja ke dalam proses politik.
Peranan Strategi Elektoral dalam Perjuangan Menuju Sosialisme
Seperti halnya gerakan Kiri di Indonesia, gerakan Kiri AS juga memiliki sikap politik yang berbeda-beda dalam menyikapi politik elektoral, terutama dalam menentukan kendaraan politiknya. Meskipun kampanye Sanders mendapat dukungan dan pastisipasi yang besar, tidak sedikit dari kalangan Kiri sendiri yang menolak untuk sepenuhnya mencurahkan tenaga, waktu dan sumberdaya yang mereka miliki semata-mata untuk kepentingan politik elektoral. Beberapa gerakan kiri tetap berkomitmen pada konsep skematis dan bertahap dari pembangunan basis, yaitu membangun basis sosial terlebih dahulu, baru kemudian partai politik. Tidak sedikit kekhawatiran yang muncul dari gerakan Kiri AS bahwa kampanye pemilihan umum secara tipikal memiliki kecendrungan untuk mendistorsi dan melemahkan pengorganisasian sosial, alih-alih menjadi kendaraan politik bagi rakyat pekerja.
Menanggapi kecenderungan ini, Chris Maisano mengakui bahwa gerakan buruh yang terorganisir, partai politik dan politik pemilu, bersama-sama ketiganya adalah senjata paling penting dalam perjuangan memenangkan cita-cita sosialisme. Namun ia juga menekankan bahwa saat ini pendekatan yang dirasa paling kuat dan masuk akal untuk menjalankan proyek politik sosialisme di AS adalah dengan memanfaatkan struktur dan proses demokrasi elektoral yang tersedia. Khususnya pada periode ini, ketika neoliberalisme selama lebih dari empat puluh tahun telah mengalahkakann dan mengacaukan pengorganisasian kelas pekerja AS. Dengan tingkat pengorganisasian sosial berada pada titik terendah sepanjang sejarah, kampanye Bernie Sanders memainkan peran kunci dalam membangun basis gerakan rakyat pekerja dan mempromosikan pembaharuan organisasi sosial dalam skala masal (Maisano, 2019).
Memang benar bahwa proses seperti pemilihan presiden menawarkan versi partisipasi demokrasi yang sangat miskin. Tetapi di sisi lain, politik elektoral juga menghadirkan peluang untuk menciptakan identitas politik kolektif dan mendukung pengembangan kapasitas pengorganisasian di luar arena pemilihan. Politik elektoral secara historis memainkan peran sentral dalam proses pembentukan kelas pekerja (Maisano, 2019).
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah Kampanye Sanders memberikan kesempatan untuk melakukan transformasi sosial dengan membawa gagasan-gagasan sosialisme yang selama ini ada di pinggiran ke dalam kontestasi wacana dominan politik masyarakat AS. Kampanye ini membuka jalan bagi gerakan-gerakan Kiri yang telah ada sebelumnya untuk membangun gerakan massa pekerja yang multiras dan multigender yang lebih besar dan lebih radikal dari figur Bernie Sanders itu sendiri. Kampanye Sanders menunjukkan bahwa kini masyarakat AS tidak lagi puas dengan solusi-solusi pro status-quo ala kelompok tengah-kiri ataupun tengah-kanan. Mereka menyadari bahwa kini mereka membutuhkan gagasan yang lebih berani dan tanpa kompromi dari sayap Kiri untuk memulai perubahan di AS dan lebih khusus lagi untuk melawan kebijakan populisme kanan dari rezim Trump. Belajar dari kekalahan Hillary Clinton yang memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi pada pemilihan presiden 2016 lalu, sebagian dari konstituen demokrat kini menyadari bahwa alasan memilih kandidat semata-mata karena elektabilitasnya tidak lagi relevan. Kekalahan 2016 lalu semestinya memberikan pelajaran bagi elit Partai Demokrat hari ini bahwa rakyat Amerika tidak tertarik pada kandidat yang “aman” dan yang masih membela status-quo.
Amerika Serikat kini berada pada tingkat fragmentasi sosial yang demikian parah, sehingga menjadi tidak mengejutkan ketika tingkat ketidakpuasan rakyat menemukan ekspresinya melalui kampanye Sanders dan gagasan ‘revolusi politik’ yang dipelopori olehnya. Berkurangnya jumlah pekerja yang terorganisir dalam serikat pekerja dan meningkatnya disintegrasi sosial yang dialami komunitas kelas pekerja mengindikasikan hanya sebagian kecil dari pekerja AS yang memiliki kemampuan untuk menggalang gerakan kolektif yang efektif di tempat kerja maupun di tataran komunitas lokal. Politik elektoral karenanya merupakan salah satu dari beberapa saluran politik yang saat ini tersedia di AS untuk melibatkan rakyat pekerja ke dalam politik arus utama. Ia juga berperan dalam mengembalikan kapasitas rakyat pekerja AS sebagai subjek politik untuk kemudian memperjuangkan kondisi yang berpihak pada rakyat pekerja, yang memungkinkan mereka untuk mengorganisir dirinya baik di dalam maupun di luar arena politik elektoral.
Dengan demikian, Pemilu AS 2020 dapat dikatakan menjadi salah satu faktor utama di balik kebangkitan gerakan kiri di AS saat ini. Politik elektoral ini menghadirkan “kampanye perjuangan kelas”, dimana para kandidat secara terbuka mengidentifikasi diri mereka sebagai sosialis, tidak takut untuk menunjukkan kritikan terhadap kapitalisme, dan bekerja untuk membangun gerakan kelas pekerja melampaui kepentingan pemilihan umum. Para kandidat yang berhasil menyuarakan kampanye perjuangan kelas mungkin saja tetap berada pada posisi politik minoritas dalam beberapa tahun ke depan, namun mereka mendapatkan kesempatan untuk menggunakan pengaruh dan platform mereka untuk mempromosikan gagasan-gagasan sosialis kepada masyarakat luas. Kampanye pemilihan semacam ini sangat penting untuk terus membangun revolusi politik.
Dari politik elektoral AS, kita juga mempelajari bagaimana gerakan Kiri mempertimbangkan dan menyiapkan kendaraan politiknya. Mereka menyadari bahwa Partai Demokrat secara fundamental adalah lembaga yang pro-kapitalis dan akan selalu begitu. Namun, gerakan Kiri AS juga mempertimbangkan hambatan terdekat yang mereka hadapi untuk sepenuhnya keluar dari platform partai demokrat dan menciptakan partai massa baru yang benar-benar sesuai dengan agenda perjuangan mereka. Tetap berada dalam Partai Demokrat merupakan salah satu bentuk kompromi gerakan Kiri untuk tetap relevan dengan politik praktis, namun di saat yang sama juga secara bertahap terus membangun pijakan-pijakan yang fundamental bagi gerakan kelas pekerja demi menciptakan partai sosialis di masa depan yang maju dan mandiri.***
Eva N. Karina, Peneliti Center for Identity and Urban Studies, Surabaya.
Referensi
Day, M. (2020, Februari 04). How Bernie’s Iowa Campaign Organized Immigrant Workers at the Factory Gates. Diakses dari Jacobin Magazine: https://jacobinmag.com/2020/02/bernie-iowa-caucus-immigrant-factory-workers-organizing
Fraser, S. (2019, Juni 30). The New Deal in the American Political Imagination. Diakses dari Jacobin Magazine: https://www.jacobinmag.com/2019/06/new-deal-great-depression
Johnson, J. (2016, November 23). Yes, the Democratic Party Did Abandon the Working Class. Diakses dari common dreams: https://www.commondreams.org/views/2016/11/23/yes-democratic-party-did-abandon-working-class
Maisano, C. (2017, Juli 11). The Fall of Working-Class New York. Diakses dari Jacobin Magazine: https://www.jacobinmag.com/2017/07/new-york-fiscal-crisis-debt-municipal-politics-elections-socialists
Maisano, C. (2019, Mei 21). Which Way to Socialism. Diakses dari Socialist Call: https://socialistcall.com/2019/05/21/democratic-socialism-revolution-chris-maisano/
Wolff, R. D. (2019, Mei 1). In US and UK, the Working and Middle Classes Are Under Attack. Diakses dari Truth Out: https://truthout.org/articles/in-us-and-uk-the-working-and-middle-classes-are-under-attack/
Wolff, R. D., & Krugman, P. (2020, Februari 24). In US and UK, the Working and Middle Classes Are Under Attack. Diakses dari Democracy Now: https://www.democracynow.org/2020/2/24/paul_krugman_richard_wolff_socialism_debate