Kredit foto: Watyutink
SAMUEL (bukan nama sebenarnya), menunjukkan foto yang dikirim temannya dari tempat perjudian di sudut kota Wamena. Uang kertas seratus ribu bertumpuk-tumpuk di meja, dengan beberapa laki-laki berdiri dan duduk mengelilingi tumpukan uang itu. Samuel berasal dari kampung bergunung-gunung di distrik Samenage, sebuah wilayah terpencil yang kini masuk Kabupaten baru Yahukimo. Ia berkata bahwa banyak sekali uang di meja perjudian di Wamena. Beberapa hari sebelumnya, dia bersaksi seorang kepala kampung kalah judi hingga sebanyak 70 juta rupiah. Keesokan harinya, saya bertemu Daniel (bukan nama sebenarnya), seorang pengacara dari suku Hubula yang menceritakan fakta yang sama. “Ah, 70 juta itu kecil. Kepala-kepala kampung di sini bisa berjudi hingga 300-400 juta.”
Angka-angka ini mengejutkan. Tapi yang tidak kalah mengejutkan adalah bagaimana anak muda seperti Samuel, menyaksikan dan menceritakan kisah-kisah seperti ini dengan teman-temannya. Samuel dan teman bicaranya belum berumur 20 tahun. Pada tahun 1960an, ketika orang Hubula (atau dulu disebut sebagai orang Dani) masih merdeka di dalam kampung-kampung (silimo)-nya, anak muda seperti Samuel akan duduk dengan orang-orang tua di honai, belajar berkebun dan memelihara babi –toh, orang Hubula adalah petani paling canggih di seluruh Melanesia—atau pergi berperang melawan konfederasi musuh (karena orang Hubula terorganisasi dalam konfederasi-konfederasi politik).
Pengalaman Samuel tidaklah unik. Sejak berlakunya otonomi khusus dan pemberlakuan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, uang semakin banyak beredar di kampung-kampung orang Papua. Meski di Indonesia dan bahkan di banyak bagian dunia, pemberian bantuan langsung tunai kepada orang-orang yang dianggap miskin sudah menjadi doktrin, bukan hanya negara tapi juga lembaga-lembaga global seperti Bank Dunia, di Tanah Papua praktik seperti ini bisa terbilang baru. Dan dampaknya, berbeda dengan wilayah di Indonesia, sangat dramatis. Seperti yang saya ceritakan dengan Samuel, bantuan langsung tunai yang didistribusikan ke desa-desa berpotensi sebagai alat genosida terhadap orang Papua.
Sejarah Pemberian Bantuan Langsung Tunai
Program pemberian dana tunai (Cash Transfer, CT) dimulai pada akhir tahun 1990an di beberapa negara di Amerika Latin. Tujuan pemberian dana ini adalah untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Dengan pemberian bantuan langsung tunai, keluarga sangat miskin diharapkan dapat membeli kebutuhan dasar seperti makanan dalam jangka pendek. Secara jangka panjang, pemberian uang ini diharapkan akan meningkatkan investasi sumber daya manusia, terutama ketika digunakan untuk mengatasi persoalan kekurangan gizi (Millán dkk, 2019). Meski program ini dipromosikan oleh lembaga-lembaga kapitalis seperti Bank Dunia, polisiti dari sayap sosialis pun gemar dengan kebijakan ini. Contohnya, presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva (berkuasa di Brazil dari tahun 2003-2011). Presiden Lula da Silva memperkenalkan sistem bantuan langsung tunai bernama Bolsa Familia pada tahun 2003. Kebijakan ini memberikan uang tunai dengan dua skema: pertama, pemberian dana tunai tanpa syarat; dan kedua, dengan syarat, yakni penerima harus memvaksinasi dan menyekolahkan anaknya. Mungkin skema inilah yang dicoba gubernur Lukas Enembe di Provinsi Papua dengan nama “Bangga Papua” (Bangun Generasi dan Keluarga Papua Sejahtera). Program pemberian bantuan sosial ini ditujukan untuk Orang Asli Papua (OAP) yang memiliki anak usia 0-4 tahun. Setiap anak akan diberikan bantuan sebesar Rp 200.000 per bulan. Menurut pemerintah provinsi Papua, “Bantuan tersebut diharapkan bisa digunakan oleh orang tua penerima manfaat untuk menjaga atau memperbaiki gizi anak dan meningkatkan akses anak kepada layanan kesehatan.”
Di samping inisiatif yang bersifat lokal seperti program Bangga Papua ini, pemerintah pusat sudah mulai memberikan bantuan tunai langsung sejak tahun 2005. Diberlakukan pertama kali oleh Pemerintah Susilo Bambang Yudoyono melalui Inpres No. 12 tahun 2005, bantuan langsung tunai ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga miskin dari dampak naiknya harga minyak dunia. Di Tanah Papua, masyarakat asli jarang bahkan hampir tidak pernah menerima dana bantuan langsung ini. Satu-satunya bentuk bantuan yang cukup menonjol dan menciptakan persoalan hingga pedalaman adalah program penyaluran beras untuk rumah tangga miskin (raskin). Program ini sudah dimulai di seluruh Indonesia dari tahun 1998 dengan nama Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian berubah menjadi raskin pada tahun 2002. Meski tampaknya bertujuan baik, program ini memiliki dampak yang negatif di Tanah Papua karena pertama, beras adalah makanan yang diperkenalkan dari luar dan tidak ditanam oleh sebagian besar orang Papua sehingga pemberian raskin dianggap tidak sensitif terhadap budaya Papua. Kedua, kualitas beras yang dikirim dan diberikan ke orang Papua sangat buruk sehingga kebanyakan beras hanya dibuang atau diberikan ke ternak babi.
Meski penting dibahas, program pemberian raskin bisa dibilang tidak memiliki dampak sebesar dan seradikal bantuan langsung tunai dan pemberian dana desa. Kembali ke kasus Samuel, pemberian dana desa memiliki dampak yang lebih massif karena bantuan ini menggunakan struktur kelembagaan kampung. Di Tanah Papua, persoalan ini menjadi semakin parah karena sejak 2007, proses pemekaran dan desentralisasi telah menciptakan kampung-kampung baru. Pada tahun 2001, Badan Pusat Statistik Provinsi Papua mencatat jumlah kampung (kelurahan dan desa) di seluruh Tanah Papua sebanyak 3.361. Pada tahun 2017, jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 7.369 kampung (kelurahan dan desa) (BPS Papua 2002; BPS Papua 2017; BPS Papua Barat 2017). Melalui mekanisme dana desa ini, setiap kampung di Tanah Papua mendapatkan dana tunai langsung sekitar 900 juta yang diberikan dua (sekarang tiga) kali setahun.
Perubahan Sosial Besar-besaran di Tanah Papua
Berbagai pihak, dan terutama pemerintah melihat bantuan langsung tunai dan dana desa memiliki dampak positif bagi masyarakat. Dana desa, misalnya, tidak hanya berhasil mendukung pembangunan infrastruktur kampung seperti jembatan dan fasilitas air bersih, tapi juga dianggap berhasil meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Yang jelas, program ini sangat populer bagi politisi, termasuk Presiden Joko Widodo, yang menggolkan program dana desa ini karena pemberian dana dianggap sebagai sistem baru patronase politik. Namun di Tanah Papua, beberapa dampak negatif dari program-program dana tunai ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan, meski setiap program memiliki dampak khususnya sendiri-sendiri. Dampak-dampak ini masih sangat tidak dipahami bukan hanya oleh para akademisi dan pemerintah, tapi juga gerakan sosial dan pembebasan di Tanah Papua. Pertama, dampak negatif terlihat paling jelas melalui sebuah proses yang saya sebut finansialisasi pedesaan. Seperti yang dikatakan oleh Handl dan Spronk (2015), logika di balik program dana tunai adalah bahwa sistem pasar bebas dan konsepsi politik liberal berdasarkan uang akan bisa memecahkan persoalan kemiskinan. Uang, bagi para pendukung bantuan langsung tunai, dianggap satu-satunya solusi.
Di kampung-kampung di Tanah Papua, proses finansialisasi berdampak dua hal. Pertama, terjadinya inflasi nilai dan komoditi di pedesaan. Kehadiran uang dalam jumlah sangat besar membuat proses valuasi dan nilai-nilai barang menjadi sangat tidak masuk akal. Contohnya, harga babi di Wamena, di mana babi menduduki posisi penting dalam budaya orang Hubula, meningkat secara gila-gilaan. Satu ekor babi bisa mencapai 40 hingga 60 juta, sebuah angka yang tidak dapat dijelaskan oleh analisis ekonomi mana pun. Kedua, pelemahan bahkan penghancuran kemerdekaan dan daya penentuan nasib sendiri orang-orang Papua, terutama di desa-desa. Kita mungkin bisa menggunakan teori Marxis di sini yang mengatakan bahwa orang Papua mengalami lompatan dari komunisme primitif ke kapitalisme lanjut. Bahwa orang Papua tidak siap berubah dari ekonomi yang mendasarkan dirinya pada prinsip resiprositas, pertukaran dan kemurahhatian menjadi ekonomi uang. Banyak pengamat, termasuk orang Papua sendiri, menyalahkan orang Papua yang dianggap terbelakang dan tidak tahu administrasi serta manajemen penggunaan dana-dana ini. Argumen ini cocok dengan argumen rasis yang diucapkan oleh birokrat dan ilmuwan-ilmuwan Indonesia sejak tahun 1960an tentang orang Papua (contoh yang paling jelas adalah argumen Koentjaraningrat). Namun kita bisa melihat bahwa dari berbagai studi yang dilakukan tentang dana desa, hampir semua penggunaan dana ini bermasalah dan tidak diikuti oleh transparansi dan akuntabilitas (Setyoko 2011;Pahlevi 2015). Jadi hanya dengan menunjuk kasus Papua sebagai contoh, argumen yang diajukan jelas bersifat rasis dan diskriminatif. Kedua, hampir semua proses penggunaan dan pelaporan dana-dana seperti dana desa, tidak diikuti oleh sistem pengawasan yang ketat. Ini adalah persoalan negara Indonesia, bukan persoalan Tanah Papua (saja).
Aspek lain dari persoalan ini adalah, walau pun tidak unik Indonesia, argumen mendasar dari dana desa adalah “orang miskin” dianggap patologikal (penyakit). Argumen ini terasa sangat bermasalah karena Tanah Papua adalah wilayah kaya, dengan GDPR paling tinggi di Indonesia. Di sini kita harus memeriksa ideologi yang spesifik Indonesia tentang “kemiskinan” dan “masalah” orang Papua. Sejak Tanah Papua diduduki dan dimasukkan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada dua asumsi penting yang dibawa tentara dan orang Indonesia. Pertama bahwa orang Papua miskin karena “penampakan” dan “gaya hidupnya”. Kedua, bahwa orang Papua bermasalah, entah mereka “malas, “kotor”, “terbelakang” “tidak beradab,” dan lain sebagainya. Tentu saja orang Indonesia akan menolak tuduhan bahwa mereka memiliki asumsi-asumsi seperti ini, tapi asumsi-asumsi ini terlihat dengan jelas dalam kebijakan-kebijakan pemerintah dan perlakuan orang Indonesia, baik pendatang di Tanah Papua maupun orang Indonesia di Indonesia (termasuk akademisi dan wartawan) mengenai tingkat peradaban orang Papua.
Kembali ke kasus Wamena, hampir semua antropolog dan sejarawan Melanesia bersepakat bahwa orang Hubula memiliki tingkat ketrampilan dan pengetahuan pertanian paling maju di kawasan Asia Pasifik—bahkan mungkin di dunia. Sejak 7000-9000 tahun yang lampau (Brookfield 1970; Szalay 1999), orang-orang Hubula sudah mendomestifikasi babi dan menanam puluhan jenis ubi dan tanaman lain di kebun-kebun subur mereka di Lembah Baliem. Ketika Indonesia datang, kata “terbelakang”, “kotor,” dan “malas” mulai diperkenalkan sebagai karakter orang Hubula, kata-kata yang tidak dikenal sebelumnya di kawasan ini. Mungkin ingatan kita terhadap ketrampilan dan capaian orang Hubula ini diwarnai oleh romantisme, tapi kembali ke kasus Samuel, anak muda seperti Samuel dan teman-temannya tidak lagi berkebun. Berdasarkan pengamatan saya dan wawancara dengan teman-teman Hubula dan para pastor yang bekerja lama di Lembah Baliem, terlihat dengan jelas turunnya semangat berkebun di kalangan orang Hubula. Perempuan masih melihara babi dan membuka kebun, tapi dibandingkan dengan dokumentasi tahun 1960an yang direkam antropolog Karl Heider (1972 dan 1997), misalnya, telah terjadi penurunan jumlah babi, pesta babi dan produk pertanian dari Lembah Baliem. Justru sekarang produk seperti beras, cabai (rica), bahkan komoditi paling penting di Wamena seperti babi, didatangkan dari luar Lembah Baliem.
Dengan menurunnya keinginan berkebun (yang juga dampak dari tidak dilihatnya pertanian sebagai pilihan karir anak-anak muda Papua yang bersekolah tinggi), menurun juga tingkat indepedensi dan otonomi mereka. Orang Papua semakin tergantung makanan dari luar dan distribusi berbagai dana tunai. Kedua, karena dana-dana ini tidak didapat dengan bekerja, ikatan antara individu dengan uang menjadi sangat cair. Tidak heran kepala-kepala kampung akan segera ke kota untuk “membuang” uangnya di meja perjudian atau di tempat alkohol atau prostitusi setelah distribusi bantuan langsung tunai. Seperti kata Marx, alienasi terjadi tapi bukan melalui proses produksi dan menjadi buruh, tapi melalui konsumsi dan menjadi konsumen. Proses ini bukan hanya terjadi di kota-kota atau pun enclaves pertambangan seperti Timika, tetapi justru terjadi paling massif di pedesaan.
Oleh karena itu, artikel ini berargumen bahwa bukan hanya bahwa program-program pembangunan seperti dana desa tidak memperhatikan masalah khusus dan aspek identitas politik terutama ras orang Papua, namun ia bisa menjadi teknologi baru genosida. Studi-studi tentang penjajahan sekarang ini mengatakan bahwa penjajahan tidak hanya diperlihatkan dengan proses pembunuhan besar-besaran atau pun eksploitasi sumber daya alam—hal ini pun terjadi di Tanah Papua, namun juga pembiaran dan penciptaan sistem yang menghancurkan kebudayaan, otonomi dan daya hidup masyarakat terjajah. Meski kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah dan lembaga-lembaga seperti Bank Dunia yang menciptakan dan mendukung program-program seperti dana desa dan bantuan tunai ini—elite-elite Papua pun terlibat menjadi, meminjam kata-kata antropolog dan sejarawan Benny Giay, “tim sukses” penghancuran orang Papua. Namun mungkin kita harus melihat proses ini sebagai sistem kolonialisme baru pemukim (settler colonialism) di mana logika penjajahan bukan saja eksploitasi tapi eliminasi bangsa terjajah (Wolfe 2006).***
Veronika Kusumaryati, antropolog, Universitas Harvard
Kepustakaan:
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2002. Papua dalam Angka. Jayapura: BPS Provinsi Papua.
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2017. Papua dalam Angka. Jayapura: BPS Provinsi Papua.
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat. Papua Barat dalam Angka. Manokwari: BPS Provinsi Papua Barat.
Brookfield, H.C. with Hart, D. 1971. Melanesia: A Geographical Interpretation of an Island World. Melbourne: Melbourne University Press.
Fiszbein, Ariel, Norbert Schady, Francisco H.G. Ferreira, Margaret Grosh, Niall Keleher, Pedro Olinto, Emmanuel Skoufias. 2009. “Conditional Cash Transfers: Reducing Present and Future Poverty.” World Bank Policy Research Report. Washington, DC: World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/2597
Handl, Melisa dan Susan Spronk. 2015. “With Strings Attached.” Jacobin, November 24. https://jacobinmag.com/2015/11/conditional-cash-transfers-cct-latin-america-pink-tide-kirchner-bolsa-familia-lula-poverty
Heider, K. G. 1972. “The Grand Valley Dani Pig Feast: A Ritual of Passage and Intensification.” Oceania 42(3): 169-97.
Heider, K. G. 1997. Grand Valley Dani : Peaceful Warriors. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.
Millán, Teresa Molina, Tania Barham, Karen Macours, John A Maluccio, Marco Stampini. 2019. “Long-Term Impacts of Conditional Cash Transfers: Review of the Evidence.” The World Bank Research Observer 34 (1):119–159.
Pahlevi, Indra. 2015. “Dana Desa dan Permasalahannya.” Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri 17(1): 17-20.
Setyoko, Paulus Israwan. 2011. “Akuntabilitas Administrasi Keuangan Program Alokasi Dana Desa (ADD).” Jiana: Jurnal Administrasi Negara 11(1):14-24.
Szalay, A. 1999. Maokop: The montane cultures of central Irian Jaya: environment, society, and history in highland West New Guinea. PhD diss. Sydney: University of Sydney.
Wolfe, Patrick. 2006.” Settler colonialism and the elimination of the native.” Journal of Genocide Research 8(4): 387-409.