Kritik Marx terhadap Sosialisme Awal

Print Friendly, PDF & Email

“Phalanstère, proyek utopia Charlies Fourier. Sumber: thecharnelhouse.org


I. Sumbangsih Kaum Sosialis Awal

MENYUSUL terjadinya Revolusi Prancis, sejumlah teori mulai beredar di Eropa yang berusaha menjawab tuntutan keadilan sosial yang tak terjawab oleh Revolusi Prancis dan untuk mengoreksi ketidakseimbangan ekonomi dramatis yang ditimbulkan oleh penyebaran revolusi industri. Kemajuan demokratis setelah pendudukan, Bastille, memberikan pukulan yang menentukan bagi aristokrasi. Tapi situasi baru itu hampir tidak mengubah ketidaksetaraan kekayaan antara kelas populer dan kelas dominan. Ambruknya monarki dan pendirian republik, ternyata tidak mencukupi untuk mengurangi kemiskinan di Prancis.

Inilah konteks dimana teori-teori sosialisme ‘utopis-kritis’, sebagaimana didefinisikan oleh Marx dan Engels dalam Manifesto Partai Komunis (1848), menjadi terkenal. Keduanya menganggap mereka ‘utopis’ karena dua alasan: pertama, para eksponennya, dengan cara yang berbeda, menentang tatanan sosial yang ada dan melengkapinya dengan  teori yang mengandung apa yang mereka yakini sebagai ‘elemen paling berharga untuk pencerahan kelas pekerja’; dan, kedua, para eksponen itu mengklaim bahwa bentuk alternatif organisasi sosial dapat dicapai hanya melalui identifikasi teoritis ide-ide dan prinsip-prinsip baru, ketimbang melalui perjuangan konkret kelas pekerja. Menurut Marx dan Engels, para pendahulu sosialis itu percaya bahwa

tindakan historis (harus) tunduk pada tindakan inventif pribadi mereka, yang secara historis menciptakan kondisi-kondisi  emansipasi pada yang fantastis, dan organisasi kelas proletariat berkembang secara bertahap dari yang spontan ke organisasi masyarakat yang secara khusus dirancang oleh para penemu ini. Sejarah masa depan menyelesaikan dirinya sendiri, dalam pandangan mereka, ke dalam propaganda dan tindakan praktis dari rencana sosial mereka.

Dalam teks politik yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah manusia (yakni, Manifesto Partai Komunis), Marx dan Engels juga mempermasalahkan banyak bentuk sosialisme lain, baik di masa lalu dan di masanya, kemudian mengelompokkannya di bawah judul ‘feodal’, ‘borjuis kecil’, ‘borjuis’ atau – dalam ‘ungkapan filosofisnya’ yang sinis – sosialisme ‘Jerman’. Secara umum, teori-teori ini dapat dikaitkan satu sama lain, baik dalam hal aspirasi untuk ‘mengembalikan alat produksi dan pertukaran lama, dan dengannya hubungan properti lama dan masyarakat lama’, atau dalam pengertian usaha untuk ‘membatasi alat-alat produksi dan pertukaran modern di dalam kerangka kerja hubungan kepemilikan lama’ yang mana sebenarnya telah hancur. Karena alasan ini, Marx melihat dalam konsepsi-konsepsi ini bentuk sosialisme yang bersifat ‘reaksioner dan utopis’.


II. Perbedaan yang Menyesatkan antara Utopis dan Ilmiah

Istilah ‘utopis’, sebagai lawan dari sosialisme ‘ilmiah’, sering digunakan dengan cara yang menyesatkan dan secara sengaja bertujuan untuk mencibir. Faktanya, ‘sosialis utopis’ menentang organisasi sosial pada zaman mereka hidup, berkontribusi melalui tulisan dan tindakan mereka untuk mengkritik hubungan ekonomi yang ada. Marx sangat menghormati para pendahulunya itu: dia menekankan adanya jurang lebar yang memisahkan Saint-Simon dari para penafsirnya yang vulgar; dan, sementara dia menganggap beberapa ide Charles Fourier sebagai ‘sketsa lucu’ yang luar biasa, dia melihat ‘jasa besar’ dalam kesadaran bahwa tujuan transformatif tenaga kerja adalah untuk mengatasi tidak hanya corak distribusi (mode of distribution) yang ada tetapi juga ‘corak produksi’ (mode of production). Dalam teori Owen, ia melihat banyak elemen yang layak dipertimbangkan dan mengantisipasi masa depan. Dalam bukunya Wages, Price and Profit (1865) Marx mencatat bahwa sudah sejak awal abad kesembilan belas, dalam Observations on the Effect of the Manufacturing System (1815), Owen telah ‘memproklamirkan batasan umum hari kerja sebagai langkah persiapan pertama untuk emansipasi kelas pekerja’. Dan tidak seperti orang lain, Marx mendukung koperasi produksi.

Namun demikian, sementara mengakui pengaruh positif Saint-Simon, Fourier dan Owen pada gerakan buruh yang baru muncul, keseluruhan penilaian Marx terhadap ide-ide mereka adalah negatif. Menurutnya, mereka berharap untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial pada zaman itu dengan fantasi yang tidak dapat direalisasikan, dan dia mengkritik mereka dengan sangat keras karena menghabiskan terlalu banyak waktu latihan  teoretis yang tidak relevan untuk membangun ‘istana di atap langit’.

Marx tidak membuat pengecualian hanya untuk proposal yang dianggapnya salah atau tidak praktis. Di atas segalanya, ia menentang gagasan bahwa perubahan sosial dapat terjadi melalui model-model pengetahuan meta-historis yang diilhami oleh ajaran dogmatis. Moralisme kalangan sosialis awal juga tak luput dari kritisismenya. Dalam ‘Conspectus on Bakunin’s Statism and Anarchy’ (1874-75), Marx mencela ‘sosialisme utopis’ yang berusaha ‘untuk menyebarkan ilusi-ilusi baru kepada rakyat alih-alih membatasi penyelidikan ilmiahnya pada gerakan sosial yang diciptakan oleh rakyat itu sendiri’. Bagi Marx, kondisi-kondisi untuk revolusi tidak bisa diimpor dari luar gerakan rakyat itu sendiri.


III. Kesetaraan, Sistem Teoritis dan Masyarakat Masa Depan: Kesalahan-kesalahan Para Pendahulu

Setelah 1789, para teoritikus saling berkompetisi satu sama lain dalam menguraikan tatanan sosial baru dan lebih adil, melampaui dan di atas perubahan politik mendasar yang muncul menyusul tumbangnya Rezim Lama (Ancien Regime). Salah satu posisi yang paling umum diasumsikan bahwa semua penyakit masyarakat akan berakhir segera setelah sistem pemerintahan berdasarkan kesetaraan absolut di antara semua komponennya terbentuk .

Gagasan komunisme purba, dan dalam banyak hal diktator, ini menjadi pedoman prinsip dari “Konspirasi Kesetaraan/Conspiracy of Equals” yang berkembang pada 1796 untuk menumbangkan Direktorat Prancis yang berkuasa. Dalam Manifesto of the Equals (1795), Sylvain Maréchal berpendapat bahwa “karena semua memiliki kemampuan dan keinginan yang sama”, maka harus ada “pendidikan (dan) makanan atau nutrisi yang sama” untuk semua. ‘Mengapa,’ dia bertanya, ‘bukankah porsi dan kualitas makanan yang sama cukup untuk masing-masing sesuai dengan keinginan mereka?’ Tokoh terkemuka dalam konspirasi 1796, François-Noel Babeuf, berpendapat bahwa penerapan ‘prinsip besar kesetaraan akan sangat memperluas ‘lingkaran kemanusiaan (circle of humanity)’ sehingga ‘batas-batas,  hambatan-hambatan budaya dan pemerintahan yang jahat ‘akan secara bertahap menghilang’.

Visi masyarakat yang didasarkan pada kesetaraan ekonomi yang ketat (strict economic equality) muncul kembali dalam tulisan komunis Prancis pada periode setelah Revolusi Juli 1830. Dalam The Voyage to Icaria (1840), sebuah manifesto politik yang ditulis dalam bentuk novel, Étienne Cabet menggambarkan model komunitas  di mana tidak akan ada lagi ‘harta benda, uang, atau jual beli’, dan manusia akan ‘setara dalam segala hal’. Di ‘tanah perjanjian kedua’ ini, hukum akan mengatur hampir setiap aspek kehidupan: ‘setiap rumah (memiliki) empat lantai’ dan ‘semua orang (akan) berpakaian dengan cara yang sama’.

Hubungan kesetaraan yang ketat juga dirancang sebelumnya dalam karya Théodore Dézamy. Dalam Community Code (1842), ia berbicara tentang dunia yang ‘terbagi menjadi komune, sederajat, teratur, dan sedapat mungkin bersatu’, di mana akan ada ‘dapur tunggal’ dan ‘satu asrama bersama’ untuk semua anak. Seluruh warga negara akan hidup sebagai ‘keluarga dalam satu rumah tangga tunggal’.

Pandangan serupa dengan yang beredar di Prancis juga berakar di Jerman. Dalam Humanity As It Is and As It Should Be (1838), Wilhelm Weitling meramalkan bahwa penghapusan kepemilikan pribadi (private property) akan secara otomatis mengakhiri egoisme, yang secara sederhana ia anggap sebagai penyebab utama dari semua masalah sosial. Di matanya, ‘komunitas barang’ akan menjadi ‘sarana untuk penebusan umat manusia, mentransformasi bumi menjadi surga’ dan dengan  segera membawa ‘kelimpahan tiada tara’.

Semua pemikir yang memproyeksikan visi seperti itu jatuh ke dalam kesalahan ganda yang sama: mereka menerima begitu saja bahwa adopsi model sosial baru berdasarkan kesetaraan yang ketat bisa menjadi solusi untuk semua masalah masyarakat; dan mereka meyakinkan diri mereka sendiri, bertentangan dengan semua hukum ekonomi, bahwa semua yang diperlukan untuk mencapainya adalah pemaksaan langkah-langkah tertentu dari atas, yang pengaruhnya nanti tidak akan berubah oleh perkembangan ekonomi.

Bersamaan dengan ideologi egaliter yang naif ini, berdasarkan pada jaminan bahwa semua kesenjangan sosial di antara manusia dapat dihilangkan dengan mudah, terdapat keyakinan lain yang juga tersebar luas di antara para sosialis awal itu: banyak yang percaya bahwa merancang sistem organisasi sosial yang lebih baik untuk mengubah dunia cukup dilakukan secara teoritik. Oleh karena itu banyak proyek reformasi diuraikan secara terperinci, menjabarkan tesis-tesis para penulisnya untuk restrukturisasi masyarakat. Prioritasnya, di mata mereka, adalah untuk menemukan formulasi yang benar, yang, setelah ditemukan, warga kemudian akan bersedia menerimanya sebagai hal yang masuk akal dan secara bertahap diterapkan dalam kenyataan.

Saint-Simon adalah salah satu dari mereka yang berpegang teguh pada keyakinan ini. Pada tahun 1819, ia menulis dalam majalah  berkala The Organizer: ‘Sistem lama akan berhenti beroperasi ketika ide-ide tentang cara mengganti institusi yang ada dengan yang lain (…) telah diklarifikasi, dikumpulkan dan diharmonisasi secara memadai, dan ketika mereka telah disetujui oleh pendapat publik.’ Namun, pandangan Saint-Simon tentang masyarakat masa depan adalah  mengejutkan, dan persuasif, dalam ketidakjelasannya. Dalam New Christianity yang belum selesai (1824), ia menyatakan bahwa ‘penyakit politik pada zaman (nya)’ – yang menyebabkan ‘penderitaan bagi semua pekerja yang bermanfaat bagi masyarakat’ dan memungkinkan ‘penguasa untuk menyerap sebagian besar upah orang miskin’ – tergantung pada ‘perasaan egoisme’. Karena ini telah menjadi ‘dominan di semua kelas dan semua individu’, ia memandang ke depan akan lahirnya organisasi sosial baru berdasarkan satu prinsip panduan: ‘semua orang harus berperilaku satu sama lain sebagai saudara’.

Fourier menyatakan bahwa keberadaan manusia didasarkan pada hukum-hukum universal, yang, setelah diaktifkan, akan menjamin kegembiraan dan kesenangan di atas muka bumi. Dalam bukunya Theory of the Four Movements (1808), tanpa ragu itu mengatakan apa yang disebutnya sebagai “penemuan paling penting di antara semua karya ilmiah yang dilakukan sejak keberadaan umat manusia”. Fourier menentang para pendukung ‘sistem komersial’ dan menyatakan bahwa masyarakat akan bebas hanya ketika semua komponennya dapat kembali mengekspresikan hasrat mereka. Kesalahan utama rezim politik di masanya adalah merepresi sifat manusia.

Bersamaan dengan egaliterisme radikal dan pencarian model sosial terbaik, elemen terakhir yang umum bagi banyak sosialis awal adalah dedikasi mereka untuk mempromosikan kelahiran komunitas alternatif skala kecil. Bagi sesiapa yang mengorganisir mereka, pembebasan komune-komune ini dari ketidaksetaraan ekonomi yang terjadi saat itu akan memberikan dorongan yang menentukan bagi penyebaran prinsip-prinsip sosialis dan membuatnya lebih mudah untuk berdebat tentang apa yang mereka sukai.

Dalam The New Industrial and Societal World (1829), Fourier membayangkan struktur komunitas baru di mana desa akan ‘diganti dengan areal industrial yang masing-masing terdiri dari sekitar 1800 orang’. Masing-masing individu akan hidup dalam areal tersebut, yaitu di gedung-gedung besar dengan area komunal dimana mereka dapat menikmati semua layanan yang mereka butuhkan. Menurut metode yang ditemukan Fourier ini, manusia akan ‘berayun dari kesenangan ke kesenangan dan menghindari ekses-ekses buruknya’; mereka akan memiliki masa kerja singkat, ‘paling banyak dua jam’, sehingga masing-masing akan mampu mengerjakan ‘tujuh hingga delapan jenis pekerjaan yang menarik selama hari itu ’.

Pencarian cara-cara pengorganisasian masyarakat yang lebih baik juga mendorong Owen, yang, selama hidupnya, membangun eksperimen penting dalam koperasi pekerja. Pertama di New Lanark, Skotlandia dari 1800 hingga 1825, kemudian di New Harmony, Amerika Serikat, dari 1826 hingga 1828, dimana ia mencoba menunjukkan dalam praktik nyata bagaimana mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil. Namun, dalam The Book of the New Moral World (1836-1844), Owen mengusulkan pembagian masyarakat ke dalam delapan kelas, dimana kelas terakhir ‘akan terdiri dari mereka yang berusia empat puluh hingga enam puluh tahun’, yakni mereka yang memiliki ‘keputusan akhir’.  Apa yang Owen bayangkan, agak naif, adalah bahwa dalam sistem gerontokratis ini setiap orang akan dapat dan mau mengambil peran mereka dalam tata kelola masyarakat ‘tanpa persaingan, pemerintahan masyarakat yang adil dan terbagi penuh’.

Pada tahun 1849, Cabet juga mendirikan koloni di Amerika Serikat, tepatnya di Nauvoo, Illinois. Tetapi sikap otoritarianismenya kemudian menimbulkan banyak konflik internal. Dalam undang-undang ‘Konstitusi Icarian’, ia mengusulkan, sebagai syarat bagi lahirnya masyarakat, bahwa, ‘guna meningkatkan semua prospek kesuksesan’, ia harus ditunjuk ‘Direktur tunggal dan absolut untuk jangka waktu sepuluh tahun, dengan kekuatan untuk menjalankannya berdasarkan doktrin dan gagasannya ‘.


IV. Eksperimen-eksperimen yang Tidak Memadai

Eksperimen-eksperimen kaum sosialis awal – apakah phalansteries yang dirancang dengan penuh cinta atau koperasi sporadis atau koloni komunis eksentrik – terbukti sangat tidak memadai sehingga penerapannya pada skala yang lebih luas tidak dapat dipertimbangkan secara serius. Mereka melibatkan sejumlah pekerja kasar dan seringkali dengan partisipasi kolektif yang sangat terbatas dalam pembuatan kebijakan. Selain itu, banyak dari kaum revolusioner (yang non-Inggris, khususnya) yang mengabdikan dirinya pada pembangunan komunitas semacam itu tidak memahami perubahan mendasar dalam produksi yang terjadi pada zamannya. Banyak dari sosialis awal ini gagal melihat hubungan antara perkembangan kapitalisme dan potensi kemajuan sosial bagi kelas pekerja. Bahwa kemajuan sosial itu tergantung pada kapasitas buruh untuk mengambil kekayaan yang mereka hasilkan dalam corak produksi baru.***


Marcello Musto (1976) adalah Professor bidang Teori Sosiologi di York University (Toronto), Kanada. Ia telah menulis banyak buku dan artikel yang diterbitkan di lebih dari 20 bahasa. Di antaranya ia mengedit beberapa volume seperti Karl Marx’s ‘Grundrisse’: Foundations of the Critique of Political Economy 150 Years Later (Routledge, 2008); Marx for Today (Routledge, 2012); Workers Unite!: The International 150 Years Later (Bloomsbury, 2014). Ia juga menulis buku Another Marx: Early Manuscripts to the International (Bloomsbury, 2018) dan The Last Marx (1881-1883): An Intellectual Biography (forthcoming 2019). Tulisan-tulisannya tersedia di www.marcellomusto.org. Buku terbarunya dalam bahasa Indonesia berjudul, Marx Yang Lain, akan diterbitkan dalam waktu dekat oleh penerbit Marjin Kiri.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.