Ilustrasi oleh Deadnauval. Karya-karyanya dapat dijumpai di instagram.com/deadnauval/
SETIAP muslim pasti melaksanakan salat. Lima kali sehari–ditambah salat-salat sunnah dan nafilah. Salat adalah ‘tiang’ agama (imaaduddiin), sebut sebuah hadis. Semua ulama sepakat bahwa salat adalah salah satu rukun Islam yang paling penting, setelah mengucapkan dua kalimah syahadat.
Hikmah salat dijelaskan dalam dalam Al-Qur’an Surah Al-Ankabut ayat 45, yang berbunyi: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Apakah yang dimaksud dengan perbuatan keji dan mungkar itu? Dalam satu catatan tafsir, Profesor Quraish Shihab mendefinisikan dua perbuatan ini sebagai berikut:
“Kekejian atau fahsya adalah sesuatu yang buruk dalam pandangan agama, akal, dan budaya. Sebagai contoh, ada perbuatan yang dalam pandangan agama tidak buruk, tetapi buruk dalam pandangan budaya, seperti bila anak kecil mengonsumsi minuman keras. Dalam agama, bila anak tersebut belum memahami perbuatannya, hal itu tidak akan menjadi dosa. Akan tetapi, pastinya hal itu buruk dalam masyarakat.
Dengan kata lain, kemungkaran adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh masyarakat walaupun dalam agama ditoleransi sebab agama memerintahkan manusia untuk memelihara budaya yang baik (ma’ruf).”
Dalam definisi itu, kekejian (fahsya)adalah sesuatu yang buruk baik dari sisi agama maupun masyarakat; sementara kemungkaran adalah sesuatu yang buruk dari sisi masyarakat meskipun–dalam titik tertentu–ditoleransi oleh agama.
Baca juga: Memfungsikan Masjid sebagai Pusat Ibadah Sosial
Tapi tak semua orang yang mendirikan salat dapat terhindar dari dua perbuatan itu. Dalam Surah Al-Ma’un, Allah berfirman, “celakalah orang-orang yang salat!” Orang-orang ini memang salat, tapi pada saat yang sama melakukan tiga hal sehingga celaka.
Pertama, yang salatnya lalai.
Ibnu Katsir, seorang pemilik dan ulama yang lahir pada 1302 di Suriah, mengutip sebuah hadis ketika menafsirkan ayat ini. Itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang munafik. Dia duduk menunggu matahari; dan manakala matahari telah berada di antara kedua tanduk setan (yakni akan tenggelam), maka bangkitlah ia (untuk salat) dan mematuk (salat dengan cepat) sebanyak empat kali, tanpa menyebut Allah di dalamnya melainkan hanya sedikit.
Kedua, yang berbuat riya’.
Mereka yang celaka adalah yang salat dengan maksud menampakkan kepada orang banyak. Salat dalam konteks ini tidak lain ditujukan sebagai ‘penanda diri’, yang kini banyak mengambil bentuk ritual.
Ketiga, yang enggan memberikan pertolongan kepada sesama.
Mereka yang celaka karena salat enggan membantu orang-orang tertindas. Dalam konteks yang lebih luas, mereka salat dan taat beribadah namun gagal memperhatikan konteks lingkungan sosial. Ayat ini juga terkait dengan fenomena orang-orang yang salat tetapi melakukan hal-hal yang menindas orang lain. Dengan kata lain, tetap berbuat keji dan mungkar, secara langsung atau tidak.
Apa yang terjadi kemudian, seperti saat ini, adalah paradoks: di satu sisi masyarakat semakin religius dalam ibadah mahdhah–yang segala bentuk, cara, waktu, atau kadarnya telah ditetapkan Allah dan Rasul seperti salat–tapi di sisi lain semakin intoleran, cepat marah, tidak peduli dengan ketimpangan sosial, atau tetap merusak lingkungan.
Baca juga: Bencana dan Maksiat
Satu contoh paradoks itu terjadi beberapa waktu lalu, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bandung menerbitkan fatwa untuk mensterilkan masjid yang menjadi tempat pengungsian korban penggusuran proyek rumah deret di Tamansari, Bandung. Roy Murtadho mencatat cacat-cacat hukum dan teologis dari fatwa semacam ini beberapa pekan silam: bahwa sebetulnya pengusiran itu bahkan mengingkari hakikat berdirinya masjid itu sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai prasarana ibadah mahdhah, tetapi juga sebagai media mu’amalah–ibadah yang bersifat sosial atau antar manusia.
Padahal, benderang dalam Al-Ankabut ayat 45 maupun Al-Ma’un ayat 4-7 disebutkan bahwa ibadah mahdhah dan aktivitas sosial mesti terkait satu sama lain. Hal ini konsisten dengan ayat Allah di banyak bagian lain dalam Al-Qur’an, yang menyandingkan antara iman dan amal saleh.
Ketika kita beribadah, kita mesti mawas diri tentang aktivitas sosial kita. Bahwa ketika kita beribadah, bukan berarti otomatis Allah meridai aktivitas kita. Apa yang kita lakukan di luar salat akan sangat menentukan keridaan Allah terhadap ibadah kita.
***
Di tulisan sebelumnya, saya mengambil refleksi yang kritis terhadap ‘bencana’ dan ‘maksiat’. Yang dimaksud dengan kemaksiatan yang mengundang bencana bukanlah kemaksiatan yang terkait dengan ‘moralitas’, tetapi justru kemaksiatan karena kita menindas orang lain atau merusak alam dalam aktivitas-aktivitas sosial kita.
Hal ini terkait dengan asumsi bahwa ibadah-ibadah mahdhah (secara otomatis) akan menghindarkan kita dari bencana. Padahal, jika kita beribadah tetapi justru meneruskan perbuatan yang menimbulkan mudarat, secara langsung, personal maupun struktural, kita justru berkontribusi terhadap bencana yang mungkin saja akan datang.
Inilah yang kerap kita lupakan dalam tiap ibadah. Aktivitas kita dalam beragama tidak melulu soal berapa banyak dahi kita menyentuh sajadah dalam sehari, tetapi seberapa bermakna tindakan kita selepas beribadah terhadap keadilan sosial. Derajat kesalehan dalam beribadah akan ditentukan dari sikap kita terhadap kerusakan-kerusakan alam yang, sedikit banyaknya, disebabkan oleh kita sendiri.
Singkatnya, salat seharusnya turut pula mengantarkan kita untuk berbuat adil kepada semua makhluk di muka bumi.
Ketaatan justru akan menghadirkan mudarat jika ia tidak dibarengi dengan sikap, misalnya, memberi upah pekerja secara adil, menjaga kelestarian alam saat berbisnis, atau turut berkontribusi mencegah kekerasan seksual terjadi.
Sikap-siap demikian tidak lain merupakan implikasi struktural dari ketaatan kita kepada Allah.
Pada titik inilah ‘salat’ perlu dimaknai secara struktural. Kesalehan individual hanya akan bermakna jika itu mendorong tatanan masyarakat yang adil dan egaliter, sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam banyak ayat di Al-Qur’an.
Dengan demikian, refleksi kritis kita terhadap ibadah menjadi perlu, dengan catatan bukan berarti kita kemudian meninggalkan ibadah sama sekali. Yang perlu dilakukan adalah memaknai kesalehan tersebut terhadap struktur dan tatanan sosial saat ini. Sudahkah kita memaknai keadilan dalam lingkup hubungan pekerja dan atasan? Sudahkah kita memaknai keadilan dalam lingkup hubungan pemerintah dan warga negara? Atau hal-hal lain yang, bisa jadi, penting untuk kita refleksikan di awal tahun 2020 ini.
Akhirul kalam, saya ingin menutup tulisan ini dengan sedikit refleksi: ketika kita salat, lalu berbuat kekerasan (bahkan atas nama agama sekalipun), korupsi, menyalahkan pekerja yang demonstrasi menuntut hak, mengusir pengungsi yang bernaung di masjid, merusak lingkungan, memutus tali silaturahmi karena masalah pribadi, maka fungsi salat telah gagal bagi diri kita sendiri–yaitu untuk menghindarkan perilaku keji dan mungkar.
Wallahu a’lam bish shawwab.***
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia