Eka Trisusanti Toding (tengah). Kredit foto: Palopo Pos-Fajar
Eka Trisusanti Toding, yang dituduh menodai agama Islam, punya masalah kesehatan mental
TUJUH minggu sebelum putusan Eka Trisusanti Toding – sebelas November 2019 – sebuah surat pemberitahuan sakit dikeluarkan oleh Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Kelas II A Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Dalam surat, terang tertulis jika Eka Toding sering berbicara sendiri, sering melamun, mudah marah, sulit tidur pada malam hari, dan menarik diri dari lingkungan sosial.
Surat itu serupa jawaban atas keyakinan Yunus Toding, ayah Eka, kalau anaknya punya masalah kesehatan mental. “Saya yakin dari rekam jejaknya mulai kecil sampai sekaranglah,” jawabnya ketika saya tanyai kondisi mental anak ketiganya itu. Anaknya telah dituduh melakukan penodaan agama.
Eka Trisusanti Toding dipenjarakan dengan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dikenal mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia. Eka dilaporkan oleh kader FPI (Front Pembela Islam) Kota Palopo, Rahman Paliling, pada pertengahan bulan Juli 2019. Pasalnya Eka meneruskan sebuah video dari akun Youtube Christian Prince: pengakuan mengejutkan imam Australia tentang Islam, dan menambahkan sebuah keterangan seperti yang ditonton: “Muhammad adalah orang munafik, Nabi lapar seks, jihad meledakkan diri sendiri untuk mendapatkan 72 bidadari, Muhammad kencing sambil berdiri ke binatang, Aisyah istri Muhammad adalah seorang teroris.. .”
Dari tangkapan layar yang dikumpulkan oleh pelapor, Eka mulai meneruskan video Christian Prince ke Facebooknya pada 2 Juli 2019. Ada dua postingan, yang pertama dia menuliskan, ”Christian Prince mengungkapkan jika Islam agama seksual, dimana cara berdoa umat muslim tidak tercatat di quran namun diadopsi dari penyembahan batu bentuk vagina…” Kedua, dia menuliskan “Christian Prince: menyatakan dalam videonya kalau Muhammad itu hanyalah Nabi palsu yanag ajarannya hanyalah berupa tiruan…”
Lantas postingan Eka menuai respon. Ada yang sekadar mengompor-ngompori sampai mengancam akan memolisikannya.
Karena postingan itu ramai diperbincangkan, akhirnya di Sabtu malam 13 Juli 2019, Bripka Jacky Jenifeer Galela, Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) Kelurahan Luminda, Kecamatan Wara Utara datang menemui Eka di rumahnya.
Yunus Toding, tak mengira kedatangan sang polisi. Mengetahui maksud kedatangannya, ia segera memanggil Eka turun dari kamar. Di ruang tamu hanya ada empat orang termasuk Githa Vera (28), adik perempuan Eka. Mereka mencoba membujuk Eka untuk menghapus postingannya.
Vera menceritakan kalau Jacky sendiri sudah melihat gelagat aneh dari kakaknya, yang keras kepala dan merasa benar. “Eka stop moko ada yang lain dari kau,” kata Vera menirukan Jacky. “Dia (Eka) hapus malamnya, dia posting lagi paginya,” lanjutnya.
Pada malam yang sama, di seberang sungai Lapender yang membatasi kelurahan Luminda – Masjid Agung, Rahman Paliling menginisiasi sebuah pertemuan dengan 10 jemaah masjid Agung yang tergabung dalam kelompok Abu Sayyaf, di salah satu sudut rindang kanan masjid. Tempat mereka sering berkumpul sekadar main catur atau bercengkrama sembari minum kopi di siang hari.
Di malam konsolidasi itu, Rahman memantau Facebook Eka dengan telepon genggamnya. Siapa tahu ada unggahan yang baru, namun yang ditunggu-tunggunya tidak ada. Sementara diskusi berlangsung, tetiba ada yang mengusulkan untuk mendatangi rumah Eka malam itu juga. Bahkan ada yang dengan emosional mengatakan “kita bakar saja!” Karena cukup dituakan, Rahman bisa meredam emosi kawan-kawannya. “Kalau kita ke sebelah rame-rame, pasti kita ribut.” Sehingga mereka bersepakat untuk melaporkan Eka ke Kapolres besoknya.
***
Di pagi penangkapan, 14 Juli 2019, dua orang polisi datang ke rumah Eka Trisusanti Toding. Mereka mengendarai motor. Eka yang baru saja bersiap-siap ke gereja, tak menyangka polisi datang menangkapnya pagi itu. Sebelum polisi datang, ia masih sempat membentak Ayahnya. “Mentong kita (kamu) Pak, dasar orang tua kurang ajarki, orang tua iblis, kita kasi takut-takutka mauka ditangkap,” Vera menirukan.
Sementara itu, selepas jam duabelas siang, Rahman bersama 30 orang kelompok Abu Sayyaf berkumpul di Masjid Agung. Mereka baru mau ke Polres. “Kita-kita yang sering nongkrong di sini,” kata Rahman. Sampai di sana, mereka heran karena orang yang hendak dilaporkan sudah berada di ruangan dan tengah disidik.
Rahman dan kawan-kawan datang dengan dalih bahwa Eka telah melanggar Pasal 156a KUHP, Undang-undang Penodaan Agama. Tapi mereka tak tahu secara pasti apakah undang-undang itu ada. Polisi lalu menerjemahkan tuntutan pelapor dengan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 45A ayat 2 Jo Pasal 28 ayat 2 nomor 19 Tahun 2016, pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45 a ayat 2 UU nomor 19 2016, dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.
Rahman bertanya ke penyidik, tapi lebih tepat meyakinkan dirinya, apakah benar tidak ada pasal yang mengatur khusus soal penodaan agama? “Tidak ada bahasa penistaan agama di situ,” Rahman menirukan jawaban penyidik. “Saya kurang tahu juga apa maksudnya,” lanjutnya.
Kasat Reskrim Polres Palopo, AKP Ardy Yusuf mengatakan, karena Eka mengunggah sebuah ujaran kebencian melalui media media makanya dia dipidanakan dengan UU ITE. “Ketersinggungan masalah agama itu yang kita tindak lanjuti. Itu sudah menyebar tapikan awalnya dari Facebooknya Eka sendiri.”
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Palopo, Amri Kurniawan menjelaskan, salah satu segmen yang bisa dijadikan materi pelaporan di UU ITE termasuk tentang penodaan agama. “Kata-kata yang dilemparkan, kata-kata yang dibuat bersinggungan dengan agama.”
Tiga hari setelah Eka ditahan dengan UU ITE, Yunus Toding mengajukan surat permohonan pemeriksaan kesehatan. Vera menceritakan kalau permohonan itu juga dimasukkan atas saran dari penyidik. Tapi entah kenapa permohonan keluarga Eka tidak diindahkan.
Kalau alasan dari Kasat Reskrim Polres Palopo, ia masih menganggap Eka normal. “Komunikasinya masih bagus,” kata Ardy Yusuf. Di ruangan yang berbeda, Ardyanto Randa Bunga (penyidik pembantu) beralasan kalau Eka sendiri yang tidak mau diperiksa dan mengaku sehat.
Sementara Vera, adik Eka, dengan tegas mengatakan, “Eka tidak mau. Siapa yang (mau) mengaku dirinya gila.” Dan dari pengakuan Eka sendiri, kalau ada yang secara sengaja meneruskan postingannya ke sebuah grup sehinggan jadi viral.
Pengakuan Eka di atas berbeda dari yang disampaikan pihak penyidik. Mereka mengelak, “tidak, tidak ada yang teruskan ke OLX Palopo. Yang kami dapatkan dia cuma tulis status di akunnya sendiri dan banyak netizen yang baca di situ,” jawab Ardyanto Randa Bunga. “Tidak diteruskan bos, dia tulis sendiri tidak ada yang teruskan,” tekannya lagi.
Sedangkan beberapa hasil tangkapan layar, akun Reany Bebwhitec misalnya, meneruskan postingan Eka dan beberapa fotonya ke group OLX KOTA PALOPO serta mengomentari dengan seruan akan melaporkannya ke polisi. Pula Rahman Paliling sendiri meneruskan postingan Eka ke Group Facebook Luwu Raya Info dan menanyakan apakah unggahan Eka tergolong “penodaan agama” dan “penyebar hoax” dan undang-undang apa yang digunakan untuk memidanakannya.
Duduk perkara inilah yang sempat dipermasalahkan oleh hakim di persidangan kedua Eka. Siapa yang sebenarnya menyebarkan? Menurut Yunus Toding, pihak pelapor pun gelagapan saat ditanyai karena mereka sendiri tidak membaca langsung secara utuh unggahan anaknya.
***
Air muka sedih Yunus Toding semakin kentara, matanya memerah – berkaca-kaca. Mencoba tegar ia menatap jauh dan kosong. Putih lampu tumpah di pipi, menggelapkan sisi mukanya yang lain. Yunus mengingat bahwa di usia anak-anak kelas tiga sekolah dasar, Eka pernah digigit Anjing. Ia mencurigai anaknya terinfeksi rabies.
Alfonso (51), tetangga Eka, juga mengatakan setelah kejadian Eka digigit anjing, ia merasa ada perubahan pada tingkahlaku Eka. “Itu semenjak dia selesai digigit anjing memang sudah mulai-mulai begitu (aneh-aneh), cuma pakai celana tidak pake baju.” Sikap keras kepala Eka juga sudah mulai Alfonso rasakan sedari kecil.
Yang paling diingat Bapaknya, juga Alfonso, ketika Eka sedang hamil di usia SMA. Antara kelas satu atau dua. Ia bersekolah di tempat bapaknya mengajar, SMAN 2 Palopo. Dalam keadaan hamil, dia biasa berteriak – keliling lorong, “eee Mama… Bapak… kapan saya mau dikasi kawin ini sudah besarmi kandunganku,” ingat Alfonso menirukan teriakan Eka waktu itu. Kalau sudah begitu, Alfonso mencoba menegur, tapi Eka tak mengindahkan sama sekali dan terus berteriak seperti tadi.
Eka sampai berhenti bersekolah. Ia menikah dan dikarunia satu anak perempuan. Hanya dua tahun pernikahan mereka bertahan. Yunus kemudian menawari Eka untuk melanjutkan sekolah ke SMA Tri Dharma MKGR – sekarang SMAN 6 Palopo. Ia tamat di sekolah itu. Tak lama ia kembali dekat dengan seorang laki-laki dan tinggal serumah dengannya. Mereka tidak menikah dan memiliki satu orang anak laki-laki.
Melihat situasi ini, Ayahnya mengambil keputusan untuk membawa Eka ke Toraja dan menguliahkannya di sana. Eka Toding masuk Universitas Kristen Indonesia (UKI) Toraja di jurusan Bahasa Inggris. Selesai dari situ, Eka melanjutkan studi masternya di Universitas Negeri Makassar sampai tamat.
Karena Eka lulusan UNM, banyak yang mengira dia seorang guru. Sementara Bapak dan Adiknya, Vera, mengatakan kalau Eka tidak pernah mengajar di sekolah-sekolah. Mereka berdua cuma menceritakan, kalau tawaran menjadi guru pernah ada, malahan Eka pernah diajak ke Kalimantan untuk mengajar tapi ternyata dia ditipu ketika sudah menyeberang ke sana.
Pernah Eka bertengkar dengan pemilik indekosnya saat berkuliah di UNM. Ia menuduh pemilik kos itu mencuri pakaian dalamnya. Yunus Toding sampai dibikin pusing. “Kalau dia marah sembarang apa nabilang. Kayak Bu Pendeta dulu nah, Ibu Manginte na maki-maki juga. Tidak pilih dia bilang agama apa ini,” kata Yunus Toding.
Dalam artikel National Alliance on Mental Illness di websitenya menjelaskan jika penyakit mental adalah suatu kondisi yang memengaruhi pemikiran, perasaan, atau suasana hati seseorang. Kondisi seperti itu dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain.
Gejala itu bisa kita lihat dari Eka melalui pertengkaran tadi, dan juga ketika Eka bertengkar dengan salah satu narapidana sekamarnya.
Saidul Bahri, Kepala Keamanan Lapas sejak 2017, memperlihatkan sebuah surat dengan tulisan tangan yang sulit dibaca. Isinya tentang permintaan maaf dari teman se-kamar Eka atas pertengkaran yang melibatkannya. Saidul menilai penyebab pertengkaran itu dipicu karena Eka Toding dirasa kurang bergaul dengan narapidana lain. Ia tertutup, jarang berinteraksi dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
“Saya bilang sama dia dimana kita berada harus bisa menyesuaikan,” ujar Saidul.
Vera tak menampik soal itu karena memang dua saudaranya yang lain, termasuk dirinya, sulit mengakrabkan diri dengan Eka. Ayahnya ikut membenarkan kalau sikap anaknya yang tidak pandai bersosialisasi itu. “Kalau IQ-nya toh memang pintar ini Eka, tapi kalau intelegensi sosialnya (tidak),” kata Yunus.
Selain itu, suasana hati yang berubah-ubah, kadang marah lalu tiba-tiba senang menjadi satu gejala dari kondisi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Begitulah, Eka pernah melempari mamanya helm. Pernah juga piring. “Itumi saya bilang satu kelurahan Luminda di sini baru kau (Eka) yang maki-maki orang tuamu,” aku Yunus.
Dari balik kamarnya kadang terdengar suara Eka berpidato berbahasa Inggris, namun kadang berubah tangis sesenggukan setelahnya. Lalu tiba-tiba tertawa. Persis seperti yang diceritakan Titania Pradita Toding, anak pertamanya, yang kini sudah kelas dua SMP. Di satu malam, ia mendapati mamanya bangun dan tertawa sendiri.
M. Sahid, seorang psikolog yang bertugas di RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Sawerigading Kota Palopo, pernah bertemu langsung dengan Eka. “Saya ketemu sudah lama, lima tahun yang lalu,” alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta itu mengatakan.
Dia diajak oleh keluarga Eka yang kebetulan sekantor dengannya. Berdua mereka datang. Hari itu Sahid tak mengeluarkan “perkakas” tes mentalnya. Khawatir jika Eka menolak bertemu. Setelah pertemuan Sahid membuat penilaian – bukan diagnosa, tapi lebih kepada hasil pembacaan terhadap gestur dan ekspresi Eka. “Ada depresi yang tersamarkan,” simpulnya. “Dari luar, orang tidak akan langsung tahu kalau dia depresi.”
Penyebab lain dalam laporan National Alliance on Mental Illness menyebutkan jika genetika, lingkungan, dan gaya hidup memengaruhi perkembangan kesehatan mental seseorang. Faktor genetika atau biologis ini bisa disebut sebagai gangguan mental organik. “Gen itu ada tapi kalau tidak dipicu oleh lingkungan kadang engga muncul,” terang Sahid.
Yunus menceritakan hal ihwal tentang saudara-saudara Ayahnya (kakek Eka) yang menderita disabilitas mental. Mereka tinggal di Keluarahan Batu Papan, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Empat dari enam saudara Kakek Eka adalah ODGJ. Keempatnya pernah dipasung dan satu di antara mereka ada yang pernah masuk Rumah Sakit Jiwa. Semuanya sudah meninggal bahkan ada yang dalam keadaan terpasung.
Yunus menduga anaknya termasuk ODGJ, “karena saya yang tahu persis riwayatnya toh.” Kemudian ia menyeka keringat di badannya dengan baju yang tadi dikenakan. Kulitnya putih, perutnya buncit, usianya kini 58 tahun. Lengan kanan dirajah gambar kalajengking dan bunga mawar lengkap dengan tangkainya di dada kiri. “Jadi cuma itu yang saya sesalkan pada polisi, kenapa dia tidak layani kita untuk tes psikiater?”
Sementara itu bagi Rahman Paliling, Eka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum. “Pokoknya masalah ini harus diselesaikan dengan baik sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena masalah ini sangat menyakiti sekali, menyakiti umat Islam Palopo dan umat Islam seluruh dunia,” kata Rahman Paliling.
***
Rahman Paliling, lelaki keturunan Toraja yang lahir di Palopo tahun 1983. Tak sedikit keluarganya beragama kristen, dari ibu – yang seorang mualaf. Agustus 2003, bersama 12 orang lainnya dari Palopo, ia menyeberang ke Magetan, Jawa Timur. Dari Magetan ia ke Kerincing, Secang, Kabupaten Magelang. Tujuannya adalah Pondok Pesantren (Ponpes) Sirojul Mukhlasin II, sebuah ponpes yang menganut paham sama dengan Nahdlatul Ulama, mengusung Islam Nusantara.
Akhir 2004, sekitar 50 Santri, termasuk Rahman, dipindahkan ke Pondok Pesantren Al Muttaqien di Ancol, Jakarta, yang adalah cabang dari Ponpes Sirojul Mukhlasin. Dari situ ia pindah lagi ke cabang Ponpes Ashabu Shuffah di Bogor. “Saya selesai di Bogor. Di bawah lereng Gunung Salak yang ada waktu Sukhoi jatuh,” terang Rahman. Di situlah ia belajar agama selama empat tahun.
Sekembalinya di Palopo tahun 2009, Rahman jadi Imam Masjid Al-Barakah Terminal Palopo. Bersama kawan-kawannya dari Masjid Agung Palopo, ia membentuk perkumpulan dengan nama Abu Sayyaf – seperti nama kelompok separatis di Filipina.
Bagi Rahman nama itu tak masalah. Ia juga tahu kalau Abu Sayyaf adalah nama kelompok teroris. “Siapa pun dia kalau sudah bersyahadat maka itu adalah saudara saya. Kalau memang dia melakukan hal-hal yang tidak diajarkan agama, maka itu adalah privat dia, bukan ajaran agama.” Selain Abu Sayyaf, Rahman juga aktif di FPI Luwu Raya cabang Kota Palopo. Ia termasuk kader aktif dan berpengaruh.
Pada Jumat, 19 Juli lalu, Rahman mengoordinir kawan-kawannya untuk beramai-ramai menemui Kapolres Palopo di kantornya selepas Jumatan. Mereka mau memastikan perkembangan kasus Eka. Perkiraan Rahman, ada sekitar 100-an orang hadir. Sebelumnya mereka berniat demonstrasi tapi rencana itu tak dijalankan lantaran malamnya, rumah KH Yabani, ulama Masjid Agung, didatangi polisi, yang minta agar aksi itu dibatalkan.
“Bahkan kita sudah saling kontek sama teman-teman Ormas. Sudah ada yang siapkan spanduk mau inikan tapi nda jadi,” cerita Rahman.
Ada tiga penekanan jamaah. Pertama, mereka minta kejelasan sejauh mana penanganan proses hukumnya. Kedua, mereka minta Kapolres agar Jamaah Masjid diijinkan melihat tersangka dalam sel tahanan sebagai bukti bahwa tersangka benar-benar ditahan. Ketiga, mereka minta agar masyarakat diberi pemahaman pentingnya “menjaga toleransi umat beragama.”
Sementara 180,1 kilometer dari Palopo, di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Ketua FPI Luwu Raya, Abdul Rauf Dewang melaporkan Sekretaris DPD Perindo, Hendrikus Mangguali, ke Polres Luwu Timur di Kecamatan Malili. Hendrikus membuat postingan melalui grup Facebook Suara Rakyat Luwu Timur. Ia menuliskan: Ada dua kejahatan yang tak berprikemanusiaan yang terjadi di Mako Brimob… Dan ciri khas mereka selalu mengumandangkan takbir Allah Maha Besar.
Ia dilaporkan tahun 2018. “Kalau saya tidak salah ingat sekitar bulan empat atau enam,” kata Saiful, salah satu kader FPI Luwu Timur yang tinggal di Kota Palopo. Saiful menceritakan kalau berkas laporannya pernah mandek setahun lebih di penyidik. Baru setelah mereka melakukan desakan, kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Persidangan perdana sudah dilakukan tanggal 19 November 2019.
“Untuk kasus di Malili, Lutim, ini kami akan terus kawal,” tegas Rahman Paliling.
Kedua kasus penodaan agama di atas, pelapornya datang dari latar belakang yang sama. Sama-sama anggota FPI. Laporannya menjadi laporan yang pertama untuk kasus penodaan agama di Palopo, juga Luwu Timur.
Kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jadi satu momentum besar untuk menumbunhkan keberanian mengkriminalisasi orang dengan pasal penodaan agama. Juga dampak Pemilihan Presiden yang membuat segregasi dan kebencian antar kelompok semakin melebar dan meluas. Wujud nyatanya terlihat ketika pendapat yang berbeda terhadap agama direspon dengan memolisikan.
“Kita sudah mau tenang-tenang habis Pilpres ini muncul lagi masalah ini, kita harus laporkan, ini bahaya,” kata Rahman. “Bahkan ada yang mengatakan nyawa taruhannya kalau agama yang sudah di nista toh, makanya, saya bilang ini bahaya,” tegasnya.
***
Hampir dua bulan berlalu sejak penahanan Eka Trisusanti Toding. Jam sepuluh pagi di tanggal 3 September, saya berangkat dari rumah Yunus Toding menuju Lapas. Mamanya menitipkan gado-gado. Sudah seminggu ia berada di Poliklinik. Dipindahkan dari blok yang berada disatu bangunan yang terbagi atas tiga kamar. Eka berada di kamar Satu.
Setelah melewati prosedur penggeledahan dan penitipan barang, saya dan Yunus masuk, diarahkan ke kiri oleh petugas yang menunggu di depan pintu. Poliklinik berada di ujung jalan itu. Eka duduk di ranjang pesakitan sudut ruangan. Memakai masker, mengenakan jaket rajut warna kuning, nampak kurus tak bersemangat. Mata coklatnya menyiratkan kegamangan; menyimpan banyak beban.
Namun saat saya mulai bertanya, ia menjawab tak terhentikan dengan sorot mata datar. Awalnya Eka berbisik, lama-lama suaranya meninggi. Sementara itu ayahnya yang duduk berhadapan dengan Eka mulai gelisah. Takut kalau ada penjaga yang melihat saya mewawancarai Eka dan langsung menyetopnya, “cukupmi mungkin di’?” tanya Yunus pada saya. Tak saya hiraukan dan terus mendengarkan Eka dengan takzim.
“Saya difitnah” dan “ada yang mencuri postingan saya”,kata Eka berulang kali. Bahkan setelah kami pindah ke aula, ia masih menekankan dua kata itu. Sementara Yunus masih saja jengkel melihat anaknya yang tak hirau untuk memelankan suara. Justru Eka yakin betul dengan perkataannya jika ia tak bersalah. “Saya terpaksa aja tanda tangan itu BAP,” ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa hasil tangkapan layar yang beredar itu tidak utuh. Ada kalimat diakhir unggahannya yang tidak tersampaikan.“Nonton dulu di Youtube, jadilah orang yang cerdas,” ingat Eka, seperti kalimat akhir dalam postingannya yang dipermasalahkan itu.
***
Merujuk Laporan Tahunan SAFEnet di 2018, terdapat 25 kasus pemidanaan dengan menggunakan pasal karet UU ITE. Berdasarkan pasal hukum yang dituduhkan, kriminalisasi pengguna internet paling banyak menggunakan pasal pencemaran nama baik atau defamasi, sebanyak 16 laporan. Disusul pasal kebencian, 5 pelaporan.
Data Mahkamah Agung yang dikutip dalam laporan SAFEnet menemukan lebih banyak lagi kasus pemidanaan dengan UU ITE. Tercatat ada sebanyak 292 putusan kasus pidana khusus ITE, jumlah ini meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan dengan jumlah putusan di 2017, sebanyak 140 kasus. Meski begitu trennya sama dengan SAFEnet, paling populer pasal pencemaran disusul pasal kebencian. Penodaan agama dalam UU ITE masuk dalam kategori pasal kebencian. Ujaran kebencian.
Masih adanya upaya pemidanaan dengan UU ITE menunjukkan bahwa hak kebebasan berekspresi warga Indonesia di internet belum sepenuhnya terlindungi. Padahal PBB sudah mengeluarkan Resolusi No. 20/8 Tahun 2012 bahwa perlindungan atas kebebasan berekspresi mempunyai perlindungan yang sama, baik dalam aktivitas daring (dalam jaringan) maupun luring (luar jaringan).
Dalam pemberitaan mengenai kasus penodaan agama, Eka Toding termasuk salah satu yang memiliki catatan psikologis. Selain itu ada Suzethe Margaret yang menderita skizofrenia. Dan Aisyah Tusalamah, yang meyakini dirinya sebagai reinkarnasi dari “Ratu Laut Selatan” juga mengalami disabilitas mental. Ketiganya tak bisa lolos dari pasal karet itu.
Namun kasus Abdul Somad seperti ada pengecualian. Tak ada hingar bingar dan desakan atas ceramahnya yang dianggap melakukan penodaan agama. Berbeda dengan kasus Ahok.
Dalam laporannya, Setara Institute menuliskan bahwa mayoritas proses hukum dengan menggunakan pasal penodaan agama, 156a didasari atas tekanan massa (trial by mob). Dari 97 kasus (1965-2017), sebanyak 62 kasus diproses akibat tekanan massa, termasuk kasus Ahok. Bergulir dengan cepat dan mendapat tekanan sungguh dahsyat – ribuan umat muslim berdemo di lapangan Monumen Nasional (Monas) Jakarta dan berjilid-jilid, belum lagi demonstrasi di daerah-daerah. Sehingga Ahok harus menjalani hukuman dua tahun penjara. Laporan ini juga menyatakan, jika tidak ada satu kasus pun dengan tekanan massa yang mendapat vonis bebas ditingkat pengadilan negeri.
Menurut koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (kontras), Yati Andriyani di CNN Indonesia (dalam artikel berjudul: Kontras Sebut Bebasnya Ahok Momentum Hapus Pasal 156a), bebasnya Ahok, harusnya jadi momen untuk kembali mendesak dihapusnya pasal penodaan agama itu. Yati menerangkan, kalau pasal penodaan agama tidak memiliki penjelasan kualifiaksi sebuah penistaan agama dan parameter yang jelas. Sehingga tafsir sangat subjektif dan rentan digunakan untuk mengkriminalisasi orang.
Sudah ada yang pernah membawa pasal 156a untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi, tapi selalu ditolak. Sementara korban dari pasal ini selalu bertambah.
Peniliti senior Human Rights Watch (HRW) di Indonesia, Andreas Harsono, dalam salah satu laporannya, juga mengusulkan kepada pemerintah untuk mencabut pasal tersebut. Alasannya, pasal itu mudah disalahgunakan.
Pada 11 November, Eka Toding pun divonis lima bulan penjara. Empat hari sebelumnya, pelapor sempat mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Palopo untuk melakukan dialog dengan Jaksa Penuntut Umum. Pertemuannya alot, karena pihak pelapor tidak menerima kalau tuntutan terdakwa akan diringankan.
Mereka kemudian berencana melakukan aksi di depan Pengadilan Negeri Palopo saat pembacaan vonis. Tapi rencana itu urung terlaksana karena sebelumnya, Imam FPI Sulawesi Selatan, Habib Faizal Bin Zen Al Habsyi, menyampaikan untuk menerima saja apapun keputusan pengadilan.
“Seandainya kami tdak mendengar nasehat Sang Habib, mugkin kasus ini akan terus kami panaskan,” jawab Rahman melalui Whatsapp, seminggu setelah vonis Eka Toding. ***