Kredit gambar: Kompas.com
AKSI massa yang dilakukan pada periode September hingga Oktober 2019 silam, merupakan gerakan massa yang tereskalasi hampir di seluruh Indonesia. Berbagai gerakan rakyat yang berkumandang nyaris dalam kurun waktu sama tersebut, memperoleh atensi cukup besar dari masyarakat luas. Masyarakat di berbagai kota di Indonesia, termasuk diantaranya Bandung, Jakarta, Bali, Semarang, Malang, Makassar, Balikpapan, dan Yogyakarta, berbondong-bondong turun ke jalan untuk memprotes berbagai kebijakan pemerintah dan kondisi carut marut politik Indonesia: Perundang-undangan— mulai dari RKUHP, UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU Minerba yang bermasalah, kebakaran hutan dan lahan gambut, represi aparat terhadap aktivis demokrasi, dan berbagai isu lintas sektor lainnya yang mengakumulasi kemarahan publik. Aksi massa yang terjadi sepanjang September hingga Oktober lalu ini, bahkan, disebut-sebut sebagai aksi massa terbesar pasca Reformasi 1998.
Dalam tulisan ini, saya ingin sedikit mengkritisi (atau merefleksikan) keberlanjutan dari gerakan massa yang terjadi di Yogyakarta, atau lebih dikenal dengan Gejayan Memanggil. Aksi massa yang pertama kali dilaksanakan pada tanggal 23 September 2019 silam, memperoleh atensi cukup besar dari masyarakat luas pada saat itu. Dalam momentum aksi massa tersebut, front perjuangan yang menamakan dirinya Aliansi Rakyat Bergerak, menggugat pemerintah melalui tujuh tuntutan, diantaranya pendesakan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU Pertanahan, mendesak dilakukannya revisi terhadap UU KPK yang dilihat sebagai upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, serta mendorong penyelesaian permasalahan kerusakan lingkungan akibat pembangunan dan represi terhadap aktivis di Indonesia—salah satunya kawan-kawan aktivis demokrasi di Papua.
Di Yogyakarta sendiri, puncak eskalasi gerakan massa terjadi pada 30 September 2019, beberapa hari berselang usai aksi massa di berbagai kota di Indonesia yang mendapatkan represi dari pemerintah (lewat tangan kepolisian dan militer). Sementara, Dhandy Laksono (pendiri WatchDoC) dan Ananda Badudu (eks wartawan Tempo dan musisi), ditetapkan sebagai tersangka hanya karena cuitan mereka di media sosial— Dhandy mencuit tentang peristiwa di Jayapura dan Wamena, sementara Ananda diperiksa karena melakukan penggalangan dana lewat kanal twitter guna mendukung gerakan rakyat di Indonesia. Sebagian masyarakat daring, alias netizen, marah. Selain itu, berbagai aksi massa di Indonesia yang direpresi oleh pemerintah, kemudian semakin menyulut kemarahan publik.
Berbagai peristiwa yang terjadi belakangan waktu itulah, kemudian menggiring massa kembali turun ke jalan, salah satunya di Yogyakarta, melalui Aksi Gejayan Memanggil jilid dua yang diselenggarakan pada 30 September 2019, satu minggu pasca aksi massa pertama dilaksanakan. Dalam momentum aksi yang masih melibatkan massa dalam jumlah besar tersebut, tuntutan yang mulanya berjumlah tujuh bertambah menjadi sembilan tuntutan, termasuk didalamnya gugatan mengenai RUU lain yang bermasalah seperti RUU Minerba dan UU Budidaya Pertanian. Selain itu, massa juga menggugat pemerintah terkait impunitas atau ketidakmampuan pemerintah menindaklanjuti pelanggar HAM untuk mempertangungjawabkan tindakan mereka, sekaligus menuntut keadilan dan penegakan demokrasi di Papua.
Saya mengibaratkan aksi massa yang terjadi pada 23 September hingga 30 September silam, khususnya yang terjadi di Yogyakarta, sebagai puncak orgasme kemarahan publik yang terakumulasi, membuncah dalam dua kali momentum aksi massa. Namun sebetulnya, jika berusaha menelisik lebih lanjut, luapan kemarahan tersebut barangkali merupakan kesadaran massa yang sifatnya spontan. Gerakan massa yang pada saat itu meluas, menjelma klimaks dari pergumulan emosi, terkumpul melalui amarah-amarah publik yang selama ini menggumpal. Isu-isu politik baik di tataran formal (elektoral) maupun sehari-hari (everyday politics), saling tumpang tindih dan bikin sebal. Bisa jadi, berbagai kemarahan tersebut hanya bisa tersalurkan melalui sambat-sambat dan rutukan yang mengantagoniskan pemerintah di sosial media. Makanya, tatkala ada kanal untuk meluapkan amarah yang membuncah— yakni melalui aksi massa, masyarakat merasa perlu untuk meluapkan kemarahan dengan berdemonstrasi dan turun ke jalan.
Demonstrasi besar yang terjadi saat itu muncul seperti orgasme hebat: sekali dua kali membuncah, tetapi setelahnya adalah antiklimaks, yakni ketika semua orang kembali ke pergelutan sehari-harinya sebagai masyarakat berwatak industrial—berkuliah, bekerja mencari pundi-pundi nafkah, atau kembali menyatroni aktivitas harian yang tidak lagi multisektoral; alias, perjuangan tidak lagi terkonsolidasikan dalam satu front perjuangan. Watak massa spontanitas memang demikian, biasanya secara jumlah tereskalasi dengan sangat cepat, tetapi lekas pula lesap. Peranan jalan sebagai ruang publik saat itu seolah sebatas menjadi cara untuk meluapkan emosi sesaat, yang kemudian lesap tanpa ada keberlanjutan, seolah-olah satu kali aksi massa adalah satu kali masa orgasme terhadap luapan kemarahan yang tak bisa lagi terulang. Padahal, hingga saat ini saja, banyak permasalahan yang masih pelik untuk dibicarakan: sebut saja berbagai problema agenda pembangunan, konflik agraria, militerisme, dan permasalahan lain yang daftarnya masih panjang. Kesadaran massa yang cair, terburai dalam gerak yang tidak lagi terkonsolidasi dalam satu front perjuangan. Padahal, tentu saja masih sangat perlu untuk membaca situasi, mengkritisi, dan mengonsolidasikan perjuangan secara lebih meluas dan multisektoral. Maka dari itu, kesadaran politik terhadap keberlanjutan dari tuntutan gerakan massa yang belum secara dalam mengakar sebagai problema, perlu dikritisi.
Saya jadi merefleksikan gerakan massa Gejayan Memanggil dengan apa yang pernah dijabarkan oleh oleh Lenin mengenai gerakan spontan. Dalam babak dua bukunya yang berjudul “What is To Be Done” (1902), Lenin membicarakan kesadaran spontan massa yang pada saat itu, konteksnya adalah mengkritisi kesadaran buruh pabrik sekira tahun 1890-an di Rusia. Di masa tersebut, pergerakan buruh menunjukkan kecenderungan meluas, tetapi menurut Lenin, kesadaran untuk bergerak tersebut masih dalam bentuk embrio. Kesadaran “embrionik” yang dimaksud Lenin dapat dilihat sebagai kesadaran awal yang belum matang, atau bisa dikatakan: belum purna revolusioner. Perlawanan rakyat nan spontan demikian, biasanya hanya bersifat sementara saja sebab kurang berlandas teori dan praktik yang membicarakan akar permasalahan, atau tidak punya kemampuan untuk mengartikulasikan secara tandas siapa musuh bersama yang sedang dilawan. Kesadaran massa yang bersifat spontan dan cair inilah, kemudian menciptakan gairah perlawanan yang membara di awalnya, tetapi kemudian lekas padam. Konsistensi gerakan massa menjadi sulit untuk dipertahankan.
Jika saya ingin sedikit sok tahu mencoba menginterpretasikan, kesadaran spontan ini sebetulnya penting untuk dipertajam melalui penyadaran kritis, untuk kemudian penguatan kesadaran terhadap gerakan massa, didiseminasikan secara meluas kepada berbagai elemen masyarakat. Banyak orang yang barangkali merasa terhubung dengan problema dan isu yang dibawa dalam aksi massa, tetapi mungkin saja belum memahami secara komperehensif akar permasalahan atau visi bersama yang dibawa dalam aksi massa. Kesadaran spontanitas yang demikian, menyebabkan gerakan rakyat kemudian sulit untuk dikonsolidasikan dalam satu ruang gerak yang konsisten. Maka dari itu, upaya untuk terus membaca isu dan situasi sosial politik, demi menjaga psikologi massa untuk terus berjuang, harus terus dibangun. Tentu saja, perjuangan ini tidak bisa hanya dilakukan sendirian, perlu kiranya untuk bersama-sama, secara sadar, mendialogkan permasalahan-permasalahan terkait sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang mengelilingi kehidupan sekitar kita sehari-hari, demi terus menajamkan perspektif gerakan, dan menjaga visi bersama untuk berjuang dan melawan kesewenang-wenangan negara, baik itu oleh pemerintah atau oligark. Ketika massa sudah terkonsolidasikan dalam satu front perjuangan, dengan demikian, tekanan gerakan rakyat terhadap pemerintah memiliki kans untuk memengaruhi sistem kebijakan
Maka, apa yang bisa dilakukan oleh gerakan massa untuk dapat memadatkan kesadaran massa agar mampu terkonsolidasi dalam satu front perjuangan? Satu hal yang saya coba refleksikan melalui catatan ini, barangkali kesadaran tersebut dapat ditajamkan dengan membangun literasi gerakan politik secara kritis dan konsisten; dengan membuka partisipasi publik lebih luas melalui berbagai cara. Ruang publik alternatif perlu dibuka dengan cair, dengan terus membangun diskusi dan literasi terkait permasalahan sosial politik yang berkelindan di sekitar kita. Radikalisasi gerakan rakyat, salah satunya bisa dilakukan dengan cara menajamkan perspektif dan kesadaran melalui pembahasan isu yang multisektoral, lewat obrolan di ruang-ruang temu yang tak mesti kaku—dalam segala bentuk celotehan, diskusi, panggung musik, atau nongkrong sembari minum kopi. Tanpa bermaksud meromantisasi masa lalu, mungkin menarik juga jika kita bisa merefleksikan ruang temu ini melalui apa yang pernah dilakukan di era kolonial dalam Openbare vergaderingen, yang pada masa itu menjadi ruang bagi sebagian besar rakyat untuk melakukan pertemuan di rumah-rumah, lapangan, kantor dan bioskop dengan pelbagai identitas (Subijanto 2014).
Meminjam pemahaman Jürgen Habermas mengenai ruang publik, bahwasannya setiap warga negara berhak memiliki akses mengusung opini publik. Upaya-upaya membangun ruang publik tersebut, bisa dilakukan tentunya ketika kita, secara bersama-sama dan sadar, terus membuka dialog secara meluas, yang mana, ruang dialog tersebut dibuka secara inklusif, dan terlepas sepenuhnya dari sekat-sekat negara, pasar, dan oligark (Hohendahl and Russian 1974). Selain terlepas dari sekat negara, penting juga untuk melepaskan sekat-sekat identitas (atau privilese) yang menubuh pada diri kita. Maka dari itu, entah ia mahasiswa, pelajar, buruh, petani, LSM, freelancer, seniman, penulis, penggerak sosial, pegiat start-up, anak event kampus, supir ojek daring, baby boomers, anak jalanan— pokoknya seluruh warga— tentu memiliki hak dan ruang yang setara untuk berbicara, mengemukakan pendapat dan kegelisahan sebagai warga negara, dalam ruang temu tersebut.
Ketika membicarakan konsistensi perjuangan gerakan, ia dapat pula dilakukan melalui bermacam koridor berjuang— membuka ruang temu warga, diskusi, pemutaran film, literasi sosial media, bedah buku—membuka berbagai ruang dialog politik, menyentuh berbagai elemen dan masyarakat, kemudian bersama-sama (seharusnya) berkonsolidasi untuk mengartikulasikan berbagai gagasan politik yang beresonansi dengan pengalaman hidup kita sehari-hari, demi mendorong perubahan-perubahan fundamental di tubuh birokrasi dan elite politik. Kemudian, setelah itu, ketika literasi terkait gerakan di tataran akar rumput sudah baik, sendirinya, aksi massa dan jalanan akan menjadi ruang inklusif untuk menyampaikan aspirasi publik secara luas. Sebab, gerakan massa yang penting adalah ketika ia mengonsolidasikan massa secara luas, dan mampu menyentuh kesadaran bagi seluruh lapisan masyarakat–mahasiswa, buruh tani, buruh, nelayan, pekerja kerah putih yang kerap dicap sebagai kelas menengah yang ignoran, hingga introvert, bahkan pasukan wibu, punya kesadaran kolektif terhadap hak-hak yang mesti diperjuangkan lewat aksi massa di jalanan.
Ketika keran dialog terus dibuka dari berbagai sisi, ruang publik menjadi ruang temu yang kritikal dan signifikan. Melalui kanal-kanal yang beragam inilah, literasi politik kritis dalam gerakan rakyat kemudian bisa terbentuk, dan pada gilirannya akan menciptakan kesadaran dan titik kesepamahaman bersama, bahwasannya kita mesti berdiri bersama-sama, bersolidaritas atas permasalahan yang dihadapi masyarakat, memperjuangkan hak-hak kolektif sebagai warga negara. Bicara soal bagaimana meningkatkan gerakan massa, berarti bicara tentang bagaimana kita perlu melakukan diseminasi informasi dan edukasi politik yang kemudian bisa diendapkan dalam diskusi di tataran politik sehari-hari, melalui berbagai koridor juang, baik itu diskusi, lokakarya, pendidikan, seni, budaya, dialog, musik, aksi massa, dan lain sebagainya.
Terakhir, saya ingin menutup catatan ini dengan refleksi, untuk terus membincangkan kegelisahan bersama terhadap apa yang terjadi di sekitar kita, membangun kesepahaman untuk bergerak memperjuangkan hak kita bersama sebagai warga negara. Panjang umur perjuangan (kolektif) rakyat!***
Eliesta Handitya, Mahasiswa Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.
Kepustakaan:
Hohendahl, Peter, and Patricia Russian. 1974. “Jürgen Habermas: “The Public Sphere” (1964).” New German Critique, No. 3 45-48.
Lenin, V. I. 1966. “What Is to Be Done?” In What Is to Be Done?, by V. I. Lenin, Essential Works of Lenin. New York: Bantam books.
Subijanto, Rianne. 2014. https://indoprogress.com/. April 5. Accessed 11 27, 2019. https://indoprogress.com/2014/04/ruang-publik-dulu-dan-sekarang/.