Illustrasi: Illustruth
PERSIAPAN paling moncor jadi pengusaha, kata seorang kenalan di Facebook, bukan berkuliah di sekolah bisnis mentereng. Universitas Prasetiya Mulya? School of Business and Management ITB? Keduanya tak menjamin masa depan bisnis Anda bila Anda tak punya relasi yang sumur koceknya tak ada dasarnya.
Persiapan paling moncor jadi pengusaha? Masuk Akademi Kepolisian atau Akademi Militer, ujar sang kenalan.
Maaf. Saya tidak mengiyakan banyolan kenalan saya itu. Saya tak mau terjerat produk hukum mulur-mengkeret kita yang berinisial UU ITE, apalagi lantaran objek penderitanya adalah institusi-institusi yang proksinya beredar di mana-mana di media sosial. Namun, saya mesti mengakui, lelucon ini menggelitik. Dan ia menggelitik karena masuk akal.
Ia menjadi masuk akal semudah kita melihat jejeran nama pendiri, direksi, komisaris sederet perusahaan basah di Indonesia. Beberapa nama akrab yang terjajar di sana, sebut saja: Luhut Binsar Panjaitan, Hendropriyono, Fachrul Razi. Apakah Prasetiya Mulya, SBM ITB, atau bahkan Harvard Business School menjamin Anda jadi pengambil keputusan dalam bisnis yang terlisensi tak akan rugi, ehem, batu bara, minyak bumi, sawit, bank, atau ritel yang sudah kadung di mana-mana?
Tidak bila Anda dari awal tidak disekolahkan oleh penggawa atau relasi penggawa di perusahaan-perusahaan semacam.
***
Bapak Haji Radiman pernah menjadi prajurit bantuan bina desa di beberapa kampung pedalaman Seram dan Papua. Kami cukup dekat. Kami adalah jodoh alami sedari awal. Ia getol bercerita tentang sejarah. Sebagai mahasiswa antropologi, saya otomatis adalah penyimak kisah-kisah sejarah kampung dan etnis yang saksama, sabar, dan penuh perhatian.
Suatu hari di rumah kepala kampung, Bapak Haji mendadak saja lebih blak-blakan. Ia dan kepala kampung tengah menggebu-gebu menggunjingkan betapa malasnya orang-orang setempat. Dengan aturan desa-desa Maluku yang menampik hak politik dan kepemilikan lahan “pendatang,” bahkan mereka yang sudah menetap sepanjang tiga generasi, persepsi ini wajar belaka dimiliki kampung pendatang.
“Raja-raja itu pemalas,” ujar Bapak Haji.
Ia lantas menceritakan bagaimana berandal koneksi dan pengaruhnya sebagai babinsa, ia melobi raja-raja agar masyarakat memperkenankan pendirian pabrik udang di Seram Utara. Ia memerantarai perusahaan agar bisa menjamu dan melunakkan hati mereka. Peristiwa ini terjadi pada medio 1990-an. Pabrik udang bersangkutan berhenti beroperasi tahun kemarin.
Hal semacam tidak asing di pelbagai kampung Indonesia. Masih di Seram, di kampung lain, seorang babinsa menggunakan relasinya untuk membuka kebun kopra di wilayah masyarakat yang pada waktu itu masih ditakuti karena reputasinya mengambil kepala. Kejadian ini mengambil tempat di 1970-an. Sebagai sosok yang disegani, sang babinsa tentu saja leluasa mau membuka kebun di tempat paling angker sekalipun. Orang-orang dari suku ditakuti tersebut, bahkan, membantunya.
Di kampung-kampung, hajatan menjadi lengkap hanya bila ia dihadiri oleh triumvirat pembesar kampung. Pertama, kepala kampung. Kedua, pemuka agama. Ketiga? Tebak saja: babinsa.
Pengaruh babinsa dipupuk oleh intrik dan dinamika politik Indonesia. Jabatan ini digagas pada awal 1960-an untuk menandingi pengaruh politik PKI di tingkatan desa. Ia membesar seiring Partai Golkar memanfaatkannya untuk menggerakkan warga agar memilihnya. Hingga kini, negara masih terus memakainya untuk memantau ancaman-ancaman—yang acap imajiner—atau membantu sosialisasi instruksi pemerintah.
Dampaknya adalah babinsa punya jaringan, daya mobilisasi yang bisa dikonversi menjadi modal bisnis atau politik sewaktu-waktu.
***
Bayangkan kini, bagaimana dengan petinggi-petinggi militer maupun polisi? Bagaimana dengan mereka yang posisinya jauh di atas babinsa dan relasi untuk diberdayakannya ada di nyaris setiap tempat?
Prabowo bertemu dengan Hercules sewaktu ia berdinas di Timor Timur dan Hercules menjadi Tenaga Bantuan Operasional. Relasi tersebut merupakan cikal bakal salah satu kendaraan politik penting Gerindra, Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu. Organisasi bentukan Hercules ini memiliki cabang di 30 provinsi dan 265 kabupaten dan 50.000 anggota pada awal 2010-an. Ia juga yang menghubungkan Prabowo dengan Asosiasi Kepala Desa yang memberikan Gerindra akses lebih jauh untuk menggalang dukungan politik di tingkat desa.
Oh iya, Fauka Noor Farid, yang ada di balik kerusuhan 22 Mei di depan Bawaslu dan membantu kampanye Gerindra sejak 2014 juga adalah anak buah Prabowo di masa silam. Dan dari portofolionya yang mentereng (pengalaman kerja, Tim Mawar), kerjanya tak mungkin jauh-jauh dari massa.
Jaringan yang dibangun Prabowo di masa aktifnya, memang, tak mengantarnya menjadi presiden. Tapi kini ia Menteri Pertahanan Anda.
Dan mengapa Anda melawan Wiranto dua kali dalam hidup Anda yang cuma sekali? Mengapa kekecewaan Jokowi dengan menteri dan bawahannya berujung ia menggantinya dengan purnawirawan-purnawirawan?
Saya serahkan hal tersebut kepada imajinasi Anda.
Sekolah bisnis bisa memberikan Anda teori. Akan tetapi, ia tidak memberikan Anda aset siap pakai, apalagi bila bisnis Anda bergerak di bidang-bidang yang mengharuskan konflik dikelola, lobi dilancarkan, masyarakat digerakkan dan keamanan dijaga.
Apalagi bila Anda ada di Indonesia, di mana sektor ekstraktif masih menjadi panglima ekonominya.
Jadi, Fachrul Razi sebenarnya bisa tenang sewaktu ia mulai mengeluhkan minimnya gaji pensiun tentara. Ia pasti akan terpakai. Dan faktanya, ia hari ini terpakai. Baik sebagai komisaris di sejumlah perusahaan basah maupun sebagai Menteri Agama. Tak seperti lulusan-lulusan bisnis dan manajemen kita.
***
Jadi jalur apakah yang paling moncer untuk mempersiapkan seseorang berbisnis? Tidak. Tidak dengan menjadi tentara atau polisi, saya perlu menegaskan, karena saya tak ingin diciduk.
Namun, tidak akan ada yang menampik bila saya bilang tak sedikit jenderal purnawirawan yang kian bercahaya selepas pensiunnya. Jabatan politik menanti mereka. Kursi komisaris tersedia di banyak tempat untuk mereka. Tak lupa, puja-puji BuzzerRp yang dulunya menghujat mereka pun terhatur bagi mereka. Semua selagi kita berjalan mundur—membatalkan pencapaian-pencapaian demokratisasi Indonesia.
Seruput kopi dulu.***
Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg