Kredit ilustrasi: www.hidayatullah.com
BELAKANGAN kita disuguhkan dengan perdebatan tentang radikalisme dan niqab. Konon, Menteri Agama berniat untuk melarang cadar dan celana cingkrang di Kementerian yang beliau pimpin, yang segera memicu kontroversi publik. Labelisasi “radikal” segera menjadi topik hangat. Batas-batas antara radikalisme, kekerasan, ekspresi beragama menjadi perdebatan karena kebijakan-kebijakan terkait meleburkan batas-batas kita sehingga menjadikan kita rentan untuk salah memahami ‘radikalisme’ dengan ekspresi keagamaan yang ketat, yang tidak melulu berujung pada legitimasi tindak-tindak kekerasan.
Apa yang bermasalah dari perdebatan ini? Saya tidak ingin masuk lebih dalam ke perdebatan soal radikalisme/kontra-terorisme yang sepertinya menjadi fokus utama kebijakan pemerintah saat ini. Yang ingin saya soroti adalah cara berpikir keagamaan seperti apa yang mendorong interpretasi keagamaan yang melahirkan pemahaman keagamaan seperti itu. Dalam Islam, ada banyak interpretasi tentang cara beragama. Islam punya dimensi yang sangat luas karena mencakup hal-hal yang terkait dengan Aqidah, Ibadah, Akhlaq, dan Muamalah Duniawiyat, juga derivasinya dalam kehidupan sehari-hari. Kecuali dalam ‘aqidah, ada banyak ragam penafsiran dan interpretasi keagamaan dalam Islam –terutama dalam hal-hal yang menyangkut muamalah duniawiyah. Kegagalan kita dalam memahami keragaman ini akan berujung pada kesalahpahaman dalam memahami orang-orang yang bercelana cingkrang, bercadar, bercelana pendek, ataupun berbaju kaos ketika shalat, karena semuanya punya justifikasi dalam sumber-sumber hukum Islam.
Hal ini mengantarkan kita pada pertanyaan: cara berpikir Islam seperti apa yang relevan untuk menjawab tantangan-tantangan di abad ke-21? Apakah kita cukup bicara tentang ‘Islam’ dalam kerangka berpikir tentang ‘radikalisme’ yang sempit? Seperti apa nalar yang dibangun Islam untuk menjawab dan memahami realitas sosial? Saya ingin mengajukan satu cara berpikir alternatif. Dalam Nalar Kritis Muslim Abad XXI (Surabaya: Saga, 2017), saya berargumen bahwa Islam punya cara berpikir kritis yang fondasinya dibangun dalam Al-Qur’an itu sendiri. Saya ingin memulainya dengan mendiskusikan satu cerita yang sering kita dengar dan kita ulang-ulang ketika pengajian, tapi luput kita ambil esensinya: cerita tentang cara Nabi Ibrahim dalam membangun pemahamannya tentang Tauhid.
***
Syahdan, Nabi Ibrahim adalah Nabi yang melakukan penjelajahan intelektual dan spiritual yang panjang, yang mengantarkannya pada konflik dengan rezim kekuasaan yang ada saat itu (disimbolisasi oleh Namrud). Beliau memulai dengan mula-mula bersikap skeptis dengan kepercayaan yang hegemonik masa itu: paganisme. Hal ini mengantarkan beliau pada perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang berorientasi pada penyembahan berhala, menjadikan beliau ditangkap dan dibakar hidup-hidup hingga terasing ke dunia luar. Ketika anak kedua beliau, Ismail, lahir, panggilan spiritual menjadikan beliau harus mengasingkan Ismail yang baru lahir dan ibunda Siti Hajar ke Mekkah. Lahirlah tradisi Haji dan Qurban yang tiap tahun kita rayakan.
Saya ingin memulai dengan cerita Nabi Ibrahim dalam membangun ‘nalar kritis’. Nabi Ibrahim membangun epistemologi Tauhidnya –atau yang akan saya sebut juga di sini sebagai ‘nalar kritis’—melalui sebuah proses dialektika. Cara Nabi Ibrahim berfilsafat, yang dipotret oleh Al-Qur’an, mengantarkan beliau pada kesimpulan mengenai Tauhid sebagai identitas. Dan dengan bangunan epistemologi tersebut, Nabi Ibrahim melakukan kritik pada praksis sosial serta menjadi pedoman bagi ummat setelahnya. Al-Qur’an memotret proses dialektika tersebut dalam Surah Al-An’am: 75-80, yang bisa kita baca sebagai berikut,
Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin (75) Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, ”Inilah Tuhanku”. Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, ”Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (76) Lalu, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, ”Inilah Tuhanku.” Tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, ”Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (77)
Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, ”Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi, ketika matahari terbenam, dia berkata, ”Wahai kaumku! Sungguh aku berlepas diri apa yang kamu persekutukan.” (78) Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (79)
Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, ”Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran? (80)
Wajar jika Ibrahim kemudian menjadi Bapak Para Nabi. Landasan tauhid diperoleh tidak secara doktriner, melainkan filosofis dan melalui cara berpikir yang jujur. Ada dua jalan kritik epistemologi yang dilakukan Ibrahim. Pertama, kritik atas cara berpikir masyarakat yang memandang tuhan pada basis material. Nabi Ibrahim melakukan penelusuran pada cara berpikir tersebut dengan melihat keadaan alam.
Pada waktu itu, simbolisasi tuhan melalui apa yang ada di alam menjadi cara berpikir common sense pada umat beliau. Beliau menelusuri Bulan, Bintang, dan Matahari dan mencoba mengidentifikasikannya sebagai tuhan. Akan tetapi, semuanya terbit dan tenggelam, tak mencerminkan sifat-sifat ketuhanan yang seharusnya menjadi pengayom. Pada titik inilah ia bertemu dengan Tauhid yang immaterial, tidak bersekutu pada apapun yang tampak, dan dengan demikian pasrah padanya.
Kedua, setelah Ibrahim mendekonstruksi cara berpikir mengenai tuhan, ia melakukan kritik atas praksis keberagaman kaumnya yang memberhalakan simbol sebagai Tuhan. “Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?“, kata Ibrahim. Secara revolusioner, praksisnya dapat kita lihat dalam sirah. Nabi Ibrahim memenggal patung-patung berhala tersebut dan menisbatkan kapaknya pada patung terbesar. Ketika itu, Nabi Ibrahim “membunuh” tuhan-tuhan material. Jauh sebelum Nietzsche, Ibrahim telah mendeklarasikan: “tuhan” telah mati!
Dan tentu saja, Ibrahim harus menghadapi kekuasaan yang menindasnya. Al-Qur’an Surah Al-Anbiya: 51-70 telah menjelaskannya secara gamblang. Sikap anti-intelektual yang ditopang oleh kekuasaan menyebabkan Ibrahim harus dibakar hidup-hidup. Dan lagi-lagi kepasrahannya pada Tauhid menyelamatkannya. Nabi Ibrahim telah melakukan revolusi ruh atas materi. “Agama” yang menjadi selubung ideologis dari kekuasaan harus dibongkar. Ini yang menjadi dasar Ibrahim melakukan kritik.
Kritik Ibrahim tersebut tentu bukan kritik yang nihilistik, mendekonstruksi semua tanpa menghasilkan apa-apa. Kritik Ibrahim disandarkan pada kebenaran Tauhid. “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan) nya” (Al-Anbiya: 51). Artinya, Tauhid menjadi landasan sentral dari seluruh aktivitas keberagamaan dalam Islam.
***
Islam pun tidak menganjurkan kita untuk bersikap taqlid buta. Al-Qur’an banyak memberi fondasi untuk melakukan kritik sosial terhadap realitas sosial yang tidak adil. Al-Qur’an Surah AT-Takatsur, misalnya, mengecam perilaku bermegah-megahan yang melalaikan manusia pada kewajiban ubudiyah maupun sosialnya. Surah Al-Ma’un, yang kemudian menjadi filosofi dasar KH Ahmad Dahlan untuk melakukan strategi kebudayaan dalam pengentasan kemiskinan melalui Muhammadiyah, juga mengecam praktik penelantaran terhadap anak yatim dan sikap tidak mau memberi makan fakir miskin sebagai “pendusta agama” (yukadzdzibu bid-diin). Pun banyak ayat lain yang mengecam berputarnya modal di kalangan terbatas serta kezaliman-kezaliman.
Dalam sirah, Nabi Muhammad jelas-jelas melakukan banyak kritik terhadap realitas sosial. Menurut Hassan Hanafi, Nabi Muhammad melakukan kritik atas kapitalisme Quraisy Mekkah yang secara hegemonik dan oligarkis mengatur jalannya pemerintahan kota. Kapitalisme Quraisy disokong oleh jejaring oligarki kebangsawanan yang ditentukan oleh qabilah-qabilah kota. Kritik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, pada masa kenabian, dilakukan sama dengan Nabi Ibrahim, yaitu kritik cara berpikir masyarakat Quraisy yang mendewakan materi sebagai berhala. Revolusi Tauhid Nabi Muhammad tentu mendapat resistensi, sebab keyakinan keagamaan tersebut dilindungi oleh struktur kekuasaan yang sangat kuat, dengan berbagai qabilah pendukung.
Dengan demikian, Islam sebenarnya telah mengajarkan elemen kritik sosial terhadap struktur sosial-politik yang ada. Hulunya satu, yaitu ketauhidan kepada Allah. Dan hal tersebut kemudian bermuara pada keadilan sosial. Al-Qur’an menganjurkan, “berlaku adillah, karena adil itu dekat dengan taqwa” (Al-Ma’idah: 8). Padahal, taqwa adalah derajat tertinggi bagi seorang pribadi muslim. Artinya, berlaku adil akan memberikan seseorang akses pada derajat tertinggi dalam Islam.
Secara praktis, Rasulullah mengajarkan keadilan dalam lingkup pemerintahan Kota Madinah yang beliau pimpin selama lebih dari 10 tahun. Beliau menentang perbudakan dan mempersaudarakan muahjirin dan anshar. Strata sosial kaum muslim menjadi setara dengan praksis ukhuwah yang dijalankan oleh Nabi Muhammad melalui strategi mempersaudarakan kaum muslim. Mengenai relasi buruh-majikan, misalnya, Rasulullah telah memerintahkan adanya egaliterisme ekonomi dan larangan mempekerjakan buruh di luar batas kemampuannya.. Kata Rasulullah dalam sebuah hadits,“Beri makanlah mereka dengan apa apa yang kamu makan, beri pakaian seperti apa yang kamu pakai, jangan bebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka”. Adanya rasa saling-bersaudara ini memupus ikatan buruh-majikan yang feodal, strukturatif, dan hierarkis. Jelas, ketika seorang sahabat bekerja pada sahabat lainnya, ia diperlakukan benar-benar seperti seorang saudara. Banyak sahabat yang kaya tetapi sangat dermawan karena masih merasa bersaudara dengan sahabat yang lain. Walaupun masih ada yang miskin, tetapi sistem zakat sebagai penjaga keadilan ekonomi memastikan ia masih dapat menikmati hak-hak sosial ekonomi sebagai warga Madinah.
Cara berpikir kritis tersebut, yang telah digariskan oleh Al-Qur’an tidak hanya membongkar kemapanan material, tetapi juga merekonstruksi tatanan kemanusiaan. Islam mengajarkan kita untuk kritis terhadap bentuk-bentuk penggunaan agama untuk tujuan politik jangka-pendek, serta untuk membangun cara beragama yang tidak hanya ikut-ikutan tapi juga ‘sadar’ dengan apa yang dilakukan. Islam mengajarkan kita untuk memahami dasar-dasar agama secara komprehensif, dan juga cara beragama yang ilmiah. Itulah sebabnya ulama –orang-orang yang memahami ilmu secara komprehensif dan mengajarkannya pada masyarakat—punya posisi yang sangat mulia dalam Islam.
Namun demikian, di era di mana informasi keagamaan beredar luas tanpa ada filter metodologis yang memadai, cara berpikir yang kritis menjadi langkah awal untuk memahami keagamaan secara proporsional dan ilmiah. Cara berpikir yang kritis dalam memahami agama adalah pintu gerbang untuk memahami agama secara lebih ‘ilmiah’, yang kemudian kita lakukan dengan menempuh pendidikan atau membaca secara lebih luas. Itulah sebabnya, Allah menyuruh kita untuk “membaca” dalam wahyu pertama yang diturunkan pada Baginda Nabi Muhammad.
Hari-hari ini, kita menghadapi era dimana perdebatan tentang ‘agama’ dilakukan secara luas tanpa ada verifikasi keilmuan secara proporsional. Akibatnya adalah dua titik ekstrem: yang satu ikut-ikutan dengan hanya melihat Islam sepotong-sepotong, dan yang satu lagi skeptis dengan cara ber-Islam tertentu karena dianggap ‘radikal’. Kita harus kritis dan proporsional terhadap keduanya. Dan pada titik inilah, kita mungkin bisa mengambil refleksi pada Al-Qur’an Surah Al-An’am: 80 berikut ini: “Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?”
Wallahu a’lam bish shawwab.***
*Beberapa bagian artikel ini muncul dalam Ahmad Rizky M. Umar, Nalar Kritis Muslim Abad 21. Surabaya: Saga, 2017.