SEBAGAI seorang dari tradisi Protestan,[1] saya sering mendengar, baik melalui khotbah maupun percakapan sehari-hari, bahwa tidak baik untuk melawan pemerintah. Atau dalam nada yang sedikit halus, mengkritisinya. Karena di dalam Alkitab dengan jelas mencatat bahwa pemerintah adalah hamba Allah (mis. Rm. 13:4). Bagaimanapun kondisi pemerintah, jangan dikritisi karena mereka telah berjuang keras untuk bekerja dan memberikan yang terbaik. Pasti ada kekurangan di sana-sini, itu hal yang manusiawi. “Coba kalau kita di posisi mereka, pasti merasakan kesulitan yang mereka alami, jadi jangan banyak kritik!” Mungkin perkataan seperti ini, karena saking seringnya, sudah menjadi makanan sehari-hari yang kita telan.
Bahkan, beberapa ayat Alkitab yang sering dipakai untuk melegitimasi ketundukan total, seperti:
“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7).
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (Rm. 13:1ff).
“Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik” (1Ptr. 2:13ff).
Ayat-ayat di atas dianggap menegaskan bahwa perlawanan terhadap penguasa dianggap sebagai kesalahan karena Alkitab sendiri menasihatkan untuk tunduk. Padahal, ketundukan total dengan menggunakan ayat-ayat tersebut yang patut dipertanyakan lebih jauh. Bagaimana jika penindasan dan ketidakadilan datangnya dari atas sana? Apakah kita hanya diam saja? Seakan-akan, kitab Nabi-nabi (Ibrani: Nebi’im) dalam Perjanjian Lama tidak menegaskan perlawanan terhadap penguasa yang tidak adil. Alkitab tidak dibaca secara penuh.
Para nabi (mis. Yeremia, Yesaya, Amos, Habakuk) dipanggil untuk menyuarakan pesan Allah kepada umat. Mereka tidak hanya berkutat pada lingkup religius tanpa menyentuh aspek sosial-politik. Buktinya, mereka melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa. Mereka bertindak dalam situasi sosial-politik yang gencar melancarkan praktik penindasan atas orang-orang miskin dan terpinggirkan. Mereka tidak hanya diam, termangu-mangu, dan menikmati fasilitas sebagai penggiat keagamaan, tetapi justru menyuarakan ketidakadilan di hadapan para penguasa!
“Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes. 58:6-7).
“Sampai-sampai pada bajumu terdapat darah orang-orang miskin yang tidak bersalah; bukan waktu mereka membongkar untuk mencuri kaudapati mereka! Meskipun semuanya itu demikian” (Yer. 2:34).
“Sebab itu, karena kamu menginjak-injak orang yang lemah dan mengambil pajak gandum dari padanya, sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya” (Am. 5:11).
Tergambar dari kesaksian para nabi, Allah yang mereka layani tidak absen dari kondisi sosial-politik Israel dan Yehuda pada masa itu. Allah dan keadilan saling terkait erat. Gustavo Gutierrez merefleksikan teks Yeremia 22:13-19 dan memberikan sub-judul pada salah satu bagian bukunya, sebagai “mengenal Allah adalah melakukan keadilan.” Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang mengaku bahwa ia mengasihi Allah, secara serentak harus ada keadilan dari sana!
Namun demikian, akibatnya, hidup mereka diambang kematian. Ambil salah satu contoh dari Yeremia:
“Lalu sesudah Yeremia selesai mengatakan segala apa yang diperintahkan TUHAN untuk dikatakan kepada seluruh rakyat itu, maka para imam, para nabi dan seluruh rakyat itu menangkap dia serta berkata: ‘Engkau harus mati!’” (Yer. 26:8).
Inilah konsekuensi menyuarakan keadilan dan membela mereka yang menjadi korban penghisapan para penguasa. Sayangnya, tindakan radikal para nabi seringkali tidak disampaikan dalam gerak kehidupan beragama kekinian. Sekarang lebih senang membicarakan kehidupan di surga nanti, dan lupa untuk menjejakkan kaki di bumi. Atau mungkin membuat aktivitas keagamaan yang hingar bingar dan melupakan solidaritas terhadap yang tertindas dan yang tidak mendapatkan ketidakadilan. Dan lupa untuk menyuarakan ketidakadilan yang terjadi yang tidak bisa dipungkiri juga disebabkan dari atas. Masalahnya, ketundukan tersebut salah dipahami. Karena itu, sikap umat Protestan terhadap pemerintah tidak bisa hanya diambil dari segelintir ayat saja, tanpa mempertimbangkan bagian-bagian lain yang tidak kalah pentingnya.
Saya tidak sendiri dalam menyikapi tentang kekeliruan ini. Sekitar tahun 1913/1914, Karl Barth, seorang “pendeta merah” dari tradisi Protestan, menyerukan, “Dalam pemahaman Kristen yang keliru tentang subordinasi, seseorang memandang superioritas majikan yang berdasarkan kepemilikan kapital menjadi suatu tatanan ilahi yang mana perlawanan terhadapnya dianggap sebagai ‘kemurkaan,’ ‘penggulingan,’ dll.”[2] Agama dipakai untuk menundukkan pemeluk-pemeluknya dalam suatu cengkeraman penindasan yang, sebenarnya, menghisap diri mereka sendiri. Gawatnya, itu dianggap sebagai kemahakuasaan Tuhan yang sudah mengatur segalanya. Secara tidak sadar (dan sadar, tentunya) jatuh dalam pemahaman fatalis semacam ini. Barth mengkritik konsep kekristenan yang menganggap bahwa jika tunduk secara total adalah pilihan yang tepat. Saya setuju dengan Barth di sini. Tapi apakah hanya umat Protestan secara umum yang tunduk secara total?
Sedikit berbeda dengan Barth (dia hanya menyebut “Kristen”), Ernst Bloch juga mengatakan hal senada, tapi menunjuk dengan tajam pada kalangan profesi tertentu, “Mereka [para rohaniwan], tentu saja, tidak diganggu tatkala para penindas menggunakan kekuasaan, apakah itu adalah intimidasi terus-menerus atau brutalitas yang bertopeng yang menghajar semua perlawanan dari bawah. Dalam contoh-contoh tersebut gas dan pistol yang disebut sebagai mempertahankan diri, dan perlawanan, bagaimanapun juga dijustifikasi, sebagai teror.”[3] Menurut Bloch, sikap eskapis dari realita sosial-politik juga dilakukan oleh para pemuka agama. Ketika yang tertindas bergulat dengan ketidakadilan, di mana kehadiran kaum yang katanya hidup mengabdi untuk melayani Allah? Suara Bloch patut dipertimbangkan oleh kaum Protestan untuk menyadari bahwa tidak bisa lagi hanya duduk dan diam melihat gejolak sosial-politik, apalagi tunduk secara buta terhadap penguasa.
Nampaknya, kalau boleh usul, saya menyarankan bagi para penggiat keagamaan untuk berdekatan dengan literatur yang menyuarakan perlawanan tentang ketidakadilan. Bacaan Barth dan Bloch sangat direkomendasikan. Setidaknya, supaya tidak lupa untuk menjejakkan salah satu kakinya di tanah. Dan juga tidak memahami ketundukan terhadap pemerintah secara buta. Tapi, tentu pembacaan yang lengkap terhadap Alkitab tidak boleh terlupakan, toh di sana juga dengan jelas mencatat kepada siapa keberpihakannya.
Berbicara tentang perlawanan, semestinya para rohaniwan belajar dari Pramoedya Ananta Toer. Salah satu karyanya yang terbaik, yakni Bumi Manusia patut dibaca dan dipelajari. Tidak mengherankan banyak orang memuji novel Pram ini. Kualitas sastranya diakui dunia internasional. Tapi yang menarik perhatian saya adalah novel ini berisi perlawanan atas ketidakadilan yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dengan berlatar belakang kehidupan di Hindia Belanda di awal 1900-an, Pram melukiskan jurang yang tajam antara pribumi, orang indo, dan orang kulit putih. Yang terakhir disebut menindas yang pertama. Yang kedua keenakan karena lebih baik jadi kebaratan-baratan ketimbang bersolidaritas dengan pribumi. Yang pertama disebut tidak punya kekuatan untuk melawan. Bagian yang menuntut saya untuk berpikir dalam adalah tatkala Nyai Ontosoroh dan Minke akan kehilangan segalanya, harta, rumah, perusahaan, dan Annelies Mellema. Mereka tahu akan kalah—nasib pribumi. Dan senyatanya, mereka memang kalah. Annelies pergi ke Belanda, harta mereka menjadi milik Maurits Mellema sebagai anak yang sah di mata hukum. Andaikata Nyai Ontosoroh dan Minke menyerah sebelum melawan, mereka tidak jauh beda dengan antek-antek kolonial yang melanggengkan kekuasaan.
Beginilah cuplikan percakapan mereka:
“Minke, kita akan melawan. Berani kau, Nak, Nyo?”
“Kita akan berlawan, Ma, bersama-sama.”
“Biarpun tanpa ahlihukum. Kita akan jadi Pribumi pertama yang melawan Pengadilan Putih, Nak, Nyo. Bukankah itu suatu kehormatan juga?”
Aku tak punya sesuatu pengertian bagaimana harus melawan, apa yang dilawan, siapa dan bagaimana. Aku tak tahu alat-alat apa sarananya. Biar begitu: Kita melawan!
“Berlawan, Mama, berlawan. Kita melawan.”[4]
Setelah melawan dan mendapatkan hasil yang sudah mereka duga, dengan perkataan yang menggetarkan hati, Nyai Ontosoroh mengatakan kepada Minke:
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”[5]
Yang dapat kita pelajari dari secuil karya Pram di atas adalah: perlawanan atas ketidakadilan! Meski tahu bahwa mereka tidak akan menang, setidaknya mereka tidak menyerah. Justru, dalam novel Pram ini, Nyai Ontosoroh dan Minke menjadi pribumi pertama yang melawan pengadilan Eropa.
Sebenarnya ada banyak pemikiran, seperti Pram, yang dapat menginspirasi kita untuk melawan ketidakadilan. Di sini umat beragama yang perlu paling banyak terpengaruh. Mengapa demikian? Jangan lupa tentang sejarah penindasan umat manusia, sedikit banyak, dilegitimasi oleh agama. Ketundukan total secara otomatis adalah ketundukan kepada Allah. Sekarang saatnya keluar dari penjara sempit semacam itu. Allah adalah adil. Bagaimana mungkin umat beragama (dan siapapun yang tergabung di dalamnya), yang katanya, menyembah, mengasihi, mengenal, dan melayani Allah yang adil, tapi di saat bersamaan membiarkan penindasan terjadi? Tatkala mendaku diri mengasihi Allah, seseorang harus mengejawantahkannya secara konkret, yakni keadilan. Untuk itu, umat Protestan, saat melihat ketidakadilan, jangan diam, tapi lawan!
Poin yang perlu digarisbawahi adalah perjuangan untuk melawan ketidakadilan yang dimotori oleh para rohaniwan. Kita tidak bisa naif dan berpikir bahwa pemerintah pasti memperjuangkan yang terbaik dan ketidakadilan merupakan sesuatu yang “sudah dari sananya”. Faktanya, ketidakadilan juga datang dari atas sana. Kalau begitu, apakah sikap yang diambil hanya diam saja? Ini adalah peran krusial dari para rohaniwan. Di satu sisi, mereka dapat melanggengkan ketidakadilan dengan mewajarkan hal tersebut. Namun di sisi lain, perlawanan dapat datang dari sana!
Di mana ada penindasan, di situ ada perlawanan, semoga.***
Yasuo T. Huang, Mahasiswa Sarjana Teologi di STT Amanat Agung, Jakarta; aktivis Kristen Hijau
—————–
[1] Saya menulis tulisan
ini dari perspektif Protestan.
[2] Friedrich-Wilhelm Marquardt, “First Report on Karl Barth’s ‘Socialist Speeches’” dalam Theological Audacities: Selected Essays, ed. Andreas Pangritz dan Paul S. Chung, Princeton Theological Monograph Series (Eugene: Pickwick, 2010), 111.
[3] Ernst Bloch, Atheism in Christianity: The Religion of the Exodus and the Kingdom,
[4] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2019), 494.
[5] Toer, Bumi Manusia, 535.