Kredit ilustrasi oleh Lawyers, Guns, and Money Blog
SAYA berani taruhan bahwa hampir sebagian besar dari Anda pernah merasakan yang namanya patah hati. Bagaimana rasanya? Pasti sulit dijelaskan dengan kata-kata, namun saya yakin Anda tak mungkin lupa rasanya. Mimpi dan harapan sekan tiba-tiba menjadi sirna, hari-hari tak berwarna dan sulit rasanya mengerjakan hal biasa yang sehari-hari dikerjakan. Patah hati sesungguhnya bukanlah organ tubuh liver atau hati yang patah, namun lebih merupakan suatu metafora untuk menjelaskan keadaan emosional yang dialami manusia ketika menghadapi tekanan yang disebabkan oleh kematian, putus cinta, atau kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.
Sepanjang catatan sejarah panjang umat manusia, patah hati seringkali jadi legenda. Tak hanya Cinta yang pernah patah hati dengan Rangga. Dalam sastra ditemukan kisah tentang Paris dan Helena dari Troya, Cleopatra dan Markus Antonius, Napoleon dan Josephine hingga Romeo dan Juliet. Lebih dari soal percintaan, dalam politik dan peperangan pun manusia mengalami kekecewaan. Dalam buku sejarah tercatat kekecewaan Alexander Agung beserta pasukannya yang kelelahan karena harus dipukul mundur dari India, Yoshitsune Minamoto yang pergi mengembara karena kecewa tak diakui oleh kakaknya sendiri Yoritomo Minamoto, Kartini yang tidak bisa meraih cita-citanya bersekolah di Negeri Belanda dan masih banyak kisah-kisah penuh kekecewaan serta patah hati lainnya lagi.
Dalam hal kekecewaan dan patah hati, Marx-Engels juga pernah merasakannya. Marx yang telah kehilangan empat orang buah hatinya, akhirnya juga kehilangan istri tercintanya, Jenny von Westphalen, yang mengidap kanker liver di senja usia. Engels pun pernah kecewa kepada Kerajaan Inggris karena melihat secara langsung buruknya keadaan sehari-hari kelas pekerja di sana kala itu. Mereka berdua konon merasa kecewa dan sedih ketika Komune Paris yang heroik itu dipatahkan dengan mudahnya. Dari sana saya berasumsi, bahwa patah hati itu kiranya suatu perasaan yang kemunculannya berpangkal dari proses penerimaan kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Sebagai manusia yang memiliki sisi emosional, membawa realita menjadi hal pribadi kiranya sangatlah manusiawi memiliki perasaan dan harapan. Demikian juga ketika kita di dalam kesulitan, tertindas dan menjadi korban ketidakadilan. Kemudian kita akan marah dan mengambil tindakan tertentu untuk melawan.
Hal ini yang hampir pasti kita amini, bahwa tak jarang dari kita yang memulai langkah awal pergerakannya melalui perasaan marah, sakit hati, kekecewaan atau bahkan karena harapan dan mimpi-mimpi. Melihat hal buruk yang menurut kita tidak adil dan tidak pantas ditimpakan kepada orang lain sering menjadi alasan utama mengapa akhirnya kita berada di dalam satu perahu perjuangan gerakan Kiri. Atas nama ketidakadilan ini dan ketidakadilan itu kita berjuang bersama. Ada benarnya kalimat yang konon diserukan oleh Che: Apabila kau bergetar dengan kemarahan pada setiap ketidakadilan, maka kau adalah kawanku.
Sikap tersebut bisa dikategorikan termasuk ke dalam suatu pandangan yang sering disebut humanisme. Yakni sebuah pemikiran kritis yang menekankan rasa perikemanusiaan, menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dan bercita-cita membangun kehidupan manusia yang lebih baik. Berawal dari rasa simpati kita akhirnya berempati. Lewat emosi, kita mengambil sikap untuk beraksi. Kita pun dikuatkan oleh satu kekuatan inti yang disebut moral. Meski sekilas terdengar mulia dan seirama dengan semangat perjuangan gerakan Kiri, tapi alangkah baiknya jika kita berhenti sejenak dan berpikir. Meski tidak sepenuhnya salah, namun jika kita evaluasi kembali, kita akan menemukan suatu kebuntuan berpikir dari humanisme dan bentuk-bentuk perasaan bermoral lainnya.
Pertama, baik dan buruk itu sifatnya relatif. Di sini, saya tidak sedang melontarkan suatu pernyataan posmodernis – jauh dari itu, saya sekedar ingin menunjukkan bahwa standar moralitas senantiasa dikonstruksikan oleh konteks sosial dan historis yang ada. Perlu kita luruskan kembali bahwa perasaan atau emosi manusia merupakan hasil dari mekanisme otak yang berkorespondensi dengan pancaindera, yang mana sebagian dari cara kerjanya dominan dipengaruhi oleh lingkungan alam serta latar belakang nilai-nilai historis kebudayaan tertentu. Sehingga, penilaian moral menggunakan ukuran perasaan menyoal baik dan buruknya sesuatu itu bentuknya tidak sama di seluruh belahan bumi. Tentu ada yang sifatnya universal, namun nilai baik atau buruk juga bergantung pada latar belakang historis dan kebudayaan suatu masyarakat tertentu.
Contohnya, saat berjumpa pengemis di jalan, sebagian orang akan merasa iba, sebagian lagi mungkin berlalu tidak peduli. Ketika kita memberikan uang, sebagian orang mungkin mendukung karena mewujudkan nilai kepedulian, sedangkan sebagian lainnya mungkin akan mencemooh kita karena memupuk sifat pemalas. Bagaimana kita menilai yang lebih baik dan mana yang tidak baik? Kira-kira apakah baik atau buruk memberikan uang kepada pengemis di jalan? Bagaimana mengukurnya? Perasaan kita belum tentu sama dengan perasaan orang lain. Melihat dunia hanya melalui kacamata moral, perasaan dan emosi saja akan menjebak kita berpikir hanya pada ranah baik atau buruk saja ketimbang berpikir soal kebenaran. Ini adalah sebentuk solipsisme, yang akan membawa kita ke dalam suatu keadaan yang tidak menentu.
Kedua, ketidakmenentuan cara berpikir kita yang berangkat dari moral tersebut cenderung memberi dampak yang cukup signifikan, khususnya bagi mereka yang merasa berjuang di sisi Kiri jalan. Karena, pada akhirnya hal tersebut membuat kita menjadi kesulitan untuk memastikan bahwa posisi kita benar dan menetapkan arah gerakan secara mantap. Inkonsistensi cara berpikir membuat kita kesulitan dalam memisahkan antara siapa kawan dan siapa lawan dan membuat kita cenderung terlalu menyederhanakan persoalan. Seperti apa contohnya? Misal, apabila kita mendasarkan gerakan perjuangan hanya dari moral baik dan buruk, seorang Kim Jong Un bisa saja membenarkan tindakannya mengembangkan senjata nuklir demi keselamatan rakyat Korea dari Amerika Serikat, begitu juga sebaliknya Donald Trump di sisi Amerika Serikat yang terus mempertahankan pengaruhnya di Korea Selatan demi kebaikan segenap penduduk di semenanjung Korea. Apakah itu bukanlah hal yang baik? Bisa jadi baik bagi Amerika Serikat namun belum tentu untuk Korea Utara, begitu pun sebaliknya.
Jika yang Adi Daya bisa dengan mudahnya beralasan sedemikian rupa, apalagi para pengusaha lokal dan tuan tanah yang terus berusaha memaksimalkan keuntungannya dengan mengeksploitasi kelas pekerja. Kita rakyat pekerja bisa saja protes kepada mereka, namun mereka pun bisa menampiknya dengan menyatakan bahwa mereka juga berusaha mempertahankan hidupnya demi kebaikan hidupnya, keluarganya, dan juga orang banyak. Itu sah-sah saja, karena kita semua sama-sama manusia yang hidup dari makan dan untuk makan kita mesti punya uang. Jika demikan, siapa yang kiranya dapat bertanggungjawab untuk suburnya kemiskinan? Siapa yang dapat kita salahkan untuk setiap kerusakan lingkungan? Dan untuk semua bentuk ketidakadilan? Apakah kepada para penguasa dan kapitalis kaya? Pada kenyataannya mereka semua hanya manusia yang bertahan hidup sama seperti kita. Lahir dari rahim ibu, makan nasi, minum es kelapa, bersekolah sampai sarjana, berkeluarga, bersembahyang kepada Tuhan, hingga dengan senang hati memberikan angpao kepada sanak saudara saat Lebaran dan hadiah saat Natal. Lalu di manakah letak keburukan mereka? Apa argumen pembelaan Anda soal perjuangan kelas pekerja yang selama ini Anda gembar-gemborkan jika dihadapkan pada situasi seperti itu? Silahkan direnungkan apabila kita mau melangkah lebih jauh dari batu pijakan moral serta perasaan.
Ketiga, kegalauan memposisikan diri akan membuat kita hanya mampu berkonsep soal masyarakat madani yang adil dan makmur tanpa memikirkan bagaimana bentuknya dan cara mewujudkan masyarakat tersebut. Ujung-ujungnya, kita jadi berpikir secara utopis mengenai suatu masyarakat di mana setiap orang bisa hidup bersama dengan harmonis tanpa menyenggol soal kelas sosial dan kepentingannya. Berangkat dari perasaan dan moral, akhirnya kita menyimpulkan bahwa sifat manusia dapat diubah menjadi lebih baik lewat keinginan untuk menjadi lebih baik. Perjuangan kelas seakan-akan menjadi tidak ada bedanya dengan kelas movitasi.
Anggap saja saya seorang CEO sebuah perusahaan multinasional. Ketika beribadah Minggu di gereja, saya mendengarkan khotbah pastor tentang Yesus yang rela mengorbankan diri-Nya disalib agar bisa bangkit dari kematian untuk membuktikan kuasa Allah. Saya pun pulang dengan hati berapi-api ingin segera berkorban untuk orang lain selagi memungkinkan. Esok paginya ketika duduk kembali di meja CEO, saya membaca berita di koran bahwa salah satu perusahaan pesaing meningkati peringkat lebih tinggi dan yang lainnya tertinggal di bawah perusahaan saya. Apakah kira-kira saya rela berbagi keuntungan dengan perusahaan pesaing yang ada di bawah saya? Apakah kiranya saya mau merelakan keuntungan direbut oleh pesaing di peringkat pertama? Tentu saja tidak. Karena bila saya berbagi, maka perhitungan keuangan perusahaan saya akan merugi. Karena jika saya kalah dari perusahaan lain, maka perusahaan saya pun ikut kalah dan akan berada dalam ambang kebangkrutan. Tentu saja saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sebab perusahaan ini adalah cara saya untuk mendapatkan makan dan tentunya banyak nyawa pekerja yang bergantung pada diri saya. Bagaimana dengan khotbah pastor kemarin? Boro-boro soal disalib, disalip yang lain saja kita tidak mau! Ah soal pesan khotbah itu bisa nanti, yang penting hari ini jangan sampai kita rugi!
Dari contoh-contoh ini, kita bisa melihat bahwa mengubah manusia atau seorang individu tidaklah semudah kelihatannya. Jargon-jargon dan ceramah moral saja kiranya tidak akan cukup. Sebab setiap individu selalu terikat hubungannya dengan orang lain yang terkondisikan di dalam kumpulan relasi yang kita sebut masyarakat. Sehingga nampaknya akan sedikit sia-sia memperbaiki individu tanpa ikut memperbaiki masyarakatnya. CEO akan menjadi umat Katolik ketika berlutut di gereja dan akan tetap menjadi pebisnis ketika duduk di meja kantornya.
Tiga poin di atas adalah sebagian kecil kegundahan tak terjawab di tubuh gerakan Kiri selama ini, yaitu mencari alasan logis dan ilmiah dari apa yang kita perjuangkan selama ini. Bicara soal penindasan dan ketidakadilan, kenyataannya semua orang menderita dan tertindas di dalam sistem kapitalisme ini, bahkan para kapitalis dan tuan tanah itu sendiri. Lalu bagaimana mencari pembenaran masuk akal soal perjuangan kelas kita? Jawabannya yaitu lewat investigasi dan bukti. Bukti bahwa sistem kapitalisme ini cacat dan ia bukan hanya merugikan kita sebagai kelas pekerja, namun juga para pengusaha dan tuan tanah itu sebagai manusia. Dengan kata lain, kita mesti mencari alasan objektif untuk menguatkan argumen perjuangan kelas. Alasan objektif hanya bisa didapatkan lewat riset atau penelitian dan kerja politik, bukan lewat kegalauan, perasaan, dan advokasi tanpa orientasi. Asumsi atau premis-premis perjuangan kelas mesti diuji lewat riset dan kapitalisme mesti dianalisis kecacatannya melalui penelitian. Kemudian, kerja politik adalah wahana untuk menguji ketepatan analisis itu. Kerja-kerja tersebut tentu saja merupakan bagian dari sains untuk menangkap kenyataan dan mengungkapkan kebenaran, sehingga konsekuensinya apapun hasil yang didapatkan olehnya mesti kita terima. Entah hasilnya membuktikan kebenaran premis perjuangan kelas, membenarkan kecacatan kapitalisme, atau bahkan membenarkan sistem kapitalisme atau bahkan membuktikan keabsurdan premis perjuangan kelas pun – setidaknya dalam konteks-konteks tertentu – kita mesti terima. Ini bukan berarti menggugurkan validitas proyek sosialisme dan upaya perjuangan kelas. Sebaliknya, perjuangan kelas hanya akan berarti dan berbuah apabila kita berangkat dari argumen dan pemahaman yang benar, sepahit apapun itu, mengenai realita kapitalisme.
Hal inilah yang mau tidak mau harus kita mulai saat ini. Melihat realita dengan perasaan kita bukanlah hal yang salah, namun menjadi kurang tepat dan bahkan bisa salah kaprah apabila kita hanya berhenti di sana tanpa menganalisis lebih lanjut realita yang kita tangkap. Memang betul mengangkat isu-isu yang menyentuh sisi emosional mampu membangkitkan solidaritas umat manusia sedunia, namun soal perlawanan terhadap kapitalisme saya rasa tidak semua dari penduduk bumi bakal bersimpati. Walau sistem ini bergerak bagai kanker yang semakin lama makin menggerogoti kehidupan setiap spesies di bumi, tapi ada sekitar 1% dari penduduk bumi yang sementara diuntungkannya. Oleh karena itu setelah ini kita mesti bersusah payah mencari argumen objektif berlandaskan bukti yang pendapatnya sulit dipatahkan oleh Jack Ma dan Warren Buffett. Minimal soal adanya nilai-lebih yang dihasilkan oleh kelas pekerja yang terkandung di dalam setiap komoditi di muka bumi hari ini.
Sederhananya, kita yang pernah belajar di bangku sekolah pasti pernah mendapatkan skor ujian 90 dan juga skor ujian 50 atau lebih rendah. Layaknya semua pelajar yang sedang belajar, jatuh-bangun dan gagal-sukses itu biasa, namun kita tak mungkin mengetahui baik atau buruk hasilnya dan metode kerja kita apabila kita tidak pernah mencoba. Maka, mulai setelah ini kita mesti berani mencoba mengevaluasi cara berpikir kita menanggapi kapitalisme ini. Jika berhasil membuktikan kebenaran, kita mesti gunakan argumen logis dan objektifnya untuk melawan kapitalisme. Apabila gagal kita harus akui salah, namun tidak ada waktu untuk kecewa dan patah hati, sebab tidak ada kata terlambat dalam untuk mencoba lagi di dalam ilmu pengetahuan.
Mulailah dengan bertanya, apakah benar-benar terbukti kapitalisme menyebabkan banyak ketidakadilan yang menggetarkan hati Che dan hati kita selama ini? Jawabannya, secara hipotetis, bisa jadi ya, bisa juga tidak. Mari kita buktikan. Kapitalisme belum tentu menjadi penyebab utama dari ditinggalkannya dirimu oleh mantanmu, tapi yang pasti membuktikan invaliditas kapitalisme dan merumuskan perlawanan terhadapnya butuh energi yang lebih besar dan kerja yang lebih cermat – lebih dari sekedar marah-marah karena represi apalagi patah hati.***