Kredit foto: unitedgank007.blogspot.com
DISKUSI mengenai perkotaan pada dasarnya dimulai dari perbincangan mengenai konsep ‘ruang’ (space) dan ‘tempat’ (place), sebagai dua cara untuk melihat pergerakan objek materiel maupun manusia pada lingkup dimana keduanya berada. Menurut Setha Low (2017), ruang dan tempat dapat dilihat sebagai dua konsep yang benar-benar berbeda satu sama lain, saling tumpang-tindih, ataupun dapat digunakan secara bergantian. Hal ini bergantung pada kerangka berpikir yang digunakan dalam melihat situasi perkotaan. Beberapa kajian ilmu seperti filsafat, matematika, sampai Marxisme (serta Neo-Marxisme) cenderung menggunakan ‘ruang’ untuk melihat kota sebagai bangunan–bukan dalam pengertian umum–yang melingkupi beragam aktivitas di dalamnya (all-encompassing construct). Sedangkan, kajian ilmu seperti geografi, arsitektur, serta antropologi lebih memakai ‘tempat’ untuk merujuk pada lingkup nyata (spesifik), dimana manusia (beserta elemen lainnya) berinteraksi dan membentuk makna di atasnya (predominant construct) (Low, 2017:12). Untuk menguraikan lebih lanjut, tulisan ini kiranya tidak bermaksud untuk memosisikan perbincangan awal tentang kota atas dua hal yang berbeda, perspektif apa yang lebih berpengaruh dan sebagainya, melainkan berusaha memaparkan perspektif yang beragam berdasarkan kerangka berpikir yang digunakan. Karena pada akhirnya, ruang dan tempat–dalam mendefinisikan dinamika kota–dapat memiliki relasi yang dinamis, selain dapat dibedakan satu sama lain.
Ruang Kota sebagai Dimensi Produksi dan Reproduksi Makna
Dalam ranah filsafat dan matematika–bisa disebut juga perdebatan antara keduanya, ruang dapat dipahami lewat dua sifat, absolut dan relasional. Lewat sifatnya yang absolut, ruang diasumsikan hanya sebagai wadah bagi objek materiel yang dikandungnya, beserta segala kondisi yang menyertainya, tanpa memiliki keterkaitan langsung antar satu dengan yang lain (Ballard, 1960:50). Hal ini diperjelas oleh Newton (dalam Buroker, 1945:9) bahwa ruang absolut memiliki karakteristik atau kondisi yang cenderung sama, tidak terbatas dan tidak bergerak sama sekali, seolah-olah ruang tidak terbagi atau bisa dibedakan dalam beberapa wilayah. Namun, asumsi ini segera dibantah oleh Leibniz–salah satunya–yang menyebut bahwa tanpa adanya hubungan dengan objek materiel di dalamnya, ruang absolut tentu tidak dapat di definisikan sebagai sesuatu yang muncul terlebih dahulu (Ballard, 1960:55). Sebagai penengah keduanya, Kant (dalam Low, 2017:16) kemudian menyebut bahwa definisi ruang sebagai yang absolut dan relasional dapat diterima secara bersamaan, dimana keberadaan yang absolut tetap dapat dipahami atau diterima lewat intuisi manusia.[1]
Diskusi mengenai ruang yang absolut dan relasional–sebagai dua hal yang berbeda–lantas bergeser, sebab perdebatannya kurang begitu populer dan menyentuh substansi pada ranah sosial. Pergeseran diskusi ini dapat ditelusuri, salah satunya, melalui para teoretikus Prancis seperti Henri Lefebvre, Pierre Bourdieu, dan Michel Foucault yang lebih menggunakan ruang (space) untuk merujuk pada lingkup atau situs dimana produksi kekuasaan dan penyebarannya, sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari, berlangsung secara terus-menerus (Low, 2017:17). Produksi kekuasaan yang berlangsung terus-menerus membuat ruang tidak pernah selesai untuk dimaknai, dan cenderung membuat kontradiksi di dalamnya kabur lantaran terkubur oleh makna yang terus bermunculan (Low, 2017:18). Problem yang kurang disadari oleh masyarakat kota ini kemudian menjadi fokus kajian mereka, secara khusus berkaitan dengan cara mereka melihat kontradiksi tadi.
Lefebvre mengawali penelusurannya lewat aktivitas produksi sebagai ciri khas masyarakat industri. Sebelumnya, Lefebvre (1991) menguraikan terlebih dulu makna dari ‘produksi’ (production) itu sendiri, yang baginya berbeda dengan kata ‘kerja’ (works). Menurutnya, aktivitas ‘kerja’ lebih menyatakan ekspresi keunikan yang ada pada diri setiap manusia, dimana hal itu dapat dilihat dari hasil karya para seniman. Sedangkan, ‘produksi’ lebih digambarkan sebagai aktivitas yang sifatnya lepas dari keterlibatan kreativitas, kreasi (karya cipta), dan juga imajinasi manusia. Hal ini merujuk pada aktivitas ekonomi kapitalisme, dimana alam menjadi arena yang terus dieksploitasi, sekaligus komoditas yang diperjualbelikan. Manusia – secara langsung maupun tidak langsung – didorong untuk terus terlibat dalam aktivitas produksi, sebagai pekerja produksi maupun sebagai bagian dari masyarakat konsumsi. Aktivitas produksi, bagi Levebfre, lantas mencerminkan pengulangan atau repetisi meskipun bentuknya dapat berubah dari waktu ke waktu, yang secara tidak langsung:
“…mematikan keunikan dimanapun, (begitu pula dengan) produk buatan dan sesuatu yang dibuat-buat ikut menggantikan (sifat) spontanitas dan ke-alamian di lapangan, dan singkatnya, produk buatan telah menaklukan sebuah karya.” (The Production of Space, 1991, halaman 75).
Menyambung kutipan sebelumnya, pengulangan ini membentuk apa yang Lefebvre sebut sebagai repetitious spaces (ruang berulang), ruang yang digambarkan muncul lantaran aktivitas produksi dan konsumsi terus dilakukan (berulang) dan menjadi laku yang produktif sekaligus logis untuk tetap dilakoni agar bisa bertahan hidup. Realitas inilah yang kemudian membungkus rapat kontradiksi dalam masyarakat kota saat ini.
Melihat situasi tersebut, Lefebvre lantas menawarkan tiga dimensi ruang sosial, sebagai kerangka berpikir yang dapat dipakai guna memeriksa kontradiksi tadi. Tiga dimensi ruang tersebut terdiri dari: praktik spasial (spatial practices), meliputi interaksi sosial yang terlihat sehari-hari antar individu maupun kelompok dalam membangun hubungan, melakukan pertukaran informasi maupun barang dan jasa, sampai membentuk makna dalam ruang sosial; representasi ruang (representation of space), bagaimana interaksi individu maupun kelompok membentuk makna dalam rupa wacana, simbol, maupun citra dalam merepresentasikan diri, relasi yang dijalin, dan juga ruang atau situs terjadinya interaksi; serta representasi spasial (spatial representation), yang merujuk pada dimensi lain atau makna terselubung dari wacana, simbol, maupun citra tadi, seperti relasi kuasa, memori, dominasi identitas dan lain sebagainya (Schmid, 2008:36-37).
Melanjutkan penjelasan dari Lefebvre, Bourdieu (dalam Gebauer & William, 2000:74-75) membangun argumennya dengan lebih berfokus pada aktivitas sehari-hari manusia untuk menelusuri bagaimana dominasi atau relasi kuasa dalam interaksi kerap kali tidak disadari. Baginya, ketidaksadaran ini berangkat sejak manusia lahir ke dunia, dimana manusia secara langsung terikat dengan nilai, norma, kepercayaan, maupun pengetahuan praktis di masyarakat yang membuatnya menjadi patuh. Dengan begitu, laku yang berlangsung sehari-hari di masyarakat lantas diterima tanpa melibatkan kesadaran si manusia. Dalam hal ini, Bourdieu kemudian menyebutnya sebagai habitus, dimana tubuh manusia (secara sosial) dibentuk–dalam wujud simbolisasi dan pelembagaan–secara sosial lewat aktivitas sehari-hari di masyarakat (struktur sosial) tempatnya berada.
Menyambung dua argumen sebelumnya, Foucault sendiri melengkapinya dengan menuturkan bahwa kontradiksi yang tidak disadari tidak hanya muncul dari aktivitas produksi yang berulang ataupun bentukan masyarakat dimana individu lahir, melainkan juga dipertebal oleh beragam institusi sosial di masyarakat, salah satunya institusi keamanan. Melalui bukunya yang berjudul Security, Terriotry, Population, Foucault (2008) menyinggung bagaimana praktik keamanan melalui sistem hukum (legal system), pendisiplinan, serta aparat keamanan (security apparatuses) menjadi medium yang sesuai bagi beroperasinya kekuasaan. Prosesnya bermula dari sistem hukum yang beroperasi secara sederhana melalui relasi antara aparat negara sebagai pemberi hukum, dan individu sebagai objek dari hukuman (pelanggar). Proses ini kemudian berkembang dimana negara menghadirkan aspek kontrol untuk mengawasi setiap gerak-gerik individu sebagai cara mencegah adanya pelanggaran dan lain sebagainya (Foucault, 2008:4). Tidak berhenti sampai di situ, sistem keamanan kembali diperketat mengingat kekuasaan berjalan pada wilayah atau ruang kota yang semakin ramai dengan peredaran berbagai kepentingan (sosial, ekonomi, politik). Praktik keamanan lantas menjadikan populasi secara luas[2] (masyarakat, bukan individu) sebagai subjek (institusi ekonomi, pendidikan, militer, rumah sakit, dan sebagainya), sekaligus objek dari pendisiplinan itu sendiri (Foucault, 2008:11). Dengan begitu, Foucault sepintas menunjukkan bahwa ketidaksadaran masyarakat akan kekuasaan yang mengikatnya justru dibangun oleh beragam instutisi sosial, berikut aturan yang siap untuk dipatuhi.
Tempat dan Representasi Dinamika Kota
Beranjak dari diskusi sebelumnya, konsep tempat kiranya juga menawarkan pandangan menarik dalam menggambarkan dinamika perkotaan. Tempat (place) mengarah pada lingkup atau situs yang lebih spesifik – atau dominan – dalam menjelaskan aktivitas manusia di dalamnya. Pengertian ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dapat memiliki ikatan yang kuat dalam relasinya dengan sesama manusia, lingkungan atau tempat tertentu, sebab manusia menaruh makna di dalam relasi tersebut. Dengan begitu, sebuah tempat kiranya dapat menjadi sarana untuk menggambarkan pengalaman dan juga identitas yang melekat pada individu maupun kelompok tertentu yang (pernah) hidup di dalamnya (Low, 2017:25).
Dalam kajian geografi, Tuan (1976) menawarkan lima aspek yang dapat digunakan untuk menelusuri pembentukan makna yang terjadi dalam sebuah tempat atau situs. Pertama, pengetahuan geografis manusia. Sederhananya, pengetahuan geografis ini berkaitan dengan pemahaman manusia terhadap sebuah wilayah, meliputi kondisi alamnya, ketersediaan sumber daya dan sebagainya. Pemahaman ini dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu pemahaman yang muncul lewat intuisi manusia (pengalaman menetap di suatu wilayah dalam waktu yang cukup lama), dan pemahaman yang didapat lewat ranah akademis. Kedua, wilayah dan tempat. Manusia mulai berusaha mempertahankan suatu wilayah, dengan batas-batas tertentu, sebagai tempat tinggal maupun tempat untuk berlindung dari ancaman di luar wilayah tersebut. Ketiga, kepadatan penduduk. Sebuah tempat dapat menjadi pusat perhatian manusia – sebagai pusat ekonomi, pariwisata dan sebagainya, sehingga kehadirannya secara tidak langsung memadati wilayah tersebut, sekaligus membuat laju aktivitasnya menjadi cepat. Namun, tempat juga dapat terlihat sepi dan lamban, bukan karena tidak menarik, melainkan dibentuk untuk menciptakan suasana yang lebih bersifat pribadi, jauh dari hingar bingar pusat kota. Keempat, sistem ekonomi dan mata pencaharian. Aspek ini berkaitan dengan usaha manusia beserta komunitasnya untuk bisa bertahan hidup, entah dengan berburu, memancing, bercocok tanam, ataupun melakukan pertukaran komoditas dengan komunitas lainnya. Terakhir, aspek agama dan kepercayaan, dimana tempat tertentu diyakini dapat menjadi sarana relasi antara manusia dan penciptanya.
Penjelasan Tuan mengenai relasi manusia-lingkungan sepintas mengambarkan ciri khas relasi yang berlangsung pada masyarakat pra-industri, sebab dengan masuknya modernitas, industrialisasi, dan globalisasi ketajaman intuisi manusia dalam relasinya dengan alam menjadi pudar, bahkan menghilang (Low, 2017:12). Hal ini disebabkan oleh bentuk pertukaran atau relasi pada era industri yang lebih mengedepankan logika untung dan rugi, yang berdampak pada berubahnya objek materiel apapun (sumber daya alam dan sebagainya) menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Selaras dengan situasi tersebut, David Harvey (2009) menyebut bahwa hal itu terbentuk ketika materi ataupun komoditas tertentu – dalam argumen Marx mengenai masyarakat kapitalis – dilihat sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar (exchange value), alih-alih digunakan atau dikonsumsi untuk kepentingan bersama (use value). Secara lugas, nilai guna suatu materi mewujud hanya dalam aktivitas konsumsi manusia terhadap materi tersebut, sejauh mana sebuah materi dapat memuaskan manusia secara pribadi. Sedangkan, nilai tukar materi lebih merujuk pada relasi yang bersifat kuantitatif, dalam artian sejauh mana suatu materi dapat menguntungkan pemilik (owner) ketika diubah menjadi komoditas lewat aktivitas transaksi dengan orang lain. Singkatnya, keuntungan akan diperoleh ketika komoditas terus berputar dalam aktivitas jual-beli, alih-alih digunakan atau dikonsumsi bersama (Harvey, 2009:155).
Aktivitas pertukaran komoditas seperti ini tentu membawa konsekuensi, salah satunya gejala alienasi dalam relasi sosial. Sebagai gambaran, Harvey memberikan kronologi sederhana terkait relasi individu maupun kelompok dengan lahan (land). Bagi Harvey, lahan – beserta dengan properti di atasnya – adalah komoditas, dan sebagai komoditas lahan memiliki beragam corak dalam aktivitas pertukaran. Pertama-tama, lahan merupakan komoditas tidak bergerak yang tidak semua individu atau kelompok mampu memilikinya dalam satu lokasi yang sama. Dengan sifatnya yang absolut, lahan lantas menjadi komoditas yang sangat menguntungkan bagi individu maupun kelompok sebagai pemilik, ketika dijadikan medium monopoli bagi beberapa orang yang membutuhkan. Relasi monopolistik semacam ini tentu tidak dapat dihindari khususnya bagi mereka yang bukan pemilik lahan, sebab segala aktivitas berlangsung di atas lahan. Terlebih, lahan juga merupakan komoditas yang sangat jarang berpindah tangan dalam waktu singkat sehingga kesempatan setiap orang untuk memilikinya sangat terbatas, kecuali jika komoditas tersebut disewakan (Harvey, 2009:157-159). Oleh karena itu, tidak mengherankan bila lahan beserta embel-embelnya menjadi investasi yang sangat menguntungkan di masa depan,[3] disamping memiliki konsekuensi buruk terhadap relasi sosial di perkotaan.[4]
Serupa dengan georgrafi, pendekatan arsitektur pun ikut ambil bagian dalam diskusi mengenai tempat, hanya saja lebih bertumpu pada bangunan fisik sebagai pokok kajiannya. Bangunan fisik tidak hanya menjadi sarana yang dapat membingkai relasi kapitalistik seperti dinarasikan Harvey sebelumnya, melainkan pula menjadi instrumen dalam menggambarkan kehidupan sebuah komunitas, ataupun mengingat sekaligus melestarikan suatu momen yang pernah terjadi pada wilayah tertentu. Dolores Hayden (1988) dalam tulisannya berjudul The Power of Place: A Proposal of Place menyebut bahwa bangunan fisik seperti monumen atau museum dapat menjadi sarana untuk melestarikan sebuah ingatan atau sejarah komunitas atau kelompok tertentu, yang pernah menetap di kota–atau lebih umum, negara–tertentu. Dalam tulisan tersebut, Hayden mencontohkan usaha kota Los Angeles di sekitar tahun 1980-an untuk mendirikan bangunan fisik, monumen, bahkan wilayah tertentu sebagai cara merepresentasikan beberapa kelompok etnis yang sudah mendiami kota tersebut dari tahun 1781. Selain merepresentasikan momen tertentu, bangunan fisik seperti museum pun dapat berfungsi sebagai sarana pengakuan negara terhadap suatu peristiwa – kelam – masa lalu yang pernah berlangsung, seperti halnya The National Memorial for Peace and Justice yang terdapat di Montgomery, Alabama.[5]
Melengkapi beberapa pendekatan sebelumnya, kajian Antropologi kiranya ikut menyajikan pandangan yang menarik. Antropologi secara khusus melihat tempat sebagai situs atau lokasi yang terus menerus di konstruksi oleh beragam individu maupun kelompok, sehingga tempat tersebut memiliki ciri khas yang dapat membedakannya dengan yang lain. Meminjam gagasan dari Margaret C. Rodman (1992), asumsi mengenai ciri khas yang dimiliki setiap tempat setidaknya berangkat dari dua hal: 1) tempat bukan sekedar objek pasif dimana keberadaannya–atau posisinya sebagai situs akivitas manusia–diterima begitu saja; dan 2) karakteristik suatu tempat tidak dapat digeneralisasi secara sederhana. Tempat merupakan produk atau objek dari konstruksi sosial. Rodman berasumsi bahwa tempat bukan hanya sekedar wadah bagi aktivitas manusia, melainkan wadah atau objek yang ikut dipengaruhi oleh aktivitas itu sendiri; bagaimana tempat menjadi situs yang dipolitisasi, bersifat unik (relatif) secara kultural, terlekat dengan memori atau ingatan mengenai peristiwa yang pernah berlangsung, serta dikonstruksi oleh nilai-nilai lokal, maupun multilokal (Rodman, 1992:642). Selain itu, konstruksi tersebut dibangun oleh berbagai makna dan pengalaman dari bermacam-macam individu maupun kelompok, yang membuat setiap tempat memiliki keunikannya sendiri.[6]
Dengan begitu, pola pikir Barat yang cenderung menggeneralisasi suatu tempat–berdasarkan pola aktivitas yang sama dan berlangsung di beberapa tempat–perlu dihindari, atau tidak dapat digunakan sama sekali.***
Matthew Alexander adalah mahasiswa Sosiologi UGM
Kepustakaan:
Ballard, Kaith Emerson. “Leibniz’s Theory of Space and Time .” Journal of the History of Ideas, Vol. 21, No. 1, 1960: 49-65.
Buroker, Jill Vance. Space and Incongruence: The Origin of Kant’s Idealism . Dordrecht : D. Reidel Publishing Company , 1981.
Foucault, Michel. Security, Territory, Population: Lectures at the Collège de France, 1977-78. Palgrave Macmillan , 2007 .
Gebauer, Gunter, and Jeniffer Marston William. “Habitus, Intentionality, and Social Rules: A Controversy between Searle and Bourdieu.” SubStance, Issue 93, Vol. 29, No. 3, 2000: 68-83.
Harvey, David. Social Justice and the City. The University of Georgia Press , 2009 .
Hayden, Dolores. “The Power of Place: Proposal for Los Angeles.” The Public Historian, Vol. 10, No. 3, 1988: 5-18.
Lefebvre, Henri. The Production of Space . Oxford : Blackwell, 1991.
Low, Setha. Spatializing Culture: The Ethnography of Space and Place. New York : Routledge , 2017.
Rodman, Margaret C. “Empowering Place: Multilocality and Multivocality .” American Anthropologist, New Series, Vol. 94, No. 3, 1992: 640-656.
Schmid, Christian. “Henri Lefebvre’s theory of the production of space: towards a three-dimensional dialectic.” In Space, Difference, Everyday Life: Reading Levebfre, by Kanishka Goonewardena, Stefan Kipfer, Richard Milgrom and Christian Schmid, 27-45. New York: Routledge, 2008.
Tuan, Yi-Fu. “Humanistic Geography .” Annals of the Association of American Geographers, Vol. 66, No. 2, 1976: 266-276.
—————-
[1] Narasi mengenai ruang dan waktu secara menarik dapat dilihat melalui: “Why does time pass?” dalam The Economist, 4 September 2015, https://www.youtube.com/watch?v=OKKbkS_LOu4
[2] Hal ini dapat merujuk pada apa yang Foucault sebut sebagai biopolitik, dimana tubuh manusia (secara biologis) menjadi objek bagi beroperasinya kekuasaan (strategi politik dan sebagainya). Ia memberikan contoh menarik mengenai kebijakan yang dibentuk sekitar abad ke-18 di Eropa, bagi masyarakat yang terkena cacar. Kebijakan yang secara tidak langsung mengeksklusikan mereka dari ruang publik. Selengkapnya dalam Foucault, Security, Territory, Population, 57-58.
[3] “Media dan Mitos Rumah sebagai Investasi”, oleh Remotivi. Diambil dari https://www.youtube.com/watch?v=peKvlPEK5Gg&t=151s
[4] Bila dikaitkan dengan dimensi ruang a la Lefebvre, secara sederhana kontradiksi dalam aktivitas pertukaran lahan dapat dinarasikan sebagai berikut: transaksi atau pertukaran yang berlangsung atas lahan berlangsung antar dua atau lebih orang. Pertukaran ini tentu merupakan interaksi jual-beli, atau sewa yang melibatkan uang sebagai alat tukarnya (praktik spasial). Transaksi ini berlangsung sebab lahan sudah menjadi sebuah komoditas, yang tidak dapat dimiliki begitu saja hanya dengan mendiaminya dalam waktu lama, ataupun membentuk batas-batas wilayah tertentu (representasi ruang). Dengan begitu, secara tidak langsung relasi kuasa melekat dalam interaksi sosial masyarakat, dimana pemilik tanah tentu menjadi subjek yang dominan, entah untuk mengatur harga lahan, atau menentukan kelompok masyarakat mana yang berhak mendiami lahan tersebut (representasi spasial).
[5] “Lynching memorial leaves some quietly seething: ‘Let sleeping dogs lie’”, dalam The Guardian, 28 April 2018, https://www.theguardian.com/us-news/2018/apr/28/lynching-memorial-backlash-montgomery-alabama
[6] “Vanished neighbourhoods: the areas lost to urban renewal”, dalam The Guardian, 18 Juli 2019, https://www.theguardian.com/cities/2019/jul/18/vanished-neighbourhoods-the-areas-lost-to-urban-renewal