Di NTT, Tuak dan Kadal Lebih Berharga dari Manusia

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp. Internationale Unlimited).


BLUSUKAN boleh jadi merupakan cara politisi untuk menunjukkan kepedulian mereka, atau sekedar sebuah cara baru bagi elit untuk tidak mengacuhkan persoalan rakyat yang sesungguhnya.

Kita mulai dari penggagas blusukan yang mungkin paling terkenal: Joko Widodo (Jokowi). Hobi blusukan Jokowi sebagai gaya berpolitiknya sejak menjabat Wali Kota Solo, Gubernur Jakarta, hingga Presiden Republik Indonesia selalu menjadi bahan pemberitaan. Bila mengamati pemberitaan media atas gaya berpolitik Jokowi, maka kita bisa bilang bahwa lebih banyak manfaat yang ia peroleh dari gebyar pemberitaan media yang tanpa henti tersebut ketimbang hal-hal yang merugikan.

Lantas bagaimana jadinya bila pemimpin-peminpin daerah menggunakan pola serupa, demi kepentingan politik dan membangun citra pembawa perubahan yang pro-rakyat? Mari kita sejenak melihat ke Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Gubernur NTT Viktor Laiskodat sejak dilantik hingga hari ini nampaknya sangat nyaman menjadi fokus pemberitaan. Mantan ketua fraksi Partai Nasional Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut belum genap setahun menjabat, tetapi telah melahirkan sejumlah kebijakan dan rencana kebijakan yang penuh kontroversi. Mulai dari peluncuran minuman beralkohol asli daerah berkadar 40 persen yang dikenal dengan sebutan sophia, hari wajib berbahasa Inggris (English Day) di kantor-kantor pemerintah, hingga keinginannya merelokasi penduduk lokal Pulau Komodo yang olehnya dianggap sebagai penduduk liar.

Dari sekian banyak rencana kebijakannya, relokasi atas nama konservasi dan revitalisasi wilayah habitat kadal raksasa komodo itu menjadi gagasan yang paling banyak mendapatkan penolakan masyarakat.

Kampung Komodo adalah satu-satunya pemukiman penduduk yang ada di wilayah Taman Nasional Komodo (TNK), tempat kadal terbesar dunia itu hidup. Kampung nelayan kecil di pesisir pulau itu dihuni oleh kurang lebih 2000 jiwa. Kepercayaan lokal meyakini bahwa penduduk asli dan komodo adalah saudara dari orang tua yang sama. Seorang putri dipercaya telah melahirkan dua anak kembar dengan bentuk berbeda yang kemudian menempati wilayah tersebut dari generasi ke generasi dalam damai. Boleh jadi cerita rakyat tersebut hanya merupakan legenda dan folklor lokal, tetapi fakta bahwa penduduk pulau komodo telah menetap sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai sebuah kawasan pelesterian alam tentu patut diperhatikan.

Dari luasan wilayah Taman Nasional Komodo (TNK) yang mencapai sekitar 218.034,08 hektar sebenarnya tidak semuanya dimanfaatkan murni untuk kepentingan konservasi. Sebaliknya, wilayah tersebut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sesuai dengan tipe zonanya masing-masing, termasuk untuk investasi atau bisnis. 

Keinginan Pemerintah NTT merelokasi penduduk pulau Komodo menunjukkan logika pembangunan yang amburadul dan berorientasi pro-korporasi. Dari besaran luas wilayah TNK, akses untuk masyarakat penghuni pulau-pulau dalam kawasan Komodo sendiri relatif kecil, hanya seluas 18,485 hektar, yaitu untuk pemukiman, pemanfaatan tradisional bahari, dan pemanfaatan daratan. Penggunaan akses itu pun harus dengan izin hak khusus pemanfaatan dari Kepala Balai TNK (BTNK).

Memindahkan penduduk yang sejatinya ada dalam zona pemukiman penduduk atas nama konservasi berarti menempatkan manusia yang tinggal di kawasan TNK bukan sebagai subjek atau fokus pembangunan melainkan sebagai objek dan korban dari proses pembangunan. Terlihat jelas adanya ketimpangan relasi kuasa dalam pemanfaatan zona-zona itu. Di satu sisi, ada eksklusi terhadap masyarakat lokal atas nama aturan konservasi, tetapi pada saat yang sama akses seluas-luasnya diberikan terhadap pebisnis pariwisata dan turis di kawasan yang sama. Dari segi penguasaan dan akses pemanfaatan, ada ketidakseimbangan antara kawasan yang dikuasai pelaku bisnis pariwisata dan para turis dengan kawasan yang menjadi hak masyarakat setempat, dengan perbandingan 105.637 hektar berbanding 18.485 hektar. Tidak perlulah kita berbicara mengenai kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat NTT pada umumnya, apabila masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional sendiri saja terekslusi dari pengelolaan ekosistem Komodo untuk penghidupan mereka dengan dalih ‘konservasi.’


Pembangunan Pariwisata untuk Siapa?

Besarnya sumbangan pariwisata bagi devisa maupun Pendapatan Asli Daerah (PAD) membuat banyak pihak, terutama pemerintah, berusaha keras untuk mengembangkan sektor pariwisata sebagai sektor andalan dalam menyumbang pemasukan negara dan pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, pariwisata merupakan sektor yang diandalkan dalam pembangunan ekonomi setelah sektor migas. Untuk itu, secara naif banyak yang percaya bahwa pariwisata akan dapat membantu memulihkan krisis ekonomi. Bahkan sektor ini dijagokan oleh pemerintah sebagai “dewa penyelamat” bagi penerimaan devisa. Tak terkecuali di NTT.

Data dari BPS NTT memperlihatkan kunjungan wisatawan domestik dan mancanagera ke NTT mengalami peningkatan dari 397.453 wisatawan pada 2013 menjadi 616.538 wisatawan pada 2017. Potensi besar pariwisata NTT ini menggiurkan bagi siapa saja untuk ikut serta berinvestasi, terutama investor kelas kakap.

Ketika potensi dan ruang investasi sektor pariwisata dibuka sebesar-besarnya tanpa ada kontrol demokratik dari masyarakat setempat, maka rakyat miskin menjadi kelompok yang termarginalisasi dengan sendirinya. Kurangnya sumber daya untuk menjalani usaha pariwisata yang berorientasi masyarakat dan lebih ramah lingkungan menjadi kendala bagi usaha pariwisata rakyat untuk bisa bersaing dalam pembangunan industri pariwisata skala besar yang sedang dibangun di NTT. Yang ada, proses ekspansi bisnis pariwisata tersebut telah memarginalisasi masyarakat lokal. Ekspansi pemilik modal dalam menguasai tanah-tanah masyarakat menimbulkan penyusutan lahan. Akibatnya, masyarakat menjadi kehilangan lahan sebagai sumber penghidupan dan aktivitas produksi. Aktivitas pertanian dan beternak yang sebelumnya menjadi andalan utama telah hilang sebab tanah-tanahnya telah menjadi milik pemilik modal. Selain itu, para nelayan juga menemui berbagai kendala, karena daerah tangkapannya menjadi dibatasi karena dianggap mengganggu aktivitas kepariwisataan. Dengan kata lain, masyarakat kehilangan mata pencahariannya sebagai petani, peternak. dan nelayan. Akibatnya kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial-ekonomi semakin mewarnai kehidupan masyarakat NTT. Fakta ini jauh dari bayangan pariwisata sebagai sektor yang dapat ‘memberikan kesejahteraan’ bagi rakyat.


Problem Kemiskinan NTT

Nyatanya, berbagai indikator menunjukkan bahwa NTT masih merupakan provinsi yang memiliki presentase penduduk miskin tertinggi ketiga di Indonesia, setelah Papua dan Papua Barat. Ini sesuai hasil analisis BPS dari bulan September 2018 hingga Maret 2019. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di NTT pada bulan Maret 2018 adalah sebesar 1.142,17 ribu orang (21,35 persen), naik sekitar 7.430 orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2017 yang berjumlah 1.134,74 ribu orang (21,38 persen).

Berdasarkan daerah tempat tinggal, selama periode September 2017 hingga Maret 2018, jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan naik sebanyak 4.510 orang (dari 1.015,70 ribu orang menjadi 1.020,21 ribu orang) dan untuk perkotaan juga mengalami kenaikan sebanyak 2.910 orang (dari 119,04 ribu orang menjadi 121,95 ribu orang). Di periode yang sama, Garis Kemiskinan (GK) juga naik sebesar 2,35 persen, yaitu dari Rp 346.737,- per kapita per bulan pada September 2017 menjadi Rp 354.898,- per kapita per bulan pada Maret 2018.

Problem kemiskinan yang akut kemudian menyebabkan lahirnya persoalan-persoalan lain yang menambah kompleks persoalan pembangunan NTT.

Pertama, masalah human traficking atau perdagangan manusia. Kepolisian Daerah (Polda) NTT mencatat telah menangani 25 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan korban 37 orang di periode Januari-Juli 2018. Sementara itu, data dari 1 Januari 2018 hingga 6 Oktober 2018 menunjukkan adanya 86 jenazah pekerja migran asal NTT yang kemungkinan  juga adalah korban TPPO. Rendahnya jumlah lapangan kerja baru akibat proses deagrarianisasi di NTT memaksa sebagian besar masyarakat NTT untuk mengadu peruntungan sebagai buruh migran di luar negeri.

Kedua, masalah stunting dan kesehatan ibu dan anak. NTT termasuk salah satu provinsi dengan tingkat stunting tertinggi di Indonesia dengan persentase di atas 40 persen. Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun. Menurut UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis) diukur dari standar pertumbuhan anak keluaran WHO. Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk. Selain itu, persoalan tingginya kematian ibu dan anak di NTT juga termasuk yang paling tinggi di Republik Indonesia.

Masalah-masalah lain yang juga tidak kalah mendesak adalah kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM) dan maraknya korupsi. Ini adalah berbagai masalah penting yang membutuhkan langkah nyata dari pemerintah, khususnya pemerintah provinsi NTT. Karena, persoalan-persoalan tersebut berkaitan erat dengan hak-hak dasar rakyat NTT.

Harus dipahami bahwa pemerintah dalam konteks negara republik yang demokratis berkewajiban melayani dan memenuhi kebutuhan rakyat. Pemimpin daerah bukan raja kecil yang wajib terus dipatuhi, ditakuti, atau dilayani rakyat. Pemimpin daerah semestinya mendengarkan aspirasi rakyat dan berjuang untuk rakyat. Pemimpin daerah wajib mengedepankan pendekatan pembangunan yang berkemanusiaan, adil dan beradab, bukan sebaliknya, menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan elit korporasi semata.

Tragisnya, pemerintah NTT justru melihat kebijakan ‘kosmetik’ seperti legalisasi produk miras lokal/tuak Sophia sebagai jalan keluar dari berbagai masalah tersebut. Padahal, kehadiran produk tersebut justru mematikan usaha penjual-penjual tuak tradisional yang oleh aturan pemerintah daerah masih dibatasi bahkan sering dilarang peredarannya. Pemerintah NTT juga dengan absurdnya memaksa kantor-kantor pemerintah menggunakan bahasa Inggris pada hari tertentu dengan dalih melayani rakyat kecil. Tetapi, bagaimana pelayanan berbahasa Inggris tersebut dapat dilakukan di provinsi tingkat buta aksara yang masih cukup tinggi di Indonesia? Terakhir dan yang tak kalah penting, bagaimana pemerintah NTT memastikan bahwa kebijakan pariwisatanya memang bermanfaat bagi rakyat dan tidak menguntungkan korporasi dan kapitalis besar semata?

Jelas bahwa program-program tersebut tak sehebat pemberitaannya. Kebijakan-kebijakan model ini justru mengaburkan persoalan-persoalan yang substansif. Bahkan sejuta aktivitas blusukan Gubernur pun tidak akan ada artinya apabila tidak ada perubahan kebijakan yang lebih substantif dan partisipatoris!


Menolak Relokasi dan Melawan Tipu Daya

Definisi umum pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengabaikan hak generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembangunan berkelanjutan dicanangkan dan diimplementasikan di seluruh dunia dengan tujuan untuk mengentaskan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan perubahan iklim melalui program-program dan aksi yang nyata. Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama, yaitu pilar atau dimensi sosial, pilar ekonomi dan pilar lingkungan hidup.

Tata kelola dan gagasan pembangunan sebagaimana yang digagas pemerintah NTT akhir-akhir ini tidak memberi ruang bagi terwujudnya  pembangunan yang berkelanjutan. Fokus hanya pada satu pilar saja berarti mengabaikan atau bahkan mengesampingkan pilar lainnya, dan masyarakat kecil akan selalu menjadi korban dari ambisi pembangunan semacam ini.

Kembali ke masalah relokasi. Relokasi bukanlah solusi dari persoalan pembangunan pariwisata NTT dan bukan bagian dari upaya konservasi komodo. Wacana relokasi penduduk pulau Komodo adalah gambaran nyata dari ambisi pembangunan pemerintah yang sesungguhnya berorientasi keuntungan ekonomi semata yang mengatasnamakan perbaikan lingkungan hidup sembari mengusir rakyat kecil dari ruang hidup mereka. Begitupun berbagai kebijakan ajaib Gubernur yang lain – saya tidak melihat hubungan antara promosi Sophia dan layanan pemerintah berbahasa Inggris dengan promosi ruang demokrasi, kesejahteraan rakyat, dan keadilan sosial yang lebih luas di NTT.

Dengan kata lain, relokasi dan segenap kebijakan tersebut adalah strategi tipu daya yang sedang ditampilkan pemerintah NTT saat ini. Logika pembangunan model ini berarti menempatkan tuak dan kadal lebih mulia dari manusia NTT.

Mungkin memang benar, tuak dan kadal lebih berharga ketimbang manusia di NTT. Blusukan Gubernur NTT sepertinya hanya merupakan basa-basi dan gimmick politik saja.***


Kristianus Antonius Saputra adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya angkatan 2014, berasal dari Flores, NTT.


Kepustakaan Tambahan :

Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik: analisis kontra-hegemoni dengan fokus studi kasus di Manggarai Raya, NTT. Flores: Sunspirit Books, 2013.

Tim Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Prakarsa  Strategis  Pengembangan  Konsep  Ekonomi  Hijau  (Green Economy). Jakarta: Bappenas, 2014.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.