(1)
ALLAH memulai firman-Nya dalam Surah Al-Qalam dengan perkataan berikut. “Nuun. Demi pena dan apa yang telah mereka tuliskan”.
Surah Al-Qalam konon adalah salah satu di antara surah yang pertama turun. Ia turun tak lama setelah Surah Al-Alaq. Beberapa ayat pertama ini –yang pertama turun—memberikan motivasi bagi Nabi Muhammad yang mulai terasing karena pandangan-pandangan keagamaannya yang revolusioner; dan memberikan bantahan kepada orang-orang yang menganggap Nabi Muhammad sebagai orang gila.
Secara lengkap, di ayat pertama hingga ketujuh, Allah berfirman,
Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis (1) berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila (2); Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya (3); Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (4); Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat (5); Siapa di antara kamu yang gila (6); Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dialah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (7).
Syahdan, imam Jalaluddin As-Suyuthi menulis asbabun-nuzul ayat ini sebagai berikut:
lbnu Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Jarir yang berkata, Mereka (orang-orang kafir Quraisy) mengatakan bahwa Nabi saw. Adalah seorang gila. Selanjutnya, mereka juga mengatakan bahwa beliau adalah setan. Sebagai respon, turunlah ayat berikutnya, yaitu “Dengan karunia Tuhan engkau (Muhammad) bukanlah orang gila.” (al-Qalam: 2)
Saya tidak ingin masuk ke dalam tafsir Surah ini secara lebih mendalam; banyak mufassir yang sudah memberikan makna mengenai apa yang dimaksud oleh ayat ini. Tapi ada dua pelajaran yang bisa dipetik. Pelajaran pertama adalah pentingnya pena. Setelah ‘membaca’, yang Allah perintahkan dalam lima ayat pertama di surah Al-Alaq, Allah memberikan kata kunci kedua yaitu “Pena”. Pelajaran kedua, yang bisa jadi spesifik ditujukan kepada Rasulullah, tetapi juga relevan untuk kita, adalah tentang bagaimana menghadapi fitnah dan tuduhan; bahwa di zaman dulu, perintah untuk berpikir dan ‘membaca’ bukan sesuatu yang mudah. Orang-orang yang menyeru untuk membaca, punya risiko untuk dicap gila, subversif, hingga dipinggirkan dari masyarakat.
(2)
Dalam kolomnya di rubrik Tabayyun, Gus Roy Murtadho menekankan tentang pentingnya membaca dan menuntut ilmu sebagai nilai yang integral di dalam ajaran Islam. Pentingnya membaca dan menuntut ilmu semakin relevan di tengah masyarakat yang fobia tentang apa-apa yang berbau komunisme, feminisme, atau hal-hal lain tanpa berusaha untuk memahami secara kritis apa yang sebenarnya mereka maksud. Fobia-fobia semacam itu terbentuk karena adanya dogma yang melekat di masyarakat, yang dibangun secara terus-menerus, dipelihara melalui kekuasaan dan untuk kepentingan kekuasaan tertentu, dengan pembungkaman terhadap siapapun yang mencoba untuk membawa nafas baru dan pikiran yang lebih proporsional tentang realitas sosial.
Sebagaimana pernah saya kemukakan, berpikir kritis dan ilmiah adalah perintah pertama dalam Al-Qur’an. Sejarah membuktikan bahwa ketika tradisi berpikir kritis dan ilmiah bersemai di masyarakat, generasi yang muncul adalah generasi ilmuwan yang membawa nafas baru dalam peradaban Islam. Nama-nama semacam Al-Khwarizmi, Al-Kindi, Ibn Sina, atau Ibn Khaldun yang berkontribusi tidak hanya bagi masyarakat Muslim, tetapi juga masyarakat Barat, tidak muncul dengan sendirinya. Mereka lahir dari tradisi ilmiah dimana pikiran-pikiran kritis, rasa ingin tahu, dan polemik bersemai tanpa ada ketakutan terhadap represi dari pemerintah.
Dan sejarah juga membuktikan: ketika masyarakat Islam sudah mulai ‘saklek’ dalam beragama, tidak lagi menumbuhkan rasa ingin tahu dan tidak lagi mentradisikan dialog dalam masyarakat, di masa itu juga peradaban Islam memudar.
Ini bukan hanya terjadi dalam sejarah Islam. Dalam masyarakat Barat, misalnya, ilmu-ilmu semacam fisika dan geografi hanya muncul ketika negara dan gereja berhenti mempersekusi para ilmuwan yang menentang dogma-dogma gereja. Geografi dan ilmu-ilmu alam berkembang melalui kritik dan pendedahan ulang atas karya-karya Klaudius Ptolemeus, yang konon selama bertahun-tahun dipelihara tanpa boleh ditentang.
Al-Qur’an kemudian memberikan fondasi yang penting bagi umat Islam: sebelum menjadi apapun, kita sejatinya adalah orang-orang yang membaca dan menuntut ilmu.
Namun, Al-Qur’an juga memberikan satu petunjuk lain: bahwa bisa jadi upaya untuk berpikir kritis semacam ini harus menghadapi satu tantangan: cara berpikir yang ‘jumud’ dan dogmatis, yang membuat orang-orang yang ingin membawa tradisi baru kemudian harus dianggap gila, orang aneh, hingga ancaman yang harus dimusnahkan karena mengganggu struktur kekuasaan yang sedang ada.
Inilah yang dulu dialami oleh Nabi Muhammad ketika 13 tahun berdakwah di Mekkah. Beliau dianggap sebagai orang gila, tidak waras, bahkan sampai dikucilkan dari masyarakat karena seruan yang beliau bawa.
(3)
Masih di Surah Al-Qalam, Allah berfirman pada ayat 8 hingga 15,
Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (8); Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (9); 10. Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina (10); Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah (11); Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (12); Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13); Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak (14); Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala” (15).
Ayat ini memang memberikan gambaran tentang orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah di masa Nabi Muhammad; mereka yang mendustakan ayat-ayat Al-Qur’an karena dianggap mengganggu struktur kekuasaan dan kebudayaan masa itu. Namun, saya tertarik untuk menarik ayat ini ke ranah yang lebih kontemporer. Ayat ini juga mengingatkan kita bahwa ada juga orang-orang yang hingga saat ini menolak perubahan iklim, menganggap Greta Thunberg hanya anak kecil yang emosinya labil; atau mengabaikan amdal ketika mau menambang dengan berbagai alasan. Juga mengingatkan pada mereka yang mengesampingkan riset-riset tentang lingkungan dengan alasan mengganggu pembangunan ekonomi yang sedang berjalan.
Tentu saja, ayat tersebut tidak secara langsung bicara tentang orang yang mendustakan pengetahuan. Akan tetapi, ada satu bagian di Surah Al-Qalam Ayat 15 yang memberikan kita petunjuk: Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala” (Ayat 15).
Syahdan, ulama menafsirkan ‘ayat’ ke dalam dua jenis, yaitu ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat Allah yang bersifat tekstual, yaitu apa yang ada dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab yang diturunkan Allah pada umat-umat sebelumnya. Namun, ada juga ayat ‘kauniyah’, yaitu tanda-tanda alam yang ada di alam semesta yang bisa diungkap melalui ilmu pengetahuan.
Selama ini, kita sebagai umat Islam berfokus untuk membaca ayat-ayat qauliyah, mengkhatamkannya, dan membacanya berulang-ulang. Ini tentu positif. Akan tetapi, kita seringkali lupa bahwa anjuran lain dari Al-Qur’an adalah juga untuk membaca ayat-ayat kauniyah dengan memahami fenomena di alam semesta dan memahami realitas sosial. Keduanya satu paket dan tidak bisa dipisahkan. Dan sejarah membuktikan bahwa upaya untuk membaca ayat-ayat kauniyah di tengah masyarakat yang terperangkap oleh dogma-dogma politik dan sejarah, justru banyak dianggap aneh dan asing.
Dan realitas sosial juga membuktikan bahwa orang-orang yang menolak pengetahuan tidak terjadi karena mereka tidak tahu, tapi justru karena mereka mempertahankan struktur kekuasaan yang sudah mapan. Orang-orang yang menolak fakta tentang perubahan iklim kebanyakan adalah orang-orang lingkaran sayap kanan dalam politik Amerika Serikat. Apakah mereka berpendidikan? Mereka tentu punya privilese ekonomi untuk menempuh pendidikan tinggi dan punya akses terhadap temuan sains terbaru (dibanding, misalnya, mahasiswa kere Indonesia yang harus mengakses jurnal via Sci-Hub). Namun, mereka menolak sains karena punya kepentingan terhadap industri, kepentingan terhadap kemapanan struktur politik dan kekuasaan yang mereka miliki, hingga ketakutan terhadap perubahan yang membuat privilese ekonomi mereka hilang.
Pada titik inilah pelajaran dari Surah Al-Qalam jadi relevan: janganlah takut terhadap mereka yang menolak pengetahuan hanya karena mendustakan, menghina, dan dalam titik tertentu menghalang-halangi kita karena tidak suka dengan pengetahuan tersebut! Jangan takut untuk melanjutkan riset dan berpengetahuan hanya karena orang-orang yang punya privilege dan kekuasaan tidak suka dengan pengetahuan itu. Tugas seorang Muslim adalah berpengetahuan dan mengajarkan pengetahuan itu pada masyarakat, sehingga kita bisa membedakan kebenaran dan kebatilan secara jelas. Tugas seorang Muslim juga untuk bersikap kritis dengan pengetahuan tersebut tanpa harus takut dengan persekusi, sweeping, atau razia-razia dari orang-orang yang tidak membaca.
(4)
Pada akhirnya, membaca, menulis, dan mengajarkan pengetahuan menjadi tugas yang tidak mudah. Ketika Nabi Muhammad sampai ke Madinah, beliau dikelilingi oleh para penuntut ilmu yang tinggal di Masjid Nabawi. Mereka kemudian dikenal sebagai ahlus-Suffah, generasi yang di kemudian hari dikenal sebagai generasi pencetak ulama. Generasi ini diwariskan dari masa ke masa, melahirkan tradisi keilmuan Islam yang tak putus hingga saat ini.
Namun, ada satu hal lain yang perlu juga untuk diperhatikan: tidak semua generasi ulama lahir dan besar dalam lingkungan keilmuan yang nyaman. Banyak di antara mereka yang berhadapan dengan kekuasaan. Sebab, pengetahuan punya fungsi subversive: ia menjadi kritik yang ampuh terhadap kekuasaan yang korup. Itulah sebabnya, banyak rezim otoriter yang melancarkan perang justru tidak kepada tentara musuh, tetapi kepada jurnalis dan peneliti. Pengetahuan menjadi instrumen yang penting untuk membawa perubahan sosial, dan oleh karenanya ia harus berhadapan dengan struktur kekuasaan dan ekonomi-politik yang sudah mapan.
Di titik inilah, sebagai seorang Muslim, kita juga perlu mawas diri dan menghargai pengetahuan. Jangan sampai, kenyamanan kita pada kekuasaan menjadikan kita orang-orang yang mendustakan alih-alih menjadi generasi pembelajar. Artinya, bisa jadi alih-alih berkhutbah tentang ‘konspirasi’ pada anak-anak muda, ada baiknya kita melakukan hal yang lebih baik: kembali ke laboratorium, mendirikan pusat-pusat penelitian, memberikan dana riset bagi peneliti, membuka dan mendorong perpustakaan di desa-desa, dan mentradisikan pengetahuan pada masyarakat.
Atau, dengan kata lain, kembali mengangkat ‘pena’ dan menuliskannya kepada masyarakat kita melalui riset dan tradisi literasi yang berkelanjutan. Saya yakin, dengan cara inilah Islam akan kembali berjaya di muka bumi.
Nuun; Wal Qalami Wa Maa Yasthurun.***
Ahmad Rizky Mardhatillah Umaradalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia