Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp. International Unlimited)
“Saya Seorang Nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan, My nationalism is humanity” Mahatmah Gandhi
JUMAT 16 Agustus, 2019. Sehari menjelang hari peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, sebuah kado ‘pahit’ dihadiahkan bagi tanah air tercinta. Pekan yang semestinya penuh kegembiraan berubah mencekam karena rentetan peristiwa penyerangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di beberapa wilayah tanah air. Kota-kota besar seperti Malang, Surabaya dan Makasar menjadi panggung bagi pertunjukkan kebencian ras yang diskriminatif. Rentetan peristiwa tersebut memicu kerusuhan besar di Manokwari Papua Barat sebagai buntut dari kekecewaan atas peristiwa penyeragan dan penahanan mahasiswa Papua.
Menariknya penyerangan tersebut melibatkan anggota kepolisian, tentara dan ormas-ormas yang katanya penjaga dan pengawal Pancasila. Teriakan kata-kata rasis mewarnai penyerangan. Intimidasi dan ancaman kekerasan menjadi model pendekatan utama. Semua karena informasi pengrusakan bendera merah putih yang kemudian justru tidak terbukti. Kenyataan tersebut memperlihatkan betapa aparat penegak hukum di republik ini masih sama seperti yang sudah-sudah. Tak peduli sehebat apa mereka memperbaiki image dalam berbagai kesempatan dan cara, mereka tetaplah sama: kasar, tidak adil, dan tidak profesional.
Penyerangan tersebut jelas adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Bahkan untuk alasan nasionalisme sekalipun, sikap dan tindakan semacam ini tidak dapat dibenarkan. Sebab kecintaan terhadap bangsa Indonesia ditunjukkan melalui sikap mengayomi dan melindungi warga negara, bukan sebaliknya menyerang warga negara atas nama simbol negara. Dari cara merespon dan memahami isu tersebut saja, sangat nampak ketidakadilan. Persoalan diskriminasi rasial semacam ini menampilkan kekeliruan dalam memahami nasionalisme atau cinta tanah air. Perlu untuk dicatat, bahwa setiap pendekatan represif terhadap kebebasan menyatakan pendapat terhadap sebuah bangsa atau suku bangsa, berakhir dengan kegagalan pihak penekan.
Percikan konflik semacam ini boleh jadi dilatari kecurigaan besar terhadap orang Papua yang dimata sebagian besar masyarakat Indonesia, dianggap menginginkan kemerdekaan dan menentukan nasib mereka sendiri. Hal ini terjadi karena keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau yang oleh pemerintah disebut kelompok kekerasan bersenjata, dipandang sebagai pendapat bersama seluruh masyarakat Papua. Kecurigaan semacam ini kemudian menjadi alasan pembenar bagi tindakan-tindakan persekusi, diskriminasi hingga kekerasan terhadap masyarakat Papua. Padahal disaat yang sama negara mendapatkan keuntungan besar dari kekayaan alam bumi cendrawasih ini.
Papua akan seterusnya ditetapkan sebagai daerah rawan konflik, sebuah daerah operasi militer Indonesia yang seolah-olah harus terus dijaga keamanannya. Banyak pihak akan kehilangan sumber pundi-pundinya apabila Papua tidak lagi dianggap daerah rawan konflik. Sebab anggaran negara yang dikeluarkan untuk biaya pengamanan daerah konflik tidaklah sedikit. Belum lagi ongkos pengamanan untuk sejumlah lokasi pertambangan yang diberikan bagi personel pengamanan tambahan yang sebagian besar adalah tentara dan polisi. Menariknya, pemerintah tak henti-hentinya mengirim tentara dan polisi ke Papua dalam jumlah yang sangat besar dibandingkan jumlah guru, tenaga kesehatan, dosen dsb.
Soekarno menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang sempit; Ia bukan nasional yang timbul dari kesombongan bangsa belaka; Ia adalah nasionalisme yang lebar, nasionalisme yang timbul dari pengetahuan atas susunan dan riwayat: ia bukanlah chauvinism dan bukan tiruan nasionalisme barat. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang di dalam kelembagaan dan keleluasaannya memberi tempat cinta kepada lain-lain bangsa. Kalimat Soekarno dalam penggalan pidatonya tersebut menegaskan betapa pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dihargai dan dilindungi dalam praktik hidup bernegera oleh semua pihak. Nasionalisme Indonesia semestinya adalah sikap menerima, menghargai, menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia. Nasionalisme Indonesia wajib melahirkan sikap adil dan beradab terhadap semua suku, semua agama, semua ras dan golongan. Artinya dalam menghadapi konflik seperti ini, wajib mengedepankan pendekatan yang melindungi hak-hak warga negara dan terutama menunjukkan keber-ADAB-an.
Persoalan HAM Papua
Dalam beberapa dekade terakhir, Papua hampir pasti tidak beranjak dari berita-berita kekerasan (pelanggaran HAM) tanpa solusi, tuduhan kegiatan makar yang repetitif dan bagi mayarakat Papua, terlihat kepercayaan terhadap pemerintah pusat akan kembali skeptis. Presiden Joko Widodo, semula memiliki niatan baik untuk membangun Papua lewat pendekatan Non-keamanan melalui beragam program percepatan pembangunan, mulai dari pembanguan infrastruktur pokok pendukung seperti jalan raya hingga upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pembangunan sekolah, peningkatan kualitas guru, dsb. Sayangnya, agenda Hak Asasi Manusia masih belum secara tegas dilaksanakan sebagaimana termuat dalam agenda pembangunan pemerintah. Padahal pembangunan Papua tidak akan berjalan sempurna tanpa adanya solusi terkait persoalan HAM.
Persoalan-persoalan HAM masa lalu yang terjadi di Papua hingga hari ini belum mendapatkan pengakuan dan pertanggunjawaban pemerintah. Impunitas pada kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut menjadi faktor yang membentuk kesadaran orang Papua bahwa mereka selalu didiskriminasi oleh pemerintah pusat. Papua menjadi contoh dari sulitnya mewujudkan keadilan transisi di Indonesia. Gejolak kekerasan yang terjadi di Papua dan wilayah lain yang dialami orang Papua akan memengaruhi kepercayaan mereka terhadap pertanggungjawaban negara. Akhirnya segala bentuk percepatan pembangunan di Papua dipandang sebagai upaya mempermudah kontrol terhadap warga negara, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan akan dicurigai sebagai cara negara mempermudah mobilisasi personel bersenjata, mempermudah eksploitasi sumber daya alam, dan melanjutkan ketidakadilan terhadap orang Papua.
Kumpulan fakta kekerasan yang terjadi, jelas tidak sejalan dengan komitmen politik negara untuk mengembangkan aspek kesejahteraan di Papua. Dalam hal ini pemerintah terus menerus menempatkan isu kesejahteraan sebagai cara utama menjawab persoalan Papua yang kompleks. Persoalan Papua selalu dilihat sebagai persoalan kesejahteraan ekonomi semata, dan mengabaikan isu-isu penting lain. Persoalan pelanggaran HAM, pengakuan atas hak identitas, aspirasi politik dan akses pembangunan manusia masih jauh panggang dari api. Kita menanti keseriusan pemerintah menyelesaikan kasus Wasior (2001), kasus Wamena (2003, Peristiwa Abepura (2001) dan sejumlah kasus-kasus kekerasan lain yang terutama melibatkan aparat negara, tentara dan polisi lainnya.
Persoalan Papua sejatinya terlalu kompleks untuk disederhanakan pada persolan ekonomi semata. Buktinya, setelah geliat percepatan pembangunan dimulai pemerintah melalui pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dan lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, belum mampu secara signifikan memperbaiki kondisi di pembangunan Papua. Sejumlah persoalan lain kemudian bermunculan, terutama persoalan kesenjangan yang justru semakin tinggi antara orang Papua asli dengan sebagian besar pendatang dari luar Papua.
Nasionalisme Politik Indonesia dan Kebenaran sejarah Politik Papua
Sejarah membuktikan, nasionalisme politik Indonesia cukup mampu merajut kepentingan masyarakat plural yang sejatinya sulit menentukan kehendak bersama. Akan tetapi, gagasan nasionalisme politik Indonesia baru sukses ketika ada musuh bersama, semisal kolonialisme. Kondisi tersebut berkaitan dengan penentuan siapa ‘kawan’ dan siapa ‘lawan’ bersama sebagai bangsa. Persis ketika tidak ada lagi ‘lawan’ yang nyata, maka perbedaan SARA mendadak menjadi penting untuk diadu kekuatannya. Maka nasionalisme politik dituntut untuk mempertahankan kehendak bersama dan horizontal comradeship, memecahkan masalah-masalah konkrit, yang sumber-sumber masalahnya tidak melulu dialamatkan kepada kejahatan musuh dari luar.
Ketika nasionalisme politikal gagal merealisasikan janji-janjinya, anasir-anasir nasionalisme kultural akan menguat kembali sebagaimana yang terjadi di Papua. Kondisi tersebut terjadi, ketika Papua dan sejarahnya tidak mendapat tempat dalam sejarah bangsa Indonesia yang sangat Jawasentris. Kebenaran sejarah Politik Papua dan kebudayaannya perlu disampaikan secara terang dan sebenar-benarnya sebagai bagian penting dari bangsa Indonesia. Konflik Indonesia-Papua adalah fakta sejarah yang tidak boleh disepelehkan. Sebagai wilayah yang paling akhir digabungkan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Papua sejatinya adalah primadona rebutan banyak negara dengan kepentingan eksploitasi sumber dayanya.
Peristiwa Surabaya yang menimpa mahasiswa Papua boleh jadi menampilkan wajah Indonesia yang sesungguhnya. Tidak banyak yang berubah sejak Indonesia merdeka 74 tahun lalu. Wajah Indonesia hari ini adalah wajah dengan sejuta topeng penuh kebohongan. Wajah yang pada satu sisi menampilkan kecintaan pada Pancasila, tetapi pada sisi lain secara terang benderang mencederai kemanusiaan dalam kesehariannya.
Semua cerita keindonesiaan, saling menghargai, toleransi dan sebagainya sepertinya hanya basa-basi dalam kehidupan bersama belaka. Faktanya, kita masih begitu sulit menerima kenyataan telah bersatu sebagai sebuah bangsa dengan perbedaan Suku, Agama, Ras dan Golongoan. Politik atas nama agama ditampilkan secara gamblang di ruang-ruang publik. Sentimen kebencian bernafas SARA dengan bangga disampaikan dalam dakwah, khotbah, ceramah, diskusi hingga orasi-orasi keagamaan. Media sosial menjadi corong menyebarkan virus perpecahan.
Harapan
Kita berharap agar pemimpin nasional mengambil inisiatif yang tegas perihal keberadaan tentara dalam jumlah yang terlalu besar di Papua. Berharap agar pendekatan dalam konteks pembangunan Papua mengedepankan pendekatan non-militer dan melanjutkan sejumlah pembangunan infrastruktur di Papua. Berharap agar hak ulayat suku-suku di Papua di lindungi dan diakui oleh negara. Berharap agar investasi di Papua harus sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat Papua. Berharap agar semua persoalan kemanusiaan di masa lalu hinga hari ini diselesaikan segera. Berharap agar pembangunan sumber daya manusia menjadi proyek utama pemerintah. Berharap agar seluruh generasi muda Papua yang sedang menempuh pendidikan mendapatkan rasa aman, dimana saja mereka berada di wilayah Indonesia.
Pada akhirnya kita perlu menyadari betapa pentingnya menerima dan menghargai perbedaan. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah naasional yang menentukan sejarah dan masa depan bangsa Indonesia sepatutnya dipertanyakan dan direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan ingatlah selalu kalimat Gandhi, “Saya Seorang Nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan, My nationalism is humanity” Salam Perjuangan.***
Kristianus Antonius Saputraadalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta angkatan 2014, berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)
Kepustakaan:
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Bahan Advokasi Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, KontraS 2016
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualisasi Pancasila, Gramedia, 2015
Yudi Latif, Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan, Mizan, 2014