Gubernur Maluku Murad Ismail, berbaju putih. Kredit foto: www.malukuterkini.com
“KEMARIN saya menghadap komisioner KPK. Saya minta tolong agar jika ada terendus kepala daerah di Maluku maupun para pimpinan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait masalah korupsi, supaya jangan langsung ditangkap melainkan dibina, ditegur.”
Pernyataan ini dilontarkan Gubernur Maluku Murad Ismail dalam apel perdana bersama pejabat eselonnya setelah sepuluh hari dilantik Jokowi pada 24 April 2019 lalu. Dalam apel tersebut dia juga mengungkapkan, ketika menjabat Kapolda Maluku pada 2013 – 2015, dia pernah membebaskan tersangka korupsi Abdullah Vanath, Bupati Seram Bagian Timur periode 2005 – 2015, atas kasus pengelolaan anggaran deposito keuangan daerah Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) senilai Rp 2,5 miliar,
“Kenapa saya tidak tangkap AV (Abdullah Vanath) dan kepala dinas bahkan bupati serta walikota di Maluku yang terlibat masalah korupsi selama saya jabat Kapolda? Karena saya pikir, jika saya tangkap mereka, kapan Maluku ini maju. Maluku baru selesai dari kehancuran dan masih terus berbenah. […] Karena merasa iba, dan dengan segala pertimbangan, saya akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan proses kasus korupsi tersebut. Padahal AV saat itu sudah terbukti bersalah. (Said) Assagaff (Gubernur sebelumnya) bilang tangkap. Itu menurut dia. Tapi saya tidak”.
Pernyataan Murad Ismail tentu saja konyol dan bukan kali pertama dia melakukannya. Pada tahun 2014, Murad juga pernah melontarkan pernyataan yang sama dan menuai kritik tajam. Bagaimana mungkin dia, sebagai penegak hukum, menghentikan kasus korupsi dengan alasan yang sulit masuk ke dalam akal kita? Esai ini akan mencoba melihat lebih jauh kekonyolan tersebut dan apa dampak buruk di balik jalan pikiran semacam itu.
Jalan Pikiran Sesat Gubernur Baru
Murad menganggap langkahnya menghentikan kasus korupsi para elite politik lokal merupakan upaya untuk membenahi Maluku dari kubangan keterpurukan pasca konflik. Baginya, jika dulu kasus Vanath diproses dan orangnya dijebloskannya ke penjara, itu akan memancing gejolak baru hubungan antar masyarakat dan kehidupan sipil yang kini sudah berjalan baik. “Jangan lagi menyusahkan orang Maluku, kasus-kasus itu sudah lama, sudah usang”, ucapnya dalam satu kesempatan. Memang, Vanath adalah salah satu elite politik yang cukup diperhitungkan di Maluku. Dia merupakan politisi sekaligus pemburu rente yang sukses dan memiliki basis solid di Kabupaten Seram Bagian Timur.
Bagi pensiunan jenderal (polisi) seperti Murad, yang dalam masa kampaye kerap melontarkan kata-kata bersayap semacam “stabilitas keamanan, “kehidupan harmonis”, dan “potensi sumber daya alam” sebagai fondasi pembangunan,—kata-kata kesukaan pemimpin otoriter medioker yang belakangan menjadi template dari fellow sesama pensiunan ketika mereka bertarung di pilkada, dari Mayjen TNI (Purn) Sudrajat dan Mayjen TNI (Purn) TB. Hasanuddin di Jawa Barat hingga Letjen TNI (Purn) Edi Rachmayadi di Sumatera Utara, kata-kata yang sebetulnya memperlihatkan miskinnya gagasan para pensiunan itu akan pembangunan yang demokratis, pula minimnya pengalaman mereka memegang jabatan sipil/publik dan berhubungan dengan kerumitan proses demokrasi—semua kepentingan elite politik yang mempunyai pendukung loyal, serta dalam level tertentu memiliki pengaruh dan ketokohan, perlu difasilitasi.
Sikap Murad sekilas kelihatan “benar”. Dia bisa bilang bahwa mewujudkan Maluku yang maju tidak bisa dilakukan sendiri, tapi secara bersama-sama. Slogan-slogan seperti“kemajuan anak negeri”, “ale rasa beta rasa”, “potong di kuku rasa di daging” adalah favoritnya untuk memanggil romantisme gotong royong. Namun yang sebetulnya dilakukan oleh Murad adalah mendekatkan jaringan yang menyambungkan titik-titik sumber daya politik dan ekonomi di daerah dalam jangkauannya supaya menjaga roda pemerintahan tetap berputar.
Begitulah sesatnya jalan pikiran Murad, yang kemungkinan akan dia tapaki selama memimpin Maluku lima tahun ke depan. Penggalan pernyataannya di awal jelas mendorong penyelesaian kasus korupsi—bisa jadi kasus-kasus hukum lainnya—melalui cara-cara warisan Soeharto: teguran dan pembinaan. Pada zaman Soeharto, cara ini bekerja melalui apa yang dikenal sebagai penyelesaian masalah “secara kekeluargaan”, yang dilakukan untuk menyiasati krisis kekuasaan dengan menangguhkan sementara kiprah kroni yang bermasalah dari hadapan publik. Tapi di belakang layar, orang-orang bermasalah itu tetap diberikan kesempatan untuk menata kehidupan politik mereka dan tanpa menunggu waktu lama kembali meramaikan dunia politik.
Tidak heran, hanya butuh tiga tahun (waktu yang pendek) setelah kasus korupsinya dihentikan, Abdullah Vanath membangun lagi kekuatan politik dan kemudian menantang Murad dalam Pilkada Maluku 2018.
Mengingat kecenderungan kompromi pada kejahatan ini, sejak awal pencalonan Murad saya sendiri tidak berharap banyak adanya perubahan dan terobosan berarti bagaimana provinsi ini dikemudikan bersama wakilnya Barnabas Orno (Bupati Maluku Barat Daya periode 2011 – 2016 dan 2016 – 2019). Ini bukan kesimpulan yang ceroboh, paling tidak jika melihat kembali visi misi Murad dan Barnabas, bahkan visi misi lawan-lawannya, yang tidak memiliki fokus dan kering penjelasan. Kita perlu tahu, misalnya, apa saja masalah mendasar di Maluku yang hendak diatasi dengan kebijakan mereka dan identifikasi mereka atas tantangan pembangunan kedepan. Sejauh yang ditemukan adalah pengulangan rapalan kata-kata seperti “keamanan”, “sumber daya alam”, “pembangunan ekonomi pesisir”, “pariwisata” dan “konektivitas gugus pulau”. Tidak ada penjabaran lebih jauh dalam program kerja dan target yang dicapai.
Kompetisi pilkada yang mereka ikuti, bisa dibilang, bukanlah adu rinci visi-misi-program dan fisibilitasnya. Tetapi adu tajam kekuatan, keuangan dan konsolidasi politik yang seringkali berwatak culas. Saya ada pada hari-hari masa kampanye serta pemungutan suara Pilkada Maluku setahun lalu dan mendengar cukup banyak cerita seputar masa kampanye pilkada yang banal dan licik yang dilakukan oleh semua pasang calon. Hasanuddin, Wakapolda Maluku saat periode kampanye Pilkada Maluku, dicopot dari jabatannya karena terbukti memberikan dukungan terbuka kepada Murad Ismail. “Tugas kita adalah selain mengamankan Pilkada aman, lancar dan damai juga dalam rangka memenangkan MI (inisial Murad Ismail),” ucapnya dalam rekaman yang dilansir Indonesia Police Watch (IPW).
Di beberapa daerah di Maluku Tenggara, surat suara di 32 TPS dicoblos kepada salah satu pasang calon yang dilakukan oleh perangkat desa yang merangkap petugas pemilihan. Sementara di beberapa desa lain di Ambon, ada yang menyaksikan praktik mencegat dan memberi uang saweran kepada orang yang lewat di depan tempat pemungutan suara yang bukan lokasi pemilihannya, untuk mencoblos salah satu pasang calon (wawancara dengan AM dan KS, Ambon 2018). Sandera menyandera jabatan berjalan kencang. Birokrat seperti kepala dinas dan guru ditakut-takuti supaya mendukung calon tertentu, jika tidak akan dipindah tugaskan ke tempat terjauh. Kepala desa atau elite politik ditodong untuk memilih salah satu calon, jika tidak mau praktik suap dan korupsinya dibongkar.
Kasus Korupsi yang Macet dari Para Soeharto Kecil
Murad bukannya tidak tahu ada banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh pemimpin, elit politik, birokrat eselon maupun birokrat rendahan di semua level dan daerah di Maluku. Dia juga tahu bahwa proses hukum menjadi alat tawar-menawar. Aparat penegak hukum menjadi instrumen dari negosiasi politik dan sebagai alat penegakan disiplin relasi patron klien. Pada tahun 2018, tercatat ada 26 birokrat di Maluku yang dikatakan siap dipecat karena kasus terlibat korupsi yang ditangani pengadilan tinggi Ambon. Meskipun begitu, ada banyak kasus korupsi yang melibatkan para penguasa dan kasusnya menguap. Gambar di bawah hanya menampilkan beberapa contoh dari banyak kasus korupsi yang proses hukumnya terhenti.
Karel Ralahalu serta Said Assegaf, dua bekas Gubernur Maluku yang berkuasa era pemilihan langsung kepala daerah, menganut jalan pikiran kompromi yang sama dengan Murad. Sebagai kepala daerah yang sebetulnya memiliki otonomi untuk merumuskan fokus pembangunan di Maluku dan menciptakan peta pembangunan Maluku, mereka sebetulnya gagal. Para bekas Gubernur ini hanya efektif sebagai administratur atau pelaksana harian dari misi pembangunan yang disodorkan Jakarta. Periode kepemimpinan mereka dijalankan dengan cara-cara kompromi, memanfaatkan jaringan patron klien demi membengkakkan kekayaan. Ketika sudah tidak lagi berada dalam pusaran kekuasaan, kasus korupsi mereka terburai.
Ralahalu yang bekas petinggi di Freeport dan Kepala Staf Kodam Cendrawasih itu, sehabis menjabat Gubernur dua periode (2003 – 2008 dan 2008 – 2013) tersangkut kasus gratifikasi rumah mewah seharga 10 milliar rupiah. Kasus ini berhenti di meja Kejaksaan Tinggi Maluku dan Ralahalu melenggang bebas. Dia juga pernah tersandung kasus penyelewangan dana bantuan pengungsi konflik Maluku pada tahun 2003 dan tidak pernah ada kelanjutan hukumnya. Padahal, dalam kasus-kasus korupsi dana kemanusiaan pelakunya dapat diancam dengan hukuman mati. Sementara Assegaf, bekas sekretaris daerah dan Wakil Gubernur di periode kedua Ralahahu (2008 – 2013), yang kemudian menjabat Gubernur pada periode 2013 – 2018, terseret dalam kasus reverse repo obligasi Bank Maluku. Assegaf pernah menjadikan kemiskinan di Maluku sebagai bahan guyonan, mengatakan bahwa “orang Maluku biar miskin asal bahagia”. Tapi selama menjabat Gubernur, orang ini tidak pernah berhasil menurunkan angka kemiskinan di Maluku yang selalu berada di atas rata-rata angka kemiskinan nasional.
Politik di Maluku yang permisif terhadap korupsi dan uang sama sekali menyingkirkan kosakata ‘kesejahteraan rakyat’ dari tindakan para pemimpinnya. Maluku tetap menjadi provinsi termiskin ketika para gubernur yang cupet secara gagasan itu beradu korupsi dengan—apa yang ditulis oleh esais India Pankaj Mishra sebagai—‘mini-Suhartos’, atau para ‘Suharto kecil’ (selanjutnya istilah ini lebih saya pakai untuk merujuk para Bupati). Para Suharto kecil kebanyakan menjabat dua periode dan merebut setiap kesempatan politik yang ada untuk mendorong keluarga dan kroni mereka meramaikan jalan perebutan kekuasaan. Sepak terjang mereka tidak pernah bersih dari kasus korupsi dan nepotisme. Mula-mula para keluarga mereka merebut kesempatan menjadi anggota legislatif, terlibat dalam urusan birokrasi dan proyek-proyek publik, mengais pengaruh, dan kemudian mewarisi tahta sebagai penguasa daerah.
Mereka lihai mengontrol birokrasi dan struktur di bawah mereka dengan menempatkan orang-orang kepercayaan mereka di jabatan penting eselon kabupaten, dan mengikat kesetiaan berbagai kepala desa dengan menggunakan iming-iming proyek perbaikan jalan kampung, lapangan olahraga, dermaga kapal, dll. sebagai bentuk penghargaan dan atau, hukuman. Kecerdikan mereka dalam membangun tentakel dinasti politik hanya satu lapis di bawah Ratu Atut Chosiyah dari Banten, namun sama dalam hal rakus akan kekuasaan dan korup.
Beberapa Soeharto kecil di Maluku bisa dibahas di sini.Pertama, Abdullah Tuasikal. Dia adalah Bupati Maluku Tengah dua periode (2002 – 2007 dan 2007 – 2012) serta bekas Ketua DPD Golkar Maluku. Dia pernah bertarung di dua kali Pilkada Maluku 2008 dan 2013 namun kalah telak. Selama menjabat Bupati, Abdullah lihai menata bangunan dinastinya. Pada pileg 2004, istri Abdullah, Mirati Dewaningsih, terpilih sebagai anggota DPD. Kemudian pada pileg 2009, Mirati terpilih sebagai anggota DPR dari PKB. Setelah tidak lagi menjabat bupati, Abdullah menyerahkan kursi kekuasaanya kepada kakaknya, Abua Tuasikal yang kini menjabat untuk periode kedua (2012 – 2017 dan 2017 – 2022).
Abdullah Tuasikal pernah tersangkut kasus korupsi pembelian kapal cepat milik pemerintah daerah Maluku Tengah senilai Rp. 13,9 miliar, namun kasusnya tidak pernah diteruskan oleh kejaksaan. Pada pileg 2014, Mirati sang istri “menitipkan” sebentar jatah ke senayan kepada anaknya, Amri Tuasikal, yang lolos sebagai salah satu anggota dewan termuda dari Partai Gerindra, tapi kemudan diganti karena kinerja buruk di parlemen. Pada pemilu serentak tahun ini, dinasti Tuasikal tidak ingin ketinggalan beradu untung. Abdullah yang menunggang Partai Nasdem lolos sebagai anggota DPR dan istrinya kembali ke Senayan sebagai anggota DPD.
Kedua,Jacobus Puttileihalat. Dia adalah Bupati Seram Bagian Barat dua periode (2006 – 2011 dan 2011 – 2016) dan pernah menjabat Ketua DPD Partai Demokrat Maluku. Dia pernah sekali ikut bertarung di Pilkada Maluku 2013 tapi nasibnya sama seperti Abdullah Tuasikal, keok. Selama menjadi Bupati, dia tidak ketinggalan melibatkan saudaranya dalam pusaran kekuasaan politik dan ekonomi. Dengan bantuannya, adiknya Matheis Gaspar Puttileihalat menjadi anggota DPRD Provinsi Maluku periode 2014 – 2019. Adik Jacobus yang lain, Johanis Puttilehalat, turut bermain dalam proyek pembangunan fasilitas publik di Kabupaten Seram Bagian Barat. Pada 2016, Johanis menjadi pelaksana pembangunan puskesmas rawat inap di satu desa di SBB dengan nilai proyek Rp. 1,14 miliar. Dua tahun kemudian, Pengadilan Tipikor Maluku menjatuhkan hukuman pidana kepada Johanis karena terbukti terlibat korupsi pada proyek puskesmas itu. Sementara sang kakak, setahun sehabis menjabat Bupati, juga dijerat kasus korupsi dana publikasi Kabupaten SBB senilai Rp. 500 juta lebih dan uangnya bersumber dari APBD. Proses hukum kasus korupsi Jacobus juga berhenti begitu saja.
Ketiga, Abdullah Vanath. Dia adalah Bupati Seram Bagian Timur (SBT) dua periode (2005 – 2010 dan 2010 – 2015) dan pernah menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Maluku sebelum Jacobus Puttileihallat. Vanath, yang dipecat oleh DPP Demokrat karena konflik terkait rekomendasi partai, pernah maju dua kali dalam Pilkada Maluku, pertama pada 2013 ketika dia masih menjabat Bupati, dan kedua pada 2018. Selagi menjabat Bupati, Vanath membantu meloloskan istrinya Rohani Vanath ke Senayan dalam pileg 2014 – 2019 dan pada saat yang hampir sama dia terjerat korupsi pengelolaan anggaran deposito Kabupaten SBT.
Kasus itu, selain dihentikan proses hukumnya oleh Murad Ismail, juga disetop dengan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2). Alasan dari kejaksaan yang mengeluarkan SPK2 adalah karena Vanath telah mengembalikan uang negara. Padahal sudah jelas bahwa UU Pemberantasan Tipikor tidak membenarkan penghentian kasus pidana korupsi sekalipun tersangka mengembalikan uang yang dia curi. Petualangan pidana Vanath tidak berhenti di sini. Saat maju bertarung pada Pilkada Maluku 2018, Vanath terlibat kasus penipuan yang merugikan rekan bisnisnya senilai Rp. 1.2 miliar. Kasus ini sempat dilaporkan oleh korban tapi macet di tangan kepolisian.
Dan keempat, Barnabas Orno. Politisi PDIP ini menjabat Bupati Maluku Barat Daya dua periode (2011 – 2016 dan 2016 – 2019), meski tidak menghabiskan periode keduanya karena naik menjadi Wakil Gubernur Maluku. Barnabas pernah dituntut oleh beberapa aliansi masyarakat sipil agar ditangkap karena kasus pembangunan Bandara Moa dan dugaan gratifikasi yang dia terima dari perusahaan tambang PT Gemala Putra Borneo (anak perusahaan Salim Group), yang menghancurkan ekosistem dan kehidupan masyarakat di pulau Romang.
Satu adik Barnabas, yaitu Francois Orno, ikut terjun dalam politik jelas didukung sang kakak. Francois menjadi anggota DPRD Maluku periode 2014 – 2019 dari PDIP dan pada pemilu tahun ini terpilih lagi sebagai anggota dewan. Seperti yang ramai diberitakan media lokal, Francois akan ikut dalam transfer kekuasaan kakaknya, di mana dia digadangkan menjabat Wakil Bupati Maluku Barat Daya, berpasangan dengan wakil bupati sebelumnya Benyamin Thomas Noach yang naik menjadi Bupati. Adik Barnabas yang lain, Desianus Orno, juga bermain dalam pusaran kekuasaan kakaknya. Dia pernah menjadi Kepala Dinas Perhubungan dan Kepala Bappeda MBD semasa kakaknya menjabat Bupati. Desianus pernah terkait kasus korupsi pengadaan empat unit speedboat bernilai 1,5 miliar rupiah.
Gambaran tentang dinasti politik di atas menunjukkan bahwa siapapun yang berada di lingkaran kekuasaan di Maluku akan menjadi kebal hukum. Bisa saja kasus mereka terkuak saat mereka tidak lagi menjabat, tapi kemungkinan besar proses hukumnya berhenti di tengah jalan.
Suburnya dinasti politik di Maluku bukan karena kultur keningratan yang kuat. Tapi karena desentralisasi dan otonomi daerah tidak berhasil membendung uang sebagai pelumas kompetisi demokrasi, yang kemudian menjadi penentu dalam pilihan politik. Dinasti yang memiliki akses atas sumber daya ekonomi dan lihai memanipulasi jaringan patron klienlah yang berhasil bertahan. Marcus Mietzner, professor ilmu politik dari Australian National University, dalam tulisannya yang memotret tensi politik di Maluku—daerah pinggiran dari pusat pertarungan politik di Jakarta— menjelang pemilu serentak 2019, mencatat ada 8 dari 11 Bupati/Walikota di Maluku mendorong keluarganya bertarung merebut kursi parlemen lokal, baik kabupaten maupun provinsi. Salah satunya adalah Ramli Umasugi, Bupati Buru dua periode (2012 – 2017 dan 2017 – 2022) yang berhasil memenangkan anaknya, Nadia Umasugi, sebagai anggota DPRD Maluku.
Memburuknya Kualitas Pendidikan Akibat Korupsi
Pada satu kurun, para Gubernur cupet ini pernah memerintah sezaman dengan para Suharto kecil. Karel Ralahalu pernah menjabat saat Abdullah Tuasikal menggenapi jabatan Bupati dua periode dan kakaknya yaitu Abua mulai menjabat, serta Jacobus Puttileihalat, Abdullah Vanath, Ramli Umasugi dan Barnabas Orno menjabat Bupati untuk periode pertama. Sementara Said Assegaf menjadi Gubernur ketika Jacobus Puttileihalat, Abdullah Vanath, Abua Tuasikal, Barnabas Orno dan Ramli Umasugi menjabat untuk periode kedua.
Apa yang terjadi ketika para gubernur dan bupati yang pernah sama-sama memegang kekuasaan dalam satu kurun itu adalah saling beradu korupsi. Kesejahteraan rakyat tidak diperdulikan sementara kesejahteraan kroni yang dikejar. “Yang kita saksikan adalah perlombaan memperdalam cengkeraman kekuasaan, sementara tanggung jawab untuk menyediakan layanan publik yang berkualitas bagi kesejahteraan rakyat tidak pernah terwujud. Kalau bisa bilang, Maluku ini, baik provinsi maupun kabupatennya, dijalankan secara asal jadi”, ucap Boswan Hamid, dosen salah satu perguruan tinggi swasta di Maluku dalam salah obrolan bersama penulis.
Kritik itu ada benarnya. Semasa para Gubernur miskin imajinasi dan para Suharto kecil berkuasa, kualitas pelayanan publik di di Maluku tidak pernah membaik. Ambil contoh soal pendidikan. Inilah salah satu dari puluhan layanan publik lain yang kualitas buruknya mencerminkan ketidakbecusan pemerintahan di Maluku. Kualitas buruk pendidikan ini bisa disigi dari beberapa aspek, tapi jelas bahwa sumbunya adalah korupsi dan inkompetensi para elite politik. Beberapa kabupaten pernah dihantam kasus korupsi Dana Alokasi Khusus untuk pendidikan. Di Kabupaten Buru, pada tahun 2007 korupsi menelan anggaran pendidikan sebesar Rp. 10,75 milyar. Di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), pada tahun 2011-2012, korupsi menelan anggaran pendidikan sebesar Rp. 7,42 Milyar. Sementara pada 2010-2011 terjadi juga penyimpangan dana pendidikan luar sekolah (PLS) oleh Disdikpora Maluku.
Pada tahun 2018 pemerintah mengadakan uji kompetensi guru (UKG) nasional. Hasil ujian tersebut mendudukkan provinsi Maluku di urutan buncit dari 34 provinsi. Ini bukan kali pertama Maluku menduduki peringkat terbawah. Mundur ke belakang, pada tahun 2017, hasil UKG mendudukkan Maluku pada urutan ke 33, tahun 2015 pada urutan ke 34, tahun 2012 pada urutan 31, dan tahun 2012 pada urutan 33. Peringkat UKG Maluku ini bahkan berada di bawah angka rata-rata nasional. Meski banyak kritik cukup tajam diarahkan pada relevansi dan efektivitas uji kompetensi sebagai satu dari sekian tolak ukur perbaikan kualitas pendidikan, tapi hasil dari UKG memunculkan fakta-fakta yang mengkhawatirkan, khususnya di Maluku.
Ketika hasil UKG tahun lalu dibahas di DPRD Maluku, terungkap bahwa tidak sedikit guru di Maluku yang mengajar di luar kompetensi akademik dan terdapat ketidakmerataan tenaga pengajar di beberapa kabupaten. Pada tahun 2018, di Kabupaten Maluku Tengah, angka kekurangan guru untuk SMP mencapai 275 orang. Selain itu, terdapat penumpukan guru di daerah-daerah yang dekat dengan kota dan kekurangan guru di kecamatan dan desa-desa yang berlokasi di “pelosok”. Di Kabupaten Kepulauan Aru, guru-guru lebih memilih tinggal di kota kabupaten dan hanya datang mendekati ujian semester dan pembagian rapor. Beberapa sekolah tidak tidak memiliki guru mata pelajaran sains dalam waktu yang lama. Di Kabupaten Maluku Barat Daya, menurut Kepala Dinas Pendidikannya, John Leunupun, angka kekurangan guru untuk SD dan SMP mencapai sebanyak 1400 orang (Kompas, 7/02/2018). Sementara di Kota Ambon terdapat kelebihan guru sebanyak 364 orang.
Masalah kompetensi dan ketidakmerataan guru berpengaruh besar pada jebloknya kualitas sekolah. Data dari Badan Akreditasi Nasional yang melakukan visitasi pada 2018 di 613 sekolah/madrasah tingkat dasar dan menengah di Maluku menemukan, dari jumlah itu, hanya 64 sekolah terakreditasi A, sementara 249 terakreditasi B, 223 sekolah terakreditasi C, 21 terakreditasi D, dan 51 terakreditasi E. Jumlah sekolah yang divisitasi tersebut hanya sekitar 19 persen dari jumlah total sekolah di Maluku yang berjumlah 3.167 sekolah. Jadi, jika semua sekolah diakreditasi, terutama di daerah terjauh, kemungkinan besar sekolah yang mendapat kredit C dan ke bawahnya lebih banyak. Satu tanda bahwa masalah rendahnya kualitas pendidikan Maluku cukup merata di semua kabupaten/kota.
Masa Depan Maluku
Kompromi terhadap korupsi bukan cuma berdampak pada buruknya kualitas pendidikan, tapi pada berbagai macam layanan publik yang sangat dibutuhkan rakyat. Layanan kesehatan di Maluku misalnya, juga tidak kalah bermasalah. Di kabupaten seperti Aru, Maluku Barat Daya, dan Maluku Tenggara Barat, terdapat kekurangan fasilitas layanan kesehatan, baik bangunan puskesmas dan rumah sakit, peralatan kesehatan, serta tenaga kesehatan. Jika ingin berobat atau dirujuk ke rumah sakit di Ambon, ibukota provinsi Maluku, masyarakat menghadapi kendala layanan tranportasi. Ongkos transportasi antar pulau di Maluku mahal, kerap sulit dijangkau oleh masyarakat.
Sejak lama, provinsi yang selalu disebut sebagai model provinsi kepulauan ini tidak pernah berhasil memberikan contoh bagaimana menyediakan transportasi yang sesuai dengan keadaan geografis daerahnya agar mobilitas masyarakat menjadi mudah dan efisien. Saya sendiri punya pengalaman buruk menyangkut ketidakbecusan transportasi antar pulau dan ketidakbesucan birokrasi. Dalam tiga tahun kebelakang, saya tiga kali mengurus E-KTP di kota Masohi, ibukota kabupaten Maluku Tengah. Setiap kali mengurus, saya harus menghabiskan uang sekitar Rp. 600 ribu, untuk ongkos transportasi darat dan laut serta biaya akomodasi lainnya. Itupun tanpa menginap. Dan selama tiga kali mengurus sampai hari ini, E-KTP saya tidak pernah dicetak dengan alasan yang hampir sama: database terhapus.
Banyak masalah mendasar yang diderita masyarakat Maluku akibat korupsi dan inefisiensi birokrasi. Jadi, jika Murad Ismail bergeming dari kesesatan jalan pikirannya dan memilih kompromi atas tindakan korupsi, maka masa depan Maluku ke depan adalah masa depan bagi para kroni Suharto kecil dan politisi benalu. Bukan bagi rakyat.***
Alfian Al-Ayubby Pelu, adalah warga Maluku. Sementara tinggal dan belajar di Auckland, Selandia Baru