MENGENDARAI motor sepulang bekerja di malam hari sembari mendengarkan playlist dari earphone, saya memperhatikan beragam kendaraan bermotor yang berhenti di belakang garis zebra cross pada saat lampu lalu lintas berwarna merah. Dari mobil-mobil yang berderet tersebut, saya dapat melihat merk dan jenis mobilnya. Di antaranya Avanza, Rush, Brio, CRV, dan HRV. Namun ada satu mobil yang menarik perhatian saya. Satu dari sepuluh mobil yang berderet itu merupakan mobil hasil produksi tahun 80-an. Ekspresi pertama tentu kaget, bagaimana kendaraan seperti itu masih bisa berfungsi dan siapa kira-kira yang masih mau mengendarai mobil tua seperti itu hari ini. Untuk Anda yang hobi dan masih nyaman mengendarainya, mohon jangan diambil hati ya.
Mobil tua itu adalah Toyota Kijang. Tentu saja bukan Kijang Kapsul atau Kijang Innova. Kijang yang saya maksud adalah mobil Toyota Kijang generasi kedua berwarna merah marun yang diproduksi sekitar 35 tahun lalu. Meski sempat diragukan, Kijang akhirnya menjadi mobil legendaris orang-orang di Indonesia dan karenanya disebut mobilnya keluarga Indonesia. Diproduksi oleh Toyota Motor Corporation asal Jepang dan dipasarkan di Indonesia pertama kali di Pekan Raya Jakarta tahun 1977, sedangkan versi yang saya temukan di jalanan itu berasal dari produksi sekitar tahun 1982. Nama Kijang sendiri bahkan merupakan singkatan dari kalimat “Kerja Sama Indonesia-Jepang.” Hingga hari ini, Kijang masih merupakan mobil terlaris yang telah menelurkan enam generasi mobil di Indonesia. Awalnya merupakan mobil angkut barang, namun pada generasi kedua ia mengubah fungsinya menjadi mobil keluarga. Jelas dari namanya yaitu Kijang Family yang khas dengan tiga pintunya. Jika masih ada di antara para pembaca yang sempat melihat atau naik mobil ini, tentunya usia Anda sekarang sudah tak lagi muda.
Setelah lampu berubah hijau, dengan mesin 1300 cc dan empat transmisinya itu, Kijang Doyok melaju dengan cepat melintasi perempatan. Asap knalpot yang begitu tebal seakan berusaha menghilangkan jejaknya dari pandangan mata. Rasanya ingin terus mengamati mobil kuno nan unik itu. Namun apa daya, saya yang mesti menghemat bensin pun melaju dengan santai. Sejenak perhatian pun teralihkan lagi pada lagu di playlist kesukaan. Hingga sampailah saya di perempatan lainnya di depan, terlihat di sisi jalan mobil Kijang Doyok merah marun terparkir dengan kap terbuka dan berasap. Saya tidak terlalu paham apa yang terjadi, namun kemungkinan besar disebabkan sistem sirkulasi oli yang tidak lancar yang membuat mesin tidak berjalan seperti semestinya. Anda yang bekerja di bengkel atau menggeluti dunia otomotif pasti paham betul dengan apa yang terjadi.
Dibandingkan dengan mobil-mobil lainnya, Kijang Doyok itu memang bukan lagi yang terbaik hari ini. Namun, setidaknya, sempat menjadi yang terbaik di masanya. Bahkan mungkin tanpa dirinya, tak mungkin hadir Kijang Kapsul dan Kijang Innova. Tanpa pintunya yang hanya tersedia di kiri itu, kita tidak akan mengetahui bahwa pintu penumpang sebelah kanan ternyata juga penting. Sehingga Kijang selanjutnya tidak lagi menggunakan tiga pintu samping, tapi empat pintu. Tanpa mesinnya yang cepat memanas itu, kita tidak akan berpikir untuk menciptakan pendingin mesin yang lebih baik di Kijang generasi selanjutnya. Tanpa munculnya generasi pertama, kita tidak akan tahu bahwa mobil legendaris ini akan laku di pasaran Indonesia setelahnya.
Contoh di atas kiranya dapat memudahkan Anda untuk mencoba memahami topik yang akan saya bahas pada kesempatan ini. Apabila kita membaca atau menonton film sejarah, pernahkah kita bertanya soal makanan apa yang dimakan Leonidas sebelum bertempur melawan Persia? Siapa yang kiranya menyiapkan bekal makanan Alexander Agung di pegunungan Hindu Kush? Atau siapakah yang meruncingkan pedang untuk Frederick Barbarossa dan Richard Berhati Singa sebelum pertempuran? Soal pemenuhan kebutuhan dasar memang sering tertutupi kabut-kabut heroisme dan takhayul. Seakan para legenda mampu hidup tanpa harus memenuhi kebutuhan dasarnya dan orang lain. Namun pada kenyataannya manusia tak mampu hidup tanpa manusia lain di sampingnya dan tentu saja kelompoknya.
Apabila kita pelajari lebih lanjut, manusia dibesarkan di dalam bentuk masyarakat yang sudah hadir sebelumnya. Suatu masyarakat yang mensyaratkan keterhubungan relasi antar satu manusia dengan manusia lainnya. Suatu masyarakat yang telah terbagi perannya perihal siapa yang mesti memancing, berburu, memasak, berdoa, bertani atau bercanda. Namun masyarakat manusia tersebut bukanlah suatu hal ajeg yang terberikan secara asali, ia terus berubah seiring perkembangan zaman. Sudah banyak sekali berbagai macam bentuk masyarakat yang ada sejak zaman kejayaan Kaisar Nero hingga zaman kejayaan Presiden Trump hari ini. Bentuk masyarakat yang kita rasakan sekarang merupakan hasil dari bentuk masyarakat yang ada sebelumnya. Seperti apa bentuk masyarakat sebelumnya? Lantas apa yang membedakannya dengan masyarakat hari ini?
Dalam menganalisis perbedaan bentuk masyarakat dalam sejarah masyarakat manusia, materialisme historis memiliki metode khasnya. Karl Marx lewat karyanya, The German Ideology, merangkum suatu unsur utama yang ada di dalam berbagai masyarakat manusia yang ada sampai hari ini. Unsur tersebut ialah bentuk kepemilikan sarana untuk memproduksi berbagai kebutuhan hidup dan juga bentuk relasi antar manusia berikut pembagian kerjanya di dalam masyarakat tersebut. Singkatnya, Marx memperkenalkan cara menganalisis bentuk masyarakat yang ada di sepanjang sejarah manusia mulai dari bagaimana bentuk kekuatan produksi dan bagaimana bentuk relasi produksinya.
Marx memulai dari bentuk pertama yaitu bentuk kepemilikan tribal, yang mana merupakan tahap paling sederhana dari manusia dalam memproduksi kebutuhannya. Orang-orang dari kelompok kecil yang termasuk dalam suku-suku tertentu berburu, mengumpulkan makanan, mengolah hutan dan bertani untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan kelompoknya. Hasil-hasil bumi itu dikumpulkan dan dibagi-bagikan oleh tetua melalui perayaan-perayaan sakral. Pada masa ini barter masih mendominasi wujud pemenuhan kebutuhan yang belum terpenuhi. Selain itu barter juga sebagai sarana menjalin relasi terhadap kelompok-kelompok lainnya. Bentuk masyarakat seperti ini muncul di masa ketika manusia harus menghadapi kenyataan dari kerasnya alam, contohnya yaitu di masa-masa paleolitikum hingga neolitikum. Dengan struktur serta pembagian kerja masih sebatas senior dengan junior atau antara tetua dan pemuda saja, sebagian kelompok-kelompok kecil ini mewarisi kepemilikan akan sesuatu melalui garis keturunan ibu, biasa disebut sistem keluarga matriarkal. Namun, dinamika alam dan kebudayaan membawa manusia ke dalam perseteruan kepentingan wilayah yang akan menempatkan manusia di dalam bentuk masyarakat yang baru yaitu negara komunal kuno.
Kepemilikan negara komunal kuno merupakan bentuk kedua yang mana hadir melalui serangkaian penyatuan beberapa suku kecil menjadi suku besar dan juga melalui penaklukan dalam suatu peperangan. Apabila melalui perang, dengan demikian jelas terdapat mereka yang menang dan yang kalah. Mereka yang kalah pada akhirnya menjadi budak dari para pemenang. Sehingga perbudakan menjadi tenaga pendorong berkembangnya masyarakat di masa itu, dengan kata lain sebagai kekuatan produksi. Pada masa ini, pembagian kerja terlihat jelas antara kota dengan desa, siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai, siapa yang makan dan siapa yang memberi makan. Dalam bentuk masyarakat seperti inilah mulai hadir kepemilikan pribadi meski masih belum terlihat jelas dan masih belum wajar keberadaannya, sebab tanah beserta hasilnya masih milik institusi negara komunal kuno. Bentuk masyarakat seperti ini ditemukan pada masa Yunani Kuno dan masa Romawi. Hal terpenting di masa ini yaitu munculnya relasi kelas antara warga negara dan budak. Melalui penguasaan tanah-tanah negara, khususnya lahan pertanian yang sangat luas beserta budak-budaknya, tatanan ini pun berhasil stabil dalam beberapa abad hingga gejolak politik di negara-negara adikuasa tersebut memuncak. Masyarakat manusia pun sekali lagi hanyut ke dalam bentuk kepemilkian baru yang bernama feodalisme.
Selanjutnya pada bentuk ketiga, yaitu bentuk kepemilikan feodal yang muncul dari daerah perdesaan. Juga berbasiskan oleh komunitas-komunitas kecil seperti masyarakat tribal dan negara komunal kuno, namun sungguh berbeda. Karena masyarakat ini dicirikan oleh luasnya lahan pertanian milik tuan-tuan tanah dan dikelola oleh petani-petani hamba sahaya yang mengabdi pada para tuan tanah tersebut. Apabila dalam masyarakat sebelumnya perbudakan menjadi kekuatan produksi, dalam masyarakat yang baru ini hamba sahayalah yang menjadi kekuatan produksinya. Pembagian kerja semakin spesifik seiring semakin terpisahnya antara perdesaan dan perkotaan. Di perkotaan, mereka yang termasuk golongan orang biasa hidup dari sistem pertukangan individual. Diuntungkan dari besarnya tingkat populasi, mereka yang memiliki toko pertukangan mengakumulasikan modalnya untuk merekrut pekerja harian dan pekerja magang, sehingga hadirlah relasi baru di perkotaan. Harta kekayaan dalam masyarakat feodal pun dapat disimpulkan terdiri dari kepemilikan lahan luas beserta hamba sahayanya di perdesaan dan hasil kerja pertukangan para pengrajin beserta pekerjanya di perkotaan. Masyarakat seperti ini bisa kita temukan pada abad pertengahan Eropa dan Asia.
Lalu seperti apa bentuk masyarakat yang kita jalani hari ini? Tentu saja bukan ketiganya, tapi bentuk masyarakat paling mutakhir yang pernah ada, yaitu kapitalisme. Soal masyarakat kapitalisme akan kita bahas di lain kesempatan, tapi apakah memungkinkan apabila kita menerapkan bentuk masyarakat tribal, negara komunal kuno atau feodal hari ini? Jawabannya, mungkin saja. Tapi mungkinkah produksi tenun hasil alat tenun bukan mesin mampu mengimbangi besarnya permintaan hasil produksi industri tekstil besar di Pasar Tanah Abang? Mampukah hasil produksi padi menggunakan ani-ani menyaingi besarnya produksi padi menggunakan celurit atau mesin panen padi? Untuk skala kecil di dalam masyarakat sederhana seperti Kanekes Baduy, Anak Dalam dan Orang Dani, cara berproduksi tersebut masih memungkinkan untuk menyokong keberlangsungan masyarakatnya, namun di dalam kapitalisme modern hal tersebut sangat tidak masuk akal dan berpotensi meruntuhkan fondasi masyarakat itu sendiri. Sebab cara produksi kapitalisme telah melahirkan suatu monster konsumerisme yang lepas kendali, selalu merongrong dan siap menerkam induknya jika keinginannya tak dipenuhi.
Bentuk masyarakat kapitalisme sekarang ini bagaikan mobil Kijang Innova, sedangkan masyarakat tribal dan komunal kuno merupakan Kijang Doyok serta Kijang Kapsul yang telah diproduksi sebelumnya. Apakah masih ada orang-orang yang mengendarai Kijang Doyok dan Kapsul? Jawabnya, masih. Buktinya, suku-suku terasing di tengah hutan hujan tropis di Amazon masih mampu mempertahankan eksistensi kelompoknya, orang Kanekes Baduy masih bertahan dengan nilai-nilai nenek moyangnya dan orang Asmat sampai hari ini masih mempertahankan cara tradisionalnya dalam mengukir kayu. Tapi sampai kapan? Hanya Yang Maha Kuasa dan para kapitalis yang mengetahui jawabnya. Hikmah yang bisa kita petik yaitu bahwa masyarakat yang ada hari ini bukanlah yang satu-satunya dan demikian pula bisa berlalu kapan saja. Apabila kapitalisme bukanlah yang terakhir, artinya suatu tatanan masyarakat setelahnya yang lebih baik itu dimungkinkan. Sehingga bentuk masyarakat tersebut harus dicari dan diraih. Sekarang kita mengerti bahwa ada Kijang Doyok sebelum Kijang Kapsul lahir, ada Kijang Innova setelah Kijang Kapsul menua dan hadir setelahnya yaitu Innova reborn. Kelak Kijang terbaru lainnya akan menggantikan Innova, Kijang yang lebih lama sedikit demi sedikit akan berkurang. Karena tak tersedianya suku cadang dan menurunnya fungsi mesin, akhirnya Kijang kuno tersebut harus parkir di garasi rumah atau di halaman markas besar pengumpul besi bekas.***