Kredit ilustrasi: sway.qa
SEPERTI dicatat dalam sejarah Islam, pada usianya yang ke 40, Rasulullah semakin sering melakukan uzlah (mengasingkan diri) dari kehidupan publik untuk memperbanyak melakukan permenungan atas pelbagai hal yang dihadapinya, terutama mengenai kaumnya. Suatu ketika di saat Rasulullah sedang ber-tahannuts (ibadah di malam hari dalam beberapa waktu) di gua Hira, Puncak Jabal Nur Makkah, tiba-tiba Malaikat Jibril mendatanginya, menyampaikan wahyu pertama dari Allah swt. Peristiwa penting ini menandai dimulainya fase kenabian (Nubuwwah) Muhammad yang kelak menyandang gelar Rasululllah (utusan Allah) dengan tanggungjawab besar untuk mewartakan kebenaran dari Allah seperti diungkapkan di dalam Al-Qur’an: fa anzalna dzikra litubayyina linnasi, kami menurunkan padamu al-Qur’an ini supaya kamu menjelaskan.
Para ahli berbeda pendapat ihwal waktu pertamakali wahyu diturunkan. Namun tak ada satupun ahli dan pada umumnya umat Islam, yang berbeda pendapat tentang apa pesan pertama Allah yang disampaikan pada Muhammad melalui malaikat Jibril, yaitu perintah membaca: “Iqra!”.
Seperti direkam dalam sebuah hadis[1], pada saat Jibril datang dan berkata: “Bacalah!” Muhammad yang ummiy, yakni tidak bisa membaca dan menulis itu, menjawab, “Aku tidak bisa baca”. Setelah itu Jibril memegang dan memeluknya dengan sangat erat dan kemudian melepasnya dan mengatakan yang sama, “Bacalah”. Lagi-lagi Muhammad menjawabnya, “Aku tidak bisa baca”. Mendapat jawaban serupa, kembali Jibril memegang dan memeluknya untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskannya, dan berkata lagi dengan lebih lengkap: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Demikian pentingnya membaca, kata qara’a dalam berbagai bentuknya di dalam al-Quran diulang sebanyak 87 kali di dalam 41 surat.[2] Seperti kita tahu, perintah membaca dan menuntut ilmu menjadi nilai yang integral di dalam ajaran Islam. Keduanya tak bisa dipisahkan dari Islam. Islam tanpa ilmu bukanlah Islam dan tak bisa dikatakan sebagai Islam. Membaca dan menuntut Ilmu adalah fondasi penting bagi peradaban dan kebudayaan Islam di masa perdana dan masa-masa sesudahnya yang gemilang. Hanya melalui membaca seseorang akan memperoleh Ilmu. Hanya dengan membaca seseorang akan mencapai pada kedewasaan berpikir dan bertindak. Karena itu tidak ada satu pun peradaban manusia yang dibangun tidak diawali dengan aktivitas menuntut ilmu dan memperbanyak pengetahuan. Manusia, dikatakan sebagai manusia yang membedakannya dengan makhluk lainnya, atau hewan lainnya, adalah pada aktivitas pengetahuannya. Yang itu diawali dari membaca. Membaca apapun yang melingkupi hidupnya.
Tentu bagi yang tidak memercayai atau menolak dogma, akan menganggap pernyataan “Islam tak bisa dipisahkan dari ilmu”, sebagai contradictio in terminis alias pernyataan yang sedang menunjukkan kebingungan ketimbang menunjukkan kejernihan. Bukankah dogma itu sendiri adalah perlambang anti pengetahuan? Bukankah dogma pada dirinya mensyaratkan ketaatan buta dan menolak sikap kritis? Tak bisa dibantah bahwa yang dianggap sebagai nilai di dalam semua agama, tidaklah terbit dari sebuah refleksi filosofis yang ketat sehingga mencapai kesimpulan yang kokoh dan menjadi sebuah konsepsi. Karena itu nilai di dalam agama disebut sebagai norma dan ajaran. Pada titik ini, sebagai sebuah norma atau ajaran, Islam justru mengajarkan dan mengajak mereka yang memercayainya untuk berpikir dan bersikap kritis. Ada banyak ayat di dalam al-Quran yang mengatakan pentingnya berpikir dan menuntut ilmu. Bahkan dengan nada mengingatkan, Allah menegaskan bahwa apa yang disampaikannya hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang berkenan untuk berpikir atau memaksimalkan daya pikirnya untuk mencapai kebenaran. Bahkan Allah pernah menantang orang-orang yang tidak memercayai kebenaran al-Qur’an agar membuat kitab yang serupa atau setara keindahan bahasa maupun kedalaman isinya dengan al-Qur’an.
Karena itu yang dimaksud sebagai masyarakat jahiliyah, yang merujuk pada penduduk kota Makkah, bukanlah sekumpulan orang-orang bodoh atau kurang pengetahuan, secara harfiah. Melainkan, orang-orang pintar, para penyair, intelektual, penikmat sastra dan para saudagar yang mempunyai pergaulan kosmopolitan. Jadi sulit membayangkan mereka sebagai orang-orang bodoh atau bahkan setengah idiot. Orang-orang Makkah disebut jahiliyah, karena melalui kepintaran dan kekayaannya, banyak di antara mereka bertindak culas, brengsek, menindas dan melecehkan perempuan. Utamanya para elite. Seperti pada umumnya manusia yang kelebihan harta, selalu mempunyai potensi besar untuk memperturutkan nafsunya. Bahkan ada rumus yang sulit dibantah, sebagian besar orang yang kaya raya adalah brengsek dan menindas. Sejak dimulai dari akumulasi kapital yang memungkinkannya menjadi kaya hingga cara mendistribusikan kekayaannya, telah melekat dengan kebatilan, kecurangan dan kejahatan.
Terbitnya Islam di jazirah Arab telah menjadi episode awal pembangunan peradaban dan kebudayaan masyarakat Arab yang terbuka dan menjadi jembatan peradaban-peradaban kuno, khususnya kebudayaan Hellenis, menuju peradadan modern. Mungkin saja tak akan pernah ada Johannes Kepler tanpa pernah ada para astronom muslim yang mendahuluinya, dan banyak ilmuan dari banyak cabang ilmu lainnya. Bahkan seandainya pengetahuan-pengetahuan kuno dari pelbagai peradaban dan kebudayaan tak dikembangkan pada periode keemasan Islam, bisa jadi aktivitas ilmiah dunia modern tak akan pernah mencapai taraf seperti kita lihat sekarang. Peradaban Islam pada masa itu telah menjadi perantara antara warisan pengetahuan klasik dan pengetahuan modern yang secara formatif dan kokoh kelak dikembangkan di Barat melalui gerakan pencerahan.
Kondisi itu kini tinggal kenangan. Umat Islam sebagian besar tengah terseok-seok menghadapi merebaknya konservatisme beragama, menjamurnya kaum fanatis, dan wabah kebodohan dalam pengertian sesungguhnya. Berbeda dengan umat Islam masa perdana yang bergairah untuk mencari pengetahuan-pengetahuan baru, umat Islam sekarang telah memunggungi pesan pertama dalam al-Qur’an untuk membaca dan belajar, dan menjadi sekadar segerombolan orang-orang minder yang penuh curiga pada pengetahuan yang datang dari luar Islam. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, sebagian besar mereka menjadi anti ilmu pengetahuan dan menganggap pengetahuan sebagai musuh agama yang berbahaya.
Bila dulu yang dimaksud sebagai para Ulama adalah para ilmuan dari pelbagai bidang pengetahuan yang memberi kontribusi besar pada pengetahuan dan kebudaayaan, maka kini yang disebut sebagai Ulama adalah mereka yang sekadar bisa memimpin doa, ceramah berapi-api di mimbar sembari menghujat dan mengutuk akal sehat, dan melecehkan kemanusiaan. Yang disebut sebagai Ulama bukan lagi mereka yang paling berjasa bagi kehidupan, melainkan mereka yang paling terdepan memusuhi kehidupan.
Padahal yang disebut oleh Allah, “Innama yakhsallaha min ibadihil ulama”, (Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama)[3] adalah para ilmuan, intelektual dari pelbagai bidang pengetahuan, bukan mereka yang sekadar bisa merapal doa di masjid dan surau saja. Apalagi para penyebar kebencian pada ilmu pengetahuan.
Tapi inilah yang telah terjadi di Indonesia: anti pengetahuan. Sebagian besar kaum muslim, karena trauma sejarah pernah dibenturkan secara sosial dan politik dengan komunisme, dan juga korban propaganda anti komunisme rezim otoriter Suharto maupun kelompok Islam ekstra konservatif, mereka memusuhi Marxisme, mencurigai dan membenci komunisme. Mereka kerap sekali memusuhi apa yang yang sesungghnya tak pernah diketahuinya dengan baik. Kondisi ini telah menjadi kerugian besar kaum muslim. Ketakutan tanpa alasan (karena tidak mengetahui) membuatnya tak mempunyai senjata kritik terhadap pelbagai bentuk penindasan dan penghisapan yang mereka alami.
Sebagai seorang muslim yang baik, seharusnya, menyikapi semua pemikiran apapun, demikian juga dengan ideologi komunisme—hasil ekperimentasi pemikiran dan praktik politik—haruslah pertama-tama diletakkan secara objektif sebagai pengetahuan yang wajib untuk dipelajari sebelum menerima atau menolaknya. Yang mengecawakan adalah ketika ada anjuran untuk menjauhi pemikiran tertentu, bahkan memusuhi pemikiran tertentu, tanpa pernah mereka tahu apa isi dan kandungan yang mereka musuhi. Tanpa aktivitas ilmiah maka kaum muslim hanya menjadi sekadar sekumpulan masyarakat impulsif dan histeria.
Memburu dan menyita buku-buku pemikiran Marxisme dan komunisme, sama sekali tidak menandakan diri kita sebagai muslim yang baik sebagaimana perintah al-Quran untuk membaca. Bahkan hidup di akhir jaman (living in the end times) tanpa memahami dengan baik relasi produksi kapitalisme, tanpa memahami modus akumulasi kapital yang menghisap, menindas dan merusak lingkungan, tanpa memahami transformasi kebijakan-kebijakan ekonomi pro modal, maka kita sesungguhnya tak akan mampu memberi manfaat pada manusia lainnya atau berkontribusi pada penyelamatan kehidupan semesta dari ancaman penghisapan, penindasan dan kerusakan. Dan itu kuncinya adalah dengan belajar Marxisme. Memusuhi Marxisme adalah kerugian terbesar bagi kaum muslim. Karena tanpa Marxisme seseorang tak akan bisa memahami hidup di akhir jaman serta bahaya kapitalisme.
Alhasil, menyita buku tentang DN Aidit, melarang orang membaca Marxisme, memusuhi para penstudi marxis sama dengan menolak pengetahuan. Maka anti pengetahuan pada hakikatnya adalah anti Islam itu sendiri. Karena itu bacalah, engkau akan beroleh kebenaran.***
————–
[1] HR. Bukhari No. 6982, dan Muslim No. 160.
[2] Fuad abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur’an al-Karim, Dar al-Kutub al-Misriyah, hal. 539-540.
[3] Ayat selengkapnya: “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”