PEMBAHASAN tentang al-Quran dan kita dalam konteks ini, bukan mengkaji al-Quran sebagai teks teologi suci, tetapi memahami bagaimana fenomena al-Quran disikapi dan dipahami oleh pribadi kita dalam keseharian. Pemahaman ini dilakukan para peneliti fenomenologis, yakni sejauh mana pengalaman eksistensial seseorang berinteraksi dengan al-Quran. Pemahaman fenomenologi tidak melakukan analisis konseptual dengan menghakimi realitas dan menamai realitas sesuai dengan kepentingannya. Dalam konteks fenomenologi agama, sejauh mana penghayatan keberagamaan seseorang atau masyarakat berinteraksi dengan kitab yang diklaimnya suci (al-Quran). Pengalaman ini bisa jadi emosional, spiritual, eksistensial, atau bersumber dari motif tertentu. Artikel ini akan membahas masyarakat atau kelompok tertentu yang menjalani proses keberagamaan atas dasar tafsir mereka atas kitab sucinya. Jadi bukan pembahasan kebenaran tentang agama tertentu (Cox, 2006; Twiss,1992; Livingston, 2008).
Quran. Bagi pendapat sebagian umat Islam yang tekun ini, al-Quran adalah wahyu Tuhan yang bukan sembarangan orang mengkhotbahkannya. Mencari saripati dari suatu mukjizat (al-Quran) membutuhkan pengorbanan dan ketekunan tradisi. Mereka menggunakan metodologi mendalam untuk meneliti dan menghidupkan al-Quran.
Sebagian orang lagi berpendapat bahwa al-Quran adalah kitab suci, tapi ketika membacanya, mereka melakukannya seperti membaca buku biasa, tanpa ada metodologi yang rumit, mendalam, dan kompleks. Mereka rata-rata hanya membaca al-Quran terjemahan saja tanpa disertai keseriusan metodologi, tafsir, dan studi lainnya. Lalu dengan kemampuannya itu menafsirkannya atau mengutipnya untuk disebarkan di masyarakat dengan dalih hadis nabi “Sampaikanlah walau satu ayat” (perlu dicatat bahwa hadis dari shahih bukhari ini diambil sepotong dan tanpa konteks, Hosen, 2016; Hosen, 2018). Hal ini mengundang pertanyaan, lalu dari mana sumber mengolah al-Quran itu?
Bagaimana kita bergumul dengan al-Quran, bagi sebagian orang menjadi mengkhawatirkan, khususnya sejak proses politik Indonesia menyeret slogan dan ritual Islam ke ruang publik. Bagi yang khawatir al-Quran dikonsumsi secara massal tanpa adanya kedalaman yang massal pula, maka Al-Quran yang berupa wahyu suci justru tampil pada tafsir dan konteks yang kurang pas. Hal ini mencemaskan. Ada dua kesadaran umat Islam. Pertama, umat yang berpendapat bahwa al-Quran memberi petunjuk kepada umat Islam bahwa agama Islam itu menyeluruh (kaffah) dan benar, maka menjadi penting menempati ruang publik demi kebenaran Islam.
Kedua, umat Islam yang memiliki kesadaran bahwa pemahaman al-Quran perlu diolah lebih serius dan mendalam dengan metodologi yang serius sehingga keberislaman seseorang justru secara ekslusif mendisiplinkan dirinya dan secara inklusif memudahkan ruang sosial menjalankan praktik-praktik prinsipil dari Islam yang sifatnya, bukan hanya formal, ritual, dan tampilan belaka.
Dalam konteks inilah relasi antara al-Quran dan kita perlu dipikirkan kembali dengan meletakkan posisi al-Quran dan kita pada tempatnya secara proposional. Saya tidak akan berbicara panjang lebar tentang kedua kesadaran atas al-Quran. Saya hanya ingin menekankan pada kesadaran diri atas interaksinya dengan al-Quran yang intens dengan metodologi yang memang kompleks. Mereka adalah para penstudi al-Quran yang memahami al-Quran sebagai suatu cakrawala pencarian kebenaran. Saya ingin menunjukkan pengalaman cara berpikir/kesadaran bagi penstudi al-Quran yang menampilkan kesadaran berbeda dari masyarakat pada umumnya. Hal ini penting, karena banyak kesadaran masyarakat yang belum bisa masuk ke dalam ruang alam sadar mereka.
Al-Quran
Al-Quran adalah dirinya sendiri sebagai petunjuk (kabar gembira) untuk seluruh umat manusia. Menurut Doktor lulusan Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo, peraih Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude, Prof. M. Quraish Shihab, terjemah al-Qur’an dalam teks bahasa mana pun bukanlah al-Qur’an itu sendiri. Tidak ada satu bahasa pun yang dapat menggantikannya. Kesadaran ini keluar dari seseorang yang selama hidupnya dicurahkan hanya untuk ‘berkomukasi’ dengan al-Quran.
Kesadaran ini memberi peluang bagi kesadaran saya tentang al-Quran. Saya sadar bahwa keindahan al-Quran itu melampaui puisi, tapi mendekatinya harus memiliki rasa puisi. Al-Quran bukan produk seni, tapi sangat bermuatan seni, sehingga untuk menyentuh aspek seninya, manusia harus mempunyai rasa seni untuk sadar al-Quran. Al-Quran bukan kebudayaan, tapi bagian dari ekspresi budaya tertentu. Oleh sebab itu manusia harus memiliki rasa budaya untuk bisa memiliki kesadaran aspek kebudayaan al-Quran. Al-Quran mempunyai banyak aspek rasa seperti kemanusiaan, keadilan, kebebasan, dan sebagainya, tapi manusia harus belajar semuanya itu dari studi ilmu sosial, sejarah, dan kebudayaan melalui berbagai macam ragam kompleksitas metodologinya.
Sudah menjadi fakta umum bahwa al-Quran itu keajaiban (mukjizat). Oleh sebab itu, saya sadar betul bahwa ‘membaca’ terjemahan al-Qur’an justru berbahaya jika tidak didampingi oleh ahli tafsir atau instrumen tafsir (kitab tafsir dan semua pengetahuan metodologinya). Saya menyadari bahwa pribadi saya membutuhkan kesadaran para penstudi al-Quran agar rasa al-Quran sampai pesannya kepada saya. Hal ini juga sangat ditentukan motif, sikap, dan proses kehiduapn saya Bersama al-Quran. Apakah motifnya hanya menggunakan al-Quran atau memang hidup Bersama al-Quran? Apakah al-Quran adalah bagian dari proses hidup saya atau hanya sekadar mushaf al-Quran yang setiap kali dibuka sikap saya atas al-Quran sama dengan perlakuan saya terhadap buku-buku yang saya baca, teks-teks yang saya baca dari internet. Al-Quran menjadi suatu mukjizat sampai kiamat ketika presisi pembacanya terhubung/terkoneksi kesadarannya. Sebaliknya, rasa al-Quran menjadi rusak, brutal, dan beringas disertai dengan nafsu kekerasan ketika motif dan niatnya atas al-Quran memang sejak awal sudah bermuatan itu semua.
Dalam konteks Bahasa Inggris, al Quran itu bukan “to read” tetapi “to recite”. Misalnya surat al ‘Alaq (96:1-5): “Recite! Dalam Bahasa Indonesia tidaklah tepat menterjemahkannya “membaca”. Namun begitu, bahasa Indonesia belum mempunyai kata serapan selain kata “baca”. Dari segi Bahasa, “recite” lebih mendekati kata “iqra” sebab al-Quran itu wahyu Tuhan untuk dunia. Jadi kita hanya melakukan perulangan bunyi wahyu (oral). Dengan kata lain, al-Quran itu ‘pesan’/kata-kata Tuhan melalui malaikat Jibril yang disampaikan ke Nabi Muhammad saw. Jadi yang berubah sesuai dengan konteks zamannya adalah interpretasi kesadaran akan al-Quran, khususnya bagi para pembacanya, bukan al-Quran-nya sendiri yang isinya hanyalah perulangan wahyu Tuhan.
Menurut Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ, Prof. Quraish, Al-Qur’an sendiri adalah bukti kebenaran Nabi Muhammad saw sebagai pembawa risalah wahyu Allah yang sempurna indah memesona. Saking sempurnya, menurut Islamolog, Prof Basam Tibi, al-Quran itu al hikmah, yakni kebijaksanaan. Oleh sebab itu, siapapun, tanpa embel-embel beragama atau tidak, manusia atau jin, ras apapun bisa tersentuhnya. Saking hebatnya al-Quran, siapapun yang tersentuhnya maka dirinya muncul. Artinya, al-Quran juga seperti cermin dirinya sendiri.
Hanya saja bisakah kita membacanya sebagai suatu evaluasi kritis atas diri sendiri atau justru justifikasi atas motif/kepentingnya demi kebenaran yang diklaimnya benar. Jika dirinya paham siapa dirinya sesungguhnya, maka kebijaksanaan akan menghampirinya. Manusia adalah milik kebijaksanaan. Jika ada manusia mengklaim bijaksana atau pemilik kebijaksanaan, maka kita perlu mempertanyakan kebijaksanaannya; sama halnya seseorang yang mengklaim pemilik kebenaran, perlu kita pertanyaan integritas orang tersebut, karena bukan kita yang memiliki kebenaran, tapi kitalah bagian dari kebenaran atau sederhananya kita adalah milik kebenaran.
Mengikuti alur konteks di atas, mushaf al-Quran terjemahan itu bukanlah kitab ilmiah/teoritis operasional langsung yang siap pakai seperti buku panduan menyupir kehidupan kita. Toh buku panduan menyetir pun tidak serta merta bisa memandu dengan sempurna tanpa adanya praktik di lapangan. Al-Quran bukanlah alat (a thing), tapi ‘teman’ hidup sampai mati. Prinsip-prinsip al-Quran sudah ada secara inheren dalam rasa (nur) manusia, maka wahyu Tuhan (al-Quran) adalah pengingat ketika rasa itu tertutupi (kufur) oleh berbagai macam sifat dasar manusia sisi lainnya. Begitulah kompleksitas manusia yang mempunyai banyak dimensi. Dari ragam dimensinya, manusia perlu terus menyadari dirinya Bersama al-Quran. Jika lengah sedikit, maka kesadarannya akan juga terpeleset dengan motif-motif destruktif dengan meng-gun-kan (a thing) al-Quran sebagai alat justifikasi destruktifnya (misalnya, ISIS &IS).
Singkat kata al-Quran itu hidup bersama kita dalam kehidupan keseharian disadari atau tidak. Apalagi semesta ini adalah ayat-ayat al-Quran juga jika kita sadari. Untuk menyadari bahwa al-Quran hidup bersama kita dan kita dapat mengambil hikmahnya lebih dalam, maka kita perlu ahli tafsir atau jembatan ahli tafsir agar cahaya al Quran menyinari hidup kita.
Al Quran dan kita
Bagi beberapa kesadaran umat Islam, Al-Quran berisi ayat-ayat suci yang kutipannya bisa untuk menghakimi dan menghantam orang lain. Kalimat al-Quran sangat ampuh tanpa cela sehingga siapapun yang membantahnya bisa berhadapan dengan umatnya. Ada umat Islam yang levelnya memang sampai/di spasial itu sehingga jika ada yang berbeda pemahaman dengan level kesadaran mereka, mereka anggap sebagai penodaan agama mereka yang berakhir pada kriminalisasi atau ‘main hakim sendiri. Kesadaran ini merupakan bagian dari kesadaran sebagian umat Islam yang bisa jadi masih dalam proses pencarian diri atau memang dogmatis, yakni kesadaran yang sudah (ter)‘selesai’(kan) atau kesadaran yang membeku. Yang perlu dipertimbangan dalam hal ini adalah sejauh mana umat-umat ini memang masih merasa perlu mencari kebenaran? Problem yang terjadi ketika ada umat yang mengklaim sudah selesai memiliki kebenaran. Umat semacam inilah yang memang problematis bagi yang lainnya. Apakah ini salah? Pertanyaannya bukan salah atau benar umat tersebut, tapi bagaimana proses mereka sampai dalam kesadaran itu dan akankah kesadaran itu menciptakan konflik atau benturan kesadaran dengan pihak lain di ruang publik. Misalnya dalam konteks ISIS/IS tentunya menciptakan perang. Contoh FPI lebih pada konflik horizontal antara FPI dan Banser/ansor (NU).
Ada pula kesadaran umat Islam yang rata-rata memiliki intensitas tinggi dalam mengkaji al-Quran, mengatakan bahwa al-Quran itu adalah wahyu Tuhan bukan mushaf. Oleh sebab itu, al-Quran tidak bisa ditonjolkan secara persial sisi menakutkannya dan penghakimannya. Namun hakikatnya, al-Quran itu adalah bil hikmah. Al-Quran adalah ‘teman’ kita dalam memperoleh kehangatan cinta Tuhan. Al-Quran adalah ‘teman’ suka duka dalam proses pengalaman hidup kita menuju perdamaian (Islam). Bersama al Quran, hidup kita menjadi damai baik dalam pengertian berdamai dengan dirinya sendiri maupun berdamai dengan sesamanya. Umat semacam tidak mengklaim kebenaran adalah miliknya, tapi mereka adalah milik kebenaran itu sendiri. Namun umat ini pun bisa problematis jika terprovokasi dengan kesadaran lainnya yang berbeda, dan mengancam perdamainnya. Inilah awal dari konflik dua kesadaran spasial yang berbeda.
Konteks kesadaran yang bermuatan motif hidup yang berbeda dan pengalaman hidup yang berbeda memberi orientasi keberislaman yang beragam dan cenderung berbenturan. Pada dasarnya manusia itu lemah, mudah terkorup, yakni terprovokasi hal-hal yang mengancam dirinya. Misalnya, dengan dalih mengancam Islam, Bhineka Tunggal Ika, atau sejenisnya, maka dirinya merasa aman (secure). Apakah ini juga salah? Tentunya, pertanyaannya bukan salah atau benar, karena konflik kesadaran antar umat manusia ada sejak manusia ada. Manusia hanya bisa berkomunikasi/berdialog, berdebat, atau adu fisik. Semuanya bisa “sementara damai”, yakni absennya konflik atau kondisi bersitegang atau kondisi menahan diri masing-masing atau kondisi toleran (tidak peduli urusan yang lainnya, tanpa mau tahu secara mendalam yang lainnya) atau level beradab (hormat menghormati karena sudah saling memahami satu dengan yang lainnya). Di sisi sebaliknya, kondisi tragis, yakni adanya konflik yang menguras energi umat manusia, khususnya umat Islam Indonesia sehingga hal-hal yang lebih krusial terbengkalai, seperti membangun peradaban universal.
Peradaban universal bukanlah istilah/konsep besar. Kata ini hanya ekspresi suatu realitas perbaikan diri manusia secara utuh, yakni spiritual dan material, emosional dan rasional, infrastruktur dan suprastruktur, sakral dan duniawi (sekuler) dalam ruang bersama. Jika proses itu mendekati semua hal itu, maka masalah kemiskinan, ketidakadilan, dehumansisasi, diskriminasi, marginalisasi, dan sejenisnya bisa dikurangi. Masalah-masalah inilah yang krusial dibandingkan konflik internal umat Islam sendiri. Namun kesadaran isu universal dalam membangun peradaban belum tersentuh secara esensial sehingga isu partikular mendominasi. Bisa jadi isu-isu ini memang sengaja berperan demi menutupi isu-isu universal tersebut (Fitriyah, 2019). Semua itu selalu ada kemungkinan.
Hidup Bersama itu perlu begitu banyak berbagi macam-macam. Oleh sebab itu, manusia perlu li ta’arafu (mengenal) tentunya dengan pengorbanan, keikhlasan, empati, simpati, dan kesabaran. Tak kenal maka tak sayang. Begitulah pepatah klasik bangsa kita. Semua itu hanya bisa terwujud dalam kesadaran bersama, bukan parsial kelompoknya masing-masing. Sedangkan bangsa kita sejak pasca Suharto, kondisinya memiliki partisi kesadarannya masing-masing dengan preferensinya yang berbeda-beda.
Kembali ke al-Quran, wahyu ini merupakan refleksi diri sendiri. Jika kita sadar akan hal ini, maka kita bisa kembali kepada kesejatian diri sendiri. Misalnya istilah “Islam itu ramah bukan marah”. Hal ini berlaku pada seseorang yang dalam dirinya memang sudah terkonstruksi sifat ramah dan welas asih. Jika kita teliti melalui kesadaran seseorang yang emosional, marah, dan metodologi yang belum luas bacaannya, maka jatuhnya, Islam itu marah. Jadi kesadaran al-Quran dan para penafsirnya adalah reflkesi dari diri sendiri. Hal ini relevan dengan pernyataan kuat Ibn Arabi “Know yourself then you (may) know God”. Kesadaran kata-kata Ibn Arabi bias meresap pada kita ketika kesadaran keseharian kita telah berada Bersama al-Quran. Di sini al-Quran bukan lagi sebagai alat untuk dibaca atau buku panduan hidup. Al-Quran itu bagian hidup kita sendiri sebab kita bagian dari al-Quran, bukan kita yang menentukan dan mengontrol al-Quran. Jadi di baca oleh kita atau tidak, kesadaran kita dan proses hidup kita tetap ada di dalam al-Quran.
Hal ini terkait dengan konteks pemahaman umum para ahli tafsir, “al-Quran untuk semua umat manusia”. Konteks ini membawa kesadaran kita bahwa ada pula umat Islam yang menolak tafsir ini sebab kesadaran mereka berada di dalam spasial ego mereka, yakni Islam milik mereka. Di sini al-Quran adalah alat untuk perdamaian mereka (keamanan mereka). Mereka membutuhkan bungkus diri/label diri/ke-aku-an yang krasan/distingsi dengan yang lain. Ketika ‘alat miliknya’ ditafsirkan sebagai bukan miliknya, tapi elemen universal, maka hal ini akan mengancam (tidak damai) dirinya.
Hal inilah Islam kemudian dimaterialkan melalui berbagai macam bentuk, baik konseptual atau operasional. Yang konseptual, Islam muncul dengan label/logo moderat/garis tengah, radikal, konservatif, puritan, Nusantara, dan sejenisnya. Dalam konteks politik modern, orang ber-islam bukan karena berproses sungguh-sungguh secara pribadi, sosial, dan kultural yang sadar relasinya dengan Tuhannya, tapi karena ber-KTP Islam. Dengan KTP Islam, diri sendiri menjadi peng-aku-Islam lalu hal ini pun dipakai oleh para ahli survei untuk mengukur populasi Islam, memahami jenis-jenis keislaman yang dianut oleh yang ber-KTP Islam, dan sejenisnya.
Kesadaran semacam ini saya tidak mau katakan salah, karena motivasi dan kesadaran beberapa umat memang di spasial itu. jika ingin merubahnya, karena mereka mengganggu yang berbeda, maka tentunya proses interaksi dengan mereka perlu diseringkan dan tentunya ruang-ruang ekspresi kehidupan mereka perlu diperluas. Namun perlu dipahami pula bahwa jika ruang-ruang mereka diperlebar, maka ruang itu adalah ruang bersama dengan yang berbeda agar disitulah terjadi dialog kebudayaan yang intens untuk mencapai titik kesadaran bersama. Resiko konflik selalu ada, sebab dalam proses perubahan dan penghasilan suatu produk kebudayaan baru selalu ada gesekan. Hal ini perlu begitu banyak elemen pendukung agar gesekan itu dapat diatur dan dikontrol.
Jika ruang mereka diperlebar tanpa ruang bersama, maka akan menciptakan friksi dan polarisasi yang tajam. Misalnya jika ada yang berdakwah, maka perlu ada kesadaran bagi seorang pendakwah bahwa kesadaran setiap orang berbeda-beda. Apa yang akan diekspresikan dalam dakwah itu tentunya yang bisa memayungi semuanya. Hal ini perlu renungan mendalam prinsip Islam bahwa kebersamaan apapun yang membuat kita yang berbeda kesadaran bisa hidup bersama.
Hal yang mengkhawatirkan adalah misalnya, kesadaran dirinya dalam ber-islam masih dalam spasial partisi ‘mualaf’ beberapa tahun dengan proses keilmuan dan jam terbang masih sangat singkat. Ada semacam percarian diri bersama al-Quran lebih dalam secara spiritual dan pengalaman bahwa proses untuk melakukan dakwah terhadap yang lain tentunya perlu ada batasannya, empati, pendekatan sosial dan kebudayaan serta seni kehidupan bersama.
Semuanya harus diukur oleh diri sendiri seperti supir mau menyalip mobil lain melalui jalan yang sempit, kecepatan tinggi dan mobil yang besar. Proses ini tidak ada ukuran yang pasti kecuali kira-kira diri sendiri dalam seni menyupir. Di sini rasionalitas dimasukkan ke dalam ilmu seni kira-kira agar tidak terjadi gesekan antar mobil atau kecerobohan untuk jatuh ke jurang, keluar jalur jalan. Di sini peran kontemplasi diri menjadi signifikan dibandingkan konsumsi begitu banyak informasi dari luar tentang al-Quran.
Dalam hal ini, perlukah al-Quran ‘didemokratisasikan’? Apakah al-Quran yang ‘didemokratisasikan’ atau tafsir dan pemahamannya yang ‘didemokratisasikan’? Sejauh mana kita mau belajar serius tentang al-Quran dari para ahlinya dengan motivasi (niat) berdamai dengan kelemahan diri sendiri dan menampilkan damai bagi sesamanya? Sampai titik mana kita bisa menundukkan diri sendiri dari kemauan (will) klaim kebenaran yang kita merasa miliki dalam interaksi kita dengan al-Quran? Sejauh mana pribadi kita berubah menjadi lebih baik (damai) atas tafsir kita terhadap al-Quran? Al-Quran adalah cermin diri kita. Bisakah kita memperbaiki diri kita dengan hidup Bersama al-Quran? Karena seringkali interaksi kita dengan al Quran justru membuat kita menjadi pemilik kebenaran, bukan menjadikan pribadi kita merasa bukan apa apa (sense of humility).***
Musa Maliki adalah Pengajar FISIP UPN Veteran Jakarta; Kandidat PhD Ilmu Sosial dan Humaniora Charles Darwin University, Australia
Kepustakaan:
Awang, J., & Ramli, YM, 2011, “Theological and Phenomenological Methods in Teaching Comparative Religion Courses”, Procedia Social and Behavioral Sciences 18.
Bassam T., 2021, Islamism and Islam (US: Yale University Press).
Cox, J.L., 2006. A guide to the phenomenology of religion (London: The Continuum International Publishing Group).
Fitriyah, L., 2019, “Islam di Indonesia: antara ‘Islam Konservatif’ dan ‘Islam Pemerintah’”, diakses di https://indoprogress.com/2019/07/islam-di-indonesia-antara-islam-konservatif-dan-islam-pemerintahan/.
Hosen, N., 2016, “Berdakwah dan Berfatwa hanya dengan Model Satu Ayat?” diakses di https://nadirhosen.net/tsaqofah/syariah/134-berdakwah-dan-berfatwa-hanya-dengan-modal-satu-ayat.
Hosen, N., 2018, Mengkaji Hadis “Sampaikanlah Dariku Walaupun Satu Ayat”: Dalil Share, Bukan Dalil Berfatwa”), diakses dari https://panrita.id/2018/12/24/mengkaji-hadis-sampaikanlah-dariku-walau-satu-ayat-dalil-share-bukan-dalil-berfatwa/.
Livingston, J.C., 2008. Anatomy of the sacred: An introduction to religion (London: Pearson).
Republika, 2008, diakses dari https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/08/11/28/17137-prof-dr-m-quraish-shihab-membaca-alquran-menghadirkan-allah.
Shihab, Q., 2019. “Mengapa harus bisa membaca dan memahami al al Quran,” diakses dari http://quraishshihab.com/category/al-quran/.
Twiss,S. B., 1992. Experience of the sacred: Readings in the phenomenology of religion (London: University Press of New England).