Kredit ilustrasi: Yohanes Andreas Iswinarto
SAAT ini gerakan Kiri sedang dalam keadaan terpuruk di hampir segala front: teori, politik, dan organisasi. Secara objektif (dalam relasinya dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya), gerakan Kiri tidak bisa memberikan respon yang maksimal dan efektif terhadap menguatnya kekuatan-kekuatan reaksi kanan, baik yang berbasis keagamaan maupun yang didukung negara atas nama Pancasila dan NKRI. Secara subjektif (dalam dirinya sendiri), gerakan Kiri tidak beranjak maju terlalu jauh dari keadaan sebelumnya: organisasi yang kecil dan tercerai berai membuatnya secara politik mudah ditarik ke sana-sini oleh agenda kekuatan-kekuatan lain dan juga sulit membangun koalisi bersama yang ajeg dan solid. Dalam keadaan sedemikian, apa yang bisa dilakukan?
Di sini, kita mungkin bisa mengambil pelajaran atau inspirasi dari masa lalu yang jauh, tepatnya di Jerman pada saat revolusi 1848. Sesaat setelah kegagalan telak gerakan Kiri yang dipimpin oleh Partai Marx pada masa revolusi itu, Karl Marx dan Fridriech Engels kemudian kembali ke London, Inggris. Setelah melakukan studi mengenai situasi ekonomi politik internasional saat itu, pada pertengahan musim panas tahun 1850, keduanya tidak lagi yakin akan kebutuhan pembangunan organisasi revolusioner yang siap untuk melakukan pemberontakan. Bagi mereka, segala upaya untuk melakukan pemberontakan politik dan juga militer, pastilah akan sia-sia. Dengan kata lain, revolusi tidak lagi menjadi agenda mendesak. Kini saatnya memusatkan perhatian pada pembangunan organisasi. Dan titik utama dari pembangunan organisasi itu adalah kerja-kerja keilmuan, yakni pendidikan dan penelitian.
Kesimpulan dan proposal Marx-Engels ini rupanya tidak disetujui secara bulat oleh para pimpinan Liga Komunis lainnya. Figur-figur revolusioner seperti August Willich dan Karl Schapper dengan tegas menolak proposal ini. Bagi mereka, kemenangan komunisme bisa dicapai dalam revolusi berikutnya oleh orang-orang yang berani dari segala penjuru Eropa. Pandangan ini diamini oleh para pimpinan lainnya yang barusan kembali dari wilayah pergolakan lainnya di Eropa. Di sini kata kuncinya adalah keberanian, antusiasme, pantang menyerah, dan siap mengorbankan kepentingan diri sendiri. Sementara Marx berpendapat, sebagaimana direkam oleh August H. Nimitz, Jr., dalam bukunya Marx and Engels Their Contribution to the Democratic Breakthrough (2000) bahwa perjuangan untuk komunisme akan memakan waktu yang lama dan melalui berbagai tahap, dan secara umum perjuangan itu akan efektif melaui pendidikan dan pembangunan yang bertahap.
Perbedaan pandangan ini begitu panas, tidak hanya di level teori dan politik, tapi juga menjurus ke perkelahian fisik. Willich dikabarkan menantang duel fisik satu lawan satu dengan Marx. Dan karena perbedaan ini begitu fundamental dan tak terjembatani, maka disepakati untuk diadakan pembentukan faksional di dalam Liga Komunis.
Kelak Engels mengakui bahwa posisi dia dan Marx berkaitan dengan persoalan ini terbukti benar. Setelah 1850, tidak ada lagi peristiwa revolusioner besar yang mengguncang Eropa. Karl Schapper kemudian hari kembali bergabung ke dalam barisan Marx dan menjadi salah satu pengikutnya yang paling setia.
Kembali ke kondisi kita sekarang, maka tampak sekali relevansi dari proposal Marx-Engels ini. Saat ini, hampir tidak ada situasi politik yang revolusioner, sekuat dan semilitan apapun kita mengusahakannya. Tindakan-tindakan heroik dan slogan-slogan bombastis hanya akan berujung pada parade meme dan debat kusir tak berujung pangkal. Yang diperlukan saat ini adalah kerja-kerja tekun, terencana, dengan kesabaran tak terbatas. Dan karena itu pendidikan-pendidikan teori, kursus-kursus politik secara regular harus dijadikan sebagai prioritas oleh gerakan. Baik dilakukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing organ atau dilakukan bersama-sama. Tetapi saya berpendapat, pendidikan dan kursus bersama adalah lebih penting dan bermanfaat bagi pembangunan gerakan kiri ke depan. Sebab dari sana kita bisa saling belajar tidak hanya teori tapi juga pengalaman perjuangan bersama, dimana kekurangan dan kelebihannya sehingga akan lebih mudah melakukan akumulasi pengetahuan dan praktik politik.***