Kredit foto: www.beritaflash.com
MELIHAT perkembangan terkini dalam ekspresi keislaman di Indonesia saat ini, sulit rasanya untuk tidak berkesimpulan bahwa kekayaan ajaran moral dan etika keislaman terus mengalami pemiskinan dari segala arah. Dalam masa pra-kampanye presiden yang berakhir dengan pemilu nasional di tahun ini, khazanah diskusi keislaman populer di Indonesia (terutama dalam bentuknya di media massa) masih dipenuhi dengan berbagai sudut pandang yang tak hanya berpijak pada oposisi biner konservatif/moderat. Di masa kampanye presidensial 2019, diskursus oposisi biner tersebut semakin liar tak terkendali.
Sebagian dari kita, sedikit banyak, telah sadar akan keringnya diskursus keislaman secara literal yang banyak dipraktikkan oleh mereka yang menganut paham Salafi dan Wahabi di Indonesia. Keislaman dalam model ini, umumnya diekspresikan dalam bentuk tampilan dan praktik eksternal yang mengutamakan kepatuhan non-kontekstual pada apa-apa yang telah tertulis dalam al-Qur’an dan Hadis. Mereka yang mempraktikkan keislamannya dengan metode ini seringkali dilabeli sebagai ‘radikal’ dan – walaupun bukannya tanpa alasan – diasosiasikan dengan perilaku opresif terutama terhadap kelompok-kelompok minoritas jender dan keagamaan lainnya.
Dengan kecenderungannya terhadap tindakan-tindakan opresif, kelompok-kelompok Salafi dan Wahabi dipandang sebagai satu masalah besar bangsa yang harus dipecahkan bersama. Disinilah paradigma ‘Islam moderat’ muncul dan dipandang sebagai antitesis dari ‘Islam konservatif’. Dalam perkembangannya, ‘Islam moderat’ kemudian diasosiasikan dengan modernitas, kemajuan, peradaban, dan kemanusiaan, sementara ‘Islam konservatif’ dihubungkan dengan masa lalu, kemunduran, kebiadaban, dan kekerasan.
Selama masa kampanye presidensial 2019 hingga hari ini setelah Jokowi dinyatakan terpilih kembali, polaritas antara ‘Islam konservatif’ dan ‘Islam moderat’ ini dijadikan senjata oleh pendukung dari kedua kubu untuk memobilisasi dukungan politik bagi capres/cawapres masing-masing. Di sisi ‘konservatif’, pasangan Prabowo-Sandi bersandar pada dukungan partai-partai dan organisasi massa Islamis (‘Islamis’ di sini dipahami sebagai pandangan yang bertujuan untuk memasukkan prinsip-prinsip Islami ke dalam proses politik-pemerintahan). Sedangkan di sisi ‘moderat’, pasangan Jokowi-Ma’ruf memanen dukungan dari mereka yang mengklaim diri sebagai Muslim moderat-nasionalis yang berasal dari organisasi-organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama dan lainnya.
Alih-alih menjadi tak relevan seiring dengan usainya pesta demokrasi nasional, diskursus biner antara ‘Islam konservatif’ vs ‘Islam moderat’ semakin terpolarisasi pasca pemilu presiden. Jika pada periode kampanye diskursus tersebut digunakan untuk mendulang dukungan politik, setelah pemilu diskursus tersebut beralih fungsi menjadi representasi pertarungan antara mereka yang ingin menyelamatkan wajah karena kalah dengan arogansi mereka yang menang.
Dalam konteks pasca-pemilu, tak ada yang banyak berubah dengan narasi-narasi yang disampaikan oleh kubu ‘Islam konservatif’. Inti pergerakan dan pernyataan-pernyataan yang mereka dengungkan masih saja berkisar di tataran pengawasan moralitas masyarakat di ruang publik dengan kombinasi paradigma anti-keberagaman (jender, seksualitas, agama, dan lain-lain). Hal yang lebih signifikan untuk ditelusuri adalah semakin kaburnya makna ‘progresifitas’ yang diteriakkan oleh representasi ‘Islam progresif’, yang dalam hal ini tentunya juga merupakan kubu pemenang pemilu.
Pasca pilpres, sebagian besar wajah diskursus ‘Islam moderat’ di media massa hampir tak bisa dibedakan dari corong pemerintahan yang berfungsi untuk menjustifikasi langkah-langkah yang diambil oleh presiden terpilih. Dengan kata lain, walaupun masa kampanye telah usai, eksploitasi gerakan ‘Islam moderat’ untuk mendukung kubu yang menang masih terus berlanjut. Menjadi bagian dari ‘Islam progresif’ macam ini bermakna sama dengan memberikan totalitas dukungan bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, dan untuk membedakan ‘Islam moderat’ pendukung pemerintahan dengan gerakan Islam progresif lainnya, saya menggunakan istilah ‘Islam pemerintahan’ untuk menyebutnya.
Ketika makna ‘Islam moderat’ dipelintir dan dipahami sebagai dukungan tak terbatas bagi suatu rezim pemerintahan (i.e., ketika ia menjadi ‘Islam pemerintahan’), maka prinsip-prinsip keadilan dan tujuan untuk membela yang lemah pun runtuh dari struktur gerakan. Pergeseran dari ‘Islam moderat’ menjadi ‘Islam pemerintahan’ ini terutama terlihat pada dua hal:
Pertama, pemilihan isu yang menjadi fokus bahasan adalah isu yang sejalan dengan narasi dominan pemerintahan. Dalam hal ini, isu yang telah dan terus mendapatkan perhatian adalah radikalisasi Muslim dan isu-isu turunannya. Bukan tanpa alasan bahwa isu radikalisasi Muslim menjadi isu empuk bagi pendukung ‘Islam pemerintahan’. Karakteristik isu yang mengasosiasikan kubu Islamis sebagai kaum ‘radikal’ – dan dengan demikian merupakan pihak yang salah – dan kubu nasionalis-pemerintahan sebagai kaum ‘moderat’ – dan dengan demikian merupakan pihak yang benar – merupakan salah satu alasan utama mengapa isu ini menjadi fokus utama dari ‘Islam pemerintahan’.
Selain itu, sifat kasus-kasus radikalisme Muslim yang umumnya memakan korban dengan kejam dan dramatis (i.e., pemboman gereja, dan sebagainya) semakin memperteguh narasi ‘Islam pemerintahan’ yang menempatkan radikalisme Muslim sebagai momok terbesar bangsa pada saat ini. Dengan demikian, sempitnya fokus diskursus ‘Islam pemerintahan’ menghadirkan radikalisasi Muslim sebagai satu-satunya isu yang harus mendapatkan perhatian kita.
Dengan kata lain, narasi dominan ‘Islam pemerintahan’ yang mengeksploitasi hantu radikalisasi Muslim berfungsi sebagai kacamata kuda yang menutup perhatian para pendukungnya dan sebagian masyarakat dari praktik ketidakadilan semisal konflik agraria, pemberian izin industri tambang yang semena-mena, dan penggusuran rumah-rumah masyarakat miskin, yang sebagian besar disponsori oleh negara.
Tentunya, hal ini bukan berarti bahwa isu radikalisasi Muslim bukanlah hal yang penting dan tak memakan korban. Kritik artikel ini ditujukan kepada betapa isu tersebut telah menjadi satu-satunya fokus diskursus sehingga membuat bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya (yang tak kalah mematikan dibandingkan dengan serangan teroris) menjadi terlupakan. Dalam imajinasi nasional, isu radikalisasi Muslim telah bertransformasi menjadi versi lain dari ‘hantu komunisme’ yang juga terus didengungkan oleh mereka yang mendaku diri sebagai ‘nasionalis’.
Kedua, narasi ‘Islam pemerintahan’ hanya menampilkan bahasan-bahasan dangkal yang berporos pada polaritas biner antara konservatif/moderat, bahkan mengenai isu-isu yang mereka pandang penting. Sebagai contoh, isu tentang pemakaian hijab dan niqab oleh perempuan Muslim hanya dipandang dan dibahas sebagai bagian dari ‘proses radikalisasi’ tanpa adanya pertimbangan mendalam tentang hak-hak perempuan untuk memakai apapun yang ia ingin pakai. Di sisi lain, perempuan berniqab dan berhijab selalu dihadapkan dengan gambaran oposisi-nasionalis mereka, yakni perempuan berkebaya tanpa adanya analisa sistemik tentang objektifikasi tubuh perempuan yang berasal dari paradigma nasionalis itu sendiri. Pun dalam topik-topik yang menjadi fokus utama ‘Islam pemerintahan’, seperti topik kebebasan beragama, para pendukung paradigma ini umumnya hanya mengelaborasi permasalahan dari sisi keagamaan saja (e.g., bahwa al-Qur’an tidak pernah memaksa individu untuk masuk Islam, dan sebagainya) tanpa adanya pemikiran sistemik tentang bagaimana pemerintah sendiri tak pernah benar-benar berkomitmen penuh untuk menjamin kebebasan beragama terutama untuk mereka yang beragama selain Islam dan/atau tidak beragama.
Polaritas biner antara ‘Islam konservatif’vs ‘Islam moderat’ yang telah digunakan untuk kepentingan politik selama pemilu tidak serta-merta terurai pasca-pemilu. Polaritas tersebut malah menjadi pusaran politik bagi kedua kubu yang menarik berbagai elemen kritis masyarakat seperti akademisi dan ulama kedalamnya, dan merubah mereka menjadi sekedar pembela politik Islamis atau pendukung kebijakan pemerintahan.
Pada akhirnya, apa yang terlihat berlawanan (Islam konservatif vs Islam moderat) sebenarnya hanyalah dua model ketaatan yang berbeda. Kubu konservatif mengabdikan dirinya pada tujuan Islamisasi ruang-ruang publik dengan imbuhan kapitalisasi dan komodifikasi peristiwa hijrah, sementara kubu ‘Islam pemerintahan’ membaktikan dirinya untuk menampilkan pemerintahan Jokowi sebagai simbol utama kemajuan/kemoderenan tanpa adanya kritik terhadap kebijakan-kebijakan neoliberal-nya yang memakan korban dari kalangan miskin.
Dengan kata lain, logika ‘Islam perlawanan’ absen dari gerakan ‘Islam konservatif’ maupun ‘Islam pemerintahan’. Keduanya sama-sama mempertahankan status quo (konservatifisme-Islamis, dan pemerintahan yang berkuasa) tanpa memedulikan berbagai jenis kekerasan yang dihasilkan oleh kedua bentuk status quo tersebut. Apa arti stagnansi dimensi perlawanan ini bagi Islam di Indonesia? Berikut bahasannya.
Stagnansi Keadilan dan Pembusukan Masyarakat Muslim
Adalah Hamid Dabashi, seorang Profesor Kajian Iran dan Perbandingan Literatur di Columbia University yang mengonseptualisasikan puncak keislaman sebagai perlawanan tanpa henti terhadap kekerasan yang bersumber dari kekuasaan. Dalam bukunya, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire, Dabashi menjelaskan bahwa secara prinsipil, Islam dengan sandaran tauhidnya adalah sebuah agama pergerakan dan perlawanan. Ini berarti bahwa Islam mencapai potensi maksimalnya ketika ia menjadi bagian dari perlawanan melawan kuasa, dan ia berada pada titik terendahnya ketika Islam digunakan untuk mempertahankan kuasa.
Dalam studinya, Dabashi menggunakan contoh Revolusi Iran 1979 sebagai titik balik dimana Islam yang sebelumnya mencapai posisi maksimalnya dalam perlawanan untuk menggulingkan rezim Shah, malah mencapai titik terendahnya ketika kekuatan Islam menjadi bagian dari rezim kuasa para Ayatullah. Prinsip yang diajukan oleh Dabashi, yang kemudian ia sebut sebagai Teologi Pembebasan Islam, adalah bahwasanya Islam kehilangan marwahnya sebagai ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan ketika ia sekadar menjadi pendukung kekuasaan.
Melihat kembali ke abad ke-14 Masehi, kita temui figur bernama ‘Abd al-Rahman b. Muhammad Ibn Khaldun, seorang Sosiolog dan Sejarawan Islam ternama, yang menyatakan hal serupa dalam teorinya tentang siklus perubahan sosial. Dalam karyanya al-Muqaddimah (ditulis pada tahun 1377 Masehi), Ibn Khaldun memberikan teori perubahan sosial dari masyarakat berpola nomad dan tribal menuju masyarakat dengan pola hidup menetap (sedentary society). Bagi Ibn Khaldun, perubahan tersebut bukanlah hal yang patut untuk disyukuri layaknya sabda teori-teori sosiologi Barat modern yang berparadigma linear. Alih-alih disyukuri, transformasi dari masyarakat nomad-tribal menuju masyarakat menetap adalah awal mula pembusukan struktur sosial dalam masyarakat itu sendiri.
Apa pasal? Kompleksitas kehidupan sosial dan kemewahan hidup (al-taraf) yang hanya dimiliki oleh sebagian orang dalam masyarakat menetap mampu menghapuskan keterikatan sosial-komunal dan menekan individu untuk menginjak-injak satu sama lain demi meraih kenyamanan hidup. Di sisi lain, kenyamanan hidup juga menyebabkan timbulnya kerusakan di tataran individu yang membuat mereka terlena dengan segala kemewahan yang mereka miliki. Di sinilah kemudian tatanan masyarakat membusuk dan pada akhirnya hancur.
Pandangan modern dari Hamid Dabashi tentang teologi pembebasan Islam, dan pandangan klasik Ibn Khaldun tentang siklus transformasi masyarakat Muslim di abad ke-14, menjadi pelajaran penting bagi masyarakat Muslim Indonesia saat ini. Polaritas antara ‘Islam konservatif’ dan ‘Islam pemerintahan’ yang dijelaskan sebelumnya merupakan refleksi titik nadir keislaman seperti yang dijelaskan oleh Dabashi, sekaligus representasi dari apatisme sosial yang diteorikan oleh Ibn Khaldun sebagai penyebab runtuhnya masyarakat Muslim.
Betapa tidak, ketika gerakan keislaman tidak lagi menyuarakan ketidakadilan melainkan malah mendukung jejaring kuasa (baik dalam bentuk otoritas keagamaan konservatif, maupun dalam bentuk pemerintahan) maka ia tidak lagi berdiri di atas landasan tauhid yang meyakini Allah sebagai satu-satunya pemilik kuasa. Dengan mendukung bentuk-bentuk kekuasaan agamawi dan politik tanpa pandangan kritis, kedua jenis pergerakan tersebut telah melanggengkan (dan bahkan menjustifikasi) kekerasan yang berasal dari otoritas keagamaan dan otoritas politik.
Selain berperan aktif dalam melanggengkan kekerasan berbasis agama dan kekerasan yang disponsori oleh negara, praktik ‘Islam konservatif’ dan ‘Islam pemerintahan’ juga melahirkan bentuk-bentuk apatisme yang bersumber dari kenyamanan semu dalam lingkar status quo. Pandangan ‘Islam konservatif’ tak lagi peduli akan pemaknaan ulang dan kontekstualisasi ajaran-ajaran keagamaan. Bagi mereka praktik keagamaan adalah praktik ketaatan penuh terhadap apa-apa yang telah tertulis di masa lalu. Di sisi lain, pandangan ‘Islam pemerintahan’ berada dalam lingkar kenyamanan kuasa politik. Maka dari itu, walaupun klaim progresif dan kritis selalu mereka dengungkan, kritik dan semangat progresif tersebut akan berhenti pada batasan yang bersinggungan dengan kuasa pemerintah. Dengan demikian, kritik-kritik yang mereka sampaikan umumnya hanya akan menyentuh permukaan tanpa adanya upaya dekonstruksi terhadap kekerasan sistemik dibaliknya yang kerap disponsori oleh negara.
Kesimpulannya, tak ada Islam ketika tak ada perlawanan terhadap berbagai bentuk kuasa yang menggerus mereka yang lemah. Dalam konteks Indonesia saat ini, mereka yang lemah direpresentasikan oleh mereka yang minoritas, mereka yang miskin, dan mereka yang lahan kehidupannya dikoyak habis oleh para pemilik modal. Jika perspektif Islam yang Anda ikuti berujung pada pelestarian kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang oleh Teolog Pembebasan Muslim dari Afrika Selatan, Farid Esack, disebut sebagai ‘dhuafa’ (golongan lemah/marjinal), maka bisa dipastikan bahwa cara Anda berislam hanya melayani kuasa.
Untuk menutup artikel ini, mari menilik apa yang dikatakan oleh alm. Munir tentang Islam dalam sebuah rekaman video yang beredar di Twitter akhir-akhir ini: “Islam itu kan membuat orang untuk tidak kufur … memerangi kekufuran, agar orang tidak kufur, adalah memerangi kemiskinan supaya orang tidak miskin, bukan orang miskinnya yang diperangi, … tidak melawan apa-apa, itu bukan Islam.”***
Lailatul Fitriyah, kandidat doktor di bidang Agama-agama Dunia dan Gereja Global, University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat
Kepustakaan:
Dabashi, Hamid. Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire. New York, NY: Routledge, 2008.
Esack, Farid. Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld Publications, 1997.
Untuk terjemahan berkualitas dari al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun, lihat: Ibn Khaldun. Al-Muqaddimah/The Muqaddimah: An Introduction to History. Franz Rosenthal (trans), 3 volumes. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967.
Link video rekaman pidato Munir: https://twitter.com/i/status/1151682291757805568