Kredit foto: VIVA
ARTIKEL Tabayyun saya bulan lalu, “Menuju Fikih Mayoritas” mendapatkan beberapa tanggapan menarik. Salah satunya adalah tanggapan cerdas dari kolega saya, Zain Maulana, yang mengelaborasi beberapa poin yang saya ajukan tentang Fikih Mayoritas. Meskipun setuju dengan gagasan besar saya tentang “Fikih Mayoritas”, Zain melihat ada beberapa hal yang masih perlu dielaborasi dan diperdebatkan tentang konsep “mayoritas” dan “minoritas”. Menurut Zain, konsepsi ini perlu diperjelas agar keadilan dan perlindungan –yang penting dalam argumen saya tentang ‘fikih mayoritas’— menjadi terbatas pada satu kelompok tertentu, yaitu minoritas dan cenderung menafikan kelompok lainnya yang mayoritas.
Hal ini mengantarkan kita pada satu pertanyaan: bagaimana memahami “mayoritas” dan “minoritas” dalam Islam? Apakah ia terkait dengan jumlah, akses kekayaan, hubungan spiritual, atau justru yang lain? Bagaimana rumusan tentang ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ ini diejawantahkan dalam konteks kehidupan sehari-hari? Artikel ini mencoba untuk menjawab beberapa pertanyaan ini secara lebih sederhana.
***
Secara garis besar, gagasan tentang mayoritas dan minoritas membawa kita pada satu bahasan tentang “ummah” dalam Islam. Konsep ini sentral karena sering disebut-sebut sebagai penanda kesatuan kelompok dalam Islam. Pandangan tentang “Ummah” kerap dipahami dalam konteks kesatuan, dimana umat Islam dipandang sebagai entitas yang homogen, diikat oleh satu pemahaman yang sama, serta antara satu dan yang lainnya tidak beragam.
Dalam titik tertentu, pandangan ini bisa jadi benar, karena identitas Islam diikat, secara mendasar, pada konsep Tauhid: keesaan Allah. Untuk menjadi seorang Muslim, tidak ada jalan lain selain dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, yang mengesahkan seorang individu menjadi seorang Muslim.
Namun demikian, konsepsi Ummah baik dalam Al-Qur’an maupun dalam kenyataan sejarah ternyata tidak se-homogen yang sering dibayangkan. Kajian menarik dari Jahidin menyebut bahwa dalam Al-Qur’an kata “Ummah” disebut sebanyak 64 kali dengan berbagai konteks. Hal ini, secara lebih spesifik, dijelaskan oleh Professor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Ada beberapa konteks ‘Ummah’ yang termaktub dalam Al-Qur’an: Khairu Ummah (sebaik-baik umat), Ummatan Wasathan (“Umat pertengahan”), Ummatan Muqtashidan (“Umat yang adil dan objektif”), serta Ummatan Wahidah (“Umat yang satu”). Kata Ummah juga merujuk pada hal yang lebih luas: waktu, agama, hewan, bahkan juga jin dan manusia.
Pada intinya, konsepsi tentang “ummah” dalam Al-Qur’an tidak semata merujuk pada kelompok yang diikat oleh ‘agama’ Islam dengan dua kalimah syahadah sebagai penanda, tetapi juga hal yang lebih luas. Meskipun kemudian, sebagaimana dijelaskan dengan cukup detil oleh Ganjar Widhiyoga dalam Disertasi Doktoralnya, secara historis “Ummah” juga menjadi identitas pemersatu masyarakat Muslim dalam konteks global.
Sehingga, pandangan tentang “Ummah” sebagai sesuatu yang homogen tersebut juga bisa keliru karena pada dasarnya Islam dianut oleh masyarakat yang dinamis, dan hidup di tengah lingkungan sosial yang dihuni oleh perbedaan-perbedaan. Pada titik ini, konsepsi tentang “Ummah” juga tidak lagi menjadi satu, karena pada kenyataannya ada ragam pemahaman fiqh dalam Islam (misalnya), ragam karakter budaya ketika Islam menyebar ke berbagai tempat, dan ragam posisi masyarakat Muslim ketika kemudian berhadapan dengan masyarakat yang tidak sepenuhnya menerima Islam sebagai keyakinan hidup.
***
Harus diakui, banyak pendapat ulama, baik yang klasik maupun kontemporer, ditulis dengan satu asumsi mendasar: bahwa seorang Muslim hidup dalam masyarakat yang, secara jumlah, mayoritas Muslim. Di sini, konsepsi Ummah yang dipakai adalah Ummatan Wahidatan, dimana asumsi yang dipakai adalah Umat Islam yang sifatnya tunggal dan hanya berorientasi pada pemahaman terhadap dua sumber hukum –Al-Qur’an dan Sunnah— secara letterlijk dengan melepaskan konteks sosial dimana Islam diterapkan dalam kehidupan.
Namun demikian, tentu berbeda halnya ketika Umat Islam hidup dalam masyarakat yang tidak sepenuhnya menerima Islam. Ilustrasi yang diberikan oleh Muadz ibn Jabal menjadi menarik untuk diketengahkan. Suatu ketika, Mu’adz diutus Rasulullah untuk berdakwah ke Yaman, dan Rasulullah bertanya, “Apabila muncul suatu perkara, bagaimana engkau memutuskan hukumnya?”
Mu’adz menjawab, “Aku putuskan dengan berdasarkan Kitab Allah”. Beliau bertanya, “Bagaimana jika engkau tidak mendapatkannya dari Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Maka aku putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan keputusannya dalam Sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku berijtihad dengan menggunakan pendapatku dan aku tidak akan mundur.”
Dalam konteks ini, fleksibilitas dalam beragama –dan ijtihad— jadi penting ketika menghadapi konteks masyarakat yang plural. Ulama-ulama Muslim, terutama yang hidup dalam konteks masyarakat Barat, kemudian mencoba merumuskan fiqh al-aqalliyat –fiqh minoritas—yang menjadi panduan ketika hidup di tengah masyarakat Barat yang notabene sekuler dan, jikapun beragama, bukan beragama Islam. Hal yang kemudian akan sangat berbeda bagi umat Islam di Indonesia, yang mendapati mesjid dimana-mana, makanan halal tersedia, serta Masjid yang bisa punya pengeras suara.
Halim Rane dan Adis Duderija melihat bahwa FIqh Aqalliyat dibangun di atas satu kebutuhan untuk memosisikan umat Islam agar bisa hidup dalam konteks hubungan sosial dimana Umat Islam menjadi “minoritas”. Di sini beberapa ulama seperti Taha Jabir Al-Alwani dan Yusuf Al-Qaradhawi kemudian merumuskan konteks Islam dalam masyarakat Barat dengan menekankan fleksibilitas dan pentingnya ijtihad, agar tidak ada benturan ‘etis’ antara umat Islam dan masyarakat Barat. Fiqh Al-Aqalliyat bukan merupakan produk hukum baru, melainkan kontekstualisasi dari tradisi hukum yang ada dalam Islam dalam konteks kehidupan masyarakat yang bukan mayoritas Muslim.
***
Tapi, hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan lain: bagaimana dengan umat Islam yang hidup sebagai Mayoritas? Di sinilah argument tentang fiqh al-aghlabiyyat (mayoritas) saya dudukkan. Jika fikih minoritas bertumpu pada fleksibilitas dan pengambilan pendapat secara sah dalam tradisi hukum Islam (ijtihad), maka fikih mayoritas bertumpu pada dua konsep lain, yaitu keadilan dan perlindungan (al-muhafazhah).
Di sini, perlu diketengahkan apa yang dimaksud dengan ‘minoritas’ dan ‘mayoritas’. Ada dua cara pandang kita dalam memahami dua hal tersebut. Cara pandang pertama melihat ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ dalam konteks jumlah –siapapun yang jumlahnya besar memiliki kewajiban etis untuk melindungi mereka yang jumlahnya sedikit.
Cara pandang ekonomi politik akan melihatnya sedikit berbeda. Benar, bahwa mayoritas bisa berarti jumlah yang besar. Namun, yang menjadikan satu kelompok menjadi mayoritas bukan hanya jumlah, tetapi juga akses terhadap kekuasaan, modal, dan kemampuan yang besar. Kaidah dalam hal ini sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an: Mereka yang diberi kekuasaan mendapatkan tanggung jawab (‘amanah) untuk berlaku adil dan melindungi sessamanya. Adil, dalam arti ada distribusi kesejahteraan dan kekayaan, pemenuhan hak-hak dasar manusia, serta dihapuskannya ketimpangan.
Di sini, ada kaidah yang bisa dirumuskan: minoritas dan mayoritas akan sangat ditentukan oleh kekuasaan dan kemampuan. Semakin besar kekuasaan dan kemampuan, maka semakin ia dibebankan keharusan untuk berlaku adil dan menjaga hak-hak orang lain. Sebaliknya, jika ia tidak punya kuasa dan kemampuan, semakin ia mendapatkan hak agar bisa punya standard kehidupan yang layak, dan beragama secara fleksibel. Di sini, ada satu istilah yang kerap dilekatkan dengan Islam –rahmatan lil’alamin; menebar kebaikan bagi seluruh alam. Konsep ini mesti dipahami juga sebagai sebuah cara pandang untuk berlaku adil kepada selurun umat manusia, dengan memperhatikan kekuasaan dan kemampuannya.
Di sini, ada konsep Ummah yang lain, yaitu Ummatan Muqtashidah (umat yang pertengahan). Professor Quraish Shihab menafsirkan kalimat ini hampir identik dengan Ummatan Wasathan –yang juga berarti umat pertengahan dalam menentukan cara beragama— tetapi menekankan aspek ekonomi, yaitu rezeki yang halal. Allah berfirman dalam Al-Ma’idah: 66,
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (al-Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada sekelompok yang jujur dan taat (ummatan muqtashidah). Dan banyak di antara mereka sangat buruk apa yang mereka kerjakan.”
Dari ayat ini, poin menarik adalah bahwa ada aspek yang akan didapatkan ketika kita menjalankan ajaran agama, yaitu rezeki yang halal. Ayat ini bukan hanya terkait dengan hukum yang terkait dengan ibadah mahdhah (ritual), tetapi juga ibadah ‘muamalah. Quraish Shihab menafsirkannya sebagai umat yang adil dan objektif, yang sangat terkait dengan konsepsi keadilan dalam Islam.
***
Salah satu contoh yang menarik dari mayoritas dan minoritas ini ditunjukkan oleh Rasulullah dalam Piagam Madinah. Jika kita baca secara lebih detil, “negara Madinah” yang dibangun oleh Rasulullah dan masyarakat Yatsrib pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang konsoasional. Piagam Madinah yang menjadi “dustur” (konstitusi) adalah potret dari negosiasi kepentingan antara umat Islam dan kaum Yahudi dalam menjaga keamanan kota Madinah dan hidup bersama secara berdampingan dan damai.
Dari 47 pasal yang disebutkan dalam piagam Madinah, ada beberapa pasal yang mencerminkan adanya konsensus tersebut. Pasal 2-10, misalnya, menempatkan kedaulatan masing-masing suku yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kedaulatan tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah dan Muslimin Madinah dan seluruh entitas suku mengakui eksistensi dari masing-masing suku dan keyakinan beragama. Hal ini ditegaskan dalam pasal 25 yang berbunyi, “Kaum Yahudi dan Bani Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka. Kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya”.
Artinya, pengakuan atas eksistensi ini menjadi basis dari konsensus yang dibangun. Kedaulatan dan kebebasan masing-masing suku diakui oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Akan tetapi, kedaulatan tersebut dibatasi oleh satu hal: ancaman terhadap keamanan kota Madinah dan keamanan individu.
Pasal 37, misalnya, menegaskan bahwa, “Bagi kaum yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (yahudi dan Muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh warga piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya”.
Piagam Madinah menjadi satu bentuk konstruksi Islam dalam masyarakat Madinah yang sebenarnya plural –terbagi atas beberapa komunitas (Islam, Yahudi, dan Arab Badui yang tinggal di sana). Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam tidak berlaku universal, dan semua komponen masyarakat memiliki tanggung jawab untuk saling melindungi atas ancaman yang muncul terhadap keutuhan kota. Piagam ini menempatkan bahwa dalam konteks kehidupan bernegara, bukan hukum Islam yang menjadi acuan, melainkan konsensus, kesaksian, dan negosiasi dari beragam pihak yang ada dalam satu negara. Termasuk juga bagaimana relasi antara mereka yang punya kekuasaan dengan mereka yang membutuhkan; relasi antara sesuatu yang sifatnya privat/tribal (diselesaikan dalam kelompok) dengan sesuatu yang sifatnya ‘publik’ atau membutuhkan komitmen bersama.
***
Lantas, bagaimana memahami masyarakat Muslim Indonesia? Apakah masyarakat Muslim Indonesia adalah “mayoritas”, atau justru “minoritas” karena akses ekonomi dan kekuasaan sebagaimana banyak argumen yang melihat Islam justru terpinggirkan secara ekonomi atau politik?
Dalam hal ini, kita dituntut untuk melihatnya lebih kritis dalam konteks yang lebih material. Bisa jadi, ada umat Islam yang menjadi ‘mayoritas’ karena aksesnya terhadap kepemilikan modal, akses terhadap kekayaan dan pekerjaan yang layak, atau karena ia menjadi bagian dari struktur kekuasaan ekonomi dan politik yang ada. Banyak umat Islam yang menjadi mayoritas karena bisa ke Austria dan Amerika Serikat untuk lebaran, atau memiliki usaha yang memungkinkan ia membangun dinasti politik yang Berjaya. Atau sekadar bisa mudik lebaran untuk bisa menikmati hangatnya kampung halaman.
Tapi ada juga umat Islam yang menjadi “minoritas” – tanahnya diambil oleh perusahaan besar karena ada investasi di sana, pekerjaannya tidak cukup menghidupi keluarganya, atau mungkin mereka hidup di lingkungan orang-orang yang tidak beragama Islam.
Dan di sini, kita tidak bisa memutuskan fiqh seperti apa yang berlaku tanpa memahami konteks kehidupan dimana seseorang tinggal. Pada akhirnya, pertanyaan tentang Ummat Islam bukan sekadar soal agama, tapi bagaimana menjadikan Islam sebagai inspirasi untuk berlaku adil kepada sesama, melindungi orang-orang yang lemah, dan membangun tatanan masyarakat yang lebih baik untuk para pekerja di alam kapitalisme hari ini.***
Ahmad Rizky Mardhatillah Umaradalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia