Jokowi saat kampanye di Kupang, NTT pada Pilpres lalu. Kredit foto: Tagar News
BEBERAPA pekan terakhir ini, di media ini berlangsung perdebatan menarik seputar bagaimana membangun gerakan progresif pasca pilpres 2019 lalu. Tulisan ini ingin menyumbang pemikiran dalam debat tersebut dengan mengedepankan kasus gerakan progresif di Nusa Tenggara Timur (NTT). Melalui pembacaan atas kasus NTT ini, maka diharapkan horison perdebatan soal pembangunan gerakan progresif tidak bersifat Jawasentris.
Dalam kontestasi pilpres lalu, masyarakat NTT percaya bahwa Joko Widodo (Jokowi) bukanlah elite, tapi orang biasa seperti mereka. Oleh karenanya Jokowi dianggap dapat menghadirkan kesejahteraan kepada masyarakat. Ketika berkampanye di Kupang pada 8 Maret lalu,[1] beberapa janji Jokowi adalah melanjutkan proyek infrastruktur yang tertunda dan juga akan membuat proyek baru seperti waduk dan jalan.
Dengan citra sebagai ‘orang biasa’—atau seperti slogan kampanye yang ramai lima tahun lalu bahwa “Jokowi adalah kita”, ditambah janji kampanye seperti itu, tak heran jika kemudian di provinsi ini capres nomor urut 01 itu menang telak dengan perolehan suara hingga 91 persen—lebih besar dari permintaannya, 80 persen saja.
Orang-orang jelas boleh berharap Jokowi bisa mengubah hidupnya jadi lebih baik. Namun harapan itu terlalu muluk selama ketimpangan ekonomi-politik masih ada. Selama ketimpangan ekonomi-politik eksis, kebijakan infrastruktur gila-gilaan seperti yang kita lihat di seluruh Indonesia selama lima tahun terakhir hanya akan menguntungkan elite penguasa sumber daya.
Dan untuk mengatasi ketimpangan itu tak bisa dengan hanya menunggu niat baik pemerintah, tapi mesti diperjuangkan sendiri. Yang bisa memperjuangkan itu adalah masyarakat itu sendiri dengan didorong oleh elemen progresif. Sayangnya gerakan semacam itu, di provinsi dengan penduduk 5 juta jiwa (2014) ini, sudah sejak lama tidak signifikan, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Namun bukan berarti tak ada harapan sama sekali. Saat ini gerakan progresif tengah dibangun kembali; inisiatif-inisiatif itu bermunculan.
Persoalan Ekonomi-Politik NTT Hari ini
Ketimpangan ekonomi-politik di NTT adalah efek dari ketimpangan penguasaan lahan (agraria). Ketimpangan agraria[2] terlihat lewat statistik berikut: di Flores, seperti hasil penelitian saya pada 2014, rata-rata 34 keluarga petani kaya menguasai 476 hektare tanah, sementara 78 keluarga petani gurem hanya menguasai 27 hektare. Artinya, petani kaya menguasai 17 kali luas rata-rata petani gurem.[3]
Kondisi ini membuat para penguasa lahan bisa dengan bebas melakukan mobilitas sosial dengan mengisi posisi strategis di politik/birokrasi dan bahkan Gereja Katolik—dan membuat mereka jadi aristokrat tradisional. Institusi ini, bisa dibilang, adalah “sumber ekonomi dan politik baru” untuk melanggengkan kekuasaan.[4]
Korupsi memperdalam ketimpangan ini. Tahun 2015 lalu Indonesian Corruption Watch menobatkan NTT sebagai provinsi terkorup kedua di Indonesia setelah Sumatera Utara. Pada 2007, Maumere bahkan pernah menjadi kota terkorup se-Indonesia.
Saya menemukan bahwa korupsi marak terjadi dalam pelelangan dan pelaksanaan proyek infrastruktur. Para kontraktor yang ingin mendapatkan proyek harus membayar 10 persen dan bahkan lebih kepada bupati, anggota legislatif, kepala desa, dan kepala dinas. Korupsi juga melibatkan lembaga yudikatif seperti kejaksaan, serta Gereja Katolik. Namun, untuk yang disebut terakhir biasanya sulit terdeteksi karena, seperti yang sempat dikatakan Romo Yos dalam Kotbah Misa Hari Minggu di Gereja St. Frasiskus Boawae, umat/jemaah tidak berani membongkar atau bahkan sekadar membicarakan itu, apalagi jika dilakukan para pastor.
Salah satu kasus paling terkenal yang dilakukan oleh Gereja Katolik di NTT adalah korupsi Uskup Ruteng, Hubertus Leteng, yang ramai dibicarakan pada 2017 lalu. Dia menyelewengkan dana gereja sebanyak Rp1,6 miliar untuk kepentingan pribadi. Perwakilan Vatikan bahkan mesti datang ke Ruteng untuk menyelesaikan masalah ini.
Praktik korupsi ini membuat segala kebijakan pemerintah pusat—dari mulai dana desa hingga pembangunan infrastruktur—kurang membawa efek positif bagi penurunan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut hingga Maret 2018, NTT adalah provinsi termiskin ketiga di Indonesia, hanya di atas Papua dan Papua Barat. Warga miskin mencapai 21,35 persen dari jumlah penduduk. Angka kemiskinan seluruh kabupaten di NTT kecuali Kupang juga masih di atas rata-rata angka nasional.
Gerakan Progresif di NTT
Seperti yang tadi sudah disebut, gerakan progresif di NTT masih sangat kecil dan tidak signifikan untuk menjalankan proyek emansipatif.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa itu bisa terjadi. Pertama, secara objektif, dibanding tempat lain di Indonesia, kapitalisme di NTT berkembang terlambat. Mayoritas masyarakat NTT per Agustus 2014 bekerja di sektor pertanian. Jumlahnya 1,32 juta orang atau setara 60,77 persen angkatan kerja. Kelas buruh, yang hanya menggantungkan hidup dengan menjual tenaganya sekaligus yang paling berpotensi progresif, jadi kurang berkembang. Sebagian besar dari komposisi yang kecil itu bekerja sebagai buruh tani, lainnya di sektor jasa seperti restoran dan hotel.
Kedua, secara subjektif, masyarakat terdepolitisasi karena pertama, pengaruh gereja; kedua, pembantaian PKI pasca 1965.
Gereja, sebagaimana banyak institusi agama lain, mewajarkan kemiskinan sebagai sesuatu yang sudah dari sananya. Tugas manusia hanya pasrah karena kelak akan ada hari bersukacita asal patuh kepada-Nya. Sementara soal pembantaian, pada masa itu PKI-lah yang mengajarkan masyarakat berorganisasi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Gereja dan pembantaian bahkan saling berkelindan pada musim jagal. Pasca tragedi G30S, pembantaian mendapat legitimasi baik secara langsung maupun tidak oleh negara, Gereja Katolik,[5] dan Gereja Protestan. Bahkan Gereja dijadikan tempat penampungan korban sebelum dibantai, lantas para pembantainya dilabeli pahlawan oleh Gereja.[6]
Dalam konteks ini, membangun wacana progresif jadi sesuatu yang mendesak. Pembangunan wacana ini tentu tidak melalui jalur pendidikan formal karena dunia pendidikan pada umumnya bersifat regresif. Wacana progresif ini perlu dibangun melalui lembaga informal, khususnya dalam organisasi-organisasi massa rakyat meski jumlahnya tidak signifikan dan sumber dayanya pun sangat terbatas.
Karena itu, kesuksesan gerakan progresif di NTT juga sedikit banyak dipengaruhi oleh sumbangsih organisasi-organisasi dan intelektual progresif di tempat lain di Indonesia. Mereka perlu bekerja sama dalam kegiatan-kegiatan produktif, seperti diskusi atau riset bersama, di NTT. Hasil riset, selain dipublikasikan di jurnal atau media populer, juga perlu diskusikan di ruang publik.
Saat ini para aktivis dari NTT setidaknya punya semangat dan kemauan untuk bercerita tentang ‘rumahnya’ di media massa. Selain sedang gemar-gemarnya bercerita, di NTT saat ini gerakan literasi juga sedang tumbuh subur, terutama di kalangan anak muda. Gerakan ini, sependek yang saya amati, baru muncul dalam lima tahun terakhir. Wacana progresif yang terus digulirkan di ruang publik bisa memengaruhi anak-anak muda ini, dan jelas itu positif.
Pengorganisasian Massa Rakyat
Selain membangun wacana progresif, yang juga perlu dilakukan adalah mengorganisir masyarakat itu sendiri.
Di NTT, sejauh ini memang ada beberapa organisasi yang tampaknya serius melakukan itu. Sebut saja Front Perjuangan Rakyat (FPR), Front Mahasiswa Nasional (FMN), dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Sebagian besar dari roda organisasi ‘dihidupi’ para mahasiswa. Namun anggotanya pun sedikit dengan penguasaan teori dan praktik yang terbatas. Dengan jumlah dan kemampuan seperti itu, mengorganisasi massa rakyat jelas jadi perkara yang sangat sulit.
Saya melihat ini karena beragam faktor. Kurangnya penguasaan teori karena akses terhadap informasi sulit diperoleh; sementara kurangnya orang yang berminat karena faktanya bergabung ke organisasi-organisasi itu tidak ‘menghasilkan’.
Beberapa dari mereka sebetulnya bersiasat agar tetap dapat penghasilan dengan bergabung ke LSM bonafide. Namun itu melahirkan masalah lain: mereka perlu kompromi, dan bahkan jadi moderat, karena visi-misinya bertentangan dengan tujuan didirikannya LSM itu. Dalam penelitiannya di Sulawesi, Tania Murray Li dalam The Will to Improve berpendapat bahwa LSM punya dua corak. Di satu sisi bersifat pragmatis, bekerja hanya demi uang baik dari pemerintah maupun dari donor luar negeri. Di sisi lain, terdapat LSM yang memang dibentuk untuk mengadvokasi masyarakat.
Apa yang ditemukan Li di Sulawesi juga terjadi di NTT. Tidak semua LSM di NTT itu regresif, memang, ada beberapa yang progresif seperti Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) dan Sunspirit for Justice and Peace dengan Rumah Baku Peduli Labuan Bajonya—yang berjuang untuk kepentingan masyarakat walau kadang dengan pendekatan teknis yang kerap saya persoalkan.
Lembaga-lembaga ini bisa didorong lebih progresif dengan tuntutan-tuntutan yang lebih bersifat ekonomi-politik dan tidak kasuistik.
Sebagai provinsi dengan mayoritas penduduknya memeluk Kristen, ada juga advokasi yang dilakukan oleh lembaga yang berafiliasi dengan institusi agama. Jadi tidak semua lembaga ‘agama’ reaksioner seperti yang saya sebut di atas.
Pada tahun 2000an, misalnya, ketika terjadi perampasan tanah dan pembunuhan terhadap petani di Colol, Manggarai, yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan, Gereja Katolik di Manggarai terbelah dua, salah satunya berpihak ke masyarakat.[7] Para imam, peneliti-cum aktivis yang berdomisili di Maumere seperti Robert Mirsle dan Eman Embu juga pernah membantu mengadvokasi para petani yang hak-haknya hendak dirampas pemerintah. Selain itu, JPIC SVD dan JPIC OFM akhir-akhir ini juga kerap mengadvokasi masyarakat melawan tambang.
Dari kasus-kasus itu, aktivis dan intelektual berbasis agama terbukti, setidaknya, berpotensi punya komitmen terhadap masyarakat.
Aliansi Lintas Sektor
Keberhasilan membesarkan gerakan progresif di NTT ditentukan oleh aliansi yang dibangun oleh pelbagai organisasi masyarakat, baik yang bersifat organik maupun yang didukung atau memiliki afiliasi dengan Gereja, seperti yang dikemukakan di atas. Aliansi ini harus merupakan organisasi-organisasi massa rakyat yang tidak pragmatis dan oportunis; yang benar-benar berjuang untuk kepentingan massa rakyat.
Tanpa melakukan ini, gerakan progresif tidak akan maju dan berkembang serta berpotensi menjadi regresif akibat kegagalan-kegagalan yang mereka hadapi setiap hari.
Dalam konteks membangun aliansi ini, peran kaum cerdik pandai yang progresif sangat penting. Kaum cerdik pandai di sini tidak saja mengacu pada para intelektual kampus, tetapi juga para aktivis itu sendiri, yang lebih tepat disebut sebagai scholar activists. Peran mereka adalah membagi apa yang mereka ketahui agar tindakan politik aliansi produktif dan menguntungkan massa rakyat.
Namun ini bukan berarti satu arah seperti seorang dosen kolot di kelas. Para intelektual mestilah fasilitatif-interaktif. Dia tidak boleh hanya memberikan arahan, tetapi juga perlu dan memang harus belajar dari massa rakyat. Seperti yang dikatakan oleh Freire,[8] peran kaum cerdik pandai semestinya adalah guru dan murid dalam waktu bersamaan. Sebab, sehebat-hebatnya seorang intelektual, massa rakyat tentu lebih mengetahui apa yang sesungguhnya mereka alami.[9] Mendengarkan dan belajar dari massa rakyat, dengan begitu, adalah conditio sine qua non.
Hari ini, di NTT, ada begitu banyak perlawanan yang dilakukan oleh massa rakyat. Perlawanan mereka tidak selalu dalam bentuk fisik, tetapi juga berupa ‘bisik-bisik’ dan ditunjukkan dengan pola tertentu seperti yang dijelaskan oleh Scott,[10] khas orang-orang lemah yang ditindas. Saya menyebut perlawanan seperti ini sebagai perlawanan spontan,[11] sebab ia muncul dengan sendirinya tanpa diorganisir organisasi tertentu.
Perlawanan spontan ini adalah benih yang baik untuk perlawanan lanjutan, yang sifatnya ekonomi politik, dengan tujuan tidak lain adalah perubahan struktural. Tinggal bagaimana agensi memainkan peran di sana.
Dengan mengupayakan apa yang saya kemukan di atas, kemenangan Jokowi tidak hanya dirayakan dengan gegap-gempita, tapi benar-benar dapat dimanfaatkan massa rakyat NTT untuk mengemukakan kepentingan-kepentingannya sendiri. Walaupun kemenangan Jokowi di Pilpres 2019 sesungguhnya adalah kemenangan para oligark (pun jika Prabowo yang juara), setidaknya dengan adanya massa rakyat yang terorganisir para oligark mau ‘duduk sama rendah’ mengompromikan kepentingannya.
Perjuangan masyarakat NTT untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan memang masih panjang. Tapi sebagaimana hukum dialektika, sebenarnya benih-benih masa depan yang lebih baik itu sudah ada di dalam kondisi serba terjepit seperti sekarang. Tinggal bagaimana benih-benih itu terus dimajukan dan jadi sesuatu yang konkret.***
Emilianus Yakob Sese Tolo, New Mandala Indonesia Fellow, Australian National University’s College of Asia and the Pacific, Canberra, Australia
Artikel terkait:
– Airlangga Pribadi, Refleksi Gerakan Progresif Pasca Pilpres 2019
– Suarbudaya Rahadian dan Christian Yahya, Bagaimana Agar Kita Tidak Dekaden dan Impulsif Setelah Pemilu 2019?
– Abdil Mughis Mudhoffir dan Inaya Rakhmani, Politik “Progresif” Pasca Pilpres 2019
—————
[1] Saat itu sambutan untuk Jokowi begitu meriah. Para petani berpakaian adat sudah sejak pukul 6 pagi menunggu di lokasi kampanye—mereka berangkat dari kampungnya pukul 3 pagi. Saat kampanye, lapangan juga ramai oleh para pedagang, sopir ojek daring, anak sekolah, pemulung, hingga para penganggur. Padahal siang itu matahari sangat ganas.
[2] Bdk. E.Y.S. Tolo, Akumulasi Melalui Perampasan dan Kemiskinan di Flores. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 2016, hlm., 173-204.
[3] Ibid
[4] Erb, M. Between Empowerment and Power: The Rise of the Self-Supporting Church in Western Flores, Eastern Indonesia, Journal of Social issues in Southeast Asia 21 (2), 2006, hlm., 204-229; Fransiskus Jalong, Kairos dan Developmentalism: Politik Wacana Patronase di Manggarai, Tesis Master (Universitas Gadjah Mada, 2001).
[5] Gereja Katolik tidak saja membiarkan, tetap bisa disebut terlibat secara tidak langsung—melalui para aktivisnya—dalam pembantaian. Salah satunya adalah Kanis Pari. Kanis Pari tercatat “menggerakkan kader-kadernya yang terlatih dari organisasi-organisasi pelajar dan pemuda Katolik untuk membentuk milisi anti-komunis yang dinamakan Barisan Katolik Siaga (Berkas)”. Para pemuda yang terlibat dalam upaya pembantaian ini diupayakan oleh Kanis Pari untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dengan cara membujuk Gubernur El Tari (Klinken 2015a: 290-291). Bersama Orde Baru, Gereja Katolik, baik tingkat lokal maupun nasional, menciptakan dan melanggenggkan budaya ketakutan dengan menerbitkan dokumen sejarah pada tahun 1967 yang berjudul “Dari Madiun ke Lubang Buaya, dari Lubang Buaya ke…?.” Dokumen itu menjabarkan bahwa komunisme mirip dengan ateisme. Karena itu melawan komunisme sama seperti membela Tuhan (Wejak 2015).
[6] G.V. Klinken, Pembunuhan di Maumere. Jurnal Ledalero 14: 1, 2015, hlm., 9-33; M. Kolimon, Pelaku Mencari Kesembuhan, Jurnal Ledalero 14, 2015, hlm., 1, 34-59.
[7] E.Y.S. Tolo, Akumulasi Melalui Perampasan…
[8] P. Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, 1985)
[9] J. Ferguson, The Anti-Politics Machine: “Development,” Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho (Cambridge: Cambridge University Press, 1990)
[10] J.C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Heaven & London: Yale University Press, 1985)
[11] E.Y.S. Tolo, Akumulasi Melalui Perampasan…