Belum, Saya Belum akan Kawin dan Saya Mengkhawatirkan Dampak Politik Obsesi Kita Ini

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: SINDOnews


INSAN-insan lajang yang budiman (yang juga biasa disingkat “Mblo”), apakah Anda menikmati gelaran kumpul keluarga Anda di hari Lebaran? Tidak? Kalau tidak, saya paham. Saya paham benar dengan ketidakgembiraan Anda.

Sepanjang beberapa bulan berada di Kampung Parigi, Seram Utara, tidak sekali-dua kali saya dihadapkan dengan pertanyaan tabu yang sudah bisa Anda tebak. Pertama kali, pertanyaan itu datang beberapa hari selepas saya kembali ke kampung ini. Saya dan keluarga angkat sudah menyisihkan kecanggungan setelah tiga tahun tak berjumpa. Pertanyaan itu menyambar begitu saja, bagai geledek di siang bolong, sewaktu saya duduk-duduk bersama mama angkat dan beberapa orang lain di pondokan pinggir pantai.

“Mas,” panggil mama angkat saya, “jadi, Mas sudah kawinkah belum?”

“Wah. Belum, Mama,” jawab saya. Dengan wajah tenang, tentu.

“Jadi, kapan Mas mau kawin?”

Gelegar.

Saya berpikir sejenak. Saya merasa, semua mata tertuju pada saya. Orang-orang lain di sekitar kami nampaknya menanti jawaban meluncur dari mulut saya.

“Habis kuliah kelar.”

“Oh iya, Mas masih kuliah ya,” balas mama angkat saya.

“Iya, di Jerman lagi,” tambah saya.

Orang-orang, agaknya, kontan menerima jawaban saya. Saya terbantu dengan gagasan bahwa merantau adalah hal yang lumrah dilakukan pemuda kampung sebelum mereka pulang, menetap, dan berkeluarga. Yang saya tahu pasti, pembicaraan segera beranjak ke topik lain.

Pada kesempatan lain, pertanyaan bersangkutan saya peroleh dari kawan saya ketika memancing bersamanya. Saya ingat, waktu itu alat pancing murahan saya bermasalah. Senar pancing di gulungannya kusut. Di tengah-tengah kegemasan saya mengurainya, pertanyaan bersangkutan mencuat.

“Jadi, mengapa Mas belum kawin?”

Saya jawab dengan manuver yang sama. Saya masih mau merampungkan kuliah saya dulu. Ia pun langsung mengerti. Lucunya, ia akan mengungkit pertanyaan serupa pada momen lain. Saya akan berkelit lagi dengan jawaban yang sama. Sewaktu-waktu, saya merasa kami seperti Tom dan Jerry. Di setiap episode baru, saya dikejar-kejar lagi pertanyaan yang sama dan saya selalu bisa melarikan diri darinya.

Kini, saya kehilangan hitungan berapa kali pertanyaan bersangkutan sudah saya terima di kampung. Namun, tak surut-surutnya pertanyaan bersangkutan menghampiri mencelikkan saya, ini bukan soal saya. Ini bukan soal orang-orang dengan penuh niat dan kesadaran ingin mengintimidasi saya karena, saya tahu, mereka ialah orang-orang yang baik.

Kita menganut satu gagasan bersahaja yang tak selalu masuk akal: berkeluarga menyempurnakan kemanusiaan seseorang. Dan izinkan saya mengutip Emile Durkheim yang kurang revolusioner itu untuk menegaskan, keberadaan insan seperti saya dan Anda yang lajang justru berarti untuk tegaknya ideologi ini. “Sebuah masyarakat yang absen dari [pelanggaran] ialah mustahil,” tulis Durkheim.[1] Pelanggaran, pasalnya, membenarkan dan membenarkan ulang norma yang diterabas itu sendiri. Pada kesempatan kala saya dan Anda yang lajang tak berkutik di hadapan pertanyaan tak lucu itu ibarat maling mangga di hadapan ibu pemilik pohon, citra bahwa insan yang menikah adalah insan yang utuh kembali ditegaskan di antara kita, saudara-saudari, teman-teman yang mendengarnya.

Namun, saya sudah tak terlalu memusingkan pertanyaan bersangkutan—lebih-lebih karena saya sudah mengantungi formula yang mujarab untuk menjawabnya. Dan ketimbang cuma memikirkan masa depan yang bebas dari usikan pertanyaan-pertanyaan tabu itu, kita mungkin juga perlu memikirkan bagaimana imajinasi ihwal perkawinan akan terus menjadi distraksi gaduh—dan, bukan tak mungkin, merugikan—dalam kehidupan sosial-politik kita untuk waktu yang lama.

Saya sama dengan Prabowo dan, tidak, bukan dalam hal kami sama-sama kaya raya tiada tara melainkan kami sama-sama tak punya pasangan. Dan mari saya ceritakan apa yang terjadi dengan Prabowo di kampung saya kala ia melenggak-lenggok di panggung politik paling diperhatikan se-Indonesia: ia dirisak tak kunjung putus.

“Kalau tak bisa memimpin keluarga, bagaimana mau memimpin negara?” ujar Kepala Dusun suatu waktu di antara rekan-rekannya.

“Bukan begitu, toh, Mas?” ia lantas meminta persetujuan saya yang kebetulan lewat sebenarnya dan terjebak dalam percakapan mereka.

Saya membenarkannya saja seraya membatin, berapa orang di Indonesia yang punya pikiran sama dengan Bapak Kepala Dusun? Satu juta? Dua juta? Satu persen dari pemilih pilpres tempo hari? Dua persen?

Kepala Dusun, lantas, lanjut memeragakan maksudnya lebih jauh. Ia mengambil posisi di kursinya seakan sedang menyambut tamu dan bilang, kalau tamu datang, ia cukup mengirimkan sinyal kepada istrinya. Istrinya pun akan segera menyuguhkan minuman hangat ke atas meja. Kami diajak membayangkan, betapa kikuknya situasi bila seseorang harus menyambut tamu dan belum memiliki istri. Dan, memang, dalam imajinasi yang diciptakannya situasi terasa sangat kikuk.

Tentu saja, pengandaian Bapak Kepala Dusun berhasil karena demikianlah situasi yang lazim di kampung. Bagi Prabowo yang jumlah anak buahnya bisa jadi lebih dari sepuluh kampung, ia tak memerlukan seorang istri untuk dapat menyajikan tamunya kopi atau teh. Namun, intinya saya ingin menunjukkan, betapa tidak terbatasnya cara untuk menggunjingkan orang-orang tidak berpasangan. Tanyakan saja, siapa yang nanti akan memasak untuk Anda? Siapa yang akan mengerok punggung Anda? Siapa yang akan mencari nafkah untuk Anda? Siapa yang akan meratakan gunung untuk Anda? Siapa yang akan menaklukkan kapitalisme untuk Anda?

Dan pergunjingan semacam, seandainya benar ia dilakoni oleh 1-2 persen saja pemilih pilpres tempo hari, menghalau orang-orang untuk memeriksa lebih jauh kepatutan kandidat lainnya yang diuntungkan dengan status jomblo Prabowo.

Baiklah kita saat ini terhindar dari peluru karena Prabowo, jelas, bukanlah sosok yang ideal mengepalai sebuah negara. Namun, kita dapat membayangkan, ke depan langkah para politisi membawa-bawa istri atau suami ke gelaran-gelaran publik hanya akan kian manjur menebus dosa-dosa politiknya. Anak-anak punggawa partai akan kian gemar mencetak buku atau film buruk yang mengedepankan kehidupan pernikahan mereka (ehem, Hanum dan Rais).

Dan saya bisa membuktikan kemanjuran manuver ini cukup dengan menyebut satu nama—B.J. Habibie. Dari nama ini, mencuatkah ingatan perihal IPTN yang pernah mengeruk dana reboisasi tanpa batas? Atau seorang penguasa tunggal instansi riset dan teknologi di Indonesia? Atau konglomerasi bisnis teknologi yang kontraknya tidak datang dari keandalan berbisnis belaka?[2] Saya curiga, tidak. Kita mengingatnya saat ini sebagai Habibie dari Habibie dan Ainun. Ia adalahsosok dengan raut mengibakan kala mengantar istrinya dimakamkan. Ia adalah sosok suami pengasih yang mencintai istrinya sampai dengan akhir hayatnya.

Itu baru satu contoh. Kini kerugian lainnya akibat distraksi bernama perkawinan yang langsung kantung Anda rasakan: Anda sudah dengar kekisruhan terkait lembaga beasiswa kita yang prestisius, kolosal, bias, dan moralis itu? Bila belum, saya sarankan Anda mendengarnya. Dari pengalaman tak sedikit orang, sesi wawancaranya tidak akan menggali kesiapan riset dan studi pelamarnya lebih dari kesiapan berkeluarga serta heteroseksualitas mereka. Artinya? Artinya, uang pajak Anda, boleh jadi, sudah lebih banyak dihabiskan untuk kuliah mahal mereka yang dapat membesar-besarkan betapa normalnya diri mereka ketimbang mereka yang mempunyai keseriusan di bidangnya.

Dan tentu saja, yang tak lupa memamah dari kecenderungan kita mengagungkan perkawinan adalah para legislator yang memburu popularitas cepat. Kini, draf RKUHP absurd yang akan mengerek perumusnya selaku pembela ikatan perkawinan yang sakral tengah menghadang kita. Isinya, pasal-pasal yang akan mengkriminalisasi orientasi seksual minoritas, kohabitasi tanpa dilembagakan pernikahan dan ia dibanggakan oleh DPR sebagai pencapaian penting tanpa tanding. Pertanyaan sederhananya, sudah mengisap berapa banyak anggaran dan tenaga yang bisa diperuntukkan bagi kerja legislasi lebih genting penggodokan pasal-pasal karet RKUHP ini? Dan, hai, kita punya fakta ini.

Orang-orang dekat saya di Parigi ialah orang-orang yang baik, saya percaya. Banyak orang di Indonesia adalah orang baik. Ibu kita, yang sedih karena belum dapat melihat kita menikah, adalah orang baik. Akan tetapi, hidup ini memang aneh. Kebaikan mereka dapat diisap menjadi energi-energi politisi oportunis untuk melakukan hal-hal merugikan. Dan antusiasme menanyakan “kapan menikah” dapat sekonyong-konyong menjadi norma politik yang mengalihkan mata kita dari bagaimana institusi politik seharusnya berfungsi.

Namun, siapa tahu saya akan menjilat ludah saya sendiri. Siapa tahu, suatu hari saya berencana berkompetisi untuk menyabet sebuah jabatan politik nomor wahid di Indonesia. Pada hari-hari itu, saya pun bakal sadar, saya perlu menikah. Hanya dengan demikian, saya mampu menjawab setiap pertanyaan yang terantar kepada saya dengan piawai dan elok.

“Bisa kami minta bapak menjelaskan rencana komprehensif bapak untuk mengatasi dampak kenaikan tingkat permukaan air laut yang makin mengancam kota kita?” tanya seorang panelis dalam ajang debat.

“Oh,” timpal saya, “saya sudah menikah.”


Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg


————–


[1] Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, New York: The Free Press, 1966 [1895], hal 67.

[2] Sulfikar Amir, The Technological State in Indonesia: The Co-Constitution of High Technology and Authoritarian Politics, London, New York: Routledge, 2013.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.