Kredit ilustrasi: Libcom.org
PADA awal September 1870, prajurit Kekaisaran Prancis yang kewalahan melawan pasukan Kerajaan Prussia di Pertempuran Sedan, harus menerima imbasnya. Kaisar Napoleon III beserta ratusan ribu prajuritnya menyerah dan ditawan dalam perang antara Perancis dengan Prussia, yang kini bernama Jerman. Berita memalukan itu terhembus hingga Paris. Kekaisaran pun dengan segera ditumbangkan. Prancis dipimpin oleh Republik Ketiga dengan pemerintahan baru yang dinamakan Gouvernement de la Défense nationale atau Pemerintahan Pertahanan Nasional yang digawangi politisi Paris bernama Leon Gambetta dengan memilih Louis-Jules Trochu sebagai presidennya. Meski sudah resmi terlihat kalah, Prancis tidak berniat menyerah. Masih ada serangkaian pertempuran yang dihadapi. Maka serdadu Kerajaan Prussia yang menang kuat terus merangsek masuk ke dalam pertahanan hingga menembus Paris. Pemerintah memanfaatkan orang-orang sipil yang dipersenjatai untuk ikut berperang mempertahankan kota. Namun keadaan tak berjalan dengan semestinya. Terkepung oleh Prussia, pusat pemerintahan pun dipindahkan ke Tours. Setelah menyerah pada Januari 1871, roda pemerintahan berganti, namun nasib warga kota Paris terus menerus menanti dengan tak pasti.
Di tengah udara dingin dan perut yang kelaparan, warga Paris berunjukrasa menuntut pertanggungjawaban negara akan warganya. Berkali-kali permintaan untuk membentuk pemerintahan independen pun tak dihiraukan. Akhirnya sekelompok warga yang berasal dari kelas pekerja miskin ibukota beserta Garde Nationale atau Garda Nasional, yang semestinya mempertahankan Paris dari serangan Prussia memberontak melawan pemerintah sendiri. Mereka membentuk komite sentral untuk melakukan voting yang menentukan untuk tidak mengindahkan perintah dari pemerintah pusat. Sehingga pada 18 Maret 1871, ketika tentara regular ingin melucuti meriam-meriam yang ada di Monmartre, Garda Nasional malah menolak dan membunuh kedua jenderalnya. Dalam keadaan kacau balau, pemerintahan nasional dan tentara regularnya pun mundur meninggalkan kota karena gencatan senjata dengan Prussia.
Kelas pekerja Paris yang rata-rata merupakan pendukung seorang tokoh sosialis kala itu, Louis Auguste Blanqui, segera mengetahui hal itu dan langsung menguasai objek-objek strategis kota: gudang mesiu, stasiun kereta, kantor polisi, markas tentara dan gedung-gedung pemerintahan. Keesokan paginya, komite sentral melakukan rapat di Hotel de Ville dan bendera merah dikibarkan dari jendelanya, menggantikan bendera tiga warna nasional Perancis, yang menandakan kemenangan bagi rakyat pekerja Paris yang siap untuk berdikari.
Kelas elite kota meninggalkan bangunan-bangunan megahnya, tentara nasional mengosongkan posnya dan pemerintahan di kota Paris kosong melompong. Kini hanya warga Paris yang lengkap dengan mesiu di kantung pakaian lusuhnya, senjata di lengannya dan meriam-meriam bersiaga mempertahankan kotanya. Mereka membangun pertahanan dari batu-bata yang khas untuk memblokade pasukan republik apabila kembali menyerang. Bendera merah berkibar di atas bangunan-bangunan Kota Paris menggantikan bendera tiga warnanya. Kota ini pun dikuasai oleh sekolompok orang-orang dari kelas pekerja yang termasuk dalam kelompok sosialis, anarkis, dan revolusioner lainnya yang merupakan bagian dari Internasional Pertama. Orang-orang ini berhasil menciptakan sesuatu yang selama ini berada di angan-angan setiap kepala para pemikir revolusioner.
Dalam beberapa catatan, Komune Paris berhasil mengimplementasikan cita-cita suatu bentuk masyarakat baru melalui sidang pertamanya pada 28 Maret. Antara lain dengan memisahkan negara dengan agama, pengampunan utang sewa, penghapusan kerja malam hari di bakery, pengembalian alat-alat kerja para pekerja yang digadaikan di pegadaian, memberikan hak bagi para pekerja untuk mengelola bisnis para tuannya yang telah melarikan diri, dan yang terpenting adalah pembentukan dewan. Anggota yang menjadi dewan pada Komune Paris merupakan delegasi dan bukanlah representasi, sehingga bisa kapan saja ditarik dari dewan apabila tidak lagi mendelagasikan kepentingan para pemilihnya. Tidak ada presiden, perdana menteri, panglima, atau struktur-struktur ketokohan lainnya.
Apa boleh dibuat, kejayaan proletariat itu nyatanya hanya seumur jagung. Setelah melalui serangkaian pertempuran mempertahankan kota, pada akhirnya tanggal 21 Mei di tahun yang sama, tentara nasional Prancis berhasil kembali memasuki Paris. Berbanding lima banding satu dengan kekuatan tentara Prancis, pertahanan para warga komune pun tumbang. Minggu itu merupakan minggu berdarah yang disebut juga dengan La semaine sanglante, karena dibantainya ribuan warga komune. Seorang sejarawan Prancis, yang juga seorang penyintas bernama Maxi du Camp, mencatat enam ribu hingga tujuh ribu jiwa hilang dieksekusi tentara nasional. Beberapa aktivis yang lolos akhirnya melarikan diri, diasingkan dan bahkan dihukum mati. Walau di kota lainnya seperti di Lyon, Saint Etiene, dan Marseille juga lahir suatu komune, pada akhirnya mereka pun ditumpas habis tak bersisa bahkan sejarah sekalipun.
Meski saya tidak menceritakan detilnya secara lengkap, namun Anda pasti mampu memahami apa yang terjadi di Paris kala itu. Anda bisa menemukan catatan-catatan lengkap yang diberikan oleh Victor Hugo, Emile Zola, Karl Marx dan Friedrich Engels bahkan hingga Lenin dan Trotsky yang menceritakan kisah herok tersebut. Kali ini saya akan mengulas sedikit beberapa hal yang bisa kita pelajari dari Komune Paris, yang sempat lahir hampir dua abad yang lalu. Terlihat jadul dan sepele, namun hal inilah yang selalu kita lewatkan, khususnya dalam belajar Marxisme. Pertama, kondisi apa yang memungkinkan komune itu lahir; dan kedua, hal apa saja yang perlu dievaluasi dari komune itu.
Tentu saja kita mesti memahami latar kondisi Prancis kala itu. Pertama yaitu peperangan antara Prancis dan Prussia yang menjadi pemicu utama lahirnya gejolak di masyarakat. Ketidakstabilan politik, kemiskinan dan ketidakpuasan. Inilah kombinasi utama yang memungkinkan Komune Paris lahir. Dibentuknya Garda Nasional yang menguasai persenjataan serta pasukan terlatih juga menentukan keberhasilan suatu pemberontakan bersenjata yang membuat warga kota berdaulat. Selain itu, Paris di masanya didominasi oleh kelas pekerja yang hidup dalam ketimpangan dengan para elite kota. Satu letupan provokasi bisa memicu amukan yang besar. Prancis juga memiliki sejarah panjang revolusi. Sejak Revolusi 1789, pasang surut kekuasaan terus terjadi. Hal ini terlihat dari masih hadirnya kaum Jacobin di samping kaum anarkis dan sosialis pada hari-hari pemberontakan communard di Paris. Warga kota saat itu betul-betul memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengambilalih kota mereka dan merdeka. Sehingga dua aspek, kondisi objektif seperti keadaan masyarakat di masa itu dan kondisi subjektif semisal aktivitas-aktivitas atau gejolak sosial masyarakat kala itulah yang memungkinkan munculnya Komune Paris.
Dalam hal menerbitkan program-programnya, Komune Paris merupakan pemerintahan dengan program paling modern di masanya. Antara lain pembatasan waktu bekerja dan hak penuh pekerja atas perusahaan. Dua kebijakan yang pastinya menggetarkan kaki dan bulu kuduk para kapitalis sampai hari ini. Meski begitu heroiknya bentuk masyarakat ini, terdapat beberapa aspek yang saya pikir kurang dalam melengkapi kemenangan perjuangan kelas itu, sehingga hanya bertahan kurang lebih dua bulan saja.
Pertama, tentu karena belum tersedianya infrastruktur komunikasi yang baik. Antara Paris dengan kota-kota lainnya seperti Lyon dan Marseille kesulitan untuk berkomunikasi. Andai WhatsApp atau Instagram sudah hadir, revolusi mungkin saja tidak hanya meledak di Prancis, namun ke seluruh penjuru Eropa dan dunia. Lewat grup WhatsApp mungkin komite sentral bisa mengoordinir anggota komune dan pasukan bersenjatanya. Melalui Instagram Story mungkin saja unggahan para communard bisa menggerakkan simpati warga dunia. Sebab komunikasi serta media sosial menjadi aspek paling utama dalam pergerakan dan koordinasi. Apalagi soal agitasi dan propaganda, media komunikasi adalah kuncinya.
Kedua yaitu belum dipersiapkannya rencana pertahanan pangan. Warga kota tentu membutuhkan pasokan bahan makanan dari kawasan penyangga seperti perdesaan, sementara daerah-daerah tersebut berada di bawah kekuasaan Republik Prancis. Sehingga tanpa pangan, suatu bentuk masyarakat apapun tak mungkin bisa bertahan lama. Andai kala itu para communard mampu mengembangkan pertanian perkotaan dengan hidroponik dan pertanian vertikal, barangkali Komune Paris akan bertahan lebih lama. Karena pangan merupakan poin penting dalam kemandirian, sebab karena dari laper orang bisa menjadi baper. Kita mesti belajar lagi dari pengalaman Kuba mempertahankan kekuatan pangannya di masa krisis.
Ketiga, merupakan kenyataan bahwa belum matangnya strategi dan taktik pertahanan bersenjata dalam komune. Jelaslah bahwa personil Garda nasional jumlahnya terbatas dan penduduk bersenjata lainnya hanyalah milisi amatir yang jumlahnya tidak sebanding dengan tentara nasional Prancis. Meski pada 2 April sebanyak lima batalion berusaha menumbangkan pemerintahan di Versailes, namun setibanya di seberang sungai mereka disambut oleh desingan peluru tentara nasional dan segera dipukul mundur. Bayangkan bila di kala itu mereka telah memiliki disiplin militer yang tinggi lengkap dengan badan intelijen, cyber team dan drone. Barangkali mereka sudah bisa memprediksi pergerakan musuh dan kemungkinan terjadinya pertempuran. Sehingga tak perlu adanya pertempuran sia-sia yang mengorbankan ribuan jiwa.
Tiga poin yang baru saja saya ceritakan merupakan kelemahan-kelemahan yang membuat Komune Paris mudah ditumpas, setidaknya dari sudut pandang saya sendiri. Sudah pasti di saat itu telepon genggam smartphone belum ditemukan, rekayasa pertanian belum mencapai tahap gemilangnya, dan militer masih dalam tahap yang sederhana. Kemajuan-kemajuan teknologi dan organisasi yang saya ceritakan tadi tentu belum ditemukan di abad ke-19 yang lalu. Lantas apakah hari ini di abad ke-21 ini kita juga belum memilikinya? Tentu jawabnya tidak. Sejarah hari ini telah mencapai titik di mana manusia hampir dapat menjawab ribuan pertanyaan dan sejuta kegalauan para leluhurnya, ya terkecuali jodoh dan kematian.
Sehingga bila keterbatasan mampu dilampaui, lalu mungkinkah Komune Paris dibangun kembali hari ini? Menurut saya belum tentu. Selain kondisi subjektif yang diupayakan manusia, terdapat pula kondisi objektif sebagai faktor penentu yang membedakan hari ini dengan dua abad yang lalu. Layaknya batu yang bergelinding dari suatu bukit, sejarah tidak berjalan linier tapi tak tertebak dan acak. Lagipula siapa pula yang peduli soal komune menenteng senjata berat untuk mempertahankan kelurahan atau kecamatannya? Bukankah nonton Game of Thrones atau nyinyir di Twitter lebih menarik dan mudah dilakukan? Maka latar kisah hari ini sudah tak lagi sama dengan latar yang terjadi di masa Komune Paris. Sejarah bukanlah garis lurus yang berprogres menjadi lebih baik di setiap tahapnya, namun suatu proses acak pasang-surut dan turun-naiknya fase-fase kehidupan. Setiap sejarah punya kisahnya sendiri.
Komune Paris mungkin hadir karena adanya International Workingmen’s Association atau Internasional Pertama yang digagas para kiri macam Marx, Engels, Proudhon, Blanqui, Garibaldi, Bakunin dan lainnya. Namun Internasional Pertama bukanlah penentu utama dari hadirnya Komune Paris, melainkan Perang Prancis-Prussia itulah yang menentukannya. Dari Komune Paris kita belajar bahwa materialisme historis merupakan keniscayaan, bahwa daya upaya manusia mampu menentukan jalannya sejarah, meski acaknya sejarah memiliki kekuasaan mutlak terhadap semua mahkluk yang berjalan di atas muka bumi. Selain itu Komune Paris memberikan bukti bahwa suatu dunia yang baru yang lebih baik itu dapat diciptakan. Khususnya dengan kemajuan sains hari ini dan semakin melunjaknya kapitalisme yang menggerogoti tulang kita. Seiring dengan bulan May Day 2019, izinkan saya sekadar menuliskan mantra sakti yang bila dipekikan bersama-sama akan membikin hatimu bergetar: Kelas Pekerja Sedunia, Bersatulah!***