The Night King. Kredit ilustrasi: Cosmopolitan.com
JOKOWI, malam itu, jauh dari citra orator yang piawai. Kata-katanya
berat—dibebani oleh idiom-idiom teknis tak terelaborasi. Pesannya tak
terbingkai dalam narasi yang ringkas dan mengena. Manajemen paralinguistiknya terbatas.
Intonasinya nyaris-nyaris datar—kian mempersulit pendengarnya mencerap pokok pikirannya.
Saya pernah mendengar Jokowi berartikulasi dengan lebih baik. Malam itu, ditonton
oleh segenap pesaing politiknya dan sebagian besar warga Indonesia, ia
terdengar buruk.
Namun, bagi Ardi, kawan saya di Dusun Parigi, Seram Utara, segenap keruwetan Jokowi barusan tak kasat mata.
Saya bersama Ardi sepanjang hari. Sepanjang hari itu juga, ia berulang kali memutar debat capres keempat di telepon genggamnya. Ia mengajak, memaksa tepatnya, teman-temannya turut menontonnya dan hanya berhenti ketika jaringan 4G lenyap selama beberapa jam di dusun. Saya tak tahu apakah teman-temannya menikmatinya. Ardi, yang pasti, menikmatinya. Sangat menikmatinya.
“Ih, Jokowi ini sadis!” tunjuknya menggebu-gebu kepada bapak angkat saya. “Prabowo su [sudah] marah-marah, antua [Jokowi] tetap tenang saja!”
Jokowi, di mata Ardi, berlaga dengan prima di debat keempat tersebut. Dan bagian yang terus-menerus diulang Ardi ialah kala Prabowo mulai menunjukkan perangai emosionalnya. Prabowo dianggapnya mulai terlucuti dan terpojok. Jokowi berada di atas angin.
Ardi bukan seseorang yang akrab dengan frasa Revolusi Industri 4.0. Saya sendiri tak yakin pejabat-pejabat kita memahaminya lebih jauh dari mantra gaib pembius massa. Ardi, yang tak berkepentingan dengan istilah ini, tentu saja asing dengannya. Ia juga baru saja mendengar kesepakatan dagang dan diplomasi dengan pelafalan berbelit-belit ketika mereka disinggung sepintas dan tak terjelaskan oleh Jokowi malam itu.
Kendati demikian, debat capres, untuk Ardi, bukanlah pertukaran kata-kata. Ia adalah pertukaran pukulan. Jokowi dan Prabowo adalah dua insan manusia yang berlaga di atas arena gladiator. Kata-kata tak ditakar dari maknanya melainkan cedera yang tertoreh di lawan tanding.
“Ini dua-dua capres bakukancing [saling menyerang],” ujar Ardi. “Sedaaap!”
Dan Ardi, yang sudah menentukan pilihannya sedari awal, kian mantap dengan pilihannya. Ia tahu, ia akan memilih Jokowi pada 17 April nanti. Kini, ia kian yakin bahwa Jokowi, yang dingin serta bersahaja, tak membiarkan diri dikuasai kemarahan, dan unggul sebagai insan manusia, adalah pemimpin yang padan dibanding pesaingnya.
Ardi bukan kasus yang unik. Ia semata lebih gamblang saja dalam mengungkapkan apa yang bergolak dalam dirinya ketika menyaksikan perhelatan politik tahun ini. Terlepas gegap gempita argumentasi, kritik, pembelaan berlapis-lapis, terlepas setiap kubu menganggap apa yang dilancarkannya adalah peperangan memenangkan akal sehat, di hadapan perhelatan ini kita semua sama. Ia adalah sebuah festival. Kita adalah kerumunan yang terisap oleh peraduan pedang di panggung utamanya. Orang bilang pemilu kita diikuti oleh enam belas partai dan 192 juta pemilih. Saya bilang, ia hanya diikuti oleh empat orang. Jokowi, Prabowo, cebong dan kampret—dua petarung dan dua kubu yang bersorak-sorai untuk mereka.
Akal sehat baru satu kata yang dikebiri maknanya untuk menyoraki perhelatan. Penculik dan pelanggar HAM adalah dua kata lainnya yang tentunya sudah Anda dengar diecer dengan murah hari-hari ini. Satu kandidat capres adalah penculik dan pelanggar HAM. Ini adalah fakta yang pejal. Namun, pengecernya, menyedihkannya, adalah rezim yang tak menghormati maknanya dengan tidak berbuat apa-apa sepanjang lima tahun, diisi oleh orang-orang yang tangannya cemar dengan kejahatan semacam serta membiarkan penindasan aparat cum korporat di sudut-sudut yang tertutup.
Rezim otoriter adalah satu kata lainnya lagi. Anda tahu, memang, rezim ini sedang perlahan-lahan mempersenjatai dirinya dengan perkakas-perkakas memberangus kritik. Militer dilibatkan kembali dalam pengaturan kehidupan publik. Pasal penghinaan presiden direncanakan untuk masuk dalam KUHP termutakhir. Akan tetapi, juru kritik otoritarianisme tergigih saat ini adalah kubu yang merasa dapat memerintah Tuhan untuk memastikan kemenangan politiknya. Siapa yang akan yakin mereka akan mengindahkan asas-asas demokrasi setelah berkuasa?
Kehidupan sehari-hari kita cemar dengan pengubuan ini, benar. Sayangnya, penjahatnya bukan momen politik yang sebentar lagi kita lalui. Bukan momen politik ini belaka setidaknya. Belum lama ini, saya ingat, mama angkat saya di dusun menyampaikan ketakjubannya terkait pemilu 2019 kepada saya.
“Beta heran, Mas. Baru sekarang pemilu berdebat seperti ini. Pemilu-pemilu sebelumnya itu sepi-sepi saja,” ujarnya. Kami tidak sedang menonton debat saat itu.
Ketakjubannya, saya percaya, dapat dipahami oleh banyak orang di mana-mana. Nuansa perkubuan terasa lebih kental dalam momen pemilu kali ini ketimbang yang sudah-sudah. Namun, terlepas keheranannya tersebut, mama angkat saya sendiri berkali-kali tak tedeng aling-aling mengekspresikan keberpihakannya pada Jokowi. Ia bersemangat ketika harus menyanjung bagaimana Jokowi, tidak seperti Prabowo, mau membuka hubungan dagang dengan negara luar. Dusun, menurutnya, diuntungkan dengan sikap semacam itu. Ikan-ikan tangkapan para nelayan memiliki pembeli mancanegara berkatnya.
Pengubuan dualistis, perkaranya, produktif. Pembingkaian—dan penyederhanaan—politik sebagai pertarungan dua titan alih-alih manuver-manuver meraih kekuasaan yang acap abu-abu memikat orang-orang untuk menginvestasikan kesadaran mereka kepadanya. Memperbincangkan Jokowi menjadi menarik ketika dibandingkan dengan Prabowo. Membahas Prabowo, demikian pula, menjadi menarik ketika dibandingkan dengan Jokowi.
Dan siapa yang paling diuntungkan dengannya sebenarnya? Para mahapatih cebong dan kampret? Saya tidak yakin. Mereka adalah pihak yang akan melalap habis keuntungan dari kemenangan capresnya, memang. Mereka harus menggoreng capres, kubu, serta isu yang seolah diperjuangkannya atau mereka tak bisa lanjut menyantap kenikmatan-kenikmatan duniawi paling mahal tersebut. Akan tetapi, estimasi jumlah dukungan yang diterima gacoannya dari pemilu 2014 ke 2019, pada dasarnya, sama saja.
Mereka yang paling diuntungkan dualisme ini adalah mereka yang menyelinap tak terlihat ke belakang perseteruan: media. Pihak yang sasaran utamanya adalah menyedot sebanyak mungkin waktu pengunjung ke platformnya. Pihak yang inti bisnisnya adalah mengomodifikasi perhatian penonton, pembaca, pendengar yang tertuju kepada mereka.
Peristiwa bersejarah yang, boleh dikatakan, mematri dikotomi cebong-kampret dalam dinamika politik Indonesia adalah momen-momen kala Ahok keseleo lidah, pernyataannya dipelintir, dan ia didakwa sebagai penista agama. Sisanya adalah sejarah: kita menjadi saksi gelombang unjuk rasa paling fenomenal dalam sejarah Indonesia, Anies terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta baru, Ahok dipenjara. Namun, ada satu tren menarik yang masih jarang dicermati pada kurun tersebut. Pada kuartal keempat 2016, konsumsi membaca berita daring meningkat drastis 307 persen dan durasi membaca meningkat 260 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Topik yang paling menyita perhatian? Jelas, Ahok.
Dan tentu saja, mengatakan media yang sukses merenggut perhatian berkat isu membelah ini hanya media daring adalah picik. Saya melakukan penelusuran ke media sosial. Hasilnya, muatan paling merenggut perhatian di media sosial sewaktu hiruk-pikuk Ahok tengah marak-maraknya adalah gesture-gesture heroik membela agama dari penistanya dan kesewenangan penguasa. Sambutan paling meriah digayung akun-akun berpengaruh saat mereka menantang rezim yang, beberapa bulan kemudian, mereka namai cebong.
Media sosial menadah untung besar kala pengubuan ini mengkristal. Pun, tak sekadar media sosial: demikian juga dengan segelintir penggunanya. Kata siapa di hari-hari ini pengguna media sosial sendiri bukan media? Kesempatan terbaik mereka melejitkan reputasinya—nilai tukarnya sebagai manusia—adalah dengan mengambil posisi di antara salah satu kubu dan menjadi juru bicara blak-blakannya. Nama seperti Dahnil Anzar, Rocky Gerung, Denny Siregar, pun Afi Nihaya Faradisa besar berkat manuver ini.
Bukan hal yang mengherankan dualisme politik kita mekar berbarengan dengan merajalelanya bisnis media. Dan apa yang saya sampaikan ini, pada titik ini, bahkan sudah klise. Media memamah dahaga kita akan pertarungan. Dualisme tribal, berkat nilai ekonominya, kini merambah ke mana-mana.
“Jadi, Bung Geger ini mau merekomendasikan apa?” Denny manusia ikan—ups, Siregar—mungkin sudah bertanya-tanya dengan gemas. “Eh, brb, sruput kopi dulu.”
Intinya, saya mau bilang, Game of Thrones musim terakhir akan tayang sebentar lagi. Kalau Anda mencari pertarungan kebatilan lawan kebaikan, siapkan aplikasi torrent alih-alih media sosial Anda.
Kenalan saya, seorang salafi, belakangan getol mengomentari tokoh-tokoh agama yang mendorong umatnya memilih calon pejabat tertentu. Anda mungkin sudah hapal imbauan tokoh-tokoh agama semacam. Kalau Anda tidak mencoblos pasangan yang disarankannya, pilihan orang-orang liberal, sekuler, LGBT akan memimpin Anda. Kenalan saya tersebut menimpali, Indonesia sudah pernah dipimpin oleh presiden pluralis liberal—Gus Dur, maksudnya. Indonesia juga pernah dipimpin oleh perempuan. Tetap saja, dakwah sunnah kian mengurat akar. Lebih baik duri di luar daging atau di dalam daging, tanyanya. Lebih baik negara dipimpin pejabat yang tak sejalan atau kita sendiri kehilangan kekhusyukan dalam mengamalkan nilai-nilai paling luhur agama?
Mau tahu apa? Ia masuk akal. Sangat masuk akal—terlepas saya tidak sepakat kala ia memperlakukan pemimpin perempuan sebagai sebuah kesalahan sejarah dan nilai-nilai paling luhur kami berbeda. Ia sudah menempuh masa-masa yang, dalam logika tokoh-tokoh agamanya, paling kelam. Dan semua horor kemunduran umat, kehancuran agama yang dijajakan para agamawan dijumpainya tidak terjadi.
Horor semacam jugalah yang senantiasa menggentayangi kita dan menyederhanakan, bahkan di benak beberapa insan cemerlang sekalipun, politik menjadi laga penghabisan fiksi epik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik berseteru untuk terakhir kalinya—mereka yang tidak mendukung kekuatan baik harus bertanggung jawab bila kekuatan jahat menang dan malapetaka tak terkira menerpa. Namun, dengan narasi yang begitu hitam-putih, dengan ancaman akhir zaman yang menjadi bumbu andalan dongeng klasik maupun modern, tidakkah ia lebih terasa fantastis ketimbang nyata? Tidakkah ia lebih padan terlantun dari mulut juru cerita yang memang ingin mencekam dan mengisap pendengar?
Skenario bahwa hak-hak sipil akan terus terancam, oligarki akan berlanjut, siapa pun pejabatnya, saya percaya, lebih realistis dengan formasi elite, konfigurasi mesin politik, komposisi sosial yang kita punya. Tidak ada kekuatan baik dan kekuatan jahat. Yang ada adalah dua politisi yang secara manusiawi ingin berkuasa serta gembongnya yang akan menuai jabatan dan proyek bila kuda mereka menang. Pemudahan-pemudahan kehidupan, memang, akan ada. Kartu ini dan kartu itu, dana ini dan dana itu, pembangunan infrastruktur, pembagian sertifikat lahan, bila kita percaya hal-hal ini memperbaiki kondisi hidup, akan direalisasikan. Tetapi, percayalah, mereka didorong oleh perubahan-perubahan subtil alih-alih kemenangan “kekuatan baik.”
Antiklimaks? Benar. Toh, kenyataan politik bukan fiksi George R.R. Martin. Di jagat kedua, Anda bisa menjagokan faksi Jon Snow bila menginginkan raja yang baik memerintah, faksi Daenerys Targaryen bila menghendaki ratu yang kuat dan, mungkin, bengis bertakhta, atau sang penguasa malam bila mau semua kehidupan di Westeros berakhir. Di jagat pertama, pilihan yang ada tidak sesederhana itu.
Selamat memilih.***