Kredit foto: https://www.liputan6.com
DWIFUNGSI ABRI yang pernah mengisi perjalanan bangsa Indonesia, belakangan kembali menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, pada sebuah kesempatan mencanangkan pelibatan TNI dalam ruang-ruang sipil. Hal tersebut tentunya tidak bisa dimaknai hanya sebagai sebuah retorika belaka mengingat bangsa ini pernah punya sejarah panjang yang kelam tentang pelibatan militer dalam ranah sipil. Sejarah yang hari ini secara tegas dilarang melalui UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Reformasi yang bergulir pada 1998 mengagendakan pencabutan doktrin Dwifungsi ABRI, sekaligus menandai perubahan sosial-politik bangsa ini. Agenda ini merupakan tuntutan utama reformasi di samping beberapa tuntutan lainnya seperti pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta pengadilan terhadap Suharto dan kroni-kroninya. Gerakan-gerakan sosial-politik dibangun dengan penuh darah dan air mata bahkan tak sedikit korban jiwa berjatuhan demi sebuah mimpi bernama demokrasi. Praktik-praktik anti-demokrasi yang dipertontonkan saat rezim Suharto yang disokong militer seperti penculikan aktivis, pembubaran diskusi hingga banyak ketakutan-ketakutan lain adalah suasana yang biasa-biasa saja pada saat itu. Tak heran banyak protes yang berlangsung saat wacana pelibatan militer dalam ranah sipil dilemparkan ke tengah ruang publik.
Kemanusiaan menjadi bagian penting dalam pertumbuhan dan kemajuan sebuah bangsa. Kemerdekaan pula menjadi basis dalam penegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum menjadi cita yang visioner bagi penegakkan kemanusiaan dalam sebuah bangsa. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam posisinya sebagai grundnorm, menjadi dasar bernegara dan pijakan atas segala bentuk tindakan penyelenggaraan negara. Penegakan hukum juga menjadi indikator penting dalam kemajuan sistem demokrasi sebuah negara. Sehingga, kepastian hukum harus selalu dijamin dalam iklim demokrasi di Indonesia.
UUD Negara Republik Indonesa Tahun 1945 Pasal 30 mengamanatkan tugas pertahanan negara kepada Tentara Nasional Indonesia. Amanat Pasal tersebut kemudian diwujudkan dengan lahirnya UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam norma pasal 39 undang-undang a quo memuat larangan prajurit TNI terlibat dalam urusan politik hingga bisnis. Selanjutnya pasal 47 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur prasyarat keterlibatan TNI dalam ranah sipil yang salah satunya ialah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Dapat dibayangkan bagaimana nasib penegakkan hukum kita jika rangkaian peraturan tersebut dikangkangi oleh kepentingan-kepentingan politik segelintir orang atau kelompok. Dengan kata lain supremasi hukum hanya manis di bibir saja.
Ingatan kita masih segar ketika aktivis sekaligus staf pengajar sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet, ditangkap karena potongan video orasinya saat Aksi Kamisan beredar luas. Apa yang dilakukan Robet tidak lebih dari kritik terhadap wacana yang keluar dari mulut pemerintah melalui Menko Kemaritiman Jend. (Purn) Luhut B. Pandjaitan. Robet, di tengah orasinya, mengajak massa aksi untuk menyanyikan yel-yel yang familiar pada tahun 1998 ketika demonstrasi berlangsung. Oleh karenanya sebagai bangsa yang pernah punya mimpi demokrasi penangkapan tersebut justru merupakan pukulan telak dalam penyelenggaraan negara cum penegakkan hukum.
Sejalan dengan KKN, Militerisme tidak dikehendaki dalam konsep negara hukum, sehingga pengamalan prinsip-prinsip negara hukum terancam mengalami kemunduran dengan berlakunya praktik-praktik militerisme. Samuel P. Huntington dalam bukunya Prajurit dan Negara beranggapan bahwa ada perbedaan penting antara profesi militer dan profesi-profesi lainnya. Hal tersebut olehnya disebut sebagai Management of Violance (Manajemen Kekerasan). Militer diberikan hak menguasai persenjataan yang tentunya tidak dimiliki oleh sipil non-kepolisian. Sehingga melibatkan aparatus negara yang menguasai persenjataan sesunggahnya adalah langkah yang teramat berisiko ̶̶ jika tidak ingin dibilang berbahaya ̶ terhadap keberlangsungan demokrasi pada suatu negara. Apalagi Indonesia memiliki memori kelam dalam era kepemimpinan yang mengedepankan prinsip militerisme melalui kekuasaan otoriter Orde Baru. Orde Baru adalah struktur sekaligus kultur bernegara ala militerisme yang anti terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Penyelenggaraan negara pada rezim Suharto menggambarkan negara yang adikuasa terhadap rakyat. Sehingga ada semacam oposisi biner pada rezim itu, yakni rakyat selalu salah jika berhadapan dengan negara (kekuasaan). Demokrasi hadir untuk mengatakan bahwa negara pun memiliki kemungkinan untuk salah. Tidak ada kekuasaan yang absolut dalam sebuah negara demokrasi. Namun demokrasi adalah sebuah sistem yang dinamis. Ia dapat mengalami kemajuan walaupun kapan saja demokrasi bisa mundur jauh ke belakang. Thailand menjadi salah satu negara yang menurut data The Economist Intelligence Units (The EUI) mengalami kemerosotan dalam demokrasi pada tahun 2018. Thailand yang sebelumnya berada pada kategori flewed democracy turun menjadi hybrid regime yang lebih tidak demokratis. Hal tersebut, salah satunya, disebabkan oleh pemerintahan militer yang telah berkuasa di Thailand selama lebih kurang 4 tahun sejak 2014. Bukan tidak mungkin demokrasi di Indonesia dapat mengalami hal yang sama.
Militerisme memuja kepatuhan, sementara demokrasi mencintai kebebasan sehingga militerisme memiliki basis nilai yang kontradiktif dengan demokrasi. Akibatnya, kepentingan sipil terciderai dengan adanya kekuasaan militer. Tindakan represif seperti pembredelan diskusi atau penyitaan terhadap buku-buku yang disinyalir memuat paham kekiri-kirian, juga menjadi cerminan arogansi TNI. Padahal menurut UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Putusan MK No. 20/PUU-VIII/2010, hal tersebut diluar dari tugas pokok dan kewenangan TNI. Substansi peraturan yang tercermin dalam berbagai produk hukum kita tidak akan maksimal ditegakkan jika tidak ditopang oleh kesadaran hukum dan kultur masyarakat yang pro demokrasi.
Otoritarianisme lahir sebagai akibat dari kehendak kuasa yang melampaui batas-batas kekuasaan itu sendiri. Demokrasi adalah sebuah sistem yang secara Das Sein merebut dan meletakkan kekuasaan pada tempatnya. Sehingga tidak ada ruang bagi militerisme untuk berkuasa dalam negara yang mempercayai demokrasi sebagai sistem kekuasaannya. Sialnya otoritarianisme menjadi ciri khas kekuasaan rezim militer yang pada 1998 mendorong jutaan rakyat Indoneisa menggulirkan reformasi. Wacana restrukturisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) beberapa pekan belakangan ini menyasar penempatan para Perwira non-job agar ikut terlibat dalam wilayah-wilayah sipil (non pertahanan), sehingga disinyalir besar kemungkinan ini merupakan konsep Dwi Fungsi ABRI yang dikemas dengan gaya baru.
Adanya wacana untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dikhawatirkan akan bertentangan dengan semangat reformasi TNI yang didalamnya mensyaratkan pencabutan dwifungsi ABRI. Hal ini juga tentunya senafas tarikannya dengan sekitar 40 lebih MoU yang dibuat oleh TNI dengan berbagai lembaga/institusi, sehingga perlu dilakukan publikasi dan evaluasi oleh DPR-RI dan Presiden terkait MoU yang dibuat agar tidak bertentangan dengan semangat reformasi serta garis-garis kewenangan yang telah ditetapkan dalam berbagai aturan yang mengatur TNI.
Selayaknya bangsa Romawi Kuno yang meletakkan militer terpisah dengan urusan-urusan publik. Maka bangsa ini seharusnya tidak main-main dalam agenda reformasi TNI. Militerisme bukanlah sebuah komedi yang pantas untuk kita tertawakan bersama, melainkan sebuah idea yang harus sama-sama kita letakkan pada tempatnya.
Tentara, kembalilah ke barak dan jadilah institusi yang profesional. Kami ingin memiliki TNI yang profesional sebagai alat pertahanan negara dan bukan ikut-ikutan main politik.***
Riyadh Putuhena, peneliti muda di YLBHI LBH Malang