Theology has to become political theology.
-Dorothee Soelle-
HARI-hari ini percakapan dalam ruang publik ramai dengan topik pemilihan umum (pemilu) yang sebentar lagi akan kita rayakan pada April 2019. Akan tetapi, pemilu 2019 merupakan pemilu baru dengan rasa pemilu 2014, karena petahana berkompetisi dengan calon presiden yang sama. Alhasil, pemilu pemilu tahun ini hanya sekedar lanjutan drama politik dari tahun 2014, dalam hal ini perseteruan abadi antara loyalis Joko Widodo dan Prabowo Subianto sehingga percakapan soal pemilu hanya berisi soal pembelaan atas kritik yang reaksioner pun intelek. Kritik yang dilontarkan oleh tiap orang tak lagi dianggap sebagai evaluasi atau sudut pandang lain atas setiap kebijakan melainkan dianggap sebagai batu sandungan yang menghambat kinerja negara dan mengganggu para eksekutif yang sedang giat bekerja. Benar bila ada pepatah yang mengatakan bahwa masa lalu selalu aktual, karena rezim sekarang yang lahir dari sipil di zaman pasca-soeharto malah mengulang kembali kultur politik di zaman Orde Baru yang anti kritik dan intelektualitas.
Dalam pemilu kali ini, kita juga menyaksikan beberapa kontradiksi di ruang publik. Misalnya, terkait hubungan agama dengan negara. Pada kasus penistaan agama yang melibatkan mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), wacana yang kuat berkembang adalah menolak agama dalam ruang publik, karena agama merupakan ranah privat. Akan tetapi, ketika memasuki pemilihan presiden ini penggunaan agama dalam politik diwajarkan guna memperoleh suara dominan. Seperti dilaporkan oleh Tirto.id (26/8/ 2018) yang mengutip Alvara Research Center, bahwa petahana banyak memainkan isu populisme agama sedangkan lawannya lebih banyak membicarakan isu ekonomi. Dapat kita lihat bahwa betapa permisifnya sikap para politisi berserta loyalisnya hanya untuk memenangkan kontestasi politik bukan untuk warga negara secara luas. Alhasil, realitas ini memicu tanya dalam benak kita tentang agama dalam hal ini kekristenan, apakah sikap kekeristenan terhadap negara dengan dinamika politiknya, anti atau pro atau malah ada yang melampaui kedua tempurung itu?
Candu Tidak Selamanya Merusak
Seringkali Karl Marx dan Friedrich Engels dituduh sebagai orang yang anti dengan agama. Pemikiran ini lahir dari kutipan Marx yaitu agama adalah candu masyarakat. Padahal, jika kita membaca lebih jauh Marx tidak sepenuhnya menyerang dan anti dengan agama. Malahan, Marx dan Engels melihat agama sebagai kekuatan sosial yang revolusioner dan militan. Mereka melihat itu melalui fakta historis yaitu reformasi Protestant 1517 yang dipicu oleh Martin Luther dan pembrontakan petani yang dipimpin oleh Thomas Muntzer. Bagi Marx, tindakan Luther menentang feodalisme gereja Katolik cukup berdampak secara sosial, termasuk mendukung pemberontakan petani walaupun ketika protstanisme berhasil melawan feodalisme gereja kemudian ia melahirkan monter baru yang ujungnya menindas para petani juga.
Akan tetapi, di sisi lain sejarah Protestanisme memberikan pengetahuan dan harapan kepada kita bahwa agama dapat terlibat ke dalam kancah politik secara kritis bukan pasif-permisif. St. Agustinus dari Hippo pernah mengatakan bahwa teologi terbagi menjadi tiga yakni mistis, fisis dan politis. Artinya, di dalam berteologi gereja tak mungkin apolitis, karena politik merupakan ruang yang juga harus dipenetrasi oleh gereja dengan kecakapan akal budinya. Itu merupakan tugas gereja dalam rangka mewujudnyatakan Kota Allah di tengah dunia.
Ketika rahim filsafat, yakni Jerman, melahirkan monster fasis yang mengguncang Eropa bahkan dunia yaitu Adolf Hitler dengan NAZI, kenyataan itu akhirnya menuai kontroversi di berbagai kalangan termasuk di kalangan teolog Jerman. Sebagian teolog mendukung nasionalitas yang diusung oleh Hitler (Deutsche Christen), namun sebagian teolog lainnya menggugat gereja yang mendukung negara dan fasisme Hitler itu tersebut. Alhasil, perdebatan itu melahirkan sikap tegas para teolog yang menggugat untuk menentang dukungan gereja kepada negara dan fasisme Hitler dengan mendirikan Gereja yang Mengaku (die Bekennende Kirche). Salah satu teolog yang terlibat dalam gereja yang Mengaku adalah Dietrich Bonhoeffer, seorang pendeta Lutheran yang bersikap kritis kepada negara. Kritik yang dilontarkan Bonhoeffer karena Hitler adalah seorang tiran yang merebut otoritas Ilahi dan membangun relasi gereja dan negara tidak setara. Ia menggugat sikap pemberhalaan itu, karena negara bukan entitas yang Ilahi sehingga ia layak dikritik bahkan digugat bukan dibela dan disembah. Bagaimana mungkin negara dapat dibenarkan ketika terjadi penindasan dan eksploitasi terhadap ciptaan. Dari sini kita dapat melihat bahwa gereja memiliki posisi yang setara dengan negara bukan di bawah atau di atas melainkan sebagai mitra yang setara dan melawan kepada kekuasaan yang bertentangan dengan kehendak Allah seperti yang diupayakan oleh Boenhoeffer. Ia memberikan sebuah pesan bahwa kekristenan sejatinya melawan kepada apa atau siapapun yang hendak menjadi Tuhan dan merenggut kemanusiaan.
Dialektika Kota Allah di Indonesia
Hari-hari ini Indonesia sedang dijangkiti polarisasi karena politik elektoral dari tahun 2014 sampai hari ini. Bahkan, ada sebagian orang yang melihat realitas sipil dewasa ini dan juga kebijakan-kebijakan yang diproduksi negara memiliki kesamaan yang hakiki dengan rezim Orde Baru, membuat mereka sanksi untuk ikut mengambil bagian dalam pemilihan umum karena kedua pasangan mengandung kekacauan secara intelektual, kemanusiaan dan kebudayaan. Alhasil, sektarianisme dalam masyarakat semakin menguat karena identitas politik yang diusung masing-masing. Perlawanan yang harusnya ditujukan kepada tiran malah ditujukan kepada sesama masyarakat sipil. Realitas semacam ini harus segera diretas agar dapat terwujud apa yang diyakini sebagai kota Allah.
Dalam situasi yang chaos seperti ini, kekristenan memiliki tanggung jawab yang semakin dalam dan luas, karena seperti yang dikatakan St. Agustinus dari Hippo tadi, gereja memiliki peran untuk mempenetrasi ruang publik dengan akal budinya, karena berteologi bukan sekedar menyelamatkan diri ketika sangkakala berbunyi melainkan memperjuangkan kehidupan bersama di tengah dunia untuk mewujudkan kerajaan Allah. Artinya, gereja dalam hal ini memiliki peranan kritis dalam berdemokrasi bukan hanya setuju dan melegitimasi setiap ucapan negara. Pada hakikatnya gereja melawan mereka yang jahat bukan bersahabat atau pun menjadi suruhannya. Dalam hal ini, gereja harus memproduksi ide-ide alternatif sebagai bentuk perlawanan terhadap propaganda negara agar ruang publik tidak hanya diisi oleh narasi-narasi penguasa semata tetapi juga narasi itu dibedah dan dibantah bahkan dibuat narasi tandingan. Oleh sebab itu, di tengah keretakan sipil semacam ini gereja perlu hadir sebagai komunitas kritis yang menjadi ruang terbuka bagi pelbagai kelompok untuk bersatu melepas identitas politiknya dan membangun ide alternatif sebagai bentuk perlawanan yang relevan terhadap negara hari-hari ini. Kritisisme sipil di tengah masyarakat menjadi penting guna menciptakan demokrasi yang egaliter-intelek agar negara tidak bablas menjadi monster biadab yang merenggut kemanusiaan.
Akhirnya, ketika kita melampaui materialitas kita hanya dapat terdiam dihadapan yang Ilahi, namun sekembalinya kita kepada materialitas itu kita tak dapat diam dengan peristiwa atau realitas yang jahanam di dunia, karena memang tugas kekristenan di tengah dunia adalah mentransformasi tatanan masyarakat yang jomplang agar terwujudnyata kota Allah, dan itu belum selesai. Allah menitipkannya kepada kita untuk diteruskan.***
Fially Fallderama adalah alumnus sekolah tinggi filsafat teologi Jakarta dan warga DKI Jakarta yang baik
Kepustakaan:
Boer, Roland. Criticism of Earth: on Marx, Engels and Theology. Leiden: Koninklijke, Brill, NV, 2012.
Kleden, Paul Budi Ratzinger tentang Tema Politik dalam Dialektika Sekularisasi. Yogyakarta: Lamalera, 2010.
Mulyanto, Dede. Antropologi Marx. Bandung: Ultimus, 2011.
Morris, Kenneth E. Bonhoeffer’s Critique of Totalitarianism. Jcs.OxfordJournals.org Vol. 60, Issue 4, 2018. : 255.
Elstain, Jean Bethke. Augustine dalam The Blackwell
companion to political theology. UK: Blackwell Publishing, 2004.
* Fially Fallderama adalah alumnus sekolah tinggi filsafat teologi Jakarta dan warga DKI Jakarta yang baik.